Anda di halaman 1dari 8

WUJUD KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA DALAM MEMUPUK

PENDIDIKAN KARATER SISWA


Karya : Anton Susilo
Mahasiswa P2TK Universitas Negeri Malang
085264854979
SMPN Satap 12 Tanjab Timur
antonqhaireen@gmail.com

Abstrak:Bahwa karya sastra memiliki nilai karakter yang dapat di jadikan media
pembelajaran.pemilihan buku karya sastra yang mengandung nilai karakter sangat di perlukan.guna
memberikan wawasan dan merangsang siswa agar berbudi pekerti luhur. Pada tataran sekolah, kriteria
pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan
keseharian, dan simbol-simbol yang diperaktikan oleh semua warga sekolah, dan masyrakat disekitar
sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
Kata Kunci: Sastra, Pendidikan karakter, dan wujud karya sastra sebagai Media.

1. PENDAHULUAN
Pada tanggal 19 Agustus 2015 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Anies Baswedan meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah Bahasa Penumbuh Budi Pekerti.
Peluncuran Gerakan Literasi Sekolah itu dilakukan secara simbolis dengan menyerahkan
buku paket bacaan untuk 20 sekolah di DKI Jakarta sebagai bahan awal kegiatan
literasi.Gerakan Literasi Sekolah dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun
2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Mendikbud mengatakan, Permendikbud tersebut
adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti anak.
Sementara itu, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud,
Mahsun, mengatakan Gerakan Literasi Sekolah ini bertujuan membiasakan dan memotivasi
siswa untuk mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti.
Karena itulah, buku-buku yang dibagikan untuk sekolah dalam Gerakan Literasi
Sekolah ini adalah buku-buku yang dapat menumbuhkan budi pekerti. Buku yang dijadikan
acuan sebagai bahan literasi di sekolah di antaranya buku cerita atau dongeng lokal, bukubuku yang menginspirasi seperti biografi tokoh lokal dan biografi anak bangsa yang
berprestasi, buku-buku sejarah yang membentuk semangat kebangsaan atau cinta tanah air.
"Kegiatan literasi ini tidak hanya membaca, tetapi juga dilengkapi dengan kegiatan menulis
yang harus dilandasi dengan keterampilan atau kiat untuk mengubah, meringkas,
memodifikasi, menceritakan kembali, dan seterusnya.
Sumber: http://kemdikbud.go.id/kemdikbut/berita/4514 di akses 20/4/2016
Terkait berita di atas, untuk mewujudkan program pemerintah dengan di berlakukanya
literasi bahasa sebagai penumbuh budi pekerti, dengan demikian untuk memberikan wawasan
anak mengenai budi pekerti yang berkaitan dengan pendidikan karakter diperlukan media
yang berupa buku-buku yang literaturnya terdapat nilai-nilai karakter. Maka dari itu penulis
akan menuangkan pendidikan karakter melalui dimensi sastra dengan topik wujud karya
sastra sebagai media dalam memupuk pendidikan karakter siswa. Pemilihan topik tersebut
didasari pertimbangan sebagai berikut.

Bahwa karya sastra memiliki nilai karakter yang dapat di jadikan media
pembelajaran.

pemilihan buku karya sastra yang mengandung nilai karakter sangat di perlukan.guna
memberikan wawasan dan merangsang siswa agar berbudi pekerti luhur.

2. TINJAUAN PUSTAKA
a. Pengertian Sastra
Secara hakiki sastra merupakan media pencerahan mental dan intelektual peserta
didik yang menjadi bagian terpenting di dalam pendidikan karakter, seperti kebangkitan suatu
bangsa kearah yang lebih baik, penguatan cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi
kekuatan moral bagi perubahan sosial budaya melalui kegiatan literasi sehingga budaya
membaca berkembang. Dengan demikian buku/materi bersastra yang harus diapresiasi siswa,
baik kegiatan mendengarkan, melisankan, membaca, maupun menulis yang dikembangkan
didalam kerikulum bahasa Indonesia yang mengarah pada pembentukan karakter sebagai
bagian terpenting didalam pendidikan karakter. Sastra sebagai cerminan keadaan Sosial
budaya bangsa haruslah diwariskan kepada generasi mudanya. Menurut Herfanda
(2008:131), sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah
perubahan, termasuk perubahan karakter. Selain mengandung keindahan, sastra juga memiliki
nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra berangkat
dari kenyataan sehingga lahirlah suatu paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan
kembali rsas kehidupan. Selain mengandung keindahan, karya sastra juga memiliki nilai
manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan karya sastra
berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah paradigma bahwa sastra yang baik
menciptakan kembali rasa kehidupan, baik bobotnya maupun susunannya; menciptakan
kembali keseluruhan hidup yang dihayati: kehidupan emosi, kehidupan budi, individu
maupun sosial, serta dunia yang sarat objek (Ismail dan Suryaman, 2006).
Sedangkan Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati
cipta sastra berupa teks maupun performansi. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara
langsung dapat terwujud dalam perilaku membaca,memahami,menikmati,serta mengevaluasi
teks sastra, baik yang berupa cerpen,novel,roman,naskah drama maupun teks sastra berupa
puisi.
Kegiatan langsung yang terwujud dalam kegiatan apresiasi sastra pada
perfomansinya, misalnya saat anda melihat, mengenal, memahami,ataupun memberikan
penilaian pada kegiatan membaca puisi, cerpen, pementasan drama, maupun pementasan di
panggung terbuka. Kedua bentuk inidalam hal ini perlu dilaksanakan secara sungguhsungguh, berulangkali, sehingga dapat melatih dan mengembangkan kepekaan pikiran dan
perasaan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra, baik yang dipaparkan lewat media
tulisan, lisan maupun visual.
Kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung dapat di tempuh dengan cara
mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di
majalah maupun koran.
Menurut E.E. Kellet (Aminuddin, 2014: 37) mengungkapkan bahwa pada saat ia
membaca karya sastra selalu berusaha menciptakan sikap serius tetapi dengan suasana bathin
riang. Penumbuhan sikap serius dalam membaca cipta sastra itu terjadi karna sastra lahir dari
daya kontemplasi bathin pengarang sehingga untuk memahaminya juga membutuhkan
pemilikan daya kontemplatif pembacanya.
b. Pengertian Karakter
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623) menjelaskan bahwa karakter
adalah sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari
yang lain; tabiat; watak. Karakter merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan

yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter juga merupakan cara berpikir
dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik
dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik
adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya. Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52
186) mengemukakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk
karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis,
(2) humanistis, (3) etis dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra
tersebut dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter
bangsa.
Sedangkan menurut Megawangi (2003), kualitas karakter meliputi sembilan pilar,
yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri;
(3) Jujur/amanah dan Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan
Gotong-royong; (6) Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8)
Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Orang yang memiliki karakter
baik
adalah
orang
yang
memiliki
kesembilan
pilar
karakter
tersebut.
Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya.
Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan
faktor lingkungan (nurture).
Menurut Confusius seorang filsuf terkenal Cina dalam Megawangi (2003)
menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila
potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka
manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi. Oleh karena itu, sosialisasi
dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan baik di keluarga, sekolah,
maupun lingkungan yang lebih luas sangat penting dalam pembentukan karakter seorang
anak. Karakter juga merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa,
maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya.
Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52186) mengemukakan bahwa genre sastra
yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang
mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis dan moral, dan (4)
religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang mampu mengoptimalkan
peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa.
Genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis adalah genre sastra yang
mengandung nilai keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan yang
dimungkinkan oleh segala unsur yang terdapat di dalam karya sastra. Dalam idiom estetis
Jawa Kuno, genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis disebut kalangwan
(Zoetmulder, 1985). Karya sastra klasik atau karya sastra yang menjadi sastra kanon (belle
lettres) mengandung nilai literer-estetis. Misalnya, puisi Taufiq Ismail (2008) yang terkumpul
dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 Himpunan Puisi 19532008 mengandung
nilai literer-estetis dengan seperangkat peranti puitis (diksi, rima, alur, gaya, majas, tema, dan
amanat) yang terpadu secara baik. Dengan nilai literer-estetis yang termuat dalam sastra
kanon tersebut, diharapkan karakter bangsa yang terbentuk adalah insan Indonesia yang
memiliki rasa keindahan, ketampanan, dan keanggunan dalam berpikir, berkata, dan
berperilaku sehari-hari.

Genre sastra yang mengandung nilai humanistis adalah genre sastra yang
mengandung nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan martabat manusia, serta
menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam menghadapi berbagai masalah. Kisah
klasik Ramayana dan Mahabarata, misalnya, menyajikan berbagai pengalaman hidup
manusia, seperti tragedi, maut, cinta, harapan, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup,
serta hal yang transendental. Nilai kemanusiaan yang begitu tinggi dalam karya sastra klasik
tersebut sering ditulis ulang (direproduksi) oleh penulis kemudian. Novel Anak Bajang
Menggiring Angin karya Sindhunata (1983) dan Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira
Aji Darma (2004) ditulis berdasarkan kisah Ramayana yang penuh nilai kemanusiaan
tersebut. Kehadiran karya sastra semacam itu diharapkan dapat membentuk kearifan budaya
bangsa Indonesia yang memiliki rasa perikemanusiaan yang adil, beradab, dan bermartabat.
Genre sastra yang mengandung nilai etis dan moral dalam karya sastra mengacu pada
pengalaman manusia dalam bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan yang
salah, serta bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan. Sudah
sejak dahulu karya sastra diperlakukan sebagai wahana penyimpan dan perawat nilai etis dan
moral, misalnya Ramayana, Mahabarata, Wulangreh (Pakubuana IV), Wedhatama
(Mangkunegara IV), dan Kalatidha (R.Ng. Ranggawarsito), sudah dianggap sebagai
penyimpan dan perawat norma etis dan moral yang ideal bagi masyarakat. Simpanan dan
rawatan norma etis dan moral tersebut dapat dijadikan wahana pembentukan karakter bangsa
yang lebih mengutamakan etika dan moral dalam bersikap dan bertindak sehari-hari.
Sastra religius-sufistis-profetis adalah genre sastra yang menyajikan pengalaman
spiritual dan transendental. Genre sastra yang demikian itu telah lama ada sehingga
Mangunwijaya (1982) menyatakan bahwa pada awalnya semua karya sastra adalah religius.
Semua sastra pada awalnya digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan
kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan, dan keadilan Tuhan yang Maha Esa. Kerinduan
manusia kepada Tuhan, bahkan hubungan kedekatan manusia dengan Tuhan, telah lama
ditulis dalam karya sastra para sufi, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Raniri, Al Halaj,
Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto. Taufiq Ismail
(2008) dalam bukunya, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4 Himpunan Lirik Lagu
19722008, telah menulis ratusan sajak religius-sufistis-profetis, termasuk 23 balada para
nabi dan rasul, yang dinyanyikan oleh Bimbo, Haddad Alwi, Armand Maulana, Gita Gutawa,
dan Chrisye. Kehadiran sastra tersebut dapat membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai
insan yang religius, penuh rasa berbakti, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pengertian Pendidikan Karakter
Menurut T. Lickona dalam Amri (2013:247) pendidikan karakter dapat diartikan
sebagai upaya untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan yang hasilnya
terlihat dalam tindakan nyata seseorang berupa tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung
jawab, menghormati hak orang lain, dan kerja keras. Dalam hal ini Russel Williams dalam
Amri (2013:247) mengilustrasikan karakter ibarat otot dimana otot-otot karakter akakn
menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih dan akan kuat dan kokoh apabila sering
digunakan. Karakter ibarat seorang binaragawan ( body builder ) yang erus menerus berlatih
untuk membentuk otot yang dikehendakinya. Sejatinya karakter sesuatu yang potensial dalam
diri manusia, kemudian akan aktual ketika terus menerus dikembangkan, dilatih melalui
proses pendidikan.
Menurut buchtar Buchori (2007) , pendidikan karakter seharusnya membawa peserta
didik kepengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara efektif, dan akhirnya
kepengalaman nilai secara nyata. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu

penyelengaraan dan hasil pendidikan disekolah yang mengarah pada pencapaian


pembentukan karakter dan ahlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang,
sesuai standar kompetensi lulusan. sekolah. Budaya sekolah merupakan cirri khas, karakter
atau watak dan citra sekolah disebut dimata masyarakat luas.
Selanjutnya Amri (2013:247) mengklasifikasikan pendidikan karakter menjadi 3
komponen utama antar lain:
a) Keberagaman; terdiri dari nilai-nilai
Kekhususan hubungan dengann tuhan
Kepatuhan kepada agama
Niat baik dan keiklasan
Perbuatan baik
Pembalasan atas perbuatan baik dan buruk
b) Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai
Harga diri
Disiplin
Etos kerja
Rasa tanggung jawab
Keberanian dan semangat
Keterbukaan
Pengendalian diri
c) Kesusilaan terdiri dari nilai-nilai
Cinta dan kasih saying
Kebersamaan
Kesetiakawanan
Tolong menolong
Tenggang rasa
Hormat menghormati
Kelayakan/kepatuhan
Rasa malu
Kejujuran
Pernyataan terima kasih dan permintaan maaf ( rasa tau diri)
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, yang diperaktikan oleh semua
warga sekolah, dan masyarakat disekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
d. Nilai
Nilai adalah sesuatu yang indah. Keindahan suatu nilai itu tergantung pada orang
yang mengunakan. Apakah nilai itu difungsikan dengan baik dan benar seperti nilai
kebenaran, nilai moral, nilai kemanusiaan,nilai pendidkan, dan nilai religius. Sebaliknya nilai
itu tidk akan berguna kearah yang negatif.
(KBBI, 2003:78) nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi
kemanusiaan dan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.
Sedangkan menurut kalean (2002:106) nilai (value) sebagai Sesuatu yang berharga dan
diperjuangkan karena berguna ( nilai pragmatis) benar (nilai logika), Indah ( nilai estetis) baik
( nilai moral) dan diyakini ( nilai religious).

Dari pendapat di atas , dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang berharga dan
diyakini oleh seseorang atau masyarakat sebagi acuan untuk bertindak.
e. Wujud Sastra sebagai Media Pendidikan Karakter
Sastra juga dapat dijadikan media untuk menyampaikan pesan kepada pembacanya.
Karena sastra secara sengaja dan sadar dipelihara untuk menjadi bahan informasi kepada
generasi berikutnya. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalalaman,
pemikiran, perasaan, semangat, dan keyakinan dalam bentuk gambaran kongkrit yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa ( Sugihastuti, 2002: 159).
Sebagai wujud bentuk sastra aliran fiksi, novel juga dapat digunakan sebagai media
untuk menyampaikan pesan kepada pembacanya. Novel merupakan sebuah karya sastra fiksi
menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan dunia imajinatif
yang dibangun melalui unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, penokohan, latar, sudut
pandang, yang kesemuanya itu tentu saja bersifat imajinatif, namun walau bersifat imajinatif
Nampak seperti nyata dan terjadi, sebab peristiwa-peristiwanya sudah dibuat mirip
diimitasikan dengan dunia nyata oleh para pengarang unuk menarik perhatian para pembaca
(Nurgiantoro, 1995:4).
1) Novel
Novel merupakan jenis dari gendre prosa dalam karya sastra. Prosa dalam pengertian
kesusastraan juga disebut sebgai fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya sastra yang
menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, kahayalan,sesuatu yang tidak ada dan terjadi
sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenaran dalam dunia nyata (Nurgiantoro,
1991:2). sebuah novel berasal dari bahasa italia , yakni Novella yang secara harfiah sebuah
barang baru yang kecil, dan kemudian di artikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa
( Nurdiantoro, 1995:9) dalam bahasa jerman disebut novella dan dalam bahasa inggris
disebut novel, istilah inilah yang kemudian masuk kedalam bahasa Indonesia. Dewasa ini
istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah yang dalam
bahasa Indonesia disebut novelette dan dalam bahasa inggris disebut novelette, yang berarti
sebuah karya prosa fiksiyang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjangnamun tidak terlalu
pendek ( Nurgiantoro, 1995:9).
Jenis-jenis novel dapat dibedakan berdasarkan isi cerita dan mutu novel. Suharianto
(1982:67) membagi jenis novel berdasarkan tinjauan isi, gambaran dan maksud pengarang
yaitu sebagai berikut:
1) Novel berendens yaitu sebuah novel yang menunjukan keganjilan-keganjilan dan
kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Oleh karena itu novel ini sering disebut
novel tujuan.
2) Novel psikologi yaitu novel yang mengambarkan perangai dan jiwa seseorang serta
perjuanganya
3) Novel sejarah yaitu novel yang menceritakan seseorang dalam suatu masa sejarah.
Novel ini melukiskan dan menyelidiki adat istiadat dan perkembangan masyarakat
pada saat itu.
4) Novel anak-anak yaitu novel yang melukiskan kehidupan dunia anak-anak yang dapat
di bacakan oleh orang tua untuk pembelajaran kepada anaknya, ada pula yang
dibacakan oleh anak-anak saja.
5) Novel detektif yaitu novel yang isinya mengajak pembaca memutar otak guna
memikirkan akibat dari beberapa kejadian yang dilukiskan pengarang dalam cerita.
6) Novel perjuangan yaitu novel yang melukiskan suasana perjuangan dan peperangan
yang diderita seseorang.

7) Novel propaganda yaitu novel yang isinya semata-mata untuk kepentingan


propaganda terhadap masyarakat tertentu.
2) Cerpen
Cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita pendek , akan tetapi bebrapa ukuran
panjang dan pendeknya itu memang tidak ada kesepakatan diantara pengarang dan para ahli
sastra. Di dalam bukunya yang berjudul antomi sastra Semi (1993:34) cerpen merupakan
suatu karakter yang dijabarkanlewat rentetan suatu kejadian-kejadian itu sendiri dari sastu
persatu sedangkan menurut (Zaidan dkk, 2007:50) cerpen adalah kisahan yang dominan
tentang satu tokoh dalam satu latar dan situasi drakmatik. Dengan demikian dapat
disimpulkan Cerpen ialah karya sastra yang memuat pencitraan secara memusatkan kepada
satu peristiwa pokok saja. Semua peristiwa lain yang diceritakan dalam sebuah cerpen,
hanyalah untuk mendukung peristiwa pokok saja. Dengan begitu cerpen menyuguhkan cerita
yang dipadatkan digayakan dan diperkokoh oleh kemampun pengarang atau penulisnya.
3) Puisi
Puisi biasanya didefinisikan sebagai karangan terikat, Wirjosoedarmo dalam pradopo
(2012:5) menjelaskan bahwa puisi itu karangan terikat oleh: (1) banyak baris dalam tiap bait
(2) banyak kata dalam tiap baris (3) banyak suku kata dalam tiap baris (4) rima dan, (5)
irama. Sedangkan menurut Altenbernd dalam Pradopo (2012:5) puisi didefinisikan sebagai
pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran ( menafsirkan )dalam bahasa berirama
( bermetrum) . selanjutnya Sahahnon Ahmad (1978:3) dalam Pradopo (2012:6)
mengumpulkan definisi-definisi puisi yang ada pada umumnya oleh para penyair romantik
inggris.Samuel Taylor Coliredge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata terindah dari
susunan kata-kata terindah.Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyatan
perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Jadi puisi
merupakan pengekspresian pikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang
imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama, karena puisi merupakan rekaman dan
niterpretasi pengalaman manusia yang penting, diubah dalam wujud yang berkesan.
Berdasarkan wujud dari Karya sastra tersebut maka tugas setiap instansi pendidikan dapat
menghadirkan buku yang bisa memberikan wawasan siswa mengenai budi pekerti sebagai
sumber bacaan yaitu berupa buku karya sastra yang berkualitas, yakni karya sastra yang
baik secara estetis dan etis. Maksudnya, karya sastra yang baik dalam konstruksi
struktur sastranya dan mengandung nilai-nilai yang dapat membimbing peserta didik
menjadi manusia yang baik. Maka dari itu pihak sekolah bisa memilihkan karya sastra
yang mengandung nilai-nilai karakter positif seperti : puisi, cerpen, atau novel, sebagai
sumber ilmu dan bacaan guna menumbuhkan karakter siswa.
4. PENUTUP
a. Kesimpulan
Secara hakiki sastra merupakan media pencerahan mental dan intelektual peserta didik
yang menjadi bagian terpenting di dalam pendidikan karakter, seperti kebangkitan suatu
bangsa kearah yang lebih baik, penguatan cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi
kekuatan moral bagi perubahan sosial budaya melalui kegiatan literasi sehingga budaya
membaca berkembang. Gender sastra yang mengandung nilai litere-estetis adalah gender
sastra yang mengandung nilai keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan dan keterpanaan
yang dimungkinkan oleh segala unsur yang terdapat didalam karya sastra. Pada tataran
sekolah, kriteria pencapaiana pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu
prilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan symbol-simbol yang dipraktikan oleh semua warga
sekolah dan masyrakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut. Berdasarkan

wujud dari Karya sastra tersebut maka tugas setiap instansi pendidikan dapat menghadirkan
buku yang bisa memberikan wawasan siswa mengenai budi pekerti sebagai sumber bacaan
yaitu berupa buku karya sastra yang berkualitas, yakni karya sastra yang baik secara
estetis dan etis. Maksudnya, karya sastra yang baik dalam konstruksi struktur sastranya
dan mengandung nilai-nilai yang dapat membimbing peserta didik menjadi manusia yang
baik. Maka dari itu pihak sekolah bisa memilihkan karya sastra yang mengandung nilainilai karakter positif seperti : puisi, cerpen, atau novel, sebagai sumber ilmu dan bacaan
guna menumbuhkan karakter siswa.
b. Saran
Demikian makalah ini saya buat semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Adapun
saran bagi instansi sekolah
Manfaatkan perpustakaan sekolah sebagai sumber ilmu guna menambah
wawasan anak dalam berpola pikir positif.
Buku-buku sastra bisa di jadikan sumber bacaan bagi siswa.
Perlu penyaringan sumber bacaan bagi siswa khususnya karya sastra.
Motivasi siswa untuk kiat membaca buku sastra yang mengandung nilai-nilai
budi pekerti luhur.
Daftar Rujukan
Aminuddin.2014. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Sinar Baru Algesindo: Bandung.
Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra.Padang: angkasa.
Amri,Sofan. 2013. Pengembangan dan model pembelajaran dalam kurikulum 2013.Jakarta:
Prestasi Pustakaraya.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.
Kaelan, 2002. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembanganya. Yogyakarta: Paradigma.
Megawangi, R. 2003. Pendidikan karakter untuk membangun masyarakat madani. IPPK:
Indonesia Heritage Foundasion. http://p3g.unm.ac.id/index.php/download/category/6simposium-nasional.diakses 2 mei 2016.
Muchtar Buchori. 2007. Pendidikan karakter dan Kepemimpinan kita. Bandung: PT Angkasa.
Nurgianto, Burhan . 1991. Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press.
Nurgianto, Burhan . 1995. Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press.
Pradopo Djoko,R.2012. Pengkajian Puisi. Gajah Mada University Press.
Suharianto, 1982. Berkenalan dengan Cipta Seni. Semarang:Mutiara Permatawidya.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elamtera Publising.
Sugihastuti. 2002. Teori dan Resepsi Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Munandar Utami. 2004. Pengembangan Emosi dan Kreatifitas. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai