Anda di halaman 1dari 10

B.

Pembahasan
Kadar air benih ialah berat air yang dikandung dan yang kemudian hilang karena
pemanasan sesuai dengan aturan yang ditetapkan, yang dinyatakan dalam persentase terhadap
berat awal contoh benih. Penetapan Kadar Air adalah banyaknya kandungan air dalam benih
yang diukur berdasarkan hilangnya kandungan air tersebut dan dinyatakan dalam persen (%)
terhadap berat asal contoh benih. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam pengujian kadar air benih
ini adalah contoh kerja yang digunakan merupakan benih yang diambil dan ditempatkan dalam
wadah yang kedap udara. Karena untuk penetapan kadar air, jika contoh kerja yang digunakan
telah terkontaminasi udara luar maka kemungkinan besar kadar air benih yang diuji bukan
merupakan kadar air benih yang sebenarnya karena telah mengalami perubahan akibat adanya
kontaminasi udara dari lingkungan. Kedua adalah untuk pengujian kadar air ini harus dilakukan
sesegera mungkin, selama penetapan diusahakan agar contoh benih sedikit mungkin
berhubungan dengan udara luar serta untuk jenis tanaman yang tidak memerlukan penghancuran,
contoh benih tidak boleh lebih dari 2 menit berada di luar wadah (Kamil, 1979).
Harrington (1983) dalam Tatipata dkk. (2004) menyatakan bahwa suhu dan kadar air tinggi
merupakan factor penyebab menurunnya daya kecambah dan vigor. Hasil penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitian Andrew (1970) dalam Titpata dkk. (2004), bahwa benih kedelai yang
berkadar air awal 10,4% atau lebih rendah yang dikemas dengan plastk polietilen dapat
mempertahankan viabilitas lebih dari 80% selama 18 bulan. Menurut Chai et al., (2002) dalam
Tatipata dkk. (2004),perkecambahan benih kedelai akan menurun dari perkecambahan awal yaitu diatas
90% menjadi 0% tergantung spesies dan kadar air selama penyimpanan. Dilain pihak Yaya et al., (2003)
dalam Tatipata dkk. (2004), menyatakan bahwa benih kedelai yang disimpan dengan kadar air 6% dan 8%
selama 4 bulan pada suhu 15OC memiliki persentase perkecambahan diatas 70%.

Terdapatnya kadar air dalam benih ialah karena adanya dua tipe yang mengikatnya, yaitu
(Kartasapoetra,1992):
1. Air yang terikat secara kimiawi
Dimana air dalam hali ini merupakan bagian dari komposisi kimia benih. Dapat dikatakan
jarng

dilakukan

atau

sama

sekali

tidak

dilakukan

baik

untuk

mengurangi

atau

menghilangkannya, karena untuk itu berarti harus mengubah struktur benih.


2. Air yang terikat secara fisik
Dimana air itu memang diserap, yang selanjutnya air itu diikat pada permukaan material
aoleh kekuatan fisik yang kuat, karena adanya daya tarik menarik antar molekul material dan
air.Diikat dalam ruangan yang terdapat sekeliling bagian dalam dari masing-masing biji-bijian
(benih) baik dalam bentuk cairan ataupun uap.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar air benih adalah :
1. Tipe benih
Menurut Sutamo (1997), secara teknologi dikenal benih yang bersifat ortodoks dan
rekalsitran. Benih ortodoks tidak mati walaupun dikeringkan sampai kadar air yang relative
sangat rendah dengan cara pengeringan cepat dan juga tidak mati kalau benih itu disimpan
dalam keadaan suhu yang relatif rendah. Menurut Djaman dkk. (2006) Biji orthodoks yang
berkadar air 2-4% dapat disimpan pada kisaran suhu -15C sampai -20C (Schmidt, 2000),
namun biji rekalsitran dari daerah tropis sensitif terhadap suhu rendah, bahkan cepat menurun
viabilitasnya apabila disimpan pada suhu 10-15C (Phartyal et.al., 2002).
Misalkan benih yang bersifat ortodoks antara lain adalah benih Acacia mangium W.
(Akasia), Dalbergia latifolia R. (Sonobrit), Eucalyptus urophylla S. T. (Ampupu), Eucalyptus
deglupta B. (Leda), Gmelina arborea L. (Gmelina), Paraserianthes falcataria F. (Sengon),

Pinus mercusii Jung et de Vriese (Tusam), dan Santalum album (Cendana). Benih yang bersifat
rekalsitran, akan mati kalau kadar airnya diturunkan sebelum mencapai kering dan tidak tahan di
tempat yang bersuhu rendah. Contoh benih ini adalah Agathis lorantifolia S. (Damar), Diosypros
celebica B. (Eboni), Hevea brasiliensis A. (Karet), Macadamia hildenbrandii S. (makadame),
Shore compressa, Shorea seminis V. SI.
Menurut Djaman dkk. (2006) Biji tanaman hutan daerah tropis umumnya bersifat
rekalsitran atau intermediate, sehingga apabila disimpan secara konvensional, viabilitasnya akan
cepat menurun. Penyimpanan benih dalam nitrogen cair (kriopreservasi) merupakan suatu solusi
untuk menyimpan benih rekalsitran dan intermediate. Benih dapat disimpan dalam bentuk biji
utuh atau embrionya saja tergantung dari ukurannya.
2. Ukuran benih
Menurut hasil penelitian Priestley (1986), menunjukkan bahwa ukuran biji berpengaruh
terhadap keseragaman pertumbuhan tanaman dan daya simpan benih. Pada beberapa spesies,
biji-biji yang lebih kecil dalam suatu lot benih dari varietas yang sama mempunyai masa hidup
yang lebih pendek.
3. Penyimpanan
Menurut Harrington (1972), masalah yang dihadapi dalam penyimpanan benih semakin
kompleks sejalan dengan meningkatnya kadar air benih. Penyimpanan benih yang berkadar air
tinggi dapat menimbulkan resiko terserang cendawan. Menurut Purwanti (2004), salah satu
faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah cepatnya kemunduran benih selama
penyimpanan hingga mengurangi penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai
dalam jumlah yang memadai dan tepat pada waktunya sering menjadi kendala karena daya
simpan yang rendah. Kemunduran benih kedelai selama penyimpanan lebih cepat berlangsung

dibandingkan dengan benih tanaman lain dengan kehilangan vigor benih yang cepat yang
menyebabkan penurunan perkecambahan benih. Benih yang mempunyai vigor rendah
menyebabkan pemunculan bibit di lapangan rendah, terutama dalam kondisi tanah yang kurang
ideal. Sehingga benih kedelai yang akan ditanam harus disimpan dalam lingkungan yang
menguntungkan (suhu rendah) , agar kualitas benih masih tinggi sampai akhir penyimpanan
(Egli dan Krony, 1996 cit. Viera et. al., 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan dibagi menjadi
factor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup sifat genetik , daya tumbuh dan vigor ,
kondisi kulit dan kadar air benih awal. Faktor eksternal antara lain kemasan benih, komposisi
gas, suhu dan kelembaban ruang simpan (Copeland dan Donald, l985; Viera et. al., 2001) telah
melakukan penelitian tentang benih kedelai yang disimpan dalam kantong aluminium foil pada
suhu 10C dan 20C dan disimpan dalam kantong kertas wal dalam ruang terbuka selama 486
hari. Daya tumbuh benih tidak berubah pada benih yang disimpan dalam aluminium foil pada
suhu 10C, kecuali vigor sudah mulai menurun. Proses penuaan berjalan sesuai dengan
penurunan vigor benih untuk semua benih yang disimpan dalam aluminium foil pada suhu 10C,
tetapi elektrikal konduktivitas tidak berubah selama periode simpan. Benih yang disimpan dalam
aluminium foil pada suhu 20C dan dalam kantong kertas wal dalam ruang terbuka, daya tumbuh
dan vigor benih menurun dengan cepat dan elektrikal konduktivitas meningkat dengan cepat.
Setelah benih dipindah pada suhu 10C, vigor terus menurun dan elektrikal konduktivitas tetap
selama periode simpan. Jadi vigor menurun pada semua kondisi lingkungan, elektrikal
konduktivitas hanya meningkat pada suhu 20C. Jadi untuk mempertahankan vigor benih kedelai
sebaiknya disimpan pada suhu 10C.

Sifat genetik benih antara lain tampak pada permeabilitas dan warna kulit benih
berpengaruh terhadap daya simpan benih kedelai. Penelitian terdahulu menemukan bahwa
varietas kedelai berbiji sedang atau kecil umumnya memiliki kulit berwarna gelap, tingkat
permeabilitas rendah, dan memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap kondisi penyimpanan
yang kurang optimal dan tahan terhadap deraan cuaca lapang dibanding varietas yang berbiji
besar dan berkulit biji terang (Mugnisyah, 1991). Sukarman dan Raharjo (2000), melaporkan
bahwa varietas kedelai berbiji kecil dan kulit berwarna gelap lebih toleran terhadap deraan fisik
(suhu 42C dan kelembaban 100%) dibanding varietas berbiji besar dan berkulit terang.
Pada praktikum ini, pengujian kadar air benih dilakukan dengan 2 metode yaitu metode
praktik dan metode dasar. Penjelasan mengenai kedua metode tersebut, dijelaskan melalui uraian
berikut (Soetopo, 2002).
1. Metode Praktik
Pada metode praktek, penentuan kadar air benih berdasarkan atas sifat konduktifitas dan
dielektrik benih, yang kedua sifat ini tergantung dari kadar air dan temperatur benih. Keuntungan
dari metode ini hasil pengujian kadar air benih dapat langsung diketahui. Namun hasil
pengujiannya kurang teliti sehingga perlu dikalibrasikan terlebih dahulu. Metode ini tergolong
metode Calcium carbide, metode Electric moisture tester.
2. Metode Dasar
Kadar air ditentukan dengan mengukur kehilangan berat yang diakibatkan berat yang
diakibatkan oleh pengeringan/pemanasan pada kondisi tertentu, dan dinyatakan sebagai
persentase dari berat mula-mula.Keuntungan dari metode dasar adalah metode dasar telah
mempertimbangkan bahwa hanya air saja yang diuapkan selama pengeringan. Namun, metode
dasar juga terdapat kerugiannya yaitu senyawa yang mudah menguap mungkin ikut menguap

yang akan menyebabkan hasil pengukuran over estimation. Dengan demikian, kadar air yang
ditentukan dengan metode oven mungkin saja tidak merepresentasikan kadar air benih yang
sesungguhnya. Yang termasuk dalam metode dasar adalah metode Oven, Destilasi, Karl Fisher
(Soetopo, 2002).
Menurut Nugroho (2013), moisture tester merupakan suatu instrumen atau peralatan yang
dipakai untuk mengukur jumlah kandungan air yang terdapat pada suatu bahan di antaranya
gabah, biji-bijian, sorgum, gandum, dan lain-lain. Alat tersebut juga bias digunakan untuk
mengukur tingkat kelembaban suatu zat. Dari hasil pengukuran yang dilakukan, diharapkan akan
dapat diketahui apakah suatu bahan sudah siap untuk dipergunakan atau belum. Prinsip kerja dari
alat ini yaitu mengukur kadar air dengan teknik elektrik. Dimana pengukuran didasarkan pada
konduktivitas atau hantaran listrik. Kadar air akan berbanding linear terhadap kapasitas listrik
yang diukur. Hantaran listrik tersebut akan di tangkap oleh alat yang dinamakan detector.
Moisture tester merupakan alat yang digunakan pada setiap pengujian benih di
laboratorium. Oleh sebab itu, moisture tester yang digunakan harus dapat dipercaya dan dapat
mendekati kadar air benih dengan benar dan teliti. Alat pengukur kadar benih yang banyak
dipakai adalah electrical moisture tester. Alat-alat ini dapat bekerja lebih cepat daripada alat-alat
lain, misalnya oven atau alat yang menggunakan sinar inframerah. Selain itu electrical moisture
tester lebih praktis digunakan pada model-model tertentu portable (Pratama, 2011).
Cara kerjanya terdiri atas dua macam metode,yaitu secara langsung dan tidak
langsung.Pada metode langsung,alat yang digunakan yaitu oven.Pada metode tidak langsung,alat
yang digunakan moisture tester tipe Dickey John.Langkah kerja pada metode tidak
langsung,benih diambil secukupnya lalu dimasukkan pada moisture tester tipe Dickey John yang
sebelumnya sudah dibuka tutupnya.Setelah itu,kadar air benih dicari dengan bantuan tombol

yang tersedia.Nama benih pada layar digital diatur sesuai nama benih yang dicari kadar
airnya.Setelah itu,tombol ok ditekan dan kadar air sudah dapat diketahui.Langkah kerja pada
metode langsung,yaitu masing-masing benih dihaluskan dengan grinder lalu ditimbang
beratnya.Mortar serta tutupnya ditimbang (M1) gr.Benih yang telah dimasukkan di dalam mortar
lalu ditutup.Setelah itu,mortar berisi benih ditimbang(M2) gr.Setelah itu,mortar yang berisi benih
tersebut dioven selama 1 jam.Setelah satu jam, mortar yang berisi benih tersebut ditimbang
beratnya dengan timbangan elektrik(M3) gr.Kadar air dapat dihitung dengan rumus:
Kadar Air= (M2-M3)/ (M2-M1) X 100%
M1: Berat mortar+tutupnya
M2: Berat mortar+tutupnya+isi(benih) sebelum dioven
M3: Berat mortar+tutupnya+isi(benih) setelah dioven
Data yang diperoleh dibandingkan dengan T test.Apabila tidak beda nyata maka moisture
tester yang ditera benar adanya.Bila beda nyata garis regresi dan table penolongnya dibuat
(Pratama, 2011).
Jika dibandingkan menurut literature diatas, saat praktikum dalam penggunaan alat
moisture tester yakni dengan meletakkan benih padi ke dalam wadah tester, kemudian sekrup
pada moisture tester ini diputar hingga berbunyi yang menandakan bahwa benih telah
dihancurkan dengan tekanan sekrup tersebut. Tekan tombol yang ada pada moisture tester untuk
mentralkan terlebih dulu angka yang ada kemudian tekan tombol pilihan yang menyatakan
tombol jenis benih padi tersebut (serelia) kemudian digital angka akan muncul pada display
moisture tester. Bagian-bagian yang ada pad moisture tester saat praktikum meliputi tombol
navigasi pilihan jenis benih, sekrup penghancur benih, tombol penetral on/off, wadah benih

sebagai wadah dalam prose penghancuran dengan menggunakan sekrup, display yang berupa
digital dan baterai.
Hasil perhitungan yang telah dilakukan baik dari metode praktik ataupun metode dasar,
kadar air tertinggi dihasilkan oleh gabah pada metode praktik sebesar13,3% dan pada metode
dasaar dihasilkan sebesar 7,335%. Hal ini sesuai dengan pernyataan dan penggilingan agar
diperoleh mutu beras yang tinggi, amak diperlukan gabah dengan akdar air berkisar dari 12%
sampai 14% (Wijaya, 2007). Penggunaan metode praktik pada praktikum ini diperoleh kadar air
benih pada gabah sebesar 13,3% dan jagung sebesar 11,9% sedangkan dengan menggunakan
metode dasar diperoleh kadar air benih gabah padi sebesar 7,335% dan jagung sebesar 6,675%.
Perhatikan bahwa kadar air benih untuk metode dasar lebih kecil daripada kadar air benih untuk
metode praktik. Hal ini menunjukkan bahwa metode praktik lebih dapat mendeteksi kandungan
air pada benih dibanding metode dasar. Hal ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh Justice dan
Bass (1990), penggunaan metode dasar dapat memberikan hasil yang lebih akurat. Penyebab
terjadi perbedaan perhitungan ini mungkin karena pada proses pengovenan yang dilakukan,
belum semua air pada benih menguap. Akibatnya diperoleh berat benih setelah dioven yang lebih
besar karena masih terdapat kandungan air di dalamnya. Oleh karena itu, diperoleh selisih berat
awal dan berat akhir yang lebih kecil yang mengakibatkan diperoleh hasil akhir persentase kadar
air yang juga lebih kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Chai J., R. Ma., L. Li,., and Y. Du. 2001. Optimum Moisture Contents of Seed Agricultural
Physics, Physiological and Biochemical. Institut Hebey Academy of Agricultural and
Forestry Sciences. Shijiazhuang. China.
Djaman, F.D., dkk. 2006. Penyimpanan Benih Damar (Agathis damara Salisb.) dalam Nitrogen
Cair. Jurnal Biodiversitas 7(2): 164-167. Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor.
Harrington, J. F. 1972. Seed storage and longevity. p. 145-246., T. T. Kozlowski
Ed. Seed Biology. Vol. 111. Academic Press. New York.
Justice, Oren L. dan Louis N. B. 1990. Prinsip Praktek Penyimpanan Benih.

CV. Rajawali.

Jakarta.
Kamil, J. 1979. Teknologi Benih 1. Penerbit Angkasa Raya. Padang.
Kartasaspoetra, dkk. 1992. Teknologi Benih, Pengolahan Benih dan Tuntunan

Praktikum.

Bina Aksara, Jakarta.


Koes, F. Dan R. Arief. 2010. Deteksi Dini Mutu dan Ketahanan Simpan Benih
Hibrida F1 Bima 5 Melalui Uji Pengusangan Cepat (AAT).
Nasional 2010 Balai Penelitian Tanaman

Prosiding

Jagung
Pekan

Serealia

Serealia.

Mugnisjah, W.Q. dan A. Setiawan. 1990. Pengantar Produksi Benih. PT

Melton Putra.Jakarta.

Nugroho, S.A. 2013. Pengenalan Alat-Alat Ukur dan Instrumen. Departemen Teknik Mesin dan
Biosistem. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Phartyal, S.S., R.C. Thapliyal, N. Koedam, and S. Godefroid. 2002. Ex situ Conservation of Rare
and Valuable Forest Tree Species Through Seed-Gene Bank. Current Science 83 (11):
1351-1357.
Pratama, A.,R 2011. Kalibrasi Mouisture Tester. Laboratorium Teknologi Benih. Jurursan
Budidaya Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Priestley. D.A. 1986. Seed Aging. Comstock Publishing Associetes. A Devision of Cornell
University Press Ithaca and London. 304 p.

Purwanti, S. 2004. Kajian Suhu Ruang Simpan Terhadap Kualitas Benih Kedelai Hitam dan
Kedelai Kuning. Jurnal Ilmu Pertanian 11(1):22-31. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Sadiyah dkk. 2008. Teknik Pengukuran Kadar Air Benih Jarak Pagar (Jatropha curcas linn.)
dengan Menggunakan Metode Langsung dan Tidak Langsung. Departemen Agronomi
dan Hortikultura Fakultas Pertanian- Institut Pertanian Bogor.
Schmidt, L. 2000. Guide to Handling of Tropical and Subtropical Forest Seed. CopenhagenDenmark. Danida Forest Seed Centre.
Sukarman dan M. Rahardjo. 2000. Karakter Fisik, Kimia dan Fisiologis Benih Beberapa Varietas
Kedelai. Buletin Plasma Nutfah 6 (2) : 31-36.
Sutarno dkk,1997. Pengenalan Pemberdayaan Pohon Hutan. Prosea Indonesia-Prosea Network
Office. Pusat Diklat Pegawai & SDM Kehutanan. Bogor.
Soetopo, L. 1984. Teknologi Benih I . Rajawali Press. Jakarta.
Soetopo, L. 2002. Teknologi Benih II. Rajawali Press. Jakarta
Tatipata,A., dkk. 2004. Kajian Aspek Fisiologi dan Biokimia Deteriorasi Benih Kedelai dalam
Penyimpanan. Jurnal Ilmu Pertanian 11(2):76-87. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Viera. R.D. ; D.M. Tekrony ; D.B. Egli and M. Rucker. 2001. Electrical conductivity of Soybean
seeds sfter storage in several environments. Seed Science and Technology., 29. 599-608.
Wijaya. 2007. Pengaruh Kadar Air Gabah Terhadap Mutu Fisik Beras Giling. Artikel Ilmiah.
Fakultas Pertanian Unswagati. Cirebon.

Anda mungkin juga menyukai