Anda di halaman 1dari 7

PENYELEWENGAN UMAT BERAGAMA

DI INDONESIA
Makalah ini Ditujukan Untuk Pemenuhan Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Semester Ganjil
di Politeknik Negeri Bandung

RARAS FALIARESTI
08754023

2 MANAJEMEN ASET

Administrasi Niaga
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2009

KATA PENGANTAR
Segala Puji Bagi Tuhan Rahmat Semesta Alam, karena dengan izin-Nya penulis
bisa menyelesaikan tugas makalah PKn ini. Segala junjungan shalawat dan doa
dicurahkan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarganya.
Penulis hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah
banyak membantu dalam penyusunan makalah ini. Kepada dosen PKn, Bpk Junaedi
atas masukan pertimbangan-pertimbangannya serta tak pantang menyerah dalam
mengajar siswa di manajemen ini. Kepada orang tua, teman-teman yang membantu
dalam pencapaian tugas makalah PKn ini. Tanpa mereka semua, tiada dukungan yang
lebih baik dari yang penulis dapat.. Terima kasih.
Permasalahan yang diambil dalam makalah ini berkutat seputar adanya
penyelewengan agama yang sejak beberapa tahun ini mencuat. Ketidaktahuan
masyarakat, terutama masyarakat awam yang belum secara menyeluruh mengenal
agama, sangat menarik untuk diperbincangkan.
Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di kalangan kaum muslimin awam
telah melahirkan penyelewengan lain pada sebagianorang yg melakukan dakwah
kepada Allah yg seharusnya berupaya memperbaharui keadaan manusia dan
mengajak mereka pada agama yg benar. Sebagian yg lain mengajarkan hukum-hukum
yg salah kepada masyarakat umum bahkan terjadi pula pertentangan dalam hukum-
hukum tersebut sehingga mereka mengeluarkan kata-kata yg dibuat-buat dan hina dan
pada beberapa waktu tertentu mengakibatkan kesesatan.
Oleh karena permasalahan yang meresahkan kita tersebut itulah, penulis
mencoba mengangkat topik ini ke dalam diskusi makalah yang akan disajikan.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Penulis dengan senang hati menerima
kritik saran membangun dari rekan-rekan sekalian. Terima kasih.

Penulis
FENOMENA PENYELEWENGAN UMAT
DARI AGAMA YANG BENAR
I. Latar Belakang

Sekilas penyelewengan yang dilakukan beberapa masyarakat saait ini sulit


direkayasa. Perbedaan prinsip dalam penjalanan ibadah seolah turut andil dalam
kesalahan penganutan agama. Karena pada intinya, mereka mengamalkan
hubungan yang sama dengan agama yang mereka anut sebelumnya.
Tetapi permasalahan disini adalah sikap strukturalisme dicampur dengan
idealisme mereka yang bertentangan dengan ideologi yang notabene harus
sesuai dengan realitas yang ada. Kebodohan dalam masalah agama tidak ada
upaya mempelajari agama dan tidak pula berupaya membetulkan akidah dan
ibadah. Penyelewengan-penyelewengan yg terjadi di kalangan kaum muslimin
awam telah melahirkan penyelewengan lain pada sebagian orang yg melakukan
ajaran kepada Tuhan yang seharusnya berupaya memperbaharui keadaan
manusia dan mengajak mereka pada agama yg benar.
Sebagian yg lain mengajarkan hukum-hukum yg salah kepada masyarakat
umum bahkan terjadi pula pertentangan dalam hukum-hukum tersebut sehingga
merreka mengeluarkan kata-kata yg dibuat-buat dan hina dan pada beberapa
waktu tertentu mengakibatkan kesesatan.

Sehingga muncul pertanyaan, bagaimanakah perspektif strukturalisme


memahami peranan teks-teks keagamaan dalam membentuk suatu pandangan
dunia bagi pemeluknya?

Wajah kehidupan pluralisme –terutama soal kebebasan beragama- di


republik ini memang tidah pernah kunjung membaik. Kenyataan bahwa
Indonesia berdiri kokoh tidak bertumpu pada satu agama, suku, keyakinan sering
kali tidak pernah diakui oleh pihak-pihak yang selalu ingin memonopoli
kebenaran dengan mengabaikan kenyataan itu. Malah kalau perlu, pemaksaan
kebenaran (agama) dilakukan dengan menggunakan kekerasan. Sungguh
sebuah sikap yang sama sekali tidak mencerminkan cara beragama yangbenar.
Kasus pelarangan yang berujung dengan dakwaan penodaaan agama (pasal
156a KUHP) terhadap sholat bilingual (dua bahasa) dengan maksud mengajak
orang untuk lebih memahami makna sholat, seperti yang diyakini oleh Ustadz
Usman Roy dan jamaahnya di Podok I’tikaf Lelaku di Malang, kasus perusakan
bangunan milik Yayasan Kanker & Narkoba Cahaya Alam di Probolinggo oleh
sekelompok massa karena dianggap menyebarkan ajaran sesat padahal
lembaga pengobatan ini hanya menyarankan setiap pasien yang datang untuk
bertobat menurut agama dan keyakinannya agar cepat sembuh, atau aksi brutal
sekelompok massa dengan mengatasnamakan umat Islam yang membubarkan
pertemuan tahunan (jalasah sanah) jemaat Ahmadiyah di Parung Bogor dengan
alasan Ahmadiyah merupakan ajaran sesat merupakan bukti nyata masa depan
pluralisme dan toleransi di Indonesia sudah berada di tepi jurang kehancuran.
Kondisi ini semakin diperparah dengan ketidakberdayaan pemerintah untuk
menciptakan iklim yang kondusif bagi kebebasan beragama di negara ini.
Malahan, dengan bantuan Majelis Ulama Indonesia (MUI), negara tengah
melakukan intervensi ‘kebablasan” terhadap penganut agama/aliran tertentu
dengan cara menjeratnya dengan pasal-pasal kriminal. Ini tentu saja sangat
bertentangan dengan UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana
seharusnya negara menjamin kebebasan setiap individu bebas memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Ada pula kasus Usman Roy, penganut ajaran sholat dua bahasa di Malang juga
mempertanyakan kesalahannya yang sekarang mendekang di LP Malang.
Baginya apa yang dia lakukan justru membantu orang untuk bisa memahami
bacaan dalam sholat, sebab dengan memahami arti dan maknanya secara
otomatis dia akan mendapatkan faedah sholat tersebut.

Menurut Zahir Rusyad, SH.MHum anggota Tim Pembela Kebebasan


Beragama dan dosen pasca sarjana di Univ Widya Gama Malang, menilai
kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia sehingga tidak bisa
dikategorikan tindakan pidana. Sehingga upaya untuk menjadikan tindakan
mereka memenuhi unsur-unsur pasal 156 a dan 157 ayat (1) KUHP adalah
merupakan tindakan KRIMINALISASI terhadap terdakwa dan akan mengancam
setiap orang atau warga negara Indonesia dalam mengemukakan hak asasi
manusianya terutama hak untuk bebas memeluk agama dan menjalankan
ibadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing.

Dalam siaran persnya Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) menyatakan :


(1) Menuntut negara untuk menjamin kebebasan dan kemanan setiap warga
negara dalam melaksanakan agama sesuai dengan keyinan dan kepercayaan
sebagaimana yang dijamin di dalam konstitusi (Pasal 29 UUD 1945)
(2) Menuntut pemerintah untuk menindak secara tegas pihak-pihak atau
kelompok-kelompok Islam yang menggunakan kekerasan didalam menangani
perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok di masyarakat
(3) Mengutuk sekeras-kerasnya penggunaan kekerasan atas nama agama
(4) Menuntut negara untuk tidak menggunakan pasal-pasal karet (Pasal
156a tentang penodaan agama) dalam mengkriminalisasi hak atas kebebasan
yang dimiliki oleh masyarakat
(5) Menghimbau kepada masyarakat umum khususnya umat Islam agar
menghormati perbedaan dan tidak terprovokasi untuk melakukan tindakan-
tindakan anarkis
(6) Menuntut pemerintah bertindak sebagai mediator antara kelompok-
kelompok yang berbeda pendapat
(7) Bagi negara agar meninjau ulang keberadaan organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan seperti Majelis Ulama Indonesia {MUI} yang selama ini memiliki
keistimewaan tertentu dimata negara atau pengambil kebijakan. MUI harus
dikembalikan fungsinya sebagai lembaga yang mengayomi semua perbedaan
dan membuka diri bagi kelompok-kelompok lain untuk masuk di dalam
keanggotaan MUI.
Seperti yang terjadi sekarang, sikap dogmatis-ideologis ini terbukti telah
mempertajam potensi konflik vertikal dan horisontal. Tetapi di sini perlu
ditekankan pula cara baca para sufi (pembacaan esoteris) yang menempatkan
spiritualitas kehidupan keagamaan sebagai dasar utama sebelum seseorang
terjun ke dalam aktivisme politik ataupun yang lain, karena pembacaan esoteris
ini selalu menekankan pada pencarian esensi dan tidak mau terjebak dalam
formalisme dan verbalisme keberagamaan, sehingga ia akan mendorong
terbentuknya sikap mental yang lapang, toleran, dan inklusif.

II. PERMASALAHAN

1. Kebebasan beragama sebagai Hak Asasi Manusia


2. Sikap pluralisme agamis yang berlebihan

III. SOLUSI DAN PEMECAHAN MASALAH

Sejatinya, beragamnya ajaran suatu agama bisa berdampak baik atau


sebaliknya. Keragaman tersebut bisa dijadikan suatu perkumpulan positif dalam
pengenalan agama, atau bisa juga malah melahirkan penyelewengan-
penyelewengan yang lain.
Penyelewengan yg dilakukan sebagian orang dalam hal batas-batas
kebodohan dalam masalah agama yg dapat ditoleransi dan yang tidak mengada-
ada kriteria orang bodoh yg ditolerasi dan pada gilirannya juga mengada-ada
kriteria yg tidak dapat ditoleransi.
Kaku dalam menyampaikan hukum-hukum dan fatwa-fatwa tanpa
memberikan penjelasan dan menganalisa lingkup hukum dan fatwa tersebut
kecuali pada bagian kecil dari pendapat ulama setempatdi antara para ulama yg
terhormat dan para da’i yg ikhlas.
Kebodohan dalam masalah agama tidak ada upaya mempelajari agama dan
tidak pula berupaya membetulkan akidah dan ibadah.
Orang-orang sesat dan pembuat bid’ah mengelabuhi kaum muslimin
memanipulasi syirik hingga seakan-akan merrupakan sesuatu yg baik dan
mereka mempropagandakannya.
Menyebarkan tabarruk yg dilarang secara syara’ dgn bentuk dan caranya yg
bermacam-macam hingga menjadi suatuyang terrbiasa bahkan menjadi
keyakinan bagi orang yg melakukannya.
Kemudian melalaikan dan menganggap remeh ajaran kepada Tuhan dan
dalam penyebaran ilmu yg benar kepada manusia serta dalam upaya
membebaskan manusia dari belenggu kemusyrikan kekufuran dan kesesatan.
Tersebarkan pengafiran dan berlebih-lebihan di dalamnya tanpa
memperhatika kriterria dan hukum-ukumnya. Pengafiran hanya dilakukan
berdasarka keumuman dan aspek lahir sebagian nash yg tidak merujuk kepada
ulama serta munculnya aliran-aliran yg mengatasnamakan kelompok
dakwahyang pada hakikatnya merupakan uapaya menghidupkan kembali aliran
yang berlebih-lebihan pada nash-nash ancaman dan mengafikan golongan umat
yg terpilih.
Pluralisme agamis yang berlebihan, yaitu penganekaragaman yang terlalu
menjiwai sehingga muncul ketidakseimbangan dalam penjalanan ibadah sesuai
dengan semestinya. Perlunya diadakan pembinaan yang sesuai dengan
bidangnya agar tidak melenceng jauh ke dalam penyelewengan, dan melakukan
penguatan pemahaman beragama yang benar dari keluarga maupun lembaga
pendidikan.

IV. KESIMPULAN
Tersebarkan pengafiran dan berlebih-lebihan di dalamnya tanpa
memperhatika kriterria dan hukum-ukumnya. Pengafiran hanya dilakukan
berdasarka keumuman dan aspek lahir sebagian nash yg tidak merujuk kepada
ulama serta munculnya aliran-aliran yg mengatasnamakan kelompok
dakwahyang pada hakikatnya merupakan uapaya menghidupkan kembali
aliranWa’idiyah yg berlebih-lebihan pada nash-nash ancaman dan mengafikan
golongan umat yg terpilih.
Tetapi di sini perlu ditekankan pula cara baca para sufi (pembacaan esoteris)
yang menempatkan spiritualitas kehidupan keagamaan sebagai dasar utama
sebelum seseorang terjun ke dalam aktivisme politik ataupun yang lain, karena
pembacaan esoteris ini selalu menekankan pada pencarian esensi dan tidak
mau terjebak dalam formalisme dan verbalisme keberagamaan, sehingga ia
akan mendorong terbentuknya sikap mental yang lapang, toleran, dan inklusif.
Hal ini didasarkan kepada kesadaran bahwa risalah suatu agama merupakan
seperangkat tata-nilai dan perundang-undangan bagi pembentukan suatu
tatanan sosial yang utuh, seperti yang telah teraktualisasikan dalam kehidupan
nabi dan generasi pertamanya, dan yang telah ‘dibekukan’ melalui teks-teks
keagamaan klasik yang kemudian disakralkan, dan diangkat melampaui realitas
kesejarahannya.
Akhirnya ia menjelma menjadi sebuah dogma yang tidak dapat dicari
realitasnya dalam lingkup ruang dan waktu kesejarahan, tetapi harus diambil dari
teks-teks keagamaan secara apa adanya. Singkatnya, masa lalu harus hadir di
masa kini. Itulah ‘anggitan’ utama teks-teks yang menjadi referensi bagi perilaku
agama.

Anda mungkin juga menyukai