PENDAHULUAN
Usaha masyarakat Internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui
Konperensi PBB tentang Hukum Laut yang ketiga telah berhasil mewujudkan
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut , yang telah ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh belas) Negara peserta termasuk Indonesia
dan 2 satuan bukan Negara di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10
Desember 1982 .
Dibandingkan dengan Konvensi Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum
Laut, bahwa Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 ( UNCLOS 1982)
tersebut mengatur rejim-rejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh,
yang rejimnya satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari isinya,
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, adalah merupakan :
1.
Aktivitas pencurian ikan oleh para nelayan asing juga merusak kelestarian
stok ikan laut Indonesia, karena biasanya mereka menangkap ikan dengan
teknologi yang tidak ramah lingkungan. Hal yang sangat penting diceramti
adalah apabila terus membiarkan terjadinya illegal fishing, maka
kedaulatan wilayah pun bisa terongrong, oleh karenanya, harus ada upaya
strategis dan signifikan dalam rangka menanggulangi aktivitas pencurian
ikan secara illegal di wilayah perairan laut Republik Indonesia .
Wacana tentang illegal fishing muncul bersama-sama dalam kerangka IUU
(Illegal, Unreporterd and Unregulated) fishing practices pada saat
diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of
Atlantic Marine Living Resources) pada 27 Oktober 7 Nopember 1997.
Pada saat itu dibahas mengenai kerugian akibat praktek penangkapan ikan
yang dilakukan oleh negara bukan anggota CCAMLR. Dari forum ini
kemudian masalah illegal fishing ini dijadikan isu utama di tingkat global
oleh FAO dengan alasan kuat, bahwa saat ini cadangan ikan dunia
menujukkan trend menurun dan salah satu faktornya penyebabnya adalah
praktek illegal fishing. Pada 1996 saja, dari 14 daerah penangkapan ikan
utama dunia (the worlds major fishing grounds), sembilan di antaranya
telah over fishing, sedangkan lima fishing ground masih dapat
dikembangkan (FAO, 1996). Perairan laut Indonesia termasuk yang masih
bisa dikembangkan. Di sisi lain dengan meningkatnya jumlah penduduk
dunia, maka permintaan terhadap produk perikanan terus meningkat, fakta
global inilah yang membuat wilayah laut Indonesia menjadi incaran para
nelayan asing.
IUU fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: (1) Illegal fishing
yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE
suatu negara, atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut; (2) Unregulated
fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu
negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut; dan (3)
Unreported fishing yaitu kegiatan penagkapan ikan di perairan wilayah
atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun
data kapal dan hasil tangkapannya. Praktek terbesar dalam IUU fishing
menurut Bray (2000) pada dasarnya adalah poaching atau penangkapan
ikan oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan, atau dengan
kata lain, pencurian ikan oleh pihak asing alias illegal fishing.
Pada prakteknya keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
Pertama, pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh
kapal asing dengan memanfaatkan surat ijin penangkapan legal yang dimiliki
oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera lokal atau
bendera negara lain. Praktek ini tetap dikatagorikan sebagai illegal fishing,
karena selain menangkap ikan di wilayah perairan yang bukan haknya,
pelaku illegal fishing ini tidak jarang juga langsung mengirim hasil
tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah yang sah.
Praktek ini sering disebut sebagai praktek pinjam bendera (Flag of
Convenience; FOC).
Kedua, adalah pencurian murni illegal, yaitu proses penangkapan ikan yang
dilakukan oleh nelayan asing dan kapal asing tersebut menggunakan
benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah kita. Kegiatan ini
jumlahnya cukup besar, berdasarkan perkiraan FAO (2008) ada sekitar 1 juta
ton per tahun dengan jumlah kapal sekitar 3000 kapal. Kapal-kapal tersebut
berasal dari Thailand, Vietnam, Mlaysia, RRC, Pilipina, Taiwan, Korsel, dan
lainnya.
Praktek illegal fishing tidak hanya dilakukan oleh pihak asing, tetapi juga
oleh para nelayan/pengusaha lokal. Praktek illegal fishing yang dilakukan
oleh para nelayan/pengusaha lokal dapat digolongkan menjadi 3 (tiga)
golongan, yaitu :
(1) Kapal ikan berbendera Indonesia bekas kapal ikan asing yang dokumennya
palsu atau bahkan tidak memiliki dokumen ijin;
(2) Kapal Ikan Indonesia (KII) dengan dokumen aspal atau asli tapi palsu
(pejabat yang mengeluarkan bukan yang berwenang, atau dokumen palsu);
(3) kapal ikan Indonesia yang tanpa dilengkapi dokumen sama sekali, artinya
menangkap ikan tanpa ijin.
Kekhawatiran terhadap menurunnya cadangan ikan dunia mengakibatkan
peningkatan kesadaran bahwa pengelolaan perikanan dalam skala lokal
maupun global sangatkah diperlukan. Hal ini menyebabkan permasalahan
yang dihadapi semakin meluas, tidak hanya mencakup problem klasik
pencurian ikan, tetapi meluas juga kepada masalah perikanan yang tidak
dilaporkan (unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur
(unregulated fishing). Praktek unreported dan unregulated fishing
dapat menyebabkan terjadinya perbedaan yang besar antara estimasi stok
ikan dengan potensi sebenarnya, mengingat pendekatan perhitungan stock
ikan tersebut berdasarkan hasil tangkapan ikan per satuan upaya tangkap
(CPUE = Catch Per Unit of Effort). Akibatnya, negara yang bersangkutan
tidak dapat mengidentifikasi cadangan ikan yang dimiliki dan mengatur
pemanfaatannya dengan baik. Hal ini dapat mengancam kelestarian
sumberdaya ikan.
Wilayah perairan ( laut ) yang sangat luas selain memberikan harapan dan
manfaat yang sangat besar, tetapi juga membawa konsekuensi dan
permasalahan tersendiri, antara lain masih terbatasnya peralatan yang
berkorelasi dengan pelaksanaan operasi penjagaan, menjadi peluang bagi
nelayan-nelayan Negara lain untuk melakukan perbuatan seperti yang
dikenal dengan penangkapan ikan secara illegal atau Illegal Fishing yang
dapat menimbulkan kerugian bagi Negara Republik Indonesia . Pada kondisi
inilah peran penegakan hukum sangat dibutuhkan sebagai media
pencegahan dan penangkalan terhadap tindakan pelanggaran di laut yang
dapat mengganggu kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya, semua
semua potensi yang ada. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang
perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang
pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan azas
pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan
secara berkelanjutan, oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan
suatu urgensi kebutuhan yang mutlak diperlukan, yang meliputi kegiatan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan .
III.
ASPEK HUKUM PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN
(ILLEGAL FISHING) DI INDONESIA
Bahwa dalam penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Tindak Pidana Perikanan, bahwa ketentuan Hukum Acara Pidananya sebagian
telah diatur secara limitatif dan khusus dalam UU Tindak Pidana Perikanan
tersebut dan beberapa hal yang belum diatur secara khusus dalam UU
Tindak Pidana Perikanan, tetap tunduk pada ketentuan UU Nomor 8 Tahun
1981 tentang KUHAP ;
1.
2.
3.
4.
5.
6.
4.
5.
6.
7.
materiil yaitu antara lain unsur pasal yang disangkakan terkait wilayah ( ZEEI
atau diluar ZEEI ) dimana khusus untuk wilayah ZEEI wajib dijuncto-kan
dengan pasal 102 UU nomor 45 / 2009, tempos dan locus delicti ( terkait
kompetensi absolut dan relatif ), peran masing-masing tersangka,
keterangan saksi dan ahli .
Tenggang waktu penelitian berkas perkara maksimal 5 (lima) hari terhitung
sejak tanggal diterimanya berkas perkara hasil penyidikan ;
Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 hari, JPU tidak
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik ;
Dalam waktu paling lama 10 hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas
perkara, penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut
kepada JPU ;
JPU melimpahkan berkas perkara kepada Ketua PN paling lama 30 (tigapuluh)
hari sejak tanggal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh JPU
(P-21) ;
JPU
dapat melakukan penahanan terhadap tersangka maksimal 10
(sepuluh) hari ;
Perpanjangan oleh Ketua PN maksimal 10 (sepuluh) hari .
Pengendalian Penuntutan :
1. Pengendalian Penuntutan perkara TP. Perikanan dilakukan oleh Kepala
Kejaksaan Negeri, yaitu dalam hal :
Terdakwa adalah anak di bawah umur;
Kapal milik WNA, berbendera asing, Nakhoda WNA atau ABK WNA, kapal
milik WNI atau berbendera Indonesia yang mengalihkan muatan ke kapal
asing di tengah laut ;
Perkara menarik perhatian masyarakat, berskala nasional, internasional dan
menjadi perhatian pimpinan .
Benda atau alat yang digunakan atau dihasilkan dari TP. Perikanan dapat
dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah medapat persetujuan
Ketua PN ;
Barang bukti hasil TP. Perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya
perawatan tinggi, dapat dilelang dengan persetujuan Ketua PN ;
Barang bukti hasil TP. Perikanan yang mudah rusak berupa jenis ikan
terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di
Pengadilan .
Benda atau alat yang dirampas untuk negara dari hasil TP. Perikanan, dapat
dilelang untuk negara ;
Pelaksanaan lelang dilakukan oleh Kantor Pengelolaan Kekayaan Negara
dan Lelang ( KPKNL ) setelah sebelumnya diserahkan terlebih dahulu ke
bagian Pembinaan ;
Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan TP. Perikanan disetor ke kas
negara sebagai PNBP ;
Sebagaimana ketentuan pasal 76 huruf c ayat 5 UU Nomor 45 / 2009,
bahwa benda atau alat yang dirampas dari hasil TP.Perikanan berupa kapal
perikanan, dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan
atau korporasi perikanan, namun mengingat belum adanya PP tentang
pelaksnaan UU Nomor 45 / 2009, maka ketentuan tersebut secara praktek
belum dapat dilaksanakan secara efektif .
Terkait pedoman penanganan mengenai barang bukti yaitu Surat Keputusan
Jaksa Agung RI Nomor : KEP-112/JA/10/1989 tentang Mekanisme Penerimaan,
Penyimpanan dan Penataan Barang Bukti .
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.