Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

ASPEK HUKUM ISLAM


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam

Disusun oleh:
Kelompok 4
Harini Nastiti Hajri

11151020000081

Farizal Zamzami Kusnadi

11151020000088

Annisa Ananda Ranie

11151020000089

Nugroho Aji Saputra

11151020000094

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
MARET 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah Swt karena
berkat izin-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu serta tak
lupa pula kami panjatkan shalawat serta salam kepada junjungan nabi besar kita
baginda Muhammad Saw beserta para keluarganya, sahabatnya dan seluruh
umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.
Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Nadroh
selaku dosen mata kuliah Studi Islam kami yang dengan

kegigihan serta

keikhlasannya membimbing kami sehingga kami dapat memahami hal-hal yang


baru kami pahami dengan baik, serta tak lupa teman-teman seperjuangan yang
telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Studi Islam yang berjudul Aspek Hukum Islam. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran demi perbaikan makalah di masa mendatang. Harapan kami semoga
makalah ini bermanfaat dan memenuhi harapan berbagai pihak. Amiin.

Jakarta, 17 Maret 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................2


Bab 1 Pendahuluan
a. Latar Belakang........................................................................................4
b. Rumusan Masalah...................................................................................4
c. Tujuan Makalah.......................................................................................4
Bab 2 Pembahasan
a. Pengertian Fiqh, Ushul Fiqh, dan Kaidah Fiqhiyah .............................5
b. Persamaan dan Perbedaan Fiqh dengan Syariah...................................10
c. Latar Belakang Lahirnya Fiqh dan Pandangan serta
Karya-Karya Ulama terhadap Fiqh ......................................................11
d. Ruang Lingkup Kajian Fiqh .................................................................22
e. Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Fiqh dan
Manfaatnya Bagi Kehidupan.................................................................23
Bab 3 Penutup
a. Kesimpulan..................................................................................................27
Daftar Pustaka........................................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang

Hukum Islam merupakan suatu hal yang sangat diperlukan bagi seluruh
umat muslim dan muslimat. Banyak dari kita sebagai umat Islam masih
belum memahami apa arti hukum Islam dengan sempurna. Oleh karena itu,
kami selaku penyusun mencoba untuk menerangkan tentang apa yang
dimaksud hukum Islam terutama dalam hal fiqh, ushul fiqh dan kaidah
fiqhiyah.
Dengan memahami hukum Islam kita akan mengetahui hal-hal yang kita
belum pahami sebelumnya yang dapat kita terapkan dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya sehingga kita dapat
memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang kerap muncul dan
berkembang dalam masyarakat.
B Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fiqh, ushul fiqh, dan kaidah fiqhiyah
2. Apa saja persamaan dan perbedaan fiqh dengan syariah
3. Bagaimana latar belakang lahirnya fiqh dan apa saja karya serta
pandangan ulama-ulama yang terkenal terhadap fiqh Islam
4. Apa saja ruang lingkup kajian fiqh
5. Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqh serta apa saja
manfaat fiqhIslam bagi kehidupan
C Tujuan Makalah
Setelah terselesaikannya makalah ini, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca untuk dapat lebih memahami aspekaspek dalam hukum Islam yang sebenarnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh, Ushul Fiqh, dan Kaidah Fiqhiyah
1) Fiqh
Fiqh secara bahasa memiliki arti paham, sedangkan secara istilah fiqh
berarti ilmu yang mempelajari hukum-hukum yang disyariatkan Allah Swt
yang berkesinambungan dengan lisan dan perbuatan umat Islam yang
bersumber dari dalil-dalil Al-quran, As-sunnah, ijma (kesepakatan) dan
ijtihad dari ulama muslim. Adapun tujuan dari fiqh dalam Islam ialah untuk
4

mencegah terjadinya kerusakan diantara kaum muslimin. Berdasarkan


sumber-sumber hukumIslam, diperoleh tujuh kitab yang membahas hukumhukum dalam kehidupan sebagai berikut:1
a.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah atau yang
disebut juga dengan fiqh ibadah. Hukum ini membahas hal-hal seperti
wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya.
b.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan atau


yang disebut juga dengan fiqh al-ahwal as-sakhsiyah. Hal yang dibahas
dalam hukum ini meliputi pernikahan, talak, nasab, persusuan, nafkah,
warisan dan yang lainnya.

c.

Hukum fiqh muamalah yakni hukum yang berkaitan dengan perbuatan


manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa
menyewa, pengadilan dan yang lainnya.

d.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin


(kepala negara) yang disebut juga dengan fiqhsiasah syariah. Hukum ini
membahas hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan keadilan, penerapan
hukum-hukum syariat.

e.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelakupelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban yang disebut
juga dengan fiqhal-ukubat.

f.

Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri


lainnya, hukum ini disebut juga dengan fiqhas-siyar. Hukum ini
membahas tentang perang atau damai dan yang lainnya.

g.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik


maupun yang buruk. Hukum ini disebut dengan adab dan akhlak.

1 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang,


Jakarta, 1989, hlm. 38

2) Ushul Fiqh
Kata ushul fiqh merupakan gabungan dari dua kata yakni ushul yang berarti
pokok, dasar, pondasi. Kedua adalah fiqh yang berarti paham yang
mendalam. Kata ushul yang merupakan jama dari kata ashal secara
etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Arti
etimologi ini tidak pasti dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu
adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan fiqh.2
Sedangkan fiqh diistilahkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukumhukum praktis yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang
mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci (tafshili) dalam nash (Alquran dan As-sunnah). Yang dimaksud dalil tafshili adalah dalil-dalil yang
terdapat dan terpapar dalam nashdimana satu persatunya menunjuk pada
satu hukum tertentu.3
Dengan mempelajari ushul fiqh tentu dapat memberikan manfaat
diantaranya mengetahui pendapat yang benar diantara perbedaan pendapat
para ulama, mengetahui sebab-sebab yang menimbulkan persilangan
pendapat di antara para ulama sehingga dapat memberikan alasan dan uzur
bagi mereka dalam hal tersebut, dan juga menguatkan kaidah dalam
berdiskusi dan berdialog secara ilmiah.4
Dilihat dari sisi dalil maupun asasnya, ushul fiqh berasal dari beberapa
sumber diantaranya:
a. Alquran dan As-sunnah.
b. Riwayat dari sahabat dan tabiin.
c. Konsensus ulama salafussaleh.
d. Kaidah bahasa Arab dan keterangan penguat yang dinukil dari bangsa
Arab.
2 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, cet 1, Ar-Ruzz Media,
Jogjakarta, 2011, hlm. 23
3 Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar), cet 3, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 2
4Muhammad Bin Husain Bin Hasan Al-Jazainy, Maalim Ushul Al-Fiqh
Inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jamaah, cet 1, Dar Ibnu Al-Jauzi,
Riyadh,1416 H, hlm. 23-24

e. Fitrah dan akal yang sehat.


f. Ijtihad ulama yang tidak bertentangan dengan ketentuan syariat.5
Ulama ushuliyyin (ahli ushul fiqh) menyatakan sebuah kaidah ushul:


Perintah

pada

dasarnya

berarti

wajib

Ketika para ahli fiqh (fukaha) mengkaji surat al-Isra ayat 78:
(78 )

Dirikanlah shalat ketika matahari tergelincir sampai terbenamnya mega
merah dan (dirikan) shalat saat munculnya fajar. Sesungguhnya fajar itu
dapat terlihat.
Terlihat bahwa perintah tersebut tidak disertai hal-hal yang membuatnya
berarti lain selain perintah shalat pada waktu-waktu tertentu. Berdasarkan
akidah ushuldi atas, perintah tersebut bermakna wajib. Karena itu, ahli fiqh
memutuskan bahwa perintah shalat pada waktu tertentu bermaksa wajib. Itu
berarti ahli fiqhmenggunakan kaidah-kaidah yang dikaji dan dirumuskan ahli
ushul untuk melakukan penggalian hukum dari Al-quran.
3) Kaidah Fiqhiyah
Kaidah fiqhiyah yang dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yakni,
qaidah yang berarti dasar atau asas, dan kata fiqhiyah yang berasal dari kata
fiqh yang berarti paham. Secara istilah kaidah fiqhiyah berarti kumpulan
hukum syara yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan
dari dalil-dalil yang terperinci. Kaidah fiqhiyah dibagi menjadi tiga macam,
yaitu:
a. Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima
kaidah ini memiliki ruang lingkup furiiyyah yang sangat luas,
5 Muhammad Bin Husain Bin Hasan Al-Jazainy, Maalim Ushul Al-Fiqh
Inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jamaah, cet 1, Dar Ibnu Al-Jauzi, Riyadh,
1416 H, hlm. 23

komprehensif, dan universal, sehingga hampir menyentuh semua elemen


hukum fiqh.
b. Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu cukup banyak, tetapi
tak seluas yang pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai al-qawaid alaghlabiyah.
c. Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawaid al-qaliliyah)
bahkan cenderung sangat sedikit.6
Contoh dari kaidah ini adalah diantaranya sebagai berikut:
a. Disunnahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu, agar
terbebas dari perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang
mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi setengah
atau keseluruhan.
b. Apabila ada orang tua yang menderita sakit parah menyerahkah semua
hartanya kepada salah satu ahli waris, maka transaksinya tidak sah
kecuali dengan persetujuan ahli waris yang lain. Hal ini karena
dimungkinkan adanya kesengajaan bagi orang tua tersebut untuk
memberikan warisanya hanya kepada satu orang saja (hirmanu al warist
ila ghoirihi) hal ini tidak di benarkan dalam Islam.
c. Apabila ada salah satu ahli waris yang mengaku memiliki harta yang di
hutang orang tuanya yang meningal dan ia tidak mempunyai bukti, maka
hal ini dibenarkan, karena ada kemungkinan ia hanya ingin mendapat
bagian lebih banyak.7

Proses Pembentukan Kaidah Fiqhiyah


Kaidah fiqh tentu tidak terbentuk dengan sendirinya. Harus
melawati metode dan proses sehingga terbentuk suatu kaidah fiqh yang
berlandaskan hukum Alquran. Menurut Syaikh Yasin, ada dua metode yang
dapat diterapkan dalam membentuk suatu kaidah fiqh, yaitu sebagai
berikut:8

6 Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Santri Salaf, Surabaya, 2009,
hlm. 82
7 Ibid, hlm. 362

1. Metode pertama yang dapat dilakukan adalah dengan cara menciptakan


kaidah-kaidah

yang

telah

ditentukan

mujtahid

dalam

proses

pengambilan hukum dari sumbernya yaitu Alquran, Sunnah, Ijma, dan


Qiyas. Konsep ini disebut dengan ushul fiqh.
2. Motode kedua yang dapat dilakukan, yaitu dengan mengeluarkan
kaidah-kaidah fqhiyah yang bersifat universal dari tiap-tiap bab dari
ilmu fiqh.
Dalam pembentukan kaidah fiqh, ada beberapa proses yang harus
dilakukan, diantaranya adalah:9
1. Sumber yang di ambil berasal dari sumber hukum Islam seperti Alquran, As-sunnah, Ijma, dan Qiyas.
2. Metodologi yang di gunakan berasal dari ushul fiqh.
3. Menggunakan ilmu fiqh yang mengandung banyak materi.
4. Kumpulan masalah yang serupa kemudian disimpulkan menjadi kaidah
fiqh, kemudian di kritisi kembali.
5. Suatu kaidah fiqh di anggap sempurna ketika sesuai dengan Alquran
dan Hadits
6. Kaidah fiqh di gunakan untuk menjawab tantangan dalam masyarakat
Setelah melakukan serangkaian diatas, maka kaidah fiqh di
harapkan mampu menjawab persoalan dan masalah-masalah dalam
masyarakat.
B. Persamaan dan Perbedaan Fiqh dengan Syariah
Secara bahasa syariah berarti jalan air di sungai, yang dalam bahasa Arab
dapat diartikan sebagai jalan yang lurus. Menurut Fuqaha syariah berarti
hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt melalui rasul-Nya untuk hamba-Nya,
agar mereka mentatati hukum atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan
aqidah amaliyah (ibadah dan muamalah) dan yang berkaitan dengan akhlak.10
Syariah Islam bersumber dari Al-quran dan As-sunnah. Dalam lingkup
kehidupan pribadi syariah Islam meliputi ibadah muamalah (seperti shalat,
8 Muhammad Abdul Zahrah, Ushul Fiqih, PT Pustaka Firdaus, Jakarta,
2005, hlm: 166
9 Muhammad Abdul Zahrah, Ushul Fiqih, PT Pustaka Firdaus, Jakarta,
2005, hlm: 282

puasa dan sebagainya) dan syariah yang terkait dengan kehidupan pribadi
(seperti dalam memilih minuman, pakaian, memelihara kebersihan, dan lainlain).11 Antara syariah dan fiqh terdapat beberapa perbedaan dan persamaan
diantaranya:
1) Perbedaan

Syariah

Fiqh

Berasal dari al-quran dan assunnah

Bersumber dari manusia

Bersifat fundamental

Bersifat instrumental

Hukumnya bersifat qathi (tidak


berubah)

Hukumnya zhanni (dapat berubah)

Diturunkan langsung dari Allah


SWT

Berasal dari ahli-ahli hukum sebagai


hasil pemahaman manusia yang
dirumuskan oleh mujtahid

2) Persamaan
Syariah dan fiqh merupakan dua hal yang sama-sama mengajarkan kita
jalan yang lurus untuk tetap bertakwa kepada Allah Swt.
C. Latar Belakang Lahirnya Fiqh dan Pandangan serta Karya-Karya
Ulama Terhadap Fiqh
Ilmu fiqh dengan berbagai ruang lingkup kajiannya bukanlah sesuatu yang
bersifat dogmatis melainkan sesuatu yang bersifat ijtihadiyah. Ilmu fiqh ini
merupakan hasil ijtihad yang memakan waktu yang cukup panjang. Hal ini
dapat ditelusuri dari sejarah perkembangan fiqh. Sejarah perkembangan fiqh
10 Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Ghalia Indonesia, Bogor,
2010, hlm. 9
11 Majelis Syura Partai Bulan Bintang, Syariat Islam dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.
15

10

dapat dibagi ke dalam lima periode yaitu periode Nabi Muhammad Saw,
periode Khulafaur Rasyidin (sahabat), periode Umayyah dan Abbasiyah,
periode taqlid (penutupan pintu ijtihad), dan periode kebangkitan.12
1. Ilmu Fiqh Pada Periode Nabi Muhammad Saw
Pada periode Nabi Muhammad Saw ini, sumber hukum Islam yang utama
yaitu Al-quran masih dalam proses turun yang memakan waktu kurang
lebih 23 tahun (tepatnya 22 tahun, 2 bulan, 22 hari). Proses turunnya Alquran ini dilakukan dengancara berangsur-angsur. Berdasarkan wahyu
yang diturunkan itulah, Nabi Muhammad Saw menyelesaikan persoalanpersoalan yang timbul dalam masyarakat Islam pada waktu itu. Namun
ada kalanya timbul persoalan hukum dalam masyarakat yang cara
penyelesaiannya belum terdapat di dalam Al-quran. Dalam keadaan
demikian, maka Nabi Muhammad Saw menyelesaikannya dengan
menggunakan ijtihad atau pendapat yang dihasilkan dari pemikiran yang
mendalam. Apabila hasil ijtihad Nabi Muhammad Saw itu benar, maka
tidak lagi mendapat tentangan dengan turunnya ayat Al-quran untuk
memperbaikinya. Namun apabila hasil ijtihadnya tidak benar, maka akan
turun ayat untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Oleh karena itu,
ijtihad nabi dipandang mendapat lindungan dari Allah dan tidak akan salah
(al-mashum). Ijtihad yang dibuat nabi diturunkan kepada generasigenerasi selanjutnya melalui sunnah yang selanjutnya disebut pula hadits.
Dengan demikian, sumber hukum yang terdapat pada periode Nabi
Muhammad Saw adalah Al-Quran dan sunnah Nabi.13
2.

Ilmu Fiqh Pada Periode Khulafaur Rasyidin (sahabat)


Pada periode sahabat, persoalan hukum yang harus diselesaikan semakin
luas dan berkembang serta lebih sulit untuk diselesaikan. Hal ini

12 Syekh Muhammad Ali As-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan


Hukum Fiqih: Hasil Refleksi Ijtihad, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995, hlm. 24
13 Syekh Muhammad Ali As-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan
Hukum Fiqih: Hasil Refleksi Ijtihad, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995, hlm. 25-31

11

disebabkan karena pada periode ini daerah yang dikuasai Islam semakin
bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah-daerah yang di luar
Semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan yang tinggi dan
susunan masyarakat

yang

tidak

sederhana

dibandingkan

dengan

masyarakat Arab saat itu. Dalam menyelesaikan persoalan hukum yang


demikian berat, luas, dan baru itu para sahabat menggunakan Al-quran
dan sunnah sebagai rujukan utama. Namun demikian, penggunaan Alquran sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan persolan fiqh tidak
mengalami masalah yang berarti karena Al-quran telah dihafal oleh para
sahabat dan telah dibukukan pada zaman Abu Bakar R.A. Akan tetapi
berbeda halnya dengan masalah sunnah. Penggunaan sunnah sebagai
rujukan utama dalam menyelesaikan masalah fiqh bukanlah suatu hal yang
mudah. Hal ini disebabkan karena sunnah tidak dihafal dan belum
dibukukan pada waktu itu. Sehingga timbullah hadist-hadist yang
diragukan berasal dari Nabi Saw yang selanjutnya dikenal sebagai hadist
buatan. Persoalan lainnya adalah bahwa ayat-ayat Al-quran yang
berkaitan dengan hukum hanya berjumlah 368 ayat. Oleh karena itu tidak
semua persoalan hukum dapat dikembalikan pada Al-quran atau sunnah.
Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam
kedua sumber hukumini, maka khalifah dan para sahabat mengadakan
ijtihad. Namun karena turunnya wahyu sudah berhenti dan para sahabat
tidak mengetahui apakah hasil ijtihadnya benar atau salah sehingga untuk
menguatkan hasil ijtihadnya itu maka dipakailah ijma atau konsensus
sahabat. Dalam hal ini, khalifah tidak memutuskan sendiri mengenai
ketentuan hukumnya tetapi terlebih dahulu bertanya kepada para sahabat.
Keputusan yang diambil dengan suara bulat (konsensus) dipandang lebih
kuat dari pada keputusan yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja.
Pada zaman Abu Bakar, konsensus masih dapat dilakukan karena tempat
tinggal para sahabat masih berdekatan. Akan tetapi penyelenggaraan
konsensus pada zaman Umar sudah sangat sulit untuk dilaksanakan karena
para sahabat telah tersebar diberbagai daerah yang berada dibawah

12

kekuasaan Islam akibat adanya ekspansi wilayah seperti Mesir, Suriah,


Irak, dan Persia. Namun demikian, karena para sahabat masih mempunyai
wibawa yang besar sebagai akibat dari kedekatan para sahabat dengan
Nabi Muhammad Saw, maka ijtihad para sahabat dapat diterima oleh
umat. Dengan demikian, sumber hukum pada periode Khulafaur Rasyidin
(sahabat) menjadi tiga yaitu Al-quran, Sunnah, dan ijma sahabat. Para
ahli fiqh dari kalangan sahabat ini antara lain Umar bin Khattab, Ali bin
Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Umar di Madinah; Abdullah
bin Abbas di Mekah; Abdullah bin Masud di Kufah, Anas bin Malik
di Bashrah, Muaz bin Jabal di Suriah, dan Abdullah bin Amr al-Al-Aas di
Mesir.14
3. Ilmu Fiqh pada periode Umayyah dan Abbasiyah
Pada periode ini, yang juga disebut sebagai periode ijtihad, persoalan
hukum semakin bertambah kompleks dan luas. Hal ini terjadi karena
wilayah Islam semakin luas, hingga mencapai Afrika, Spanyol, dan Asia
Tengah. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
agama, ilmu umum, kebudayaan, dan peradaban yang semakin
berkembang pula. Pada masa ini kegiatan pengumpulan, penyeleksian,
pembuatan hadits palsu, dan pembukuan hadits semakin berkembang.
Demikian pula ilmu di bidang bahasa Arab, ilmu Al-quran, dan ilmu
hadits dengan berbagai cabangnya yang juga semakin berkembang.
Demikian pula dengan berbagai adat istiadat, tradisi, dan sistem
kemasyarakatan yang terdapat di berbagai daerah tersebut makin beragam.
Keadaan ini memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan hukum
Islam.15
14 Syekh Muhammad Ali As-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan
Hukum Fiqih: Hasil Refleksi Ijtihad, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995, hlm. 33-37
15 Syekh Muhammad Ali As-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan
Hukum Fiqih: Hasil Refleksi Ijtihad, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995, hlm. 83-84

13

Masalah hukum yang dihadapi umat makin beragam pula. Untuk


mengatasi keadaan ini, para ulama semakin meningkatkan ijtihadnya
dengan berdasarkan pada Al-quran, Sunnah Nabi, dan ijma Sahabat.
Pada periode inilah lahir para ahli hukum (mujtahid) yang selanjutnya
dikenal sebagai imam atau faqih dalam Islam dan empat mazhab yang
dikenal saat ini yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali juga
lahir pada periode ijtihad ini.16
4. Ilmu Fiqh Pada Periode Taqlid atau Penutupan Pintu Ijtihad
Periode ini dapat pula disebut periode kemunduran dalam sejarah
kebudayaan Islam, yang dimulai sejak abad keempat hijriah (kesebelas
masehi). Pada masa ini, mazhab yang empat telah memiliki kedudukan
yang stabil dalam masyarakat dan perhatian bukan lagi ditujukan kepada
Al-quran, As-sunnah, dan sumber-sumber hukum Islam tersebut,
melainkan pada buku-buku fiqh yang ditulis oleh para ulama fiqh. Ulamaulama

mempertahankan

mazhab

imamnya

masing-masing

dan

menganggap mazhab imamnya yang terbenar dan yang lainnya kurang


benar.

Dengan

demikian

perhatian

dipusatkan

pada

usaha

mempertahankan kebenaran mazhab masing-masing. Dalam hubungan ini,


Sobhi Mahmassani mengemukakan sebagai berikut: Pada masa terakhir
dari kekuasaan daulah Abbasiyah, perkembangan ilmu fiqh mulai terhenti.
Ulama-ulama pada waktu itu sudah merasa cukup dengan
pengumpulan karya-karya mazhab saja dan mereka membatasi diri dalam
ijtihad hanya pada soal-soal furu belaka. Setelah jatuhnya Baghdad pada
pertengahan abad ketujuh hijriah (13M), ulama-ulama fiqh sepakat untuk
menutup pintu ijtihad hanya karena rasa kekhawatiran dengan adanya
perselisihan pendapat. Kemudian peradaban bangsa Arab mulai menurun
dan berangsur-angsur menderita kemundurannya sehingga akhirnya
mengalami kemunduran dalam segala bidang. Disusul pula dengan
meluasnya taqlid yang berakibat terhentinya ijtihad dalam ilmu fiqh.
16 Syekh Muhammad Ali As-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan
Hukum Fiqih: Hasil Refleksi Ijtihad, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995, hlm. 95-97

14

Ulama-ulama fiqh sudah merasa cukup dengan ikhtisar kitab-kitab syariat,


dengan syarah-syarahnya, ataupun kitab fatwa saja. Pada masa itu, ulamaulama sekaliber Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam
Hanbali sudah tidak terdapat lagi. Ijtihad yang dijalankan oleh ulamaulama yang belum mencapai derajat mujtahid telah membawa kekacauan
dalam bidang hukum di masyarakat. Dalam suasana yang demikian, para
ulama melihat perlunyamenutup pintu ijtihad.17
5. Ilmu Fiqh Pada Periode Kebangkitan
Pada masa itu, yakni abad ke-14 masehi, terdapat sejumlah ulama yang
tidak menerima taqlid. Mereka bangkit menyerukan kewajiban ijtihad
kepada dunia Islam dan menyerukan ajakannya untuk kembali kepada
sumber-sumber syariat yang asli, yakni Al-quran dan Sunnah Rasulullah
Saw. Ulama-ulama ini kemudian terkenal dengan sebutan mazhab Salaf,
sebagai para mujadid yang mengadakan pembaruan dari alam taqlid dan
penyelewengan ke alam ijtihad dan keaslian. Mereka itu antara lain
Taqiyuddin ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Selanjutnya pada
abad ke-19 Hijriah, lahirlah Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad
Abduh yang menyerukan kepada dunia Islam untuk meninggalkan taqlid.
Gerakan membuka kembali pintu ijtihad dengan merujuk langsung kepada
Al-quran dan Sunnah ini dilakukan oleh dunia Islam yang bersentuhan
dengan

peradaban

modern

seperti

Turki,

India,

Mesir,

dan

Indonesia. Tokoh pembaharu Islam dari Turki seperti Zia Gokalf dan
Sultan Mahmud II. Di India terdapat nama Ahmad Khan dan Sayyid
Ameer Ali. Di Mesir terdapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
sedangkan di Indonesia terdapat KH. Ahmad Dahlan dan Ahmad
Syurkati.18
17 Syekh Muhammad Ali As-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan
Hukum Fiqih: Hasil Refleksi Ijtihad, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995, hlm. 101-104
18 Syekh Muhammad Ali As-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan
Hukum Fiqih: Hasil Refleksi Ijtihad, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

15

Tokoh-tokoh Fiqh
1. Abu Hanifah al- Numan
Abu Hanifah banyak memakai pendapat yang dalam bahasa Arab dikenal.
Dengan istilah al-rayu, qiyas, atau analogi serta istihsan yang juga merupakan
suatu bentuk analogi. Abu Hanifah dikenal sangat hati-hati dalam
menggunakan sunnah sebagai sumber hukum. Ia hanya memakai sunnah yang
betul-betul diyakininya orisinal dan bukan sunnah buatan. Oleh karena itu, ia
dikenal sebagai penganut mazhab ahl al-rayi (aliran rasionalis). Selain itu,
Abu Hanifah juga berada di Kufah sehingga tidak banyak menjumpai hadist.
Sumber hukum yang digunakan Abu Hanifah yaitu Al- Quran, sunnah (secara
selektif), al- Rayu, qiyas, istihsan, dan syaru man qablana (agama sebelum
kita). Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash karena adanya persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa
tersebut. Sedangkan istihsan adalah menetapkan hukum terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa karena ada alasan yang lebih kuat. Adapun
syaruman qablana merupakan syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku
pada para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw seperti syariat Nabi Ibrahim,
Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Diantara murid Abu Hanifah yaitu Abu
Yusuf Yaqub Ibn Ibrahim Al-Anshari (113-182 H) dan Muhammad Ibn Hasan
Al-Syaibani (102-189 H). Mazhab Hanafi resmi dipakai oleh daulah Turki
Ustmani, dan pada periode Abbasiyah banyak dianut di Irak. Sekarang mazhab
ini banyak terdapat di Turki, Suriah, Afghanistan, Turkistan, Bangladesh,
Israel, Jordania, Pakistan, Palestina, dan India. Suriah, Lebanon, dan Mesir
juga menggunakan mazhab ini secara resmi.19
1995, hlm. 115
19 Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Madzhab, Darul
Ulum Press, Jakarta, 1995, hlm. 27

16

2. Malik Ibn Anas al-Asbahi


Malik Ibn Anas al-Asbahi sebagai pendiri mazhab Maliki lahir pada tahun 713
H dan berasal dari Yaman. Ia tidak pernah meninggalkan kota ini, kecuali
untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Ia meninggal dunia pada tahun
12/795M. Paman beliau termasuk dalam golongan perawi hadits, dengan
demikian tidak mengherankan kalau Malik ibn Anas menjadi perawi hadits
pula dan dalam pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi oleh sunnah. Ia
pernah belajar pada guru seperti Nafi, Mawla Abdullah Ibn Umar, Ibnu
Syihab Al-Zuhri, dan Ibn Hurmuz. Malik Ibn Anas menulis sebuah kitab
terkenal al-Muwatta, yang merupakan kitab hadits dan fiqh. Dalam kitab ini,
hadits diatur didalamnya sesuai dengan bidang-bidang yang terdapat
dalam buku fiqh. Dalam melahirkan produk hukum, Malik banyak berpegang
pada sunnah Nabi dan ijma Sahabat. Jika ia tidak mendapatkan dasar hukum
dalam Al-quran dan As-sunnah, maka ia menggunakan qiyas dan masalih almursalah, yaitu maslahat umum. Dengan demikian, sumber hukum yang
digunakan oleh Imam Malik, yaitu Al-quran, sunnah, tradisi yang berlaku di
kalangan sahabat (qaul al-shahabi), qiyas, dan al-mashalih al-mursalah. Malik
ibn Anas memiliki banyak murid, diantaranya al Syaibani, al-Syafii, Yahya
al-Lais, al-Andalusi, Abd. Al-Rahman Ibn al-Qasim di Mesir dan Asad Ibn alFurat al-Tunisi, Filusuf Ibn Rusyd dan pengarang Bidayah al-Mujtahid
termasuk pengikut Malik. Mazhab Maliki ini banyak dianut di Hejaz, Maroko,
Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, Aljazair, Gambia, Ghana,
Libya, Nigeria, dan Kuwait.20
3. Muhammad bin Idris al-Syafii
Imam Syafii memiliki nama lengkap Muhammad ibn Idris al-Syafii lahir di
Ghazza pada tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa Quraisy. Ia pernah
belajar pada Sufyan Ibn Uyaynah dan Muslim Ibn Khalid di Mekkah, dan
ketika pindah ke Madinah, ia belajar pada Malik Ibn Anas hingga Imam
Maliki ini meninggal dunia. Dalam menetapkan produk hukum, al-Syafii
20 Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Madzhab, Darul
Ulum Press, Jakarta, 1995, hlm. 32-33

17

berpegang pada lima sumber yaitu Al-quran, sunnah nabi, ijma atau
konsensus, pendapat sebagian sahabat yang tidak mengandung perselisihan di
dalamnya, serta qiyas. Murid-murid Imam Syafii antara lain di Irak terdapat
nama Ahmad Ibn Hambal, Daud Al-Zahiri, dan Abu Jafar Ibn Jarir al Tabari.
Di Mesir terdapat Ismail al-Muzani dan Abu Yusuf Yaqub al-Buwaiti. Abu
Hamid al-Ghazali, Muhy al-Din al-Nawawi, Taqi al-Din Ali Al-Subki, Taj alDin Abd, Al-Wahhab Al-Subki dan Jalal al-Din al-Suyuti adalah termasuk ke
dalam golongan pengikut besar dari Al-Syafii. Mazhab Syafii banyak dianut
di Indonesia, Ethiopia, Kenya, Malaysia, Singapura, Somalia, Srilanka,
Tanzania, dan Yaman. Bahkan Brunei Darussalam menjadikan mazhab Syafii
sebagai mazhab resmi negara.21
4. Ahmad bin Hanbal
Ahmad Ibn Hanbal lahir di Baghdad pada tahun 780 M dan berasal dari
keturunan Arab. Pada mulanya ia belajar hadits dan banyak mengadakan
perjalanan, tetapi kemudian dia belajar hukum juga. Diantara guru-gurunya
terdapat Abu Yusuf dan al-Syafii. Kemudian ia sendiri menjadi guru dan
mulai termasyhur namanya. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad Ibn Hambal
banyak menggunakan lima sumber yaitu Al-quran, sunnah, pendapat sahabat
yang diketahui tidak mendapat tentangan dari sahabat lain, pendapat seorang
atau beberapa sahabat dengan syarat sesuai dengan Al-quran dan sunnah serta
qiyas. Diantara murid Ahmad Ibn Hambal yaitu Abu al Wafa Ibn Aqil, Abd.
Al-Qadir al-jili, Abu al Farraj Ibr, Aljawzi, Muwaffaq al-Din Ibn Qudama,
Taqi al-Din Ibn Taimia, Muhammad Ibn al-Qayyim dan Muhammad Abd. AlWahhab. Penganut mazhab Ahmad Ibn Hambal ini terdapat di Irak, Mesir,
Suriah, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia dan Qatar, mazhab ini
merupakan mazhab resmi dari negara.22
21 Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Madzhab, Darul
Ulum Press, Jakarta, 1995, hlm. 35-37
22 Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Madzhab, Darul
Ulum Press, Jakarta, 1995, hlm. 47-50

18

Persamaan dan Perbedaan Antara Mazhab


1. Perbedaan Pendapat Tentang Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu
a. Keluar Sesuatu Dari Dua Jalan
Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti buang air
kecil, buang air besar, keluar madzi, (air kuning encer yang biasanya
keluar dari qubul ketika seseorang merasakan nikmat) 23. Pendapat dari
empat mazhab yaitu:
Haanafiyah

Apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan

Malikiyah

wudhu, baik yang biasa maupun yang tidak biasa.


Mani yang biasa keluar tanpa rasa nikmat tidak diwajibkan
mandi, dan hanya membatalkan wudhu. Adapun batu kecil,
ulat, cacing darah dan nanah yang keluar dari qubul dan

Syafii

dubur tidak membatalkan wudhu dengan ketentuan.


Keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu, apakah

Hambali

keluarnya rasa nikmat atau tidak namun, wajib mandi.


Apabila seseorang terus menerus berhadas, seperti air
kencing terus menerus menetes, tidak membatalkan wudhu,
asal setiap sholat melakukan wudhu.

b. Tidur
Hanafiya

Tidur tidak membatalkan wudhu, akan tetapi tidur dapat

membatalkan wudhu dalam tiga hal.


- Tidur dengan berbaring miring
- Tidur telentang diatas punggungnya

Malikiyah

-Tidur diatas salah satu pahanya


Tidur dapat membatalkan wudhu, apabila seseorang tidur

23 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010,


hlm. 9

19

nyenyak, baik sebentar maupun lama maupun sebentar, baik


Syafii

tidur dalam keadaan berbaring, sujud atau duduk.


Tidur dapat membatalkan pendapat apabila orang yang yang

Hanbali

tidur itu tidak duduk mantap diatas tempatnya.


Wudhu seseorang dapat batal dalam keadaan bagaimanapun
juga, kecuali apabila tidurnya itu sebentar menurut ukuran
urf, sedangkan orang itu dalam keadaan duduk atau berdiri.

c.

Bersentuhan Laki-laki dan Perempuan


Hanafiya

Persentuhan laki-laki dan perempuan tidak membatalkan

h
wudhu.
Malikiyah Seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau
dengan anggota badan lainnya, maka wudhunya batal dengan
beberapa syarat.
- Sudah baligh
- Merasakan
Syafii

kenikmatan

atau

rangsangan

sesudah

terjadi sentuhan sengaja atau tidak


Kulit lawan jenis yang bukan mahram membatalkan wudhu
secara mutlak.

2. Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Awal Puasa


Puasa Ramadhan adalah puasa yang telah ditentukan jumlah bilangan hari
dan waktu pelaksanaannya, yakni satu bulan penuh. Ada yang berjumlah 30
hari ada pula yang berjumlah 29 hari.24 Perintah puasa pertama kali adalah
pada tahun ke-2 Hijriah. Untuk menentukan awal dan akhir bulan ramadhan
dapat dimulai dengan cara rukyatul hilal, yaitu dengan melihat bulan sabit
tanggal satu bulan qamariyah dengan mata telanjang.

24 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010,


hlm. 10

20

Artinya: maka diantara kamu sekalian yang menyaksikan akan adanya awal
ramadhan

haruslah

ia

puasa

(QS.

AL-Baqarah:

185)

Oleh para ulama masih dipersoalkan tentang Hilal (melihat bulan) sebagai
berikut:25
Imam Hanafi

Jika seandainya langit cerah, wajib yang melihat itu


semuanya atau orang banyak (melihat bulan). Dan orang
tersebut mengatakan ashadu dan bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah.Dan kalau seandainya cuaca tidak cerah
(mendung atau berkabut), maka cukup satu orang yang adil,
berakal, baliqh (kesaksian). Dan tidak perlu mengucap

Imam Maliki

ashadu.
Yang melihat hilal itu orang banyak, maka wajib puasa,
sekalipun orang yang melihat hilal itu tidak semuanya adil.
Bahwa yang melihat hilal itu 2 orang yang adil.Kalau yang
melihat hilal hanya 1 orang (laki-laki), maka yang wajib

Imam Syafii

puasa hanya dia sendiri.


Melihat oleh orang yang adil, walaupun hanya 1 orang (baik
laki-laki atau perempuan) dan wajib mengucap ashadu.Kalau
yang melihat hilal itu orang yang tidak adil (baik laki-laki

Imam

atau perempuan) maka puasa wajib hanya bagi dirinya.


Diterima,apabila hilal itu dilihat (perkadaan) 1 orang

Hambali

mukallaf (laki-laki atau perempuan, merdeka atau hamba)


yang adil, baik adil secara zhahir maupun secara batin. Baik
cuaca cerah atau mendung dan mengucapkam ashadu.
Kesimpulan hukum bahwa permulaan puasa itu harus
berdasarkan atas rukyat bila cuaca cerah, dan atas dasar
istikmal (menggenapkan jumlah bilangan bulan Sya'ban) bila
cuaca buruk, misalnya karena mendung sehingga tidak
memungkinkan dilakukan rukyat.

25 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010,


hlm. 11

21

3. Perbedaan Pendapat Tentang Penentuan Niat Puasa


Sebagaimana diketahui, bahwa niat itu adalah salah satu rukun dri puasa,
namun bukan saja puasa, tetapi semua ibadah harus dimulai dengan niat yang
ikhlas kepada Allah.Nabi bersabda:
( ) ......
Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat (HR. Bukhari
Muslim)
Mengenai waktu niat, terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut:
Imam Maliki
Imam

Disyaratkan sahnya niat, pada malam hari, dan boleh

berniat pada terbit fajar.


Syafii Disyaratkan untuk puasa Ramadhan atau puasa yang lain

dan Ahmad bin (seperti puasa qadha, nadzar). Maka dia harus menetapkan
Hambali
Hanafi

niat puasa pada waktu malam hari.


Bagi orang yang berpuasa, lebih afdhal berniat pada terbit
fajar jika memungkinkan, atau pada malam hari.

D. Ruang Lingkup Kajian Fiqh


Berdasarkan berbagai pemaparan diatas, terutama berbagai definisi yang
dipaparkan oleh para ulama ahli ushul fiqh, dapat diketahui ruang lingkup
kajian (maudhu) dari ushul fiqh secara global diantaranya:26
1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
3. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
4. Syarat syarat orang yang berwenang melakukan istinbat (mujtahid)
dengan berbagai permasalahannya.
Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya yang bertajuk Al-Mustashfa (tanpa tahun,
1:8) ruang lingkup kajian ushul fiqh ada empat, yaitu:
1. Hukum-hukum syara karena hukum syara adalah tsamarah (buah atau
hasil) yang dicari oleh ushul fiqh.
2. Dalil-dalil hukum syara seperti al-kitab, ijma karena semuanya ini adalah
mutsmir (pohon).
26 Ade Dede Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, STAIN Press, Pekalongan,
2006, hlm. 10

22

3. Sisi penunjukan dalil-dalil (wujuh dalalah al-adillah) karena ini adalah


thariq al-istitsmar (jalan atau proses pembuahan). Penunjukkan dalil-dalil
ini ada empat yaitu, dalalah bil-manthuq (tersurat), dalalah bil-mafhum
(tersirat), dalalah bil-dharurat (kemadharatan), dan dalalah bil-mana almaqul (makna rasional).
4. Mustatsmir (yang membuahkan) yaitu mujtahid yang menetapkan hukumhukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan mujtahid adalah
muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga harus menyebutkan
syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.27
E. Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Fiqh dan Manfaatnya Bagi
Kehidupan
Agama Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan.
Rasulullah Saw pernah memerintahkan kepada orang yang sedang membaca
Al-quran agar menghentikan bacaanya apabila bacaanya itu akan
menimbulkan perpecahan.28 Hadist tersebut Rasulullah katakan, karena
Rasulullah takut dengan adanya perselisihan dan akan menimbulkan
perpecahan antar umat. Keutamaan membaca Al-quran sangat besar,
bahkan setiap huruf yang dibaca akan mendapat ganjaran sepuluh kebaikan.
Rasulullah mengajarkan kepada kita, bahwa setiap suatu kebaikan yang
dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan lebih baik tidak diteruskan.
Pada zaman Rasulullah Saw juga pernah menyuruh sahabat membubarkan
majelis jika pada saat itu terjadi perselisihan. Jika suatu perselisihan
menyangkut tentang pemahaman makna, kita harus berpegang teguh kepada
paham yang akan membawa persatuan umat. Jika terjadi suatu perselisihan
yang akan menimbulkan perpecahan di antara umat, hendaklah ditinggalkan
dan berpegang teguhlah kepada seseorang yang mengerti tentang hal
tersebut yang akan membawa persatuan. Rasulullah Saw bersabda, Jika
27 Ibid, hlm. 11
28 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat, Robbani Press,
Jakarta, 2008, hlm. 44

23

kamu melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mentasyabih dari


Al-quran, hendaklah kamu waspada kepada mereka.29
Hadits tersebut Rasulullah Saw menganjurkan untuk selalu
memegang teguh persatuan dan mengcam perpecahan dan perselisihan, serta
melarang memperdebatkan Al-quran tanpa ada suatu kebenaran. Bagi ilmu
fiqh, perbedaan pendapat sudah bukan hal yang baru. Semua mempunyai
argumen masing-masing yang tidak terlepas dari Al-quran dan Hadits.
Sebagai hamba yang beriman kita harus bisa menerima perbedaan pendapat
tersebut karena itu merupakan hakikat-Nya. Kita perlu menanggapinya
secara wajar dan menjunjung tinggi rasa toleransi serta menjalin interaksi
terhadap golongan yang tidak sepaham dengan kita.
Pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan adalah wajib bagi
seluruh umat muslim, karena begitu pentingnya peran persatuan umat.
Persatuan akan memperkuat orang-orang yang lemah dan menambah
kekuatan bagi orang-orang yang kuat. Satu batang lidi akan mudah
dipatahkan dari pada sekumpulan batang lidi. Allah Swt berfirman dalam
surat ash-Shaff yang artinya, Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang
yang berperang di jalan-Nya berbaris seolah-olah mereka satu bangunan
yang kokoh.30
Menyikapi perbedaan pendapat memang sedikit sulit, karena banyak
diantara

umat

sering

mementingkan

egoisme

masing-masing

dan

menganggap bahwa merekalah yang paling benar. Perbedaan pendapat dapat


disikapi sebagai berikut:
1. Ikhlas karena Allah dan harus terbebas dari hawa nafsu.31 Hawa nafsu
hanya akan menyesatkan manusia dari jalan Allah. Allah Swt berfirman
29 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat, Robbani Press,
Jakarta, 2008, hlm. 45
30 Ash-Shaff [61] : 4

24

dalam surat an-Nahl yang artinya, Apa yang di sisimu akan lenyap dan
apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.32 Ayat tersebut mengajarkan
kepada kita, bahwa apa yang kita banggakan akan lenyap, begitupun
dengan pendapat kita.
2. Pentingnya meninggalkan fanatisme berlebihan terhadap individu.33
Seseorang yang fanatik terhadap pendapat pribadi, pendapat orang lain,
terhadap mazhab, terhadap kelompok atau golongan biasanya ia akan
senantiasa mempertahankan pendapatnya sekalipun ada bukti yang kuat
yang bisa mematahkan pendapatnya tersebut. Ia akan senantiasa
mengikuti hawa nafsunya dan bisa melecehkan orang lain.
3. Selalu berprasangka baik kepada orang lain.34 Satu hal yang penting
adalah pendapat yang kita yakini benar selalu ada kemungkinan untuk
salah. Allah Swt berfirman dalam surat al-Hujarat yang artinya, Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa35
4. Tidak menyakiti dan mencela.36 Islam adalah agama yang jauh dari
kekerasan. Selalu gunakan bahasa yang halus yang tidak menyakiti
perasaan orang lain.
5. Menjauhi permusuhan yang sengit.37 Perdebatan dalam perbedaan
pendapat memang sulit untuk dihindari. Membantah dengan logika dan
31 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat, Robbani Press,
Jakarta, 2008, hlm. 86
32 An-Nahl [19]:96
33 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat, Robbani Press,
Jakarta, 2008, hlm. 98
34 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat, Robbani Press,
Jakarta, 2008, hlm. 107
35 Al-Hujurat [49] : 12
36 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat, Robbani Press,
Jakarta, 2008, hlm. 115

25

argumentasi yang bijak dan penuh pertimbangan. Jauhi perdebatan yang


akan menjatuhkan dan mengalahkan lawan.
6. Dialog dengan cara yang baik.38 Dialog yang baik adalah dialog yang
tidak menjatuhkan dan mengalahkan lawan. Pendapat selalu diperkuat
dengan bukti yang kuat dan relevan.
Perselisihan dalam masalah fiqh serta dan dalam persoalan-persoalan
kecil, jangan dianggap sebagai suatu penghalang untuk persatuan, saling
toleransi adalah kunci utama dalam menghadapi perbedaan. Saling
menyatukan barisan antar umat bahkan antar kelompok untuk menghadapi
musuh Islam dan mewujudkan tujuan besar yang disepakati oleh semua
pihak.
Manfaat bila kita menyikapi perbedaan ini adalah tetap terjaganya
kesatuan dan persatuan umat, umat Islam tetap kokoh dalam menerjang
ombak badai kehidupan, dan terciptanya rasa kasih sayang antar umat.

37 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat, Robbani Press,


Jakarta, 2008, hlm. 124
38 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat, Robbani Press,
Jakarta, 2008, hlm. 130

26

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi dapat kita simpulkan ushul fiqh mempunyai pengertian
sebagai ilmu yang menjelaskan kepada mujtahid tentang
jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil hukumhukum dari nash dan dari dalil-dalil lain yang disandarkan
kepada nash itu sendiri seperti Al-quran, As-sunnah, Ijma,
Qiyas, dan lain-lain.
Objek kajian Ushul Fiqh membahas tentang hukum syara,
tentang
sumber-sumber
dalil
hukum,
tentang
cara
mengistinbathkan hukum dan sumber-sumber dalil itu serta
pembahasan tentang ijtihad dengan tujuan mengemukakan
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang mujtahid,
agar mampu menggali hukum syara secara tepat dan lainlain.
Ruang lingkup ushul fiqhyang dibahas secara global adalah
sebagai sumber dan dalil hukum dengan berbagai
permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan
dalil hukum tersebut dan lain-lain.
Perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu ushul fiqh adalah
kalau ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari suatu
perbuatan, sedangkan ilmu ushul fiqh berbicara tentang
metode dan proses bagaimana menemukan hukum itu sendiri.

27

DAFTAR PUSTAKA
Afif, Abdul Wahab. 1995. Pengantar Studi Perbandingan Madzhab. Jakarta:
Darul Ulum Press
Al-Bugha, Mushthafa, Mushthafa Al-Khan & Ali Al-Syurnaji. 2012. Fiqh
Manhaji: Kitab Fiqh Lengkap Imam Syafii. Yogyakarta: Darul Uswah
Anwar, Syahrul. 2010. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Bogor: Ghalia Indonesia
Asmawi. 2006. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: UIN Jakarta Press
As-Saayis, Syekh Muhammad Ali. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan
Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Haq, Abdul dkk. 2009. Formulasi Nalar Fiqh. Surabaya: Santri Salaf
Majelis Syura Partai Bulan Bintang. 2008. Syariat Islam dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zuhaili, Wahbah. 2012. Fiqh Imam Syafi1 Edisi Indonesia. Jakarta Timur:
Almahira
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Press
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2008. Fiqh Perbedaan Pendapat. Jakarta: Robbani Press
Hanafi, Ahmad.1989. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Al-Jaizany, Muhammad bin Husain bin Hasan. 1416 H. Maalim Ushul al-Fiqh
inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah. Dar Ibnu al-Jauzi: Riyadh KSA.
Cetakan ke-1
Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh Cetakan 1. Jogjakarta: ArRuzz Media

28

Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar) Cetakan 3.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hamid, Homaidi. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Q-media
Zahrah, Muhammad Abdul. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Aglensindo

29

Anda mungkin juga menyukai