Anda di halaman 1dari 6

Filsafat, atau dalam bahasa arab falsafah adalah berpikir radikal, sistematis, dan

universal tentang segala sesuatu. Objek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu
yang ada. Segala yang ada merupakan bahan pemikiran filsafat. Filsafat
merupakan usaha berpikir manusia yang sistematis sehingga membentuk ilmu
pengetahuan. Filsafat adalah sebuah refleksi atas semua yang ada, seluruh realitas.
Metafisika adalah pengetahuan yang mempersoalkan hakikat terakhir eksistensi,
yang erat hubungannya dengan ilmu pengetahuan alam. Metafisika tidak hanya
sekedar bentuk pengetahuan, melainkan sebuah bentuk pengetahuan yang bersiftat
sistematik.
Dalam arti tertentu metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian
dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman yang ada.
Masalah metafisika adalah masalah yang paling dasar dan menjadi inti dalam
filsafat[1]. Metafisika dan filsafat pada umumnya ingin mengantar orang kepada
kehidupan. Metafisiska sebagai ilmu yang mempunyai objeknya tersendiri. Hal ini
memebedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Objek telaahan metasifika
berbeda dari ilmu alam, matematika, ilmu kedokteran.

1. B.

Pengertian Metafisika

Metafisika merupakan bagian dari aspek ontologi dalam kajian filsafat. Konsepsi metafisika
berasal dari bahasa Inggris: metaphysics, Latin: metaphysica dari Yunani meta ta physica
(sesudah fisika); dari kata meta (setelah, melebihi) dan physikos (menyangkut alam) atau physis
(alam). Metafisika merupakan bagian Filsafat tentang hakikat yang ada di sebalik fisika.[2]
Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia. Tegasnya tentang
realitas kehidupan di alam ini: dengan mempertanyakan yang Ada (being), Alam ini wujud atau
tidak? Siapakah kita (manusia)? Apakah peranan kita (manusia) dalam kehidupan ini?.
Metafisika secara prinsip mengandung konsep kajian tentang sesuatu yang bersifat rohani dan
yang tidak dapat diterangkan dengan kaedah penjelasan yang ditemukan dalam ilmu yang lain.
1. Secara etimologi meta adalah tidak dapat di lihat oleh panca indera, sedangkan fisika
adalah fisik. Jadi metafisika adalah sesuatu yang tidak dapat di lihat secara fisik[3].
Metafisika tidak bisa di uji secara empiris karena keberadaanya yang abstrak.
2. Secara terminology metafisika Meta berasal (bahasa Italia) berarti setelah atau
dibelakang. Adapun istilah lain metafisika berakar dari kata Yunani, metataphysica.
Dengan membuang ta tambahan dan mengubah physica ke fisika (physics) jadilah
istilah metafisika yang berarti sesuatu di luar hal-hal fisik[4]. Istilah metafisika
diketemukan Andronicus pada tahun 70 SM ketika menghimpun karya-karya Aristoteles.
Kata ini di-Arabkan menjadi ma bada al-thabiah (sesuatu setelah fisika). Menurut
penuturan para sejarahwan filsafat, kata ini pertama kali digunakan sebagai judul buku
Aristoteles setelah bagian fisika dan membuat pembahasan umum tentang eksistensi.
Sebagian filosof Muslim merasa lebih cocok menggunakan istilah ma qabla al-thabiah

(sesuatu sebelum fisika)[5]. Tampaknya, bagian yang berbeda adalah teologi


utsulujiyyah. Dalam karya-karya para filosof Muslim, semua pembahasan di atas
digabungkan dalam bagian ketuhanan dalam arti umum. Sedangkan teologi
dikhususkan dengan nama ketuhanan dalam arti khusus. Maka, metafisika dipakai
untuk menyebut kumpulan soal-soal teoretis-intelektual filsafat dalam arti umum.

1. Metafisika dalam sebuah ensiklopedia Britannica filsafat di artikan sebagai berikut:


Metaphysics is the philosophical study whose objek is to determine the meaning, structure and
principles of whater is insofar as it is. Although this study is popularly conceived as referring to
anything excessively subtle and highly theoretical and although it has been subjected to many
criticisms, it is presented by metaphysicians as the most fundamental and most comprehensive of
inquiries, inasmuch as it is concerned with reality as a whole.[6]
(Translate): Metafisika adalah studi filosofis yang objeknya untuk menentukan arti, struktur
dan prinsip-prinsip. walaupun ini mengacu pada sesuatu yang terlalu halus dan sangat teoritis
dan meskipun mengalami banyak kritik. Maka banyak pertanyaan metafisika yang paling
mendasar dan paling komprehensif, karena metafisika berkaitan dengan realitas secara
keseluruhan.[7]

1. C.

Pemikiran Para Filosof Terhadap Metafisika.

Metafisika dalam arti filosofis:


Pada abad pertengahan istilah metafisika mempunyai arti filosofis. Metafisika oleh para filsuf
Skolastik diberi arti filosofis dengan mengatakan bahwa metafisika ialah ilmu tentang yang
ada, karena muncul sesudah dan melebihi yang fisika (post physicam et supraphysicam) [8].
Istilah sesudah tidak boleh diartikan secara temporal. Istilah sesudah yang dimaksudkan disini
ialah bahwa objek metafisika sendiri berada pada sesuatu yang abstrak.

1. a.

Pemikiran Metafisika Menurut filosof Barat

Pemikiran metafisika bagi para filosof barat itu berbeda-beda. Yaitu dapat dilihat dalam uraian
berikut:

1. Menurut Plato[9] metafisika lebih cenderung pada manusia karena manusia terdiri dari
tubuh dan jiwa. Dimana sifat tubuh adalah material, sedang sifat jiwa adalah immaterial.
[10]
2. Kosmologis (alam semesta) menurut Aristoteles[11], Keteraturan alam semesta ini
ditentukan oleh gerak (motion). Gerak merupakan penyebab terjadinya perubahan
(change) di alam semesta. Akhirnya akal manusia tiba pada suatu titik yang ultimate,
yaitu sumber penyebab dari semua gerak, yaitu Unmoved Mover, Penggerak yang tadak
digerakkan. [12]
3. Dalil Etis Immanuel Kant[13], Dalam diri setiap manusia ada dua kecenderungan yang
bersifat niscaya, yaitu keinginan untuk hidup bahagia, dan berbuat baik. Kedua
kecenderungan itu akan dapat terwujud dalam kehidupan manusia apabila dijamin oleh
kebebasan kehendak keabadian jiwa, dan Tuhan sebagai penjamin hukum moral[14].
4. Cristian Wloff[15] mengkasifikasi metafisika menjadi dua yaitu, metafisika generalis
(ontologi) dan metafisika specialis (kosmologi, psikologi, dan theologi). Dimana
metafisika generalis adalah yang dapat di serap oleh inderawi, sedangkan metafisika
specialis adalah yang tidak dapat di serap oleh inderawi.[16]
1. Metafisika generalis yaitu ontologi (ilmu tentang ada atau pengada).
2. Metafisika specialis terdiri dari:
a.a. Kosmologi (alam semesta)
a.b. Psikologi (Jiwa)
a.c. Theologi (Tuhan).

1. b.

Pemikiran Metafsika Menurut Filosof Islam

1. 1.

Al-Kindi

Tentang filsafat al-Kindi[17] memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari
peradaban Islam. Ia berupaya menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua barang
yang bisa serasi, ia menegaskan pentingnya kedudukan filsfat dengan menyatakan bahwa
aktifitas filsafat yang definisi nya adalah mengetahui hakikat sesuatu sejauh batas kemampuan
manusia dan tugas filosof adalah mendapatkan kebenaran.[18]
Tentang metafisika alam al-Kindi mengatakan bahwa alam ini adalah illat-Nya. Alam itu tidak
mempunyai asal, kemudian menjadi ada karena diciptakan Tuhan. Al-Kindi juga menegaskan

mengenai hakikat Tuhan, Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada
menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, jadi Tuhan adalah wujud yang sempurna yang tidak
didahului oleh wujud yang lain.

2.

Al-Farabi

Bagi al-Farabi,[19] filafat mencakup matematika, dan matematika bercabang pada ilmu-ilmu
lain, sebagaimana ilmu itu berlanjut pada metafisika. Menurut al-farabi bagian metafisika ini
secara lengkap dipaparkan oleh aristoteles dalam metaphysics yang sering juga diacu dalam
sumber-sumber Arab sebagai book of letters, karya ini terdiri atas bagian utama yaitu:
1. Menelaah yang ada jauh keberadaannya atas ontologi
1. Menelaah beberapa kaidah pembuktian yang umum dalam logika, matematika dan
fisika, atas epistimologi
2. Menelaah apa dan bagaimana substansi-substansi mujarad (immaterial) yang

berjenjang ini menanjak dari yang terendah sampai ke yang tinggi dan berpuncak
pada wujud yang sempurna. Dan tak ada yang lebih sempurna dari apa yang telah
ada.[20]
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa suatu sebab, kalau ada sebab baginya, maka
adanya Tuhan tidak sempurna lagi. Berarti adanya Tuhan bergantung kepada sebab yang lain,
karena itu ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada, substansi itu
sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadian wujudnya. Al-Farabi dalam metafisika nya tentang
ketuhanan hendak menunjukkan keesaan Tuhan, juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara
sifat dan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan tidak berbeda dari zat Nya, karena Tuhan adalah
tunggal.[21]
Tentang penciptaan alam (kosmologi) al-farabi cenderung memahami bahwa alam tercipta
melalu proses emanasi sejak zaman azali, sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh
Tuhan, dari tidak ada menjadi ada, menuut al-Farabi, hanya Tuhan saja yang ada dengan
sendirinya tanpa sebab dari luar dirinya. Karena itu ia disebut wajib al-Wujudu zatih.[22]
Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan
wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang
merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah
swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi
wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya adalah ilmu Tuhan tentang
diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya ( al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu
tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.
Secara konseptual hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.

2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.


3.

Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).


1. Benda-benda bumi (teresterial).[23]

Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul
dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan
tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam
materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas
merupakan solusinya bagi al-Farabi.
Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan
dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan
pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama
(First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan
dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu
juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama dan selanjutnya dengan segala
planet yang ada pada sistem tata surya.

3.

Al-Razi

Persoalan metafisika yang dibahas oleh al-Razi[24] seperti halnya yang ada pada filsafat yunani
kuno yaitu tentang adanya lima prinsip yang kekal yaitu: Tuhan, Jiwa Unversal, materi pertama,
ruang absolut, dan zaman absolut.[25]
Secara prinsip tentang metafiska dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan substansi
ketuhanan-nya kemudian akal, akal berfungsi menyadarkan manusia bahwa dunia yang dihadapi
sekarang ini bukanlah dunia yang sebenarnya, dunia yang sebenarnya itu dapat dicapai dengan
berfilsafat. Dalam karya tulis al-Razi, al-Tibb al-Ruhani (kedokteran Jiwa) tampak jelas bahwa ia
sangat tinggi menghargai akal, dikatakannya bahwa akal adalah karya terbesar dari Tuhan bagi
manusia.
1. D. Posisi Metafsisika dalam Objek Filsafat
2. Objek Filsafat
Objek filsafat adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan
pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek yang di bedakan menjadi dua
yaitu objek material dan dan objek formal.[26]
1. Objek material filsafat yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu.[27] Objek material adalah hal yang di selidiki, di pandang
atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu. Objek material mencangkup hal-hal yang konkret
ataupun hal-hal yang abstrak.

1. Objek formal yaitu sudut pandang yang di tujukan pada bahan dari penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu. Objek formal filsafat yaitu pandangan yang menyeluruh
secara umum , sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materialnya. Objek formalnya
membahas objek material itu sampai ke hakikat atau esensi yang di hadapinya.

1. Metafisika di dalam Objek Filsafat


Metafisika adalah cabang filsafat yang harus di teliti keberadaanya. Metafiska berkaitan dengan
objek formal filsafat yaitu menelaah secara keseluruhan sehingga dapat mencapai hakikat dari
objek materialnya. Adapun objek formalnya membahas objek material itu sampai ke hakikat atau
esensi yang di hadapinya.

1. Objek Metafisika
Objek metafisika itu sendiri menurut Prof. B. Delfgaauw adalah objek yang tidak dapat
ditangkap dengan panca indera[28]. Menurut Hoffmann objek metafisika adalah pikiran, gerak
waktu, sebab, akibat, tujuan, cara, hukum, moral, dll.
1. E.

Penutup

Metafisika merupakan bagian dari aspek ontologi dalam kajian filsafat. Konsepsi metafisika
berasal dari bahasa Inggris: metaphysics, Latin: metaphysica dari Yunani meta ta physica
(sesudah fisika); dari kata meta (setelah, melebihi) dan physikos (menyangkut alam) atau physis
(alam). Metafisika merupakan bagian Filsafat tentang hakikat yang ada di sebalik fisika.
Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia. Tegasnya tentang
realitas kehidupan di alam ini: dengan mempertanyakan yang Ada (being). Secara etimologi
meta adalah tidak dapat di lihat oleh panca indera, sedangkan fisika adalah fisik. Jadi metafisika
adalah sesuatu yang tidak dapat di lihat secara fisik. Yang tidak bisa di uji secara empiris.
Pemikiran Metafisika di bagi ke dalam pemikiran filosof barat dan Islam. Menurut pemikiran
filosof barat metafisika adalah suatu eksistensi yang cenderung terhadap duniawi (manusia)
kecenderungan yang bersifat niscaya, yaitu keinginan untuk hidup bahagia, senang, sedih, marah,
benci, cinta. Dan berbuat baik. Sedangkan metafisika Islam cenderug kepada Wujud yang
abstrak dan bersifat mutlak yaitu Tuhan (Allah Swt).

Anda mungkin juga menyukai