TAENIA SAGINATA
SYAHRUL FARDI
OKTA HILDA KADAR
LABORATORIUM PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2016
TAENIA SAGINATA
ETIOLOGI
Morfologi Taenia saginata dan Cysticercus bovis
Sistematika atau klasifikasi Taenia saginata
di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen
gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen gravid Taenia saginata lebih
cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi.
Rata- rata produksi telur T. saginata berkisar antara 150.000 telur per hari per
segmen (Fyod dan Ground, 1959 disitasi Mc. Fadden dkk, 2011).
Proglotid mature T. saginata yang diwarnai dengan carmine (kiri) dan india ink
(kanan) dengan jumlah cabang uterus >12 (CDC, 2013)
Cysticercus bovis yang terdapat pada jaringan yang diwarnai dengan metode IHK
(panah biru menunjukkan scolex T. saginata dan panah merah menunjukkan
dinding kantong empedu) (Scandrett, 2007)
terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot skele atau ranggak (Mizzono
dkk., 2002). Dalam waktu 60-70 hari pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi
larva sistiserkus yang infeksius.
Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang
masak, yang mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia, skoleks akan
mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding
usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila.
Dalam waktu 10-12 minggu atau 3 bulan, cacing T. saginata menjadi dewasa dan
mampu memproduksi telur.
DIAGNOSA
Pemeriksaan feses atau coprokopis merupakan pemeriksaan dasar untuk
mengetahui keberadaan dari agen penyakit yang disebabkan oleh parasit.
Diagnosis T. saginata bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi
proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop (coproskopis). Telur
cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio.
Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan
metode uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya
dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi
berdasarkan scolex dan proglotidnya. Sedangkan untuk pemeriksaan sistiserkosis
agak sulit dilakukan pada hewan hidup, biasanya dilakukan secara postmortem
dengan melakukan pemeriksaan karkas atau daging (Soares dkk., 2011; Hill dkk.,
2014). Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada lidah sapi dengan
melakukan palpasi akan teraba benjolan atau nodul di bawah jaringan kulit atau
intramuskular. Palpasi adalah merupakan satu-satunya cara deteksi ante mortem
pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di daerah endemis pada negara
yang berkembang (Gonzalez dkk., 2001). Meskipun diagnosis sistiserkosis bisa
dilakukan dengan cara palpasi pada lidah hewan dan telah dilaporkan sangat
spesifik, tetapi sensitivitasnya sedang, terutama pada hewan yang infeksinya
ringan (Gonzalez dkk., 1990)
Semakin berkembangannya zaman dan teknologi, maka semakin banyak
metode yang dapat digunakan untuk diagnosa taeniasis maupun sistiserkosis baik
pada manusia maupun hewan. Pada manusia, diagnosis Taeniasis dilakukan selain
dengan menemukan telur cacing atau proglotid dalam feses, juga bisa dilakukan
dengan cara pemeriksaan serologi yaitu dengan ELISA, Enzyme linked
Immunoelectro
Transfer
Blot
(EITB),
Complement
fixation
dan
TERAPI
Banyak
dilaporkan
bahwa
kasus
taeniasis
pada
manusia
tidak
menunjukkan gejala klinis atau asimptomatis, kecuali pada kasus anal pruritis
ditemukan segmen tubuh T. saginata yang keluar dari anus. A kan tetapi pada
kasus infeksi berat menunjukkan gejala seperti kehilangan berat badan, anoeksia,
ketidaknyamanan pada perut, dan gangguan pencernaan (Gracey dkk., 1999
disitasi Megersa dkk., 2010). Selain itu, banyak dilaporkan kasus seperti obtruksi
usus buntu, duktus pankreatik, atau ditemukannnya bagian tubuh T. saginata
(prologtid) pada duktus empedu (Collier dkk., 1998 disitasi Patel dan Tatar, 2007).
Pada sapi sistiserkosis juga tidak menunjukkan gejala atau asimptomatis.
Pada sapi yang terinfeksi berat menunjukkan gejala penurunan berad badan,
daging keras dan kaku. Dengan adanya C. bovis pada otot atau organ visceral akan
menyebabkan turunnya nilai ekonomis karkas dan
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang efektif menghancurkan
sistirserkus yang terdapat di dalam karkas, meskipun telah dilaporkan bahwa pada
saat
percobaan
menghancurkan
secara
eksperimental
pada
sapi
praziquantel
efektif
sakit kepala dan perut. Pemberian praziquantel dengan dosis tunggal 10 mg/kg
menunjukkan hasil positif dengan tingkat kesembuhan 99% pada kasus infestasi
T. saginata. Praziquantel meliki kerja yang cepat melalui dua cara yaitu (1) pada
kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot cacing, karena
hilangnya Ca2+ intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis spastik yang
sifatnya reversibel, yang mungkin menngakibatkan cacing terlepas dari
tempatnya; (2) pada dosis terapi yang lebih tinggi praziquantel mengakibatkan
vakuolisasi dan vesikulasi tegumen cacing, sehingga isi cacing keluar, mekanisme
pertahanan tubuh host dipacu dan terjadi kehancuran cacing (Syarief dan
Elisabeth, 2011).
Niclosamide juga dilaporkan efektif mengobati taeniasis dengan tingkat
kesembuahn 90% dan tidak ditemukan efek samping pada saat dilakukan
observasi terhadap pasien. Niclosamide diberikan dalam bentuk dosis tunggal
empat tablet (2 g) dikunyah dan diberikan pada pagi hari sebelum sarapan. Tetapi
untuk saat ini niclosamide belum tersedia di Indonesia. Walaupun niclosamide
tidak memiliki efek samping akan tetapi penggunaannya harus diperhatikan
karena niclosamide tidak merusak telur hanya menghancurkan scolex dan tubuh
cacing, sehingga telur cacig tersebut tetap berada dalam usus dan akan
menyebabkan autoinfeksi (Syarief dan Elisabeth, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Abunna, F., G. Tilahun, B. Megersa, and A. Regassa. 2007. Taeniasis and its
socio economic implication in Awassa town and its surroundings, Southern
Ethiopia. East African journal of public health. 4 (2): 73-79.
CDC. 2013. Taeniasis. http://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/. Di akses tanggal 11
Januari 2016.
CDC. 2013. Taeniasis. http://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/gallery.html#scoleces.
Di akses tanggal 12 Januari 2016.
Dorny, P., I. Phiri, S. Gabriel, N. Speybroecka, and J.Vercruysse. 2002. A sero
epidemiological study of cattle cysticercosis in Zambia. Veterinary
Parasitology. 104 (3): 211-215.
Estuningsih, S.E. 2009. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis
parasiter. Wartazoa. 19(2): 84-92.
Gonzalez, A.E., C. Gavidia, N. Falcon, T. Bernal, M. Verastequi, H.H. Garcia,
R.H. Gilman, and V.C.W. Tsang. 2001. Protection of pigs with
cysticercosis from further infections after treatment with oxfendazole. Am.
J. Trop. Med. Hygiene. 65(1): 15-18.
Gonzalez, A.E., V. Cama, R.H. Gilman, V.C.W. Tsang, J.B. Pilcher, A. Chavera,
M. Castro, T. Montenegro, M. Virastequi, E. Miranda, and H. Bazalar.
1990. Prevalence and comparison of serologic assays, necropsy and
tongue examination for the diagnosis of porcine cysticercosis in Peru. Am.
J. Trop. Med. Hygiene 43(2): 194-199.
Hill, A.A. , V. Horigan, K.A. Clarke, T.C.M. Dew, K.D.C. Strk, S. OBrien, and
S. Buncic. 2014. A qualitative risk assessment for visual-only post-mortem
meat inspection of cattle, sheep, goats and farmed/wild deer. Food
Control. 38: 96-103.
Ito, A., M. Nakao, T. Wandra, T. Suroso, M. Okamoto, H. Yamasaki, Y. Sako, and
K. Nakaya. 2005.Taeniasis and cysticercosis in Asia and The Pacific:
present state of knowledge and perspectives. Southeast Asian J. Trop.
Med. Public Health. 36(4): 123-130.
Kandil, O.M., H.A. Fahmy, K.A. Abdelrahman, and A.E. El-Hakim. 2014.
Phylogenetic Placement of Egyptian Taenia saginata and Cysticercus
bovis. Global Veterinaria. 13 (5): 779-786.
Lopes, W.D.Z., B.C. Cruz, V.E. Soares, J.L.N. Nunes, W.F.P. Teixeira, W.G.
Maciel, C. Buzzulini, J.C.M. Pereira, G. Felippelli, V.T. Soccol, G.P de
Oliveira, and A.J. da Costa. 2014. Historic of therapeutic efficacy of