Anda di halaman 1dari 13

Paper Parasitologi Ko asistensi PPDH Gel XI

TAENIA SAGINATA

SYAHRUL FARDI
OKTA HILDA KADAR

LABORATORIUM PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2016

TAENIA SAGINATA

Infeksi cacing pita atau taeniasis pada manusia disebabkan oleh T.


Saginata, kejadian ini dilaporkan terjadi hampir diseluruh dunia, terutama di
Eropa dan Asia yang penduduknya yang gemar mengkonsumsi daging sapi
mentah (Schwartz, 2009 disitasi ) atau setengah matang yang mengandung larva
T. saginata yaitu Cysticercus bovis yang menyebabkan sistiserkosis (Estuningsih,
2009). Sapi yang terinfeksi Cysticercus bovis ini juga dapat ditemukan hampir
diseluruh dunia, dengan tingkat prevalensi yang rendah di negara maju, moderat
di negara-negara Asia selatan dan tinggi di negara-negara Sub Sahara Afrika
(Taresa dkk., 2011; Dharmawan dkk., 2013; Abunna dkk., 2007). Sedangkan di
Indonesia dilaporkan bahwa terdapat tiga provinsi yang berstatus endemi penyakit
taeniasis dan sistiserkosis yaitu Sumatra utara, Papua dan Bali (Ito dkk., 2005),
lebih lanjut dijelaskan daerah utama endemi penyakit taeniasis dan sistiserkosis di
Indonesia yang disebabkan oleh T. saginata dan Cysticercus bovis yaitu Bali,
dengan tingkat prevalensi 27,5% di kabupaten Gianyar (Wandra dkk., 2006).
Sutisna dkk. (1999) melaporkan bahwa dari tiga desa yang diidentifikasi, dua
diantara desa tersebut masyarakatnya menderita taeniasis yang disebabkan oleh T.
saginata dan satu desa lagi disebabkan oleh T. Solium.
Keberadaan cacing pita pada manusia telah diketahui sejak lama.
Hubungan T. saginata dengan C. bovis pada sapi telah dibuktikan Leukart pada
1861 yang berhasil menginfeksi proglotid gravid T. saginata pada pedet
(Pawlowski dan Schultz, 1972).

ETIOLOGI
Morfologi Taenia saginata dan Cysticercus bovis
Sistematika atau klasifikasi Taenia saginata

adalah sebagai berikut :

kingdom Animalia, filum Platyhelminthes, kelas Cestoidea, ordo Cyclophyllidea,


famili Taeniidae, genus Taenia, species T. saginata.
Taenia saginata adalah cacing pita atau cestoda penyebab taeniasis pada
manusia dan sistiserkosis pada sapi. Predileksi T. saginata dalam tubuh manusia
yaitu di usus halus, sedangkan Cystisercus bovis di dalam otot skeleton,
diagfragma, dan jantung, jika infeksi berat C. bovis dapat ditemukan diseluruh
jaringan tubuh. Mizzono dkk. (2002) mejelskan lebih lanjut distribusi C. bovis
daalm jaringan tubuh sapi yang dinfeksikan telur T. saginata, yaitu terdapat pada
otot hiodeos (0,28%), ginjal (0,43%), lidah (1 %), hati (1,71%), paru-paru
(2,14%), diapragma (2,56%),otot masester (3,56), jantung (6,98%), otot wajah
(46%), dan otot paha (35,33%).
Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar dan dapat
mencapai panjang 4-8 meter. Scolex berbentuk segiempat, dengan garis tengah
1,5-2 milimeter, dan mempunyai 4 alat isap atau sucker. T. saginata tidak
memiliki rostellum maupun hooks pada bagian scolex, dan terdiri dari 2000
strobila dengan masing-masing strobila memiliki 18-32 cabang uterus (Pawlowski
dan Schultz, 1972). Proglotid mature mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran
lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital
terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus
berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai 1832 cabang

di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen
gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen gravid Taenia saginata lebih
cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi.
Rata- rata produksi telur T. saginata berkisar antara 150.000 telur per hari per
segmen (Fyod dan Ground, 1959 disitasi Mc. Fadden dkk, 2011).

Taenia saginata (CDC, 2013)

Proglotid mature T. saginata yang diwarnai dengan carmine (kiri) dan india ink
(kanan) dengan jumlah cabang uterus >12 (CDC, 2013)

Cysticercus bovis panjangnya berukuran 6 sampai 9 mm, dan diameternya


sekitar 5 mm ketika sudah berkembang sempurna. Predileksi pada otot-otot dan
organ visceral. Pawlowski dan Murrel (2001) disitasi Scandrett (2007),
menjelaskan sistiserkus T. saginata berbentuk oval, dengan ukuran berkisar antara
0,5-1 x 0,5 cm dan memiliki scolex tanpa rostellum maupun hooks.

Cysticercus bovis yang terdapat pada jaringan yang diwarnai dengan metode IHK
(panah biru menunjukkan scolex T. saginata dan panah merah menunjukkan
dinding kantong empedu) (Scandrett, 2007)

Siklus hidup T. saginata

Manusia bertindak sebagai host defenitif T. saginata yang hidup dalam


usus halus, sedangkan sapi sebagai host intermediet, dengan bentuk larva
metacestoda (C. bovis) yang hidup di otot skeleton. Cacing T. saginata dewasa
dalam tubuh manusia setelah 10-12 minggu pasca infeksi.
Cacing dewasa yang hidupdalam usus halus manusia kemudian
melepaskan segmen (proglotid) gravid yang mengandun telur keluar bersama
feses. Apabila telur cacing yang matur mengkontaminasi tanaman rumput atau
pun peternakan dan termakan oleh sapi, telur akan pecah di dalam usus host
intermediet dan mengakibatkan lepasnya onkosfer. Onkosfer menembus dinding
usus, masuk ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh sapi,

terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot skele atau ranggak (Mizzono
dkk., 2002). Dalam waktu 60-70 hari pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi
larva sistiserkus yang infeksius.
Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang
masak, yang mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia, skoleks akan
mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding
usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila.
Dalam waktu 10-12 minggu atau 3 bulan, cacing T. saginata menjadi dewasa dan
mampu memproduksi telur.

DIAGNOSA
Pemeriksaan feses atau coprokopis merupakan pemeriksaan dasar untuk
mengetahui keberadaan dari agen penyakit yang disebabkan oleh parasit.
Diagnosis T. saginata bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi
proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop (coproskopis). Telur
cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio.
Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan
metode uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya
dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi
berdasarkan scolex dan proglotidnya. Sedangkan untuk pemeriksaan sistiserkosis
agak sulit dilakukan pada hewan hidup, biasanya dilakukan secara postmortem
dengan melakukan pemeriksaan karkas atau daging (Soares dkk., 2011; Hill dkk.,
2014). Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada lidah sapi dengan

melakukan palpasi akan teraba benjolan atau nodul di bawah jaringan kulit atau
intramuskular. Palpasi adalah merupakan satu-satunya cara deteksi ante mortem
pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di daerah endemis pada negara
yang berkembang (Gonzalez dkk., 2001). Meskipun diagnosis sistiserkosis bisa
dilakukan dengan cara palpasi pada lidah hewan dan telah dilaporkan sangat
spesifik, tetapi sensitivitasnya sedang, terutama pada hewan yang infeksinya
ringan (Gonzalez dkk., 1990)
Semakin berkembangannya zaman dan teknologi, maka semakin banyak
metode yang dapat digunakan untuk diagnosa taeniasis maupun sistiserkosis baik
pada manusia maupun hewan. Pada manusia, diagnosis Taeniasis dilakukan selain
dengan menemukan telur cacing atau proglotid dalam feses, juga bisa dilakukan
dengan cara pemeriksaan serologi yaitu dengan ELISA, Enzyme linked
Immunoelectro

Transfer

Blot

(EITB),

Complement

fixation

dan

haemagglutination dan PCR (Polymerase Chain Reaction) (Rodriquez-Hidalgo


dkk., 2002; Kandil dkk., 2014). Pemeriksaan diagnostik terbaik untuk taeniasis
intestinal adalah deteksi koproantigen ELISA yang dapat mendeteksi molekul
spesifik dari taenia pada sampel feses yang menunjukkan adanya infeksi cacing
pita. Sensitivitas dari ELISA sekitar 95% dan efektivitasnya sekitar 99%.

TERAPI
Banyak

dilaporkan

bahwa

kasus

taeniasis

pada

manusia

tidak

menunjukkan gejala klinis atau asimptomatis, kecuali pada kasus anal pruritis
ditemukan segmen tubuh T. saginata yang keluar dari anus. A kan tetapi pada

kasus infeksi berat menunjukkan gejala seperti kehilangan berat badan, anoeksia,
ketidaknyamanan pada perut, dan gangguan pencernaan (Gracey dkk., 1999
disitasi Megersa dkk., 2010). Selain itu, banyak dilaporkan kasus seperti obtruksi
usus buntu, duktus pankreatik, atau ditemukannnya bagian tubuh T. saginata
(prologtid) pada duktus empedu (Collier dkk., 1998 disitasi Patel dan Tatar, 2007).
Pada sapi sistiserkosis juga tidak menunjukkan gejala atau asimptomatis.
Pada sapi yang terinfeksi berat menunjukkan gejala penurunan berad badan,
daging keras dan kaku. Dengan adanya C. bovis pada otot atau organ visceral akan
menyebabkan turunnya nilai ekonomis karkas dan
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang efektif menghancurkan
sistirserkus yang terdapat di dalam karkas, meskipun telah dilaporkan bahwa pada
saat

percobaan

menghancurkan

secara

eksperimental

pada

sapi

praziquantel

efektif

C. bovis (Taylor dkk., 2007), sedangkan Lopes dkk. (2014)

melaporkan bahwa pada percobaan yang dilakukan dengan menginfeksikan telur


T. saginata pada sapi, menunjukkan hasil pada kadar terapi albendazole dapat
menghancurkan Cysticercus bovis dengan tingkat kesembuhan 98% , dengan dosis
2,5 mg/kg secara subkutan (SC). Selain itu, obat yang ampuh untuk digunakan
menghancurkan C. bovis tidak ekonomis bagi peternak (produsen) dan RPH, dan
residu dalam obat tersebut dapat berefek terhadap ekspor impor daging (Dorny
dkk., 2002).
Hamid dkk. (2005) melaporkan bahwa praziquatel adalah obat yang efektif
terhadap taeniasis dan sistiserkosis dengan efek samping ringan, seperti nausea,

sakit kepala dan perut. Pemberian praziquantel dengan dosis tunggal 10 mg/kg
menunjukkan hasil positif dengan tingkat kesembuhan 99% pada kasus infestasi
T. saginata. Praziquantel meliki kerja yang cepat melalui dua cara yaitu (1) pada
kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot cacing, karena
hilangnya Ca2+ intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis spastik yang
sifatnya reversibel, yang mungkin menngakibatkan cacing terlepas dari
tempatnya; (2) pada dosis terapi yang lebih tinggi praziquantel mengakibatkan
vakuolisasi dan vesikulasi tegumen cacing, sehingga isi cacing keluar, mekanisme
pertahanan tubuh host dipacu dan terjadi kehancuran cacing (Syarief dan
Elisabeth, 2011).
Niclosamide juga dilaporkan efektif mengobati taeniasis dengan tingkat
kesembuahn 90% dan tidak ditemukan efek samping pada saat dilakukan
observasi terhadap pasien. Niclosamide diberikan dalam bentuk dosis tunggal
empat tablet (2 g) dikunyah dan diberikan pada pagi hari sebelum sarapan. Tetapi
untuk saat ini niclosamide belum tersedia di Indonesia. Walaupun niclosamide
tidak memiliki efek samping akan tetapi penggunaannya harus diperhatikan
karena niclosamide tidak merusak telur hanya menghancurkan scolex dan tubuh
cacing, sehingga telur cacig tersebut tetap berada dalam usus dan akan
menyebabkan autoinfeksi (Syarief dan Elisabeth, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Abunna, F., G. Tilahun, B. Megersa, and A. Regassa. 2007. Taeniasis and its
socio economic implication in Awassa town and its surroundings, Southern
Ethiopia. East African journal of public health. 4 (2): 73-79.
CDC. 2013. Taeniasis. http://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/. Di akses tanggal 11
Januari 2016.
CDC. 2013. Taeniasis. http://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/gallery.html#scoleces.
Di akses tanggal 12 Januari 2016.
Dorny, P., I. Phiri, S. Gabriel, N. Speybroecka, and J.Vercruysse. 2002. A sero
epidemiological study of cattle cysticercosis in Zambia. Veterinary
Parasitology. 104 (3): 211-215.
Estuningsih, S.E. 2009. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis
parasiter. Wartazoa. 19(2): 84-92.
Gonzalez, A.E., C. Gavidia, N. Falcon, T. Bernal, M. Verastequi, H.H. Garcia,
R.H. Gilman, and V.C.W. Tsang. 2001. Protection of pigs with
cysticercosis from further infections after treatment with oxfendazole. Am.
J. Trop. Med. Hygiene. 65(1): 15-18.
Gonzalez, A.E., V. Cama, R.H. Gilman, V.C.W. Tsang, J.B. Pilcher, A. Chavera,
M. Castro, T. Montenegro, M. Virastequi, E. Miranda, and H. Bazalar.
1990. Prevalence and comparison of serologic assays, necropsy and
tongue examination for the diagnosis of porcine cysticercosis in Peru. Am.
J. Trop. Med. Hygiene 43(2): 194-199.
Hill, A.A. , V. Horigan, K.A. Clarke, T.C.M. Dew, K.D.C. Strk, S. OBrien, and
S. Buncic. 2014. A qualitative risk assessment for visual-only post-mortem
meat inspection of cattle, sheep, goats and farmed/wild deer. Food
Control. 38: 96-103.
Ito, A., M. Nakao, T. Wandra, T. Suroso, M. Okamoto, H. Yamasaki, Y. Sako, and
K. Nakaya. 2005.Taeniasis and cysticercosis in Asia and The Pacific:
present state of knowledge and perspectives. Southeast Asian J. Trop.
Med. Public Health. 36(4): 123-130.
Kandil, O.M., H.A. Fahmy, K.A. Abdelrahman, and A.E. El-Hakim. 2014.
Phylogenetic Placement of Egyptian Taenia saginata and Cysticercus
bovis. Global Veterinaria. 13 (5): 779-786.
Lopes, W.D.Z., B.C. Cruz, V.E. Soares, J.L.N. Nunes, W.F.P. Teixeira, W.G.
Maciel, C. Buzzulini, J.C.M. Pereira, G. Felippelli, V.T. Soccol, G.P de
Oliveira, and A.J. da Costa. 2014. Historic of therapeutic efficacy of

albendazol sulphoxide administered in different routes, dosages and


treatment schemes, against Taenia saginata cysticercus in cattle
experimentally infected. Experimental Parasitology. 137: 14-20.
McFadden, A.M.J., D.D. Heath, C.M. Morley, and P. Dorny. 2011. Investigation
of an outbreak of Taenia saginata cysts (cysticercus bovis) in dairy cattle
from two farms. Veterinary Parasitology. 176: 177-184.
Megersa, B., E. Tesfaye, A. Regassa, R. Abebe, dan F. Abunna. 2010. Bovine
cysticercosis in cattle slaughtered at Jimma municipal abattoir, South
Western Ethiopia : prevalence, cyst viability and its socio-economic
importance. Veterinary World. 3(6): 257-262.
Mizzono, J.C., R.L.F. Gusso, E.A. de Castro, O. Lago, and V.T. Soccol. 2002.
Experimental bovine infection with Taenia saginata eggs : recovery rates
and cysticerci location. Brazilian Archives of Biology and Technology.
45(4): 451-455.
Patel, N.M. and E.L. Tatar. 2007. Unusual colonoscopy finding: Taenia saginata
proglottid. World J Gastroenterol. 13(41): 5540-5541.
Pawlowski, Z. and M.G. Schultz. 1972. Taeniasis and Cysticercosis (Taenia
saginata). In : Advances In Parasitology. Vol 10. Editor Ben Dawes.
Academic press, London.
Rodriguez-Hidalgo, R., D. Geysen, W. Bentez-Ortiz, S. Geerts, and J. Brand.
2002. Comparison of conventional techniques to differentiate between
Taenia solium and Taenia saginata and an improved polymerase chain
reaction-restriction fragment length polymorphism assay using a
mitochondrial 12s rDNA fragment. J. Parasitol. 88(5): 10071011.
Scandrett, W.B. 2007. Improved Postmortem Diagnosis of Taenia saginata
Cysticercosis. Thesis. Degree of Masters of Sciencein the Department of
Veterinary Microbiology, University of Saskatchewan, Saskatoon.
Soares, V.E., M.A. de Andrade Belo, P.C.B. Rezende,V.T. Soccol, R.T. Fukuda,
G.P. de Oliveira, and A J. da Costa. 2011. Distribution of Taenia saginata
metacestodes: a comparison of routine meat inspection and carcase
dissection results in experimentally infected calves. Annals of Tropical
Medicine & Parasitology. 105 (5): 393-401.
Sutisna, I.P., A. Fraser, I.N. Kapti, R. Rodriguez-Canul , D.P. Widjana, P.S. Craig,
and J.C. Allan.1999. Community prevalence study of taeniasis and
cysticercosis in Bali, Indonesia. Tropical Medicine and International
Health. 4(4): 288-294.Taylor, M.A., R.L Coop and R.L. Wall. 2007.
Veterinary Parasitology. 3th edition. Blackwell Publishing, Iowa.
Syarief, A. dan Elisabeth. Antihelmintik. Dalam : Farmakologi dan Terapi. Editor
Sulistia Gan Gunawan. UI Press, Jakarta.
Taresa, G., A. Melaku, B. Bogale, and M. Chanie. 2011. Cyst viability, body site
distribution and public health significance of bovine cysticercosis at
Jimma, South West Ethiopia. Global Veterinaria. 7(2): 164-168.
Wandra, T., P. Sutisna, N.S. Dharmawan, S.S. Margono, A.A.R. Sudewi, T.
Suroso, P.S. Craig, and A. Ito. 2006. High prevalence of Taenia saginata
taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia,
2002-2004. Trans R Soc Trop Med Hyg. 100(4): 346-353.

Anda mungkin juga menyukai