Anda di halaman 1dari 2

Manajemen Batin

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Date: 05-Aug-2009

Viewed: 488

Mencetak pemimpin handal adalah tantangan di setiap organisasi, bahkan di tingkat


negara. Begitu besar harapan dan kompleksnya tuntutan yang diletakkan di bahu
seorang pemimpin, sehingga program pengembangan kepemimpinan yang didesain
paling canggih pun mustahil digarap secara instan. Ya, mau tidak mau, pemimpin
memang harus siap dan terbuka untuk dipoles dan memoles dirinya luar dalam.
Harus siap untuk berkeringat. Seperti halnya para calon perwira yang musti selalu
siap menjalani kawah candradimuka satu ke yang lainnya, diterjunkan ke berbagai
medan dan tantangan, dalam kurun waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan.
Dalam suatu latihan kepemimpinan, saya memperhatikan seseorang yang tampak
tidak segera mendapatkan manfaatnya. Teman kita ini, cepat memahami aturan main,
patuh pada instruksi dan sepintas lalu tidak terlihat menonjol, baik pemberontakannya
maupun perubahannya. Namun, dalam dirinya tampak tidak terlihat upaya untuk
mempertanyakan, mengolah pertentangan, menggarap dilema kerja tim maupun
mencerap doktrin. Sementara teman-temannya menikmati refleksi diri dan secara
serius mengolah berbagai proses batin yang terasa, baginya semua ini hanya bagaikan
angin lewat saja. Tentu saja ini adalah waste besar, bila sebuah pelatihan yang
dijalani tidak dipandang dan diolah dengan sungguh-sungguh. Bagaimana mungkin
individu bisa jadi pemimpin handal tanpa upaya untuk betul-betul menggarap aspekaspek batin dalam dirinya? Bukankah tantangan terbesar pemimpin bukan ujian
terhadap pengetahuan atau knowledge-nya, namun justru datang dari kehebatannya
dalam mengelola aspek emosi dan psikologi diri dan timnya?
Kembali Pada Diri Sendiri
Kita lihat banyak pemimpin yang cepat naik darah, tidak bisa menahan emosi. Kita
juga bisa memahami betapa situasi terjepit ataupun krisis seperti yang kita hadapi ini
membutuhkan ketahanan dan ketekunan. Hanya orang orang yang optimis yang
mampu menghadapi turbulensi politik, ekonomi dan sosial di masa sekarang ini. Di
lain pihak, penyeimbangan antara optimisme dan realitas ini memang bukan hal yang
mudah. Tidak selamanya seorang pemimpin berani membuka brutal facts dan
realitas buruk kepada anak buahnya karena tidak ingin anak buah merasa pesimis dan
turun semangat, bahkan balik badan meninggalkan dirinya yang sedang kepayahan.
Seorang pemimpin memang teruji dan diujinya dari situasi yang menempatkannya
pada posisi maju kena mundur kena, terjepit antara manajemen dan bawahan, terdesak
antara kesempatan dan keterbatasan. Inilah sebabnya banyak juga kita temui
pemimpin yang plin-plan, tidak bisa mengambil keputusan atau menentukan arah
yang jelas, bahkan tidak jarang seolah terkesan pengecut. Pertanyaannya, dalam
menghadapi situasi sulit ini, pada siapa seorang pemimpin bersandar? Pada siapa
pemimpin belajar? Pada siapa ia bertumpu? Tentu saja, ia musti kembali pada dirinya
sendiri. Jelas, bila dalam diri seorang pemimpin tidak terjadi pengolahan batin yang
intensif, segala pengetahuan, keahlian bahkan karisma yang dimilikinya, pada suatu
saat bisa jadi sumber daya yang usang.

Membangun Keberanian Moral


Drive, energi, keterarahan, disiplin diri, willpower serta kekuatan saraf perlu
ditempa, dilatih dan ditingkatkan. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya bila
seseorang tiba-tiba diposisikan sebagai pemimpin, dituntut untuk mempraktekkan
pengambilan keputusan dan pemberian arah yang jelas, sementara ia tidak memiliki
dan tidak mengasah kualitas-kualitas batinnya dengan sungguh-sungguh. Seorang ahli
manajemen mengungkapkan: Courage - not complacency - is our need today.
Leadership not salesmanship. Tidak heran pasukan-pasukan khusus yang melahirkan
pemimpin-pemimpin bangsa berlatih berjalan kaki sejauh 600 km dan berenang
menyeberangi selat Sunda. Hanya dengan ketahanan fisik dan mental seperti ini jiwa
berani, tidak kenal lelah dan kekuatan menghadapi segala kemungkinan bisa tumbuh.
Latihan kepemimpinan yang melelahkan, menekan moral, bahkan kadang
membosankan, sebenarnya membawa individu kepada moral courage untuk
menghadapi manusia, anak buahnya. Hanya dengan keberanian moral, seorang
pemimpin bisa bergerak dari otoritas formalnya, menuju yang lebih informal seperti
membangun collective intelligence, lalu memobilisasi anggota tim untuk memecahkan
masalah dan tidak mengandalkan isntruksi dari atas saja. Fleksibilitas dan
kesejajaran ini hanya bisa diterapkan oleh pemimpin yang sudah lulus berlatih
mental. Leadership success is a marathon, not a sprint.
Pentingnya Melihat ke Dalam Diri
Latihan kepemimpinan yang keras, penuh deraan baik fisik dan mental, sebenarnya
tidak jauh dari dorongan pada individu untuk melihat ke dalam dirinya sendiri. Bila
seorang pemimpin bisa melihat ke dalam dirinya, barulah ia bisa merefleksinya
pengetahuan kemanusiaannya ke orang lain. Orang yang tidak memulai dari diri
sendiri akan tampil sebagai pemimpin yang tidak peka, sensing sering meleset,
terutama karena ia tidak mengenal contoh manusia yang paling dekat , yaitu dirinya
sendiri.
Sebagai pemimpin, individu perlu memikirkan strategi bagaimana mengendalikan
pikiran pribadi dan emosinya. Salah satu caranya adalah dengan secara sadar
mengembangkan inner dialogue yang jujur dan terbuka dengan dirinya. Misalnya
saja, bertanya pada diri sendiri: Apakah saya menuntut terlalu banyak? Apakah
usaha yang terlalu keras ini akan menjadi bumerang? Apakah nada bicara saya
memotivasi atau justru menjatuhkan mental anak buah?. Hanya dengan keterbukaan
dan kejujuran pada diri sendiri, seorang pemimpin mampu mengembangkan passion
pada kelompok, tanpa kehilangan sisi manusiawinya. Hanya dengan kepekaan yang
kuatlah, arahan dan instruksi seorang pemimpin akan lebih make sense.

Anda mungkin juga menyukai