Anda di halaman 1dari 19

DEMAM BERDARAH DENGUE

1.

EPIDEMIOLOGI
Menurut data WHO 1955-2007, didapatkan lima puluh juta infeksi Dengue

setiap tahunnya dan terdapat 2,5 miliar orang yang hidup di Negara endemis. Dari 2,5
miliar populasi masyarakat di Negara endemis, sekitar 1,8 miliar tinggal di daerah
Asia Tenggara dan Pasifik barat.1,4 Di daerah Asia Tenggara, Dengue telah menjadi
masalah kesehatan publik di Indonesia, Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timor
Leste yang diketahui daerah beriklim tropis dan memiliki lokasi di zona equatorial,
tempat dimana Aedes Aegypti menyebar secara merata baik di daerah pedesaan
maupun perkotaan.1,2 DBD telah menjadi penyakit berpotensi tinggi menjadi
penyebab kematian pada anak.4
Di Indonesia Dengue pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun
1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal
dunia. Dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk, jumlah penyebaran
dan daerah persebarannya pun meningkat, dan hingga sekarang sudah menyebar luas
ke seluruh daerah di Indonesia. 6
Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993-2009 terjadi pergeseran. Dari
tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok
umur

< 15 tahun, di tahun 1999-2009 kelompok umur terbesar kasus DBD

cenderung pada kelompok umur 15 tahun.


2.

ETIOLOGI
Virus Dengue, merupakan anggota dari genus flavivirus dalam family

flaviviridae, terdiri dari single stranded RNA virus, berdiameter 30 nm, yang biasa
berkembang di berbagai tipe nyamuk dan keluar jaringan. 4 Diketahui terdapat 4
serotipe berbeda, yakni DENV1-4.2,4,7 Semua serotip tersebut memiliki antigen yang
bereaksi silang dengan virus lain yang bergenus sama, seperti yellow fever, Japanese
Encephalitis dan virus West Nile. Ditemukan bukti dari studi laboratorium, bahwa ada
perbedaan variasi genetik antara empat strain tersebut. Sampai sekarang, diketahui
1

ada tiga subtype dari DENV-1, enam dari DENV2, empat dari DENV-3, dan empat
dari DENV-4.4
3.
PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah
dengue, dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan adalah:
a) respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitoksisitas yang dimediasi antibodi.
Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada
monosit maupun makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement
(ADE); b) limfosit T baik T helper (CD4) maupun T sitotoksik (CD8) berp eran
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, IL-2, dan limfokin, sedangkan TH2 akan
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10; c) monosit dan makrofag berperan dalam
fagositosis bakteri dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini
menyebabkan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) selain itu aktivasi
komplemen oleh kompleks imun akan menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.8
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterelogous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus
dengue tipe yang berbeda.Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik yang tinggi
sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi. Kurane dan Enis
pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa
infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks
virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi dalam makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue mengakibatkan aktivasi sel T helper dan T
sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti
TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan
terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma.8
Penyakit ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat virus Dengue.
Orang ini biasanya menunjukan gejala sakit tetapi juga tidak sakit yaitu jika
2

mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue. Jika orang digigit nyamuk
Ae. aegypti maka virus akan masuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh
nyamuk itu, virus Dengu e akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan
menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk. Dalam waktu satu minggu jumlahnya
dapat mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk ditularkan atau
dipindahkan kepada orang lain. Selanjutnya pada waktu nyamuk menggigit orang
lain, maka setelah alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum
darah orang tersebut dihisap terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar air liur
nyamuk agar darah yang dihisap tidak membeku.3
Bersama dengan air liur nyamuk Ae. aegypti yang membawa virus Dengue itu
akan terserang penyakit demam berdarah, orang yang mempunyai kekebalan yang
cukup terhadap virus Dengue, tidak akan terserang penyakit ini, meskipun di dalam
darahnya terdapat virus tersebut. Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai
kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, dia akan sakit demam ringan bahkan
sakit berat yaitu demam tinggi disertai perdarahan bahkan syok, tergantung dari
tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya. 3
Mekanisme perdarahan
Manifestasi perdarahan pada DBD yang paling sering didapatkan berupa
petekie di kulit dan kadang-kadang pada submukosa. Tes tourniquet positif
merupakan peningkatan fragilitas kapiler yang dijumpai lebih awal. Gejala
perdarahan yang berat sering terjadi adalah perdarahan gastrointestinal dalam bentuk
hematemesis dan atau melena. Pada kasus dengan prolonged shock dapat terjadi
perdarahan masif di jantung, paru, hati, dan otak.3
Peningkatan nilai hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang
terjadi akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskuler disertai efusi cairan serosa,
melalui kapiler yang rusak. Akibat kebocoran ini volume plasma menjadi berkurang
yang dapat mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik dan kegagalan sirkulasi.

Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal atau sedikit menurun.
Tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan
merupakan kelainan hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada DBD.3
Vaskulopati
Karakterisktik DBD adalah adanya plasma leakage dengan manifestasi
hemokonsentrasi, efusi, dan atau asites. Sebelumnya plasma leakage diduga akibat
peningkatan permeabilitas vaskuler selain adanya penemuan baru, yaitu menduga
adanya destruksi sel endotel disertai pelepasan mediator inflamasi (il-6, il-8) yang
dilepas oleh virus Dengue. Virus Dengue juga mengaktivasi komplemen dan
menimbulkan ekspresi molekul adhesi seperti icam-1, ekspresi dari icam-1 bersama
dengan il-8 akan meningkatkan permeabilitas vaskuler pula.3

4.

GEJALA KLINIS
Dengue merupakan penyakit sistemik yang dinamis.Perubahan yang terjadi

terdiri dari beberapa fase. Setelah peride inkubasi, penyakit mulai berkembang
menuju 3 fase febris, kritis dan penyembuhan.1
A. Fase febris
Pasien mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fibrilasi akut ini bertahan 27 hari dan disertai eritema kulit, wajah yang memerah, sakit sekujur badan,
myalgia, arthralgia dan sakit kepala. Pada beberapa pasien juga ditemukan radang
tenggorokan, infeksi faring dan infeksi konjungtiva. Anorexia, pusing dan
muntah-muntah juga sering ditemui. Febris antara dengue dan non dengue pada
awal fase febris sulit dibedakan. Oleh karena itu, monitoring dari tanda bahaya
dan parameter klinik lainnya sangat krusial untuk menilai progresif ke fase kritis.
Manifestasi hemoragik seperti petechie dan perdarahan membran mukosa
(hidung dan gusi) mungkin timbul. Perdarahan massif vagina dan gastrointestinal
juga mungkin timbul dalam fase ini. Hati juga sering mengalami pembengkakan
setelah beberapa hari demam. Tanda abnormal pertama dari pemeriksaan darah

rutin adalah penurunan total sel darah putih yang menunjukkan kemungkinan
besar terjangkit dengue.1
B. Fase kritis
Penurunan suhu setelah demam hingga temperature badan sekitar 37,5 38 C
atau kurang, dapat terjadi selama 3-7 hari. Peningkatan permeabilitas kapiler dan
peningkatan hematokrit mungkin terjadi. Kondisi tersebut menjadi tanda awal
fase kritis. Kebocoran plasma bisa terjadi 24-48 jam.1
Leukopenia progresif yang diikuti penurunan jumlah platelet bisa terjadi
setelah kebocoran plasma. Pada kondisi ini pasien yang permeabilitas kapilernya
tidak

meningkat,

kondisinya

membaik.

Sebaliknya

pada

pasien

yang

permeabilitas kapilernya meningkat, terjadi kehilangan banyak volume plasma.


Derajat kebocoran plasma pun berbeda-beda. Efusi pleura dan asites dapat terjadi.
Derajat tingginya hematokrit menggambarkan kebocoran plasma yang parah.1
Syok dapat terjadi ketika kehilangan cairan plasma hingga volume yang kritis.
Kemudian kondisi tersebut dilanjutkan dengan tanda bahaya berupa temperatur
badan yang subnormal. Apabila syok terjadi cukup panjang dapat menyebabkan
kerusakan organ, asidosis metabolik dan DIC.1
C. Fase penyembuhan
Apabila pasien bertahan selama 24-48 jam fase kritis, reabsorbsi gradual
cairan ektravaskuler akan terjadi dalam 48-72 jam kemudian. Kondisi akan
membaik, nafsu makan meningkat, gejala gastrointestinal mereda, hemodinamik
makin stabil dan diuresis membaik. Namun pada fase ini dapat terjadi pruritus,
bradikardi dan perubahan pada EKG.1
Distress pernafasan yang diakibatkan oleh efusi pleura massif dan ascites
dapat muncul bila pasien diberikan cairan intravena yang berlebihan. Pada fase
kritis dan fase penyembuhan, pemberian cairan berlebihan dihubungkan dengan
edem pulmoner dan gagal jantung kongestif. Berikut ini adalah tabel gambaran
klinis dari setiap fase :
NO
1

FASE DBD

GEJALA KLINIS

Fase febris

Dehidrasi,
5

demam

tinggi

mungkin

menyebabkan

gangguan

neurologis

dan

kejang demam pada anak


2

Fase kritis

Syok

karena

kebocoran

plasma, perdarahan berat dan


kegagalan organ
3

Fase penyembuhan

Hypervolemia
pemberian

(apabila

cairan

intravena

berlebihan)
Sumber: WHO,20091
5.

DIAGNOSIS
A.
Laboratorium9
1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis
hematokrit dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1
setelah demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari ke
5-6. Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal
menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan
penyakit DD/DBD
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5
mencapai

puncaknya

pada

hari

sakit

ke

10-14

dan

akan

menurun/menghilang pada akhir minggu keempat sakit.


Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada
hari sakit ke 14 dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada

hari sakit ke-2


Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari
infeksi sekunder. Apabila rasio IgM : IgG > 1,2 menunjukkan infeksi
primer namun apabila IgM : IgG rasio < 1,2 menunjukkan infeksi
sekunder.
6

Diagnosis

Antibodi anti dengue


IgM

IgG

Infeksi primer

Positif

Negatif

Infeksi sekunder

Positif

Positif

Infeksi lampau

Negatif

Positif

Bukan dengue

Negatif

Negatif

Keterangan

Apabila klinis mengarah ke infeksi


dengue, pada fase penyembuhan :
IgM dan IgG diulang

B.

Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi :
Distress pernafasan/sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabila perembesan plasma telah mencapai

20% - 40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai

edema paru karena overload pemberian cairan


Kelainan radiologi yang dapat terjadi : dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radiopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi dari pada kiri,

dan efusi pleura


Pada pemeriksaan USG dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika

felea dan dinding buli-buli


Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
ini terpenuhi :
Demam tinggi medadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus, selama 2-7 hari

Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut : uji bendung positif,


petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan /

melena.
Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml)
Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma :
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
o Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 20119

DD/DBD

Derajat

DD

Tanda dan gejala


Demam

disertai

minimal

dengan 2 gejala
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Nyeri otot
Nyeri sendi/tulang
Ruam

Laboratorium
leukosit

4000

sel/mm3)
Trombositopenia
(jumlah

kulit

makulopapular
Manifestasi perdarahan
Tidak
ada
tanda
perembesan plasma

Leukopenia (jumlah

trombosit

<100.000 sel/mm3)
Peningkatan
hematokrit (5 % 10%)
Tidak

ada

bukti

perembesan plasma
DBD

Demam

dan

perdarahan

(uji

positif)

dan

manifestasi Trombositopenia

perembesan plama
DBD

II

bendung 100.000

sel/mm3;

tanda peningkatan
hematokrit 20%

Seperti derajat I ditambah Trombositopenia


perdarahan spontan
8

<

100.000

<

sel/mm3;

peningkatan
hematokrit 20%
DBD

III

Seperti derajat I atau II Trombositopenia


ditambah kegagalan sirkulasi 100.000

<

sel/mm3;

(nadi lemah, tekanan nadi peningkatan


20

mmHg,

hipotensi, hematokrit 20%

gelisah, diuresis menurun)


DBD

IV

Syok hebat dengan tekanan Trombositopenia


darah dan nadi yang tidak 100.000
terdeteksi

<

sel/mm3;

peningkatan
hematokrit 20%

Diagnosis infeksi dengue :


Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi dengan
deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau uji serologi anti dengue positif (IgM
anti dengue atau IgM/IgG anti dengue postif)

6.

KOMPLIKASI
Demam Dengue : perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus
peptik, trombositopenia hebat, dan trauma.9
Demam Berdarah Dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok
Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal

akut
Edema paru dan/atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading

pemberian cairan pada masa perembesan plasma


Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik dan perdarahan

hebat (DIC, kegagalan organ multiple)


Hipoglikemia/hiperglikemia, hiponatremia,

hipokalsemia

berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai.

akibat

syok

7.

DIAGNOSIS BANDING9
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue
dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk
membedakan dengan campak, rubella, demam chikungunya, leptospirosis,
malaria, demam tifoid perlu ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi

bersama demam. Pemeriksaan laboratorium diperlukan sesuai indikasi


Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia,
atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah

tepi lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan


Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila
anak mengalami demam atau syok.

8.

PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan
cairan oral pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan oral tidak
mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.10
Parameter yang harus dimonitor:10

Keadaan umum, selera makan, muntah, perdarahan serta tanda dan gejala

yang lain
Perfusi perifer sebagai indikator terjadinya syok
Tanda vital dicek setiap 2-4 jam pada pasien tidak syok dan 1-2 jam pada

pasien syok
Hematokrit diperiksa setiap 4-6 jam pada pasien yang stabil dan lebih sering

pada pasien yang tidak stabil atau yang terjadi perdarahan.


Produksi urin setiap 8-12 jam
Terapi intravena untuk DHF selama periode kritis
10

Indikasi terapi intravena:10


Pasien tidak mendapat cairan oral yang adekuat atau muntah
Peningkatan hematokrit terus menerus 10-20% walaupun rehidrasi oral baik
Syok
Prinsip umum terapi cairan pada DHF yaitu:10
Cairan isotonik kristaloid harus digunakan selama periode kritis kecuali pada
bayi <6 bulan menggunakan NaCl 0,45%
Pasien dengan kebocoran plasma yang hebat dapat menggunakan dextran 40
atau gelatin.
Durasi terapi intravena tidak boleh lebih dari 24-48 jam untuk pasien syok.
Namun, pada pasien non-syok durasi terapi bisa lebih lama antara 60-72
jam.
Pada pasien obesitas, berat badan ideal menjadi patokan utama untuk terapi
cairan
Berat

Maintenanc

M+5%

Berat

badan

e (ml)

defisit (ml)

badan ideal e (ml)

ideal
(Kg)
5
10
15
20
25
30

Maintenanc

M+5%

(kg)
500
1000
1250
1500
1600
1700

750
1500
2000
2500
2850
3200

35
40
45
50
55
60

1800
1900
2000
2100
2200
2300

3550
3900
4250
4600
4950
5300

DHF grade I dan II


Secara umum, tunjangan cairan (oral + IV) adalah tentang
pemeliharaan (untuk satu hari) + 5% defisit (oral dan cairan IV bersamasama), yang akan diberikan selama 48 jam. Sebagai contoh, pada anak dengan
berat 20 kg, defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000 ml. Pemeliharaan
adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M + 5% adalah 2500 ml
. Volume ini harus diberikan selama 48 jam non syok pasien. Tingkat
11

penggantian IV harus disesuaikan sesuai dengan tingkat kehilangan plasma,


dipandu oleh kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urine dan kadar
hematokrit.10
DHF grade III
DSS adalah syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan
ditandai dengan peningkatan vaskular sistemik resistensi, dimanifestasikan
dengan tekanan nadi menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan
peningkatan tekanan diastolik, misalnya 100/90 mmHg). Bila hipotensi ada,
kita harus menduga bahwa pendarahan parah, dan sering tersembunyi
perdarahan gastrointestinal, mungkin telah terjadi di samping. Sebagian besar
kasus DSS akan merespon 10 ml / kg pada anak-anak atau 300-500 ml pada
orang dewasa lebih satu jam atau dengan bolus, jika perlu. Selanjutnya,
pemberian cairan harus mengikuti grafik. Namun, sebelum mengurangi
tingkat penggantian IV, kondisi klinis, tanda-tanda vital, urine output dan
hematokrit harus diperiksa untuk memastikan perbaikan klinis.10
Singkatan
A (acidosis)

Pemeriksaan laboratorium
Catatan
Analisa gas darah (vena Indikasi syok.

B (bleeding)

maupun arteri)
Hematokrit

Jika turun dibandingkan


dengan sebelumnya
nilai

atau

tidak

naik,

cross-match darah yang


cepat
C (calcium)

Elektrolit, kalsium

transfusi.
Hipokalsemia ditemukan
hampir

disetiap

kasus

DHF tetapi asimptomatik.


Suplemen

kalsium

diindikasikan pada kasus


12

yang

berkomplikasi.

Dosis 1ml/kgbb, dengan


dosis
S (blood sugar)

maksimum

10ml/hari
Pada kasus yang parah

Gula darah

pasien mempunyai nafsu


makan yang buruk dan
disertai muntah.
Sangat penting bahwa tingkat cairan IV dapat dikurangi sebagai
perfusi perifer meningkatkan; tetapi harus dilanjutkan untuk jangka waktu
minimal 24 jam dan dihentikan sebesar 36 sampai 48 jam. Cairan yang
berlebihan akan menyebabkan efusi besar karena permeabilitas kapiler
meningkat.
Penggantian Volume untuk pasien dengan DSS diilustrasikan di bawah ini :
Tanda vital tidak stabil
Penurunan produki urin
Tanda-tanda syok
Oksigen via mask atau nasal kanul
Penggantian cairan dengan cepat (kristaloid 10 ml/kg/jam iv selama 1-2 jam)
Tanpa perbaikan

perbaikan
Turunkan menjadi 7, 5, 3, 1.5 ml/kg/jam

Koreksi ABC

Perbaikan lebih lanjut


Hentikan terapi iv untuk 24-48 jam

Hematokrit meningkat
Koloid iv (dextran 40)

PRC 5ml/kg/jam
13

Hematokrit menurun

Transfusi darah 10ml/kg/jam


Whole blood 10ml/kg/jam atau PRC 5ml/kg/jam

perbaikan
Turunkan menjadi 7, 5, 3, 1.5

ml/kg/jam

Alogaritma Penanganan Pasien DSS. Di kutip dari kepustakaan 2

DHF grade IV
Resusitasi cairan awal di Kelas 4 DBD lebih kuat agar cepat
mengembalikan darah. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sesegera
mungkin untuk ABC serta organ yang terlibat lainnya. Bahkan hipotensi
ringan harus ditangani secara agresif. 10 ml / kg cairan bolus harus diberikan
secepat mungkin, idealnya dalam waktu 10 sampai 15 menit. Ketika tekanan
darah dipulihkan, cairan intravena selanjutnya dapat diberikan seperti di kelas
3. Jika syok tidak reversibel setelah pertama 10 ml / kg, bolus ulangi 10 ml /
kg dan laboratorium hasil harus dikejar dan diperbaiki secepat mungkin.10
Transfusi darah darurat harus dianggap sebagai langkah berikutnya
dan diikuti dengan pemantauan lebih dekat, misalnya kateterisasi kandung
kemih terus menerus, kateterisasi arteri atau jalur vena sentral. Jika tekanan
darah dipulihkan setelah resusitasi cairan dengan atau tanpa transfusi darah,
dan adanya gangguan organ, pasien harus dikelola dengan tepat. Contoh
dukungan organ adalah dialisis peritoneal, terapi penggantian ginjal terus
menerus dan ventilasi mekanik. Jika akses intravena tidak dapat diperoleh,
coba solusi elektrolit oral jika pasien sadar atau rute intraosseous jika
sebaliknya. Akses intraosseous adalah tindakan life-saving dan harus dicoba
setelah 2-5 menit atau setelah dua usaha yang gagal di akses vena perifer atau
setelah rute oral gagal.10
14

Penanganan perdarahan berat


Jika sumber perdarahan diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk
menghentikan perdarahan jika mungkin. Epistaksis berat, misalnya, dapat
dikendalikan oleh nasal packing. Transfusi tidak boleh ditunda sampai
hematokrit turun ke tingkat rendah. Jika darah yang hilang dapat diukur, harus
diganti. Namun, jika tidak dapat diukur, aliquot dari 10 ml / kg darah segar
utuh atau 5 ml / kg sel darah merah baru dikemas harus ditransfusi dan respon
dievaluasi. Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonis dan inhibitor
pompa proton telah digunakan, namun belum ada studi yang tepat untuk
menunjukkan kemanjurannya. Tidak ada bukti untuk mendukung penggunaan
komponen darah seperti trombosit konsentrat, plasma beku segar atau
kriopresipitat. Penggunaannya dapat berkontribusi pada overload cairan.
Recombinant Factor 7 mungkin bisa membantu dalam beberapa pasien tanpa
kegagalan organ, tetapi sangat mahal dan umumnya tidak tersedia.10
Penanganan pasien beresiko tinggi
Pasien obesitas memiliki cadangan kurang pernapasan dan perawatan
harus dilakukan untuk menghindari berlebihan infus cairan intravena . Berat
badan yang ideal harus digunakan untuk menghitung cairan resusitasi dan
penggantian dan koloid harus dipertimbangkan pada tahap awal cairan terapi.
Setelah stabil, furosemide dapat diberikan untuk menginduksi diuresis .Bayi
juga memiliki cadangan kurang pernapasan dan lebih rentan terhadap
kerusakan hati dan ketidakseimbangan elektrolit. Mereka mungkin memiliki
durasi yang lebih singkat kebocoran plasma dan biasanya merespon dengan
cepat untuk resusitasi cairan. Karena itu, harus dievaluasi lebih sering untuk
asupan cairan oral dan output urin. Insulin intravena biasanya diperlukan
untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien dengan diabetes melitus. Ibu
hamil dengan demam berdarah harus dirawat dini. Perawatan bersama antara
kebidanan, kedokteran dan pediatri spesialisasi sangat penting. Keluarga
mungkin harus diberi konseling dalam beberapa situasi yang parah. Jumlah
15

dan tingkat cairan IV untuk ibu hamil harus sama dengan yang untuk wanita
tidak hamil. Terapi anti - koagulan mungkin harus dihentikan sementara
selama periode kritis .Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: Pasien-pasien
ini beresiko hemolisis dan akan memerlukan transfusi darah.10
Tanda-tanda perbaikan10

Stabil nadi, tekanan darah dan denyut pernapasan.


Suhu normal.
Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal.
Kembali nafsu makan.
Tidak ada muntah, tidak ada rasa sakit perut.
Output urin baik.
Stabil hematokrit pada tingkat dasar.

Manajemen overload cairan


Semua terapi cairan harus dihentikan .Pada tahap awal overload cairan
, beralih dari kristaloid koloid solusi sebagai cairan bolus. Dekstran 40 efektif
sebagai 10 ml / kg infus bolus, tetapi dosisnya dibatasi untuk 30 ml / kg / hari
karena efek pada ginjal. Dekstran 40 diekskresikan dalam urin dan akan
mempengaruhi osmolaritas urine. Pada tahap akhir overload cairan atau
mereka dengan edema paru, furosemide mungkin diberikan jika pasien
memiliki tanda-tanda vital stabil. Jika syok, cairan 10ml / kg / jam koloid
(dekstran) harus diberikan. Ketika tekanan darah stabil, biasanya dalam waktu
10 sampai 30 menit, injeksi IV furosemide 1 mg / kg / dosis dan lanjutkan
dengan infus dekstran sampai selesai. Cairan intravena harus dikurangi
menjadi serendah 1 ml / kg / jam sampai penghentian ketika hematokrit
menurun untuk baseline atau di bawah (dengan perbaikan klinis).10
Hal-hal berikut harus diperhatikan:10

Pasien-pasien ini harus memiliki kandung kemih kateter untuk memonitor


output urin per jam .

16

Furosemide harus diberikan selama infus dekstran karena hiperonkotik


yang sifat dekstran akan mempertahankan volume intravaskular sementara

furosemide menghabiskannya dalam kompartemen intravaskular .


Setelah pemberian furosemide, tanda-tanda vital harus dipantau setiap 15

menit selama satu jam untuk dicatat dampaknya .


Jika tidak ada output urin dalam menanggapi furosemide, memeriksa
status volume intravaskular. Pasien dalam keadaan gagal ginjal akut.
Pasien-pasien ini mungkin memerlukan dukungan ventilasi segera. Jika
volume intravaskular tidak memadai atau tekanan darah tidak stabil,

periksa laboratorium (ABC) dan ketidakseimbangan elektrolit lainnya.


Dalam kasus dengan tidak ada respon terhadap furosemide (tidak ada urin
yang diperoleh), dosis berulang furosemide dan dua kali lipat dari dosis
yang dianjurkan. Jika gagal ginjal, ginjal terapi penggantian yang harus

dilakukan sesegera mungkin . Kasus-kasus ini memiliki prognosis buruk.


Pada kasus-kasus gangguan pernafasan parah tindakan penyelamatan jiwa
harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena perdarahan traumatis
adalah komplikasi yang paling serius dan mengarah sampai mati.

9.

Informed consent kepada keluarga sangat penting dilakukan.


PENCEGAHAN DAN KONTROL
Kunci kontrol dari demam berdarah dan DHF / DSS adalah kontrol dari Aedes

aegypti.11 Nyamuk ini berkembang biak terutama pada wadah yang digunakan untuk
penyimpanan air, vas bunga, guci tua, kaleng tipis, dan menggunakan ban dalam dan
di sekitar tempat tinggal manusia. penghapusan tempat-tempat perkembangbiakan ini
merupakan metode yang efektif dan definitif pengendalian vektor dan mencegah
penularan DBD.12 Penggunaan larvasida dan insektisida selama wabah terbatas.
upaya sekarang berfokus pada pendidikan kesehatan dan partisipasi masyarakat
dalam

upaya

untuk

mengendalikan

perkembangbiakan. Vaksin

vektor

dengue dilemahkan

dengan
berada

mengurangi
dalam

tahap

tempat
akhir

pembangunan dan telah menghasilkan hasil yang menjanjikan dalam tes awal.
Apakah vaksin dapat memberikan yang aman, tahan lama untuk kekebalan penyakit
17

immunopatologi seperti DHF / DSS di daerah endemik adalah masalah yang harus
diuji, namun diharapkan bahwa vaksinasi akan mengurangi penularan.11

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Dengue Guidelines
Control.2009.

[cited

For Diagnosis, Treatment,


Maret

28,

2015].

Prevention And

Available

from

http://apps.who.int/tdr/svc/publications/training-guideline-publications/denguediagnosis-treatment.
2. WHO Regional Office for South-East Asia. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. 2010. [cited:
Maret

28,

2015].

Available

from

http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_DHF_preventioncontrol_guidelines_
rev.pdf.
3. Nasronudin. Patofisiologi Infeksi Virus Dengue dalam : Penyakit Infeksi di
Indonesia Solusi Kini & Mendatang. Nasronudin. Surabaya : Airlangga
University Press : 2-11. H 103-7
4. Cook, Gordon dan Alimuddin L. Zumla. Mansons Tropical Disease 22 th Edition.
Philadelphia : Saunders Elsevier. 2009.p. 753-762.
5. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan
Penyakit Tropis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010.

18

6. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Volume 2.
2010. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Available from :
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN DBD.pdf
7. Nelson WE., Kligman R. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik
Wahab.2000. Jakarta: EGC.2000
8. Sundaru Heru, Sukamto. Demam Berdarah. Dalam : Sudoyo, Ayu W, dkk, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006.h.2772-5.
9. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
10. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever Revised and Expanded Edition. India: WHO Library
Cataloguing;2011. H 5-53.
11. Clarence J. Peters. Dengue Hemorrhagic fever/ Dengue Shock Syndrome. In:
Lanco, etc, editors. Horrisons Principle of International Medicine. 18th Ed. USA :
McGraw Hill;2012.p 1632-3.
12. Nimmannitya, Suchitra. Dengue and Dengue Haemorrhagic fever. In: Gordon C.
Cook, Alimuddin I. Zumla, editors. Mansons Tropical Disease. 22 nd Ed. USA;
2009.P 753.

19

Anda mungkin juga menyukai