PERNIKAHAN DINI
PADA BEBERAPA
PROVINSI DI
INDONESIA:
AKAR MASALAH &
PERAN KELEMBAGAAN
DI DAERAH
2012
Direktorat Analisis
Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan
dan
Keluarga Berencana
Nasional
JAKARTA
2012
BUKU III
PERNIKAHAN DINI
PADA BEBERAPA PROVINSI
DI INDONESIA:
AKAR MASALAH DAN PERAN
KELEMBAGAAN DI DAERAH
2012
Direktorat Analisis
Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional
PENANGGUNG JAWAB:
Drs. Suyono Hadinoto, M.Sc
PENGARAH :
Dr. Tb. Rachmat Sentika, dr., Sp.A., MARS
TIM PENULIS
Koordinator
Aminullah, S.Sos, MM
Anggota
Tubagus Adi Satria P, SE, ME
Ristya Ira Murti, SE, MAPS
Fajar Ajie Setiawan, SIP
Editor
Tito Agung Yuswono, SE
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karuniaNya buku III Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi di Indonesia: Akar
Masalah dan Peran Kelembagaan Di Daerah dapat tersusun dan
tersajikan. Buku III ini merupakan buku isu spesifik yang kedua dari bukubuku mengenai permasalahan dan isu-isu strategis mengenai dampak
kependudukan terhadap aspek sosial ekonomi yang akan disusun
selanjutnya.
Buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam memahami
permasalahan dampak kependudukan terhadap aspek sosial dan
ekonomi di Indonesia, khususnya mengenai pernikahan dini. Fenomena
pernikahan dini sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi keluarga dan
berdampak pada kemiskinan perempuan yang mengalaminya. Penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh gambaran komprehensif sejauh mana
dampak sosial ekonomi kependudukan yang terjadi di daerah terkait
dengan fenomena pernikahan usia dini dan sejauh mana peran pengambil
kebijakan dalam mencegahnya.
Kami menyadari masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan
dalam penulisan dan penyusunan buku ini, untuk itu dengan senang hati
kami menerima masukan yang bersifat membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan
dan penyusunan buku ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya, semoga hasilnya dapat bermanfaat.
Jakarta, Desember 2012
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Direktur,
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................................................
Latar Belakang............................................................................................................
Identifikasi Masalah ................................................................................................
Tujuan Hasil yang Diharapkan .............................................................................
1
1
6
7
BAB II
METODE PENELITIAN...........................................................................................
Objek dan Lokasi Kajian Metode Penelitian ....................................................
Analisis Data ................................................................................................................
Reliabilitas dan Validitas. ..............................................................................
9
9
10
16
BAB III
PERNIKAHAN DINI SEBAGAI ISU STRATEGIS ..........................................
Pengertian Pernikahan Dini ..................................................................................
Isu Pernikahan Dini Di Tingkat Global...............................................................
Beberapa Penyebab Pernikahan Dini ................................................................
19
20
24
35
BAB IV
FENOMENA PERNIKAHAN DINI DI INDONESIA ......................................
Kebijakan Nasional Terkait Pernikahan Dini..................................................
39
44
iii
BAB V
STUDI KASUS PERNIKAHAN DINI PADA 4 PROVINSI.............................
Provinsi Kalimantan Selatan ................................................................................
Provinsi Bangka Belitung .......................................................................................
Provinsi Sulawesi Tengah ......................................................................................
Provinsi Jawa Barat...................................................................................................
Analisis Perbandingan ............................................................................................
53
53
65
77
88
95
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................................... 107
Kesimpulan .................................................................................................................. 107
Rekomendasi.............................................................................................................. 110
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 113
iv
ABSTRAK
Executive Summary
vi
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR MASALAH
Berdasarkan data UNDESA (2011)1 Indonesia termasuk negara dengan
persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia (ranking 37). Posisi ini
merupakan yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Pada
kenyataannya menurut data Riskesdas (2010)2, perempuan muda di
Indonesia dengan interval usia 10-14 tahun yang telah menikah terdapat
sebanyak 0.2 persen atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14
tahun di Indonesia sudah menikah sebelum usia 15 tahun. Pada interval
usia yang lebih tinggi, perempuan muda berusia 15-19 yang telah
menikah memiliki angka 11,7% jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun sejumlah 1,6 %. Sementara
untuk interval usia diantara kelompok umur perempuan 20-24 tahun
ditemukan bahwa lebih dari 56,2 persen sudah menikah.
Provinsi dengan persentase perkawinan dini (<15 th) tertinggi adalah
Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan
Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen dan Banten 6,5
Persen. Sementara Provinsi dengan persentase perkawinan dini untuk
interval 15-19 tahun tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah
(52,1%), Jawa Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Selatan (48,4%),
Bangka Belitung (47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3%).
United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, Population Facts 2011/1
2
Balitbang Kesehatan Kemkes RI, Riset Kesehatan Dasar, Kementerian Kesehatan 2011
Field, Erica, Consequences of Early Marriage for Women in Bangladesh, Harvard University, (2004).
Choe, Thapa, dan Achmad, Early Marriage and Childbearing in Indonesia and Nepal in East-West
Center Working Papers: Population Series No. 108-15, November 2001. East West Center (2001)
5
Ibid.
6
Jones & Gubhaju, Trends in Age at Marriage in Provinces of Indonesia, in Asia Research Institute
Working Paper no 105: 2008, Asia Research Institute NUS - Singapore (2008)
Ibid.
Moeljarto, Vidhyandika Gender dan Kemiskinan : menelaah posisi perempuan dalam pembangunan
pertanian, dalam Analisa CSIS XXVI (4) 1997: 372-385. (1997)
9
Klasen, S., Wink, C. A Turning Point in Gender Bias in Mortality? An Update on the Number of Missing
Women in Population and Development Review 28 (2) : 285-312 (June 2002).
10
UNICEF, Child Marriage in Child Protection information Sheet, The Unicef, (2006)
8
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Pernikahan Dini merupakan gambaran rendahnya kualitas
kependudukan dan menjadi fenomena tersendiri di berbagai daerah.
Akibat kependudukan yang timbul di tingkat keluarga beragam dan
berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga. Disisi kebijakan
nasional, respon atas masalah ini sudah menjadi isu yang cukup strategis
namun belum memiliki gambaran akurat terhadap respon kebijakan yang
diperlukan. Permasalahan-permasalahan tersebut menimbulkan
pertanyaan penelitian yang perlu dijawab antara lain:
TUJUAN
BAB II
METODE PENELITIAN
OBYEK DAN LOKASI KAJIAN
Obyek penelitian merupakan Provinsi yang mengalami tingkat
pernikahan tinggi berdasarkan data Riskesdas 2010 dimana dilakukan
Studi kasus ditingkat Keluarga dan Pengambil Kebijakan setempat. Dari
seluruh Provinsi tersebut dipilih 4 Provinsi antara lain Kalimantan
Selatan, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah dan Jawa Barat sebagai
Provinsi yang akan diteliti.
Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan data Riskesdas 2010 dengan
memilih Provinsi dengan tingkat pernikahan dini tertinggi. Provinsi
dengan persentase perkawinan dini (<15 th) tertinggi adalah Kalimantan
Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur dan
Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen dan Banten 6,5 Persen.
Sementara Provinsi dengan persentase perkawinan dini untuk interval
15-19 tahun tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa
Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Selatan (48,4%), Bangka Belitung
(47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3%). Selain itu pemilihan lokasi
dilakukan sebab Keempat Provinsi terpilih memiliki kecenderungan
overpopulated diatas laju pertumbuhan penduduk nasional (1,49%)
dimana keempat provinsi tersebut antara lain: Kalimantan Selatan
(1,98%), Bangka Belitung (3,14) Sulawesi Tengah (1,94%) dan Jawa Barat
(1,89%).
Selain itu secara lebih mendalam akan dilakukan studi pada satu
kabupaten setempat di masing masing Provinsi yang cenderung padat
penduduk (overpopulated). Untuk Kalimantan Selatan dilakukan di Kab.
Banjar (Martapura), salah satu kawasan padat penduduk di Kalimantan
Selatan sekaligus Kabupaten yang menopang kawasan urban
Banjarmasin dan memiliki tingkat pernikahan dini yang tinggi di Kalsel.
Untuk Provinsi Bangka Belitung dilakukan di Kab. Bangka Selatan yang
merupakan kawasan kantong kemiskinan dan memiliki tingkat
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan eksploratif
dengan melakukan pengumpulan data primer berupa In-depth interview
dan Focus Group Discussion serta menggunakan beberapa pendekatan
dalam metodologi case study interpretif (memahami fenomena melalui
pemaknaan dari orang-orang yang terlibat didalamnya) dan metodologi
grounded theory (membangun kesimpulan secara induktif berdasarkan
data yang diperoleh untuk menjelaskan suatu fenomena sosial). Selain itu
dilakukan desk study untuk memperoleh data sekunder yang disusun
berupa deskripsi statistik dan analisis data literatur untuk kemudian
dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan data lapangan yang
diperoleh secara cross sectional di 4 Provinsi terpilih.
Metode pendekatan kualitatif dipilih karena dapat mengungkapkan
fenomena khusus kebijakan penjaminan kesehatan masyarakat secara
mendalam dari sisi pengambilan kebijakan. peneliti akan melakukan
investigasi, yaitu secara bertahap peneliti berusaha memahami gejalag e j a l a ke b i j a k a n d e n g a n m e m b e d a k a n , m e m b a n d i n g k a n ,
mengkatalogkan, dan mengelompokkan obyek studi. Peneliti memasuki
dunia informan dan melakukan interaksi dengan informan, dan mencari
sudut pandang informan melalui wawancara mendalam, diskusi-diskusi
secara berkelompok dan terfokus dengan stakeholders terkait serta
melakukan observasi langsung di lapangan.
Case study dipilih karena metode ini dapat mempelajari satu unit
kelompok tertentu untuk tujuan memahami kelompok yang lebih besar,
sebagaimana dinyatakan oleh Gerring (2007) dimana case study adalah
an intensive study of a single unit for the purpose of understanding a larger
class of (similar) units.
10
11
13
14
Analisis Data
Pada proses analisis data, peneliti menggunakan data-data yang telah
diperoleh di lapangan melalui pengumpulan data primer. Untuk
mengidentifikasi mengenai masalah dan potensi desa yang berkembang,
data hasil pemetaan yang sudah diperoleh dari lapangan peneliti anggap
sebagai awal dari kegiatan dimana peneliti melakukan eksplorasi terus
menerus untuk mengembangkan data yang diperoleh dari lapangan
sehingga ia menangkap pendalaman tema yang spesifik. Kemudian
peneliti mengembangkan tema-tema tersebut sebagai fokus
penelitiannya. Setelah diperoleh hasil identifikasi permasalahan dan
potensi, peneliti melakukan analisa untuk memperoleh gambaran
rekomendasi strategi yang tepat.
Pendekatan Kualitatif
Observasi
terlibat
Catatan
Wawancara
Rekaman
Wawancara
Foto
kegiatan
Dokumen
Pengolahan Data
Identifikasi
Permasalahan
Analisa
Rekomendasi
15
2)
3)
16
4)
5)
8)
17
18
BAB III
PERNIKAHAN DINI SEBAGAI ISU STRATEGIS
Periode remaja adalah sebuah masa transisi baik dari segi fisik maupun
psikis yang menjadi periode di dalam kehidupan setiap manusia. Secara
fisik, periode ini ditandai dengan munculnya pubertas, yaitu mulai
aktifnya seorang remaja secara seksual, munculnya pertumbuhan dan
perubahan fisik yang cepat dan munculnya ketertarikan terhadap lawan
jenis baik secara fisik maupun seksual (Lahey, 2004). Dari segi psikis,
periode remaja adalah sebuah periode transisi dari kanak-kanak menuju
dewasa. Hal ini bukanlah sebuah proses yang terpisah dengan proses
sebelumnya, melainkan sebuah tahapan lebih lanjut dari masa kanakkanak untuk mempersiapkan kematangan menuju masa dewasa. Dalam
periode remaja ini, terjadi pembentukan pola perilaku dan proses
pencarian jati diri, sehingga periode ini seringkali ditandai dengan
munculnya instabilitas emosi. Periode remaja adalah sebuah periode
persiapan menuju dewasa, salah satunya adalah persiapan psikis terkait
dengan pernikahan dan pembentukan keluarga (Hurlock, 1999).
Periode remaja ini kemudian menjadi periode penting di dalam
pertumbuhan manusia mengingat banyaknya proses, baik fisik maupun
psikis, yang terjadi di dalamnya. Proses pertumbuhan ini dapat
terganggun oleh beberapa hal, salah satunya adalah pernikahan dini
(early marriage). Pernikahan adalah kemitraan yang mengikat yang
disahkan oleh hukum antara dua orang dewasa tanpa adanya paksaan.1
Terjadinya pernikahan di dalam periode remaja ini dapat mengganggu
beberapa proses pertumbuhan seperti dapat terganggunya proses
pendewasaan diri dan belum matangnya fisik pihak yang melakukan
pernikahan, terutama bagi perempuan muda. Pernikahan dini kemudian
dinilai sebagai isu penting yang harus memiliki batasan yang jelas, tidak
1
Plan-Uk, Early and Forced Marriage facts, figures, and what you can do, diakses melalui
http://www.plan-uk.org/early-and-forced-marriage/ pada 28 Mei 2012.
19
saja di dalam skala nasional tetapi juga di dunia internasional.2 Hal ini
dikarenakan pernikahan dini seringkali berujung pada kerugian baik dari
segi kesehatan maupun perkembangan bagi pihak wanita, dan juga isu ini
menjadi sebuah isu pelanggaran HAM yang paling terabaikan secara luas.3
Berbagai konvensi internasional telah dilangsungkan terkait dengan isu pernikahan dini dan hak asasi
anak dan wanita seperti Convention on the Elimination on All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW) tahun 1979.
3
IPPF, Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action, International Planned Parenthood
Federation and the Forum on Marriage and the Rights of Women and Girls, 2006.
4
The Inter-African Committee, Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children (1993),
Newsletter, Desember 1993.
21
Act of The Parliament of The Republic of Ghana Entitled The Childrens Act, 1998, diakses melalui
http://www.law.yale.edu/rcw/rcw/jurisdictions/afw/ghana/Ghana_Childrens_Act.pdf pada
30 Mei 2012
European Union, Parliamentary Assembly Resolution 1468 (2005) Forced Marriages and Child
M a r r i a g e s , d i a k s e s m e l a l u i h t t p : / / a s s e m b l y. c o e . i n t / M a i n . a s p ? l i n k = /
Documents/AdoptedText/ta05/ERES1468.htm pada 31 Mei 2012
21
22
23
2.
3.
24
4.
25
Jones & Gubhaju (2008), Trends in Age at Marriage in Provinces of Indonesia, Asia Research Institute
Working Paper no 105
27
yang telah diatur. Hal ini menunjukkan peran keluarga sangat erat terkait
dengan pernikahan dini. Menurut Amartya Sen (1990)9, hubungan
keluarga, serupa dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, meliputi
kombinasi kecocokan dan konflik. Manfaat yang nyata bertambah bagi
semua pihak sebagai hasil dari ketetapan keluarga, tetapi wujud dari
pembagian kerja dan kesanggupan menentukan distribusi yang spesifik
mengenai keuntungan-keuntungan yang diperoleh serta menentukan
pola-pola tertentu dari ketidakadilan. Peter McDonald10 mengungkapkan
bahwa berdasarkan berbagai sumber selama abad 20, perempuan yang
lembaga hidupnya berada dalam orientasi keluarga (family-oriented
institutions) cenderung mengalami fertilitas yang tinggi serta kesetaraan
gender yang buruk.
Lupin Rahman dan Rao (2004)11 mengungkap bahwa keuntungan dari
bias pertumbuhan ekonomi terhadap pria memberikan dampak yang
negatif bagi peran perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga.
Mereka juga mengungkap bahwa terdapat bukti bahwa kekayaan
rumahtangga sebenarnya mengurangi peran perempuan dalam
pengambilan keputusan rumahtangga.
Lalu bagaimanakah dampaknya terhadap kualitas keluarga pada
pernikahan dini? Vidhyandika Moeljarto (1997)12 mengungkap bahwa
pengaruh hubungan gender yang asimetris menyebabkan kurangnya
akses wanita terhadap bermacam hal seperti pangan, kesehatan,
pendidikan dan skill yang dapat mendukung mereka agar dapat produktif.
Kurangnya akses tersebut secara langsung berakibat pada kemiskinan.
Dengan dasar acuan Todaro, ia menjelaskan bahwa bila wanita miskin,
maka anak menjadi satu-satunya sumber yang dapat dikontrol untuk
mengurangi beban pekerjaan mereka. Hal itu berakibat lepasnya
pendidikan dan kemiskinan semakin menjadi.
9
Sen, Amartya (1990), Cooperation, Inequality, and the Family in McNicoll, G. and Mead Cain (1990),
Rural Development and Population: Institutions and Policy, New York: Oxford University Press.
10
McDonald, Peter (2000), Gender Equity in Theories of Fertility Transition in Population and
Development Review 26 (3) : 427-439 (September 2000).
11
Rahman, Lupin, Rao, V. (2004), The Determinants of Gender Equity in India: Examining Dyson and
Moores Thesis with New Data in Population and Development Review 30 (2) : 239-268 (June
2004).
12
Moeljarto, Vidhyandika (1997), Gender dan Kemiskinan : menelaah posisi perempuan dalam
pembangunan pertanian, dalam Analisa CSIS XXVI (4) : 372-385.
28
Daulay, Harmona (2001), Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran: Studi Kasus TKIW di
Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang Jawa Barat, Yogyakarta: Galang Press dan Ford
Foundation.
14
Boserup, Ester (1990), Population, the Status of Women, and Rural Development in McNicoll, G. and
Mead Cain (1990), Rural Development and Population: Institutions and Policy, New York: Oxford
University Press.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH
29
Toffler, Alvin, (1971), Future Shock, Bantam Books, New York . Hal. 355.
Ibid Hal. 359.
30
31
17
United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, Population Facts 2011/1
33
Tabel. 2.1
Persentase perempuan umur 20-24 dalam kurun 2000-2010 yang
telah menikah pada 18 tahun di negara-negara dengan umur
minimum menikah 18 tahun.18
18
Ibid.
34
35
36
19
Kim, Minja., Thapa, Shyam., and Achmad, Sulistinah, Early Marriage and Childbearing in Indonesia and
Nepal, East-West Center Working Paper No.108-15, East-West Center, hal. 8
20
Ibid. hal. 10-11
37
38
BAB IV
FENOMENA PERNIKAHAN DINI
DI INDONESIA
39
40
Gambar 2.1
(sumber: RISKESDAS, 2010)
41
Tabel 2.3.
Persentase Perempuan Pernah Kawin 10-59 menurut Umur
Perkawinan Pertama dan Karakteristik, (Riskesdas, 2010)
Berdasarkan hasil Riskesdas 2010 jika dilihat dari sisi kultur, maka umur
perkawinan usia muda sejak dini 10-14 tahun sebenarnya sudah terjadi
sejak dulu. Terlihat dari persentase pada kelompok umur 55-59 tahun,
diantara mereka 8,3 persen menikah pada usia 10-14 tahun, dan 42,1
persen menikah pada usia 15-19 tahun. Pada perempuan kelompok 15-19
tahun, masih ada 5,4 persen menikah pada usia 10-14 tahun. Hal ini
berarti dalam 4 tahun terakhir masih terjadi pernikahan usia dibawah
lima belas tahun dalam jumlah lebih dari persen. Jika dilihat dari
karakteristik pekerjaan dan lokasi, perkawinan usia sangat muda (10-14
tahun) banyak terjadi pada perempuan di daerah perdesaan, pendidikan
rendah, status ekonomi termiskin, dan kelompok petani/nelayan/buruh.
Pernikahan yang terjadi pada kelompok umur 10-14 sebesar 6,2% dan
kelompok umur 15-19 sebesar 48,3%. Terlihat berbanding jauh dengan
42
43
Tabel 3.4
United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, Population Facts 2011/1
45
Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 berbunyi, Untuk perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini,
maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No.158), dan Peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.
46
47
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau
pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
e. ketidakadilan; dan
Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pasal 1 UUPA menjelaskan mengenai definisi dari anak-anak dan
perlindungan anak. Pasal 4 terkait dengan penjelasan mengenai hak anak,
terutama hak perlindungan dari diskriminasi yang seringkali terjadi di
dalam pernikahan dini. Pasal 13 menjelaskan hak anak untuk terlindungi
dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, dan ketidakadilan dari orangtua
yang merupakan bentuk pelanggaran dari pernikahan dini karena selain
diskriminasi, pernikahan dini dapat menjadi bentuk eksploitasi anak
apabila terkait dengan alasan ekonomi/politik, dan secara umum
merupakan bentuk ketidakadilan terhadap anak terutama anak
perempuan. Pasal 26 menyebutkan bahwa orangtua memiliki kewajiban
untuk mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak-anak, dalam UUPA
ini yaitu yang berada di bawah umur 18 tahun sehingga apabila terjadi
pernikahan dini maka pada dasarnya orangtua bertanggung jawab untuk
mencegah agar pernikahan dini tidak terjadi.
48
Pernikahan dini juga terkait dengan berkurangnya taraf hidup anak dan
hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal untuk
mengembangkan dirinya dikarenakan bertambahnya tanggung jawab di
dalam rumah tangga terutama setelah mengandung dan memiliki anak.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 60 ayat 1 UU HAM karena disebutkan
bahwa,
Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakal, dan tingkat
kecerdasannya.
49
50
51
52
BAB V
STUDI KASUS PERNIKAHAN DINI
PADA EMPAT PROVINSI
Gambaran nasional pada Bab sebelumnya menunjukkan terjadinya
disparitas yang berbeda antar wilayah dimana tidak semua wilayah
memiliki angka pernikahan dini yang tinggi dan persebaran lokasi yang
tidak terkonsentrasi pada wilayah tertentu. Untuk memberikan
gambaran fenomena pernikahan dini secara lebih komprehensif mengapa
terdapat perbedaan tersebut maka perlu ditinjau kondisi di beberapa
provinsi dengan tingkat pernikahan dini yang cenderung tinggi. Sebagai
gambaran, maka dapat diambil studi kasus padaempat provinsi di wilayah
geografis yang berbeda yakni Kalimantan Selatan, BangkaBelitung,Sulawesi Tengah dan Jawa Barat. Secara umum dapat diuraikan
sebagai berikut:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar 2010, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2010.
53
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan, Sensus 2010, diakses melalui
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=6300000000&wilayah=Kalimantan-Selatan pada
20 Juni 2012.
54
Radar Banjarmasin, Pernikahan Dini Kalsel Tertinggi, Radar Banjarmasin Online, diakses melalui
http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/Radar%20Banua/30362 pada 20
Juni 2012.
BKKBN Provinsi Kalsel, Profil Data Kependudukan dan KB Nasional Provinsi Kalimantan Selatan,
Februari 2012.
Bharata News, Seks Bebas Remaja Banjarmasin Meningkat, diakses melalui
http://www.bharatanews.com/berita-831-seks-bebas-remaja-banjarmasin-meningkat.html
pada 20 Juni 2012.
55
dan 125 jiwa berstatus cerai mati. Angka ini masih dapat meningkat
mengingat masih terdapat 2,148 jiwa yang tidak ditanyakan pada
kelompok umur 10-14 tahun dan 3,500 jiwa pada kelompok umur 15-19
tahun.6
Gambaran Permasalahan
Provinsi Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang memiliki budaya
agamis yang cukup kental. Hal ini sangat kuat terasa terjadi baik di
perkotaan maupun pedesaan. Disisi lain pertumbuhan ekonomi yang
sangat pesat khususnya dari sektor pertambangan memberikan
sumbangan yang tidak kecil bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat. Pesatnya pertumbuhan ekonomi tersebut berdampak pada
pola perilaku konsumtif dan mempercepat arus modernisasi yang terjadi.
Situasi ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan pernikahan dini,
Provinsi Kalimantan Selatan memiliki satu karakteristik pernikahan dini
yang sejalan dengan hasil penelitian Jones & Gubhaju (2008)7, bahwa
pernikahan dini di Indonesia secara frekuen merefleksikan pernikahan
yang telah diatur. Berdasarkan pernyataan berbagai narasumber,
pernikahan dini di Kalimantan Selatan yang masih diatur secara kultur
masih banyak terjadi baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan.
Meskipun kesejahteraan masyarakat Kalimantan Selatan meningkat
pesat akibat pertambangan, hal ini tidak mengurangi tingkat pernikahan
dini baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan.
Untuk mengkaji hal tersebut, studi secara mendalam dilakukan di
Kabupaten Banjar, Kabupaten Banjar dipilih karena merupakan salah
satu Kabupaten dengan tingkat pernikahan dini yang cukup tinggi di
Kalimantan Selatan dan letaknya yang secara geografis sangat strategis
dapat memberikan gambaran permasalahan yang terjadi baik dari sisi
perkotaan maupun dari sisi pedesaan tersebut. Berdasarkan data Kantor
Agama setempat jumlah dari 6034 pasangan yang menikah, terdapat
2590 perempuan berusia dibawah 20 tahun (40% dari total perempuan).
6
7
56
57
diakui oleh seluruh narasumber dimana saat ini remaja jauh lebih bebas
dalam berpacaran sebagaimana dapat disaksikan secara jelas di tamantaman kota khususnya di sore dan malam hari, hal ini dapat disaksikan
bahkan hingga ke kota Banjarmasin.
Kenyataan tersebut membuat orang tua semakin ketakutan, dan pada
akhirnya membuat orang tua justru mengatur agar pernikahan dilakukan
lebih cepat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat sebagaimana
ditunjukkan oleh modernisasi justru semakin mendorong terjadinya
pernikahan di usia dini.
Lalu dimanakah peran pendidikan? pada beberapa penelitian
sebelumnya diungkapkan bahwa faktor pendidikan menjadi hal penting
untuk mencegah terjadinya pernikahan dini. Seharusnya perekonomian
yang membaik akan meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat dan
pada akhirnya berdampak pada penurunan angka pernikahan dini. tetapi
hal ini tidak terjadi di Kalimantan Selatan. Pertumbuhan ekonomi yang
pesat maupun fasilitas pendidikan yang telah disediakan tidak dibarengi
minat masyarakat pada pendidikan.
Faktor tarikan ekonomi dari pertambangan batu bara yang begitu kuat
telah memikat remaja pria untuk bekerja di pertambangan. Tingginya
pendapatan yang diperoleh telah menyebabkan remaja pria memilih
untuk bekerja di tambang ketimbang untuk melanjutkan studinya.
Berdasarkan hasil pengamatan maupun wawancara, kebanyakan dari
mereka yang bekerja adalah lulusan SMP/SMA/SMK. Ekspektasi mereka
pada umumnya adalah mereka memperoleh modal yang cukup dengan
bekerja di tambang. Menikah telah menjadi tujuan awal mereka sehingga
ketika mereka sudah merasa memiliki modal yang cukup, mereka akan
langsung melamar gadis yang sudah dipacarinya atau mencari calon yang
disukai untuk segera dinikahinya. Di pedesaan pada umumnya remaja
usia 17- 18 tahun telah memiliki sedikit penghasilan dan pada usia inilah
biasanya mereka mulai menikah.
Pola perkawinan usia dini di Banjar pada umumnya adalah pada usia
sepantar, usia remaja perempuan yang dipinang oleh para remaja pria ini
58
biasanya sebaya atau sedikit lebih muda beberapa tahun. Pada salah satu
pasangan yang diwawancarai, mereka mengakui saling menyukai (tidak
dijodohkan) dan mereka bersepakat untuk menikah karena satu sama
lain sudah merasa cukup siap untuk menikah (tidak ada lagi yang mereka
cari). Alasan mereka ini didukung oleh orang tua yang takut jika mereka
sudah keburu tua, tidak sanggup lagi membiayai pernikahannya dan takut
jika tidak segera dinikahkan akan menjadi omongan masyarakat. Remaja
perempuan yang diwawancara ini mengaku berusia 17 tahun dan lulus
SMP. Ia tidak melanjutkan sekolahnya karena orang tua menganggap
sudah cukup dan tidak perlu lagi melanjutkan sekolah. Hal serupa juga
terjadi pada teman-temannya yang menurutnya kebanyakan lulus
SMP/Pesantren langsung menikah. Hal ini membuat kelompok remaja
disana cenderung takut anggapan negatif bila mereka terlambat menikah.
Alasan serupa juga diungkapkan pasangan lainnya yang diwawancara,
bahkan mereka menambahkan bahwa lingkungan sangat mendukung
bagi siapapun pasangan muda yang ingin segera menikah. Terlepas hal ini
benar atau tidak namun perspektif inilah yang ditangkap oleh pasangan
tersebut selama ini.
Remaja perempuan usia SMP di Kalimantan Selatan merupakan usia yang
rentan. Berdasarkan hasil observasi lapangan di Kota Banjarmasin,
banyak terdapat kumpulan remaja perempuan dengan usia SMP di
tempat umum seperti balai kota pada sore hingga malam hari. Ketika
salah satu remaja perempuan tersebut diwawancara, dia mengakui masih
berusia 13 tahun lebih. Pada saat yang sama ia dikenalkan oleh temanteman sepermainannya dengan remaja laki-laki berusia 17 tahun yang
sudah bekerja di tambang. Para remaja perempuan dan laki-laki ini
berpakaian menarik, mengendarai motor dan memiliki telpon genggam.
Narasumber BPS mengungkapkan dalam proses pengumpulan data,
mereka tidak jarang menemui wanita usia subur yang sudah menikah di
usia masih dini bahkan belum menstruasi pun sudah menikah.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun fasilitas pendidikan telah ada
namun minat sebagian masyarakat untuk bersekolah belum besar
khususnya bagi perempuan. Sementara untuk anak laki-laki orang tua
lebih berminat menyekolahkan ke sekolah agama/pesantren yang
seringkali tidak tercatat secara statistik. Informasi mengenai dampak dari
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH
59
pernikahan dini ini sendiri belum sampai dengan jelas pada mereka
maupun pada orang tua. Pemahaman orang tua masih rendah baik soal
pernikahan dini maupun pentingnya pendidikan bagi remaja perempuan.
Salah satu pimpinan dinas pemberdayaan perempuan pada diskusi
mengungkapkan bahwa orang tua cenderung tidak takut untuk
menikahkan anak di usia dini. ia mengungkapkan pernah bertemu orang
tua yang menikahkan sendiri anak perempuannya saat masih berusia 16
tahun tanpa melalui pengadilan (untuk menghindari biaya sidang), dan
ketika ditanya alasannya ia mengungkapkan bahwa dirinya takut terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Masalah pendidikan ini berdampak pula pada kualitas kesehatan,
terdapat beberapa kasus kematian ibu terjadi karena sang ibu terlambat
mendeteksi dikarenakan pemahaman yang rendah. Selain itu
Narasumber Dinas Kesehatan juga mencatat bahwa banyak kasus
kematian ibu terjadi akibat suami terlambat dalam mengambil keputusan
sehingga menghambat upaya rujukan.
Tingginya pasangan usia muda ini berdampak pula pada kualitas keluarga
yang dibangun, Salah satu narasumber menyoroti bahwa dahulu
pasangan menikah usia dini tetap langgeng hingga tua, namun saat ini
banyak sekali kasus perceraian terjadi. Hal ini dibenarkan oleh berbagai
narasumber termasuk dari kantor pengadilan agama yang menyatakan
bahwa perceraian kini banyak terjadi pada pasangan usia muda tersebut.
Telah menjadi tradisi di Kalimantan Selatan, apabila pasangan melakukan
pernikahan, maka pasangan akan ikut pada orang tua pihak perempuan
untuk jangka bebrapa lama. Masalah biasanya muncul ketika campur
tangan orang tua terjadi. Kemapanan orang tua seringkali mendorong
terjadinya pernikahan. Hal ini seringkali menyebabkan pasangan belum
siap berumah tangga dan masih memiliki emosi yang masih labil dan pada
akhirnya berdampak pada perceraian.
Peran Kelembagaan
Pada tingkat Masyarakat, Kalimantan Selatan memiliki kelembagaan yang
sangat kuat dari sisi Agama. Tokoh agama berpengaruh penting dalam
pengambilan keputusan keluarga. Bahkan tidak sedikit keluarga yang
lebih memilih menyekolahkan anaknya di pesantren dibandingkan
60
dengan sekolah formal. Sekolah agama menjadi pilihan utama bagi orang
tua untuk menyekolahkan anaknya pasca lulus SD.
Beberapa narasumber menganggap bahwa faktor agama sudah sangat
melekat dalam kehidupan masyarakat Banjar. Sehingga tokoh agama pun
menjadi panutan mereka yang utama dan perannya sangat menentukan
pilihan jalan warganya termasuk dalam hal menikah. Pada dasarnya
menurut beberapa narasumber, tokoh agama tidak sulit untuk didekati
dan mereka memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam
mempengaruhi massa. Mereka sendiri apabila dijelaskan pada dasarnya
memahami maksud dari program pencegahan nikah usia dini tersbut
namun pendekatan ini dirasa masih kurang.
Sementara dari sisi kelembagaan keluarga, faktor orangtua pada
dasarnya masih sangat kuat dalam menentukan pilihan bagi sang anak.
Menurut beberapa narasumber, pada tingkat ekonomi yang lebih mapan,
keluarga akan mengambil keputusan untuk memberikan pendidikan
yang baik pada anaknya namun disisi lain orang tua cenderung
menggunakan pola pikir sederhana sehingga ketakutan pada
pelanggaran norma agama membuat mereka pada akhirnya tetap
menikahkan anaknya tersebut sebelum mereka melanjutkan pendidikan
ketingkat yang lebih tinggi. Menurut narasumber BPS, berdasarkan
pengalaman pribadi di lapangan, selain nilai agama, alasan lain orang tua
adalah mereka tidak ingin malu dan menanggung beban kalau anak
perempuan mereka belum menikah, baik dari sisi ekonomi (selagi mereka
mampu) maupun akan terlibat pergaulan bebas.
Dari sisi pengembangan kebijakan, pada dasarnya para pelaksana
kebijakan sudah memiliki pemahaman yang cukup mengenai isu
pernikahan dini. Namun hal tersebut tidak tampak dalam perencanaan
kebijakan dimana isu pernikahan dini belum menjadi prioritas perhatian
baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten. Hal ini diakui oleh para
stakeholders.
Regulasi yang ada saat ini pun dianggap oleh stakeholders tidak
memberikan kewenangan bagi Kantor Urusan Agama untuk mencegah
pernikahan antara usia 16-19 tahun selama syaratnya telah dipenuhi.
61
63
64
Peran Pemerintah
Dari sisi pemerintah selaku penentu dan pelaksana kebijakan pada
dasarnya sudah memiliki pemahaman yang cukup mengenai isu
pernikahan dini. Namun hal tersebut tidak tampak dalam
perencanaan kebijakan dimana isu pernikahan dini dimana isu ini
belum menjadi prioritas perhatian baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten.
Upaya koordinasi kebijakan untuk isu pernikahan dini, stakeholders
di tingkat provinsi telah melakukan upaya-upaya advokasi lintas
sektor khususnya melalui upaya fasilitasi Kantor Perwakilan BKKBN
Provinsi. Namun hal serupa tidak terjadi di tingkat Kabupaten.
Stakeholders di tingkat Kabupaten mengakui bahwa koordinasi
lintas sektor belum dilakukan secara khusus untuk isu ini. Lemahnya
kelembagaan di daerah memang sangat tampak dan tidak diimbangi
dengan upaya koordinasi sinergis antar sektor. Nuansa ego sektoral
sangat terasa terjadi ditingkat kabupaten. Dampak nyata yang terjadi
dari lemahnya kelembagaan ini adalah hampir tidak berjalannya
sosialisasi di masyarakat termasuk pada tokoh agama.
65
Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka-Belitung, Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Perkawinan,
diakses melalui http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=336&wid=1900000000
pada 22 Juni 2012.
9
Ibid.
66
Bangka Pos Online, Erzaldi: Prihatin Pernikahan Dini Marak, Bangka Pos, 11 Juni 2012, diakses melalui
http://bangka.tribunnews.com/2012/06/11/erzaldi-prihatin-pernikahan-dini-marak pada 14
Juni 2012.
11
Berita Koba, Pernikahan Dini Marak, Erzaldi Minta Peran Aktif Orangtua, Bangka Tribun News, diakses
melalui http://www.radarbangka.co.id/berita/detail/koba/8379/pernikahan-dinimarakerzaldi-minta-orang-tua-berperan-aktif.html pada 22 Juni 2012.
12
Pos Belitung, PA Keluarkan 30 Dispensasi, Bangka Pos Group, diakses melalui
http://cetak.bangkapos.com/communitynews/read/47652.html pada 22 Juni 2012.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH
67
Gambaran Permasalahan
Pernikahan dini di Provinsi Bangka Belitung telah menjadi isu yang
berlangsung sejak lama dan tetap berlangsung hingga saat ini khususnya
di Kab. Bangka Selatan. Kabupaten Bangka Selatan merupakan salah satu
Kabupaten tertinggal yang ada di Kepulauan Bangka dengan angka
pernikahan dini paling signifikan. Di Kabupaten Bangka Selatan sendiri
terdapat satu fenomena perubahan penyebab pernikahan dini yang
terjadi dalam satu dekade terakhir. Diakui oleh para stakeholders di
lapangan, jika dahulu budaya merupakan penyebab terjadinya
pernikahan dini, saat ini justru faktor modernitas yang menjadi akar
utama, namun demikian pernikahan dini tetap berlangsung sejak dulu
dengan alasan yang berbeda. Salah satu narasumber bercerita mengenai
Pembantu Rumah Tangga di keluarganya yang telah berganti 3 generasi
dan semuanya pernah keluar dikarenakan menikah di usia 15 tahun.
Hanya generasi ketiga atau sang cucu yang pada akhirnya berhasil dicegah
dan bersekolah.
Pada beberapa dekade lalu, budaya kawin massal merupakan suatu
budaya yang rutin dilakukan. Kawin massal dilakukan berkaitan dengan
musim panen lada yang terjadi di Bangka Selatan. Pada Musim panen lada,
warga menjemur lada di sepanjang ruas jalan Kecamatan Airgegas hingga
Toboali. Kawin massal dilakukan dalam satu hari secara bersamaan
dengan melakukan pesta perkawinan hingga puluhan pasang pengantin.
Pada kegiatan ini, Para pengantin dikumpulkan disatu titik disebuah
tempat pesta bersama. Para pengantin pun melakukan sejumlah ritual,
dimulai dengan menggigit satu butir lada, ritual mendapatkan percikan
air buah kelapa dan terakhir diarak dari ujung desa ke ujung desa. Setelah
ritual, masing-masing keluarga akan menggelar pesta perkawinan
sendiri-sendiri dengan sengaja mendatangkan hiburan di masing-masing
rumah.
Kawin massal juga dijadikan salah satu cara oleh para pasangan untuk
memperoleh buku nikah secara sah. Hal ini diuraikan oleh salah seorang
narasumber dari Kantor KB, sebagaimana berikut:
68
Biasanya ketika panen lada itu musim kawin, bisa ada puluhan
pasang, semacam adu kawin, biasanya mereka sudah nikah dulu,
untuk dapat buku nikah mereka kawin massal
Namun demikian budaya ini sudah kian terkikis. Salah satu Kecamatan
yang hingga saat ini masih mempertahankan tradisi kawin massal adalah
Kecamatan Toboali, Bangka Selatan. Uniknya justru saat ini untuk
mempertahankan tradisi kawin massal, Pemerintah Setempat
menjadikan tradisi ini sebagai salah satu agenda wisata di Bangka Selatan.
Berdasarkan kutipan dari harian Bangka Pos13, Kepala Desa Serdang
Kabupaten Bangka Selatan Zuriyat mengungkapkan:
kegiatan kawin massal merupakan kegiatan adat Desa Serdang yang
terus di jaga hingga saat ini. Ritual adat kawin massal menjadi tradisi
turun temurun yang hingga kini menurutnya harus tetap di jaga
Meskipun demikian anggapan perempuan jika sudah melewati usia 20
tahun tidak pantas melajang masih terjadi, mereka akan disebut sebagai
dayang tua. Sehingga ketika panen orang tua akan berupaya untuk bisa
menikahkan putrinya. Ditambah lagi terkait ego persaingan nikah massal,
pesta harus dilakukan dengan mengundang pemain musik ternama dari
Kota Pangkal Pinang.
Saat ini tradisi Kawin Massal masih terjadi di Toboali, namun yang
menarik, hal ini tidak lagi terkait panen lada. Dahulu warga Toboali
banyak bermata pencaharian sebagai petani lada tetapi saat ini sudah
mulai ditinggalkan karena dianggap kurang menguntungkan.
Meningkatnya aktivitas pertambangan timah, penduduk toboali
khususnya generasi muda kini banyak bekerja di sektor tambang timah,
yaitu TI (tambang inkonvensional). Bangka Selatan sendiri saat ini
otomatis hanya memiliki industri tambang timah, yaitu PT. Timah dan PT.
Kobatin. Dari sisi pendapatan, keberadaan TI mendorong tingkat
kesejahteraan masyarakat secara signifikan khususnya generasi muda.
Hal ini berdampak pada sikap konsumtif.
13
69
70
71
72
73
74
Akar Permasalahan
Berdasarkan gambaran permasalahan dan peran kelembagaan
khususnya di Kabupaten Bangka Selatan dan Kepulauan Bangka pada
umumnya dapat dilihat bahwa akar permasalahan pernikahan dini di
Bangka saat ini banyak terjadi di pedesaan dan lebih karena faktor
modernisasi. Jika dahulu budaya merupakan penyebab terjadinya
pernikahan dini, saat ini justru faktor modernitas yang menjadi akar
utama.
Pada beberapa dekade lalu, budaya kawin massal merupakan suatu
budaya yang rutin dilakukan berkaitan dengan musim panen lada
khususnya di Bangka Selatan. Namun demikian budaya ini sudah kian
terkikis seiring dengan ditinggalkannya lada dan masyarakat beralih ke
pertambangan.
Meningkatnya aktivitas pertambangan timah inkonvensional (tambang
TI) telah mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat secara signifikan
khususnya generasi muda. Hal ini berdampak pada sikap konsumtif.
Semakin tingginya tingkat konsumsi setempat muncul dibarengi dengan
arus modernitas yang sangat pesat.
Arus modernisasi yang pesat tidak dapat dibendung terlebih dahulu oleh
budaya setempat yang cenderung sangat cair terhadap nilai-nilai baru.
Hal ini memudahkan pengaruh modernisasi masuk hingga ke pelosok
pedalaman tanpa terbendung. Kesadaran orang tua yang belum
sepenuhnya sehingga mereka cenderung permisif terhadap anak. Kasus
kehamilan diluar nikah mulai lazim terjadi, meskipun tidak dapat
digeneralisir. Tetapi kasus yang muncul diakui cukup signifikan. Hal
seperti ini menjadi lumrah terjadi tanpa kontrol sosial yang kuat. Orang
tua pun kesulitan untuk mengendalikan pergaulan remaja setempat.
Faktor ekonomi pun menjadi alasan untuk menikah di usia dini.
Aktualisasi diri pada generasi muda setempat masih pada kemampuan
daya beli ketimbang pendidikan. Hal ini sering menjadi penyebab
terjadinya siswa putus sekolah karena mereka sudah bekerja di TI dan
pernikahan. Mereka lebih memilih menikah daripada harus
memberatkan orang tua. Pernikahan usia dini inipun menjadi tren di
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH
75
76
Peran Pemerintah
Dari sisi pemerintah selaku penentu dan pelaksana kebijakan pada
dasarnya isu pernikahan dini sama sekali belum menjadi perhatian,
SKPD Provinsi yang sangat terkait pun sama sekali belum memiliki
kegiatan dan gambaran terkait isu. Belum ada upaya perencanaan
maupun koordinasi yang melibatkan lintas sektor secara spesifik
untuk pengendalian pernikahan dini sehingga sinergi belum sama
sekali tercipta. Di tingkat Kabupaten, beberapa Dinas setempat pada
dasarnya telah memulai kegiatan namun koordinasi belum
dilakukan. Masalah penganggaran dan regulasi pun menjadi kendala
besar di tingkat Kabupaten hal ini berdampak pada fungsi
penyuluhan masih dilakukan secara terbatas. Koordinasi secara
sinergis menjadi sangat urgen untuk dilakukan mengingat cepatnya
terjadi pergeseran nilai melalui modernisasi dimana pengaruhnya
sudah masuk hingga ke pelosok wilayah pedesaan.
Berita Resmi Statistik, Profil Kemiskinan di Sulawesi Tengah September 2011, BPS Provinsi Sulawesi
Tengah, diakses melalui http://sulteng.bps.go.id/jdownloads/BRS/2012/5.%20Kemiskinan%
20SEPTEMBER%202011%20Sulteng.pdf pada 23 Juni 2012.
77
15
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut
Kelompok Umur dan Status Perkawinan, diakses melalui
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=271&wid=7200000000 pada 23 Juni 2012.
16
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Perkawinan,
diakses melalui http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=271&wid=7200000000
pada 23 Juni 2012.
78
Gambaran Permasalahan
Sulawesi Tengah merupakan provinsi multietnis dengan setidaknya 12
kelompok suku dengan bahasanya masing-masing yang berbeda
diantaranya : Etnis Kaili (terbesar, 45% penduduk), Etnis Kulawi; Etnis
Lore; Etnis Amona; Etnis Mori; Etnis Bungku; Etnis Saluan; etnis Balantak;
Etnis Balantak; Etnis Buol; Etnis Tolitoli dan Etnis Tomini. Selain itu
terdapat suku adat terpencil di daerah pegunungan seperti suku Daa di
Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku Daya
di Buol Tolitoli. Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah juga dihuni oleh
masyarakat Bugis dan Makassar yang telah menetap di Sulawesi Tengah
selama lebih dari 2 abad. Selain itu adapula komunitas transmigran dari
Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Terkait dengan pernikahan dini, menurut data BPS Sulawesi Tenggara,
angka pada tahun 2011 terdapat 17,5% perempuan dengan usia
perkawinan pertama d 16 tahun dan 24,94% dengan usia perkawinan
pertama d17-18 tahun. Secara keseluruhan, usia perkawinan pertama
d19 tahun menapai 52,62%, Dalam tiga tahun terakhir untuk perempuan
yang pernah menikah antara usia 15-19 tahun bahkan cenderung
stagnan, dimana pada tahun 2009 mencapai 48,51% lalu menurun sedikit
menjadi 48,23% di tahun 2011, dan meningkat kembali menjadi 48,44%.
Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan masih dan terus terjadi di
Sulawesi Tengah khususnya di pedesaan (56,46%).
Realitas di lapangan juga menunjukkan hal serupa sebagaimana
dinyatakan oleh Narasumber Dinas Kesehatan Kab. Donggala yang
mengungkapkan bahwa fakta tersebut terlihat pada kegiatan posyandu
yang dilakukan di pedesaan, dimana mayoritas pengunjung Posyandu
merupakan ibu-ibu muda dengan usia remaja. Pada umumnya para ibu
usia remaja tersebut memiliki pengetahuan yang rendah mengenai risiko
kehamilan di usia dini dan memiliki masalah dengan kesehatan.
Kajian dilakukan secara lebih mendalam di Kabupaten Donggala dimana
kabupaten Donggala sendiri merupakan daerah yang dianggap memiliki
tingkat pernikahan dini tertinggi di Sulawesi Tengah. Mayoritas
penduduk Donggala merupakan etnis Kaili dan Donggala juga memiliki
konsentrasi kantong masyarakat Bugis terbanyak di Sulawesi Tengah juga
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH
79
80
81
83
84
85
86
87
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin,
2010, diakses melalui http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=336&wid
=3200000000 pada 14 Juni 2012.
88
18
89
Gambaran Permasalahan
Isu pernikahan dini di Jawa Barat telah menjadi perhatian banyak pihak
khususnya di kawasan Pantura. Selain kawasan Pantura, kawasan yang
memiliki tingkat pernikahan dini tinggi adalah Kabupaten Cianjur. Dari
sisi kualitas pembangunan manusia Kabupaten Cianjur pada dasarnya
masih rendah, hal ini ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan Manusia
Cianjur yang saat ini masih menduduki ranking 24 dari 26 Kabupaten di
Jawa Barat. Hal ini menunjukkan kualitas penduduk Cianjur dari sisi ratarata lama sekolah maupun usia harapan hidup masih rendah. Menurut
narasumber BPS Cianjur usia harapan hidup yang rendah di Cianjur, Jawa
Barat sejalan dengan kematian bayi tinggi, hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pernikahan di usia muda pun tinggi.
Berdasarkan Survei Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) Kabupaten
Cianjur pada 2005, dari 593.334 pasangan, mereka menikah pada tahun
pertama di bawah usia 15 tahun sebanyak 183.226 pasangan (30,88%),
usia 16 tahun 67.082 pasangan (11,31%), usia 17-18 tahun 164.764
pasangan (27,77%), usia 19-24 tahun 162.214 pasangan (27,34%), usia
25 tahun ke atas 16.048 pasangan (2,70%).
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah sumber TKW terbesar di
Jawa Barat. Pernikahan dini seringkali terjadi di beberapa lokasi tertentu
yang menjadi sumber pengiriman TKW. Menurut Narasumber dari Badan
Pemberdayaan Perempuan dan KB setempat, pengiriman TKW sangat
terkait erat dengan pernikahan di usia dini. Salah satu syarat TKW adalah
bagi perempuan yang telah menikah. Hal ini lazim mendorong
pernikahan usia dini dengan memalsukan umur, menggunakan saksi
palsu dan bahkan surat nikah palsu. Bahkan ada kasus pernikahan dini
yang didukung oleh sponsor bahkan disuruh segera menikahkan.
Hal ini berdampak pula pada kualitas pendidikan sang anak. terdapat
kasus dimana terdapat anak remaja kelas 3 SMP yang tidak bisa ikut UAN
karena harus berangkat ke Batam. Hal ini sudah menjadi kelaziman
sehingga menjadi kebiasaan, bahkan seringkali TKW yang baru saja
beberapa bulan berangkat dipulangkan kembali dan tiga bulan kemudian
kembali lagi berangkat menjadi TKW. Mereka sama sekali tidak tertarik
90
91
Peran Kelembagaan
Dari sisi kelembagaan, pengaruh orang tua sangat besar. Berdasarkan
pernyataan para stakeholders, banyak kasus dimana orang tua sangat
mengatur hubungan sang anak. Sering terjadi pernikahan dengan alasan
orang tua takut melihat pergaulan anaknya termasuk ketika melihat
anaknya berpacaran. Namun banyak terdapat kasus orang tua yang
menikahkan anaknya dengan alasan ekonomi, baik untuk menggeser
beban keluarga, dan bahkan secara kasuistik untuk menyelesaikan
hutang piutang. Selain itu ada pula kasus orang tua yang menikahkan
anaknya melalui kawin kontrak. Meskipun hal ini bersifat kasuistik dan
kawin kontrak sendiri saat ini sudah bergeser ke kawasan Bogor.
Di Cianjur pada dasarnya respon tokoh agama sangat baik bahkan
mendukung, dalam artian tokoh agama mudah untuk didekati dan
merespon positif terhadap berbagai upaya yang dilakukan. Permasalahan
terbesar sebagaimana diungkapkan para narasumber, justru berasal dari
sisi kelembagaan daerah yang belum sanggup bersinergi secara efektif.
Dari sisi pemerintah, tampak bahwa upaya koordinasi masih sangat
lemah dilakukan sehingga komunikasi kurang berjalan dengan baik.
Sebagai contoh, Dinas Kesehatan Kab. Cianjur pernah berkoordinasi
dengan kantor KUA di Cianjur Selatan, Dinas kesehatan meminta KUA
setempat di Cianjur selatan untuk membuat regulasi dalam menikahkan
wajib memberikan vaksin TT namun disisi lain KUA enggan membuat
aturan mengenai vaksin. KUA sendiri tidak mau mewajibkan. Hal ini
menyebabkan vaksin TT tidak bisa maksimal. Hal ini berdampak pada
rendahnya Imunisasi TT di Cianjur paling rendah.
Di masa lalu koordinasi sudah pernah dilakukan secara lintas sektor
melalui Perjanjian Kerjasama (MoU) pada tahun 1990an antara
Departemen Agama, Depdikbud dan BKKBN. Dilakukan Kejar Paket dan
jenis pendidikan lainnyauntuk mengeliminir pernikahan dini. Pernah
pula dilakukan melalui pendekatan regulasi dengan penyusunan
peraturan desa dan bahkan sempat muncul peraturan desa tentang kawin
muda dan telah dibahas di tingkat Kabupaten.
92
93
94
ANALISIS PERBANDINGAN
Akar Masalah Utama
Akar Masalah
Kalsel
(Banjar)
(Bangka Selatan)
Sulteng
(Donggala)
Jabar
(Cianjur)
Modernisasi
Ya
Ya
Ya
Ya
Pendidikan
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tekanan Ekonomi
Sosial Budaya
Bangka
95
Hal ini sangat jelas terlihat pada Provinsi Bangka Belitung khususnya
di Bangka Selatan. Latar belakang masalah pernikahan dini di
wilayah Bangka Selatan pada umumnya dapat dilihat bahwa akar
permasalahan banyak terjadi di pedesaan dan lebih karena faktor
modernisasi. Jika dahulu budaya merupakan penyebab terjadinya
pernikahan dini, saat ini justru faktor modernitas yang menjadi akar
utama dan kontrol sosial justru melemah karena budaya setempat
yang cenderung sangat cair terhadap nilai-nilai baru.
Meningkatnya aktivitas pertambangan timah inkonvensional
(tambang TI) di Bangka Selatan telah mendorong tingkat
kesejahteraan generasi muda dan berdampak pada sikap konsumtif
yang dibarengi dengan arus modernitas yang sangat pesat.
Rendahnya minat masyarakat atas pendidikan.
97
98
99
Lemah
100
Kalsel
(Banjar)
(Bangka Selatan)
Bangka
Sulteng
(Donggala)
Jabar
(Cianjur)
Adaptif
Ya
Ya
Resisten
Ya
Ya
Peran tokoh adat dan agama di beberapa Provinsi masih sangat kuat
khususnya di Sulteng, Kalsel dan Jawa Barat. Sementara di Bangka
Belitung peran tokoh adat dan agama sudah tidak lagi berdampak banyak
pada masyarakat. Dengan adanya peran tokoh adat dan agama pada
dasarnya dapat menjadi pintu masuk bagi upaya pengendalian
pernikahan dini. Namun akan menjadi tantangan besar bila dilakukan di
Sulawesi Tengah yang multikultur dan cenderung resesif. Hal ini akan
mudah dilakukan melalui tokoh adat dan agama jika dilakukan di Kalsel
maupun Jawa Barat yang cenderung lebih terbuka, sementara di Ba-Bel
khususnya di Bangka Selatan, peran tokoh adat dan agama umumnya
sudah memudar sehingga perlu dilakukan terobosan lain ataupun upaya
untuk merubah mindset para tokoh adat yang berbeda-beda. Perlu diakui
bahwa peran tokoh adat dan agama akan sangat penting khususnya
sebagai alat kontrol sosial.
Dari sisi adat dan agama di Kalsel pada dasarnya tokoh agama setempat
merupakan tokoh adat, dan mereka berpengaruh penting dalam
pengambilan keputusan keluarga. Tokoh agama setempat juga memiliki
kemampuan yang sangat kuat dalam mempengaruhi massa. Orang tua
dalam keluarga pun sangat mengikuti arahan para tokoh agama
panutannya. Selain itu para tokoh agama ini tidak sulit untuk didekati
namun pendekatan yang dilakukan selama ini dirasakan masih sangat
kurang.
Dari sisi kelembagaan adat dan agama, di Bangka Selatan pada umumnya
budaya setempat sudah sangat cair. Peran lembaga budaya, agama
ataupun adat tradisi masyarakat lokal di Bangka Selatan nyaris tidak
tampak. Ketidakhadiran peran lembaga tersebut berpengaruh besar pada
lemahnya kontrol sosial di dalam masyarakat Bangka. Peran lembaga
budaya, agama maupun adat di Bangka Belitung lebih kuat terjadi di
komunitas keturunan Cina maupun komunitas transmigran. Menurut
salah seorang tokoh agama Budha setempat mengakui bahwa pernah
terjadi tingkat pernikahan dini yang cukup signifikan di komunitas
tersebut. Namun seiring dengan meningkatnya peran tokoh agama hal ini
dapat ditekan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol sosial
masyarakat secara kuat sebenarnya dapat mengendalikan pernikahan
dini.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH
101
Dari sisi kelembagaan Adat dan Agama di masyarakat Kaili dan Bugis di
Sulteng, peran tokoh adat seringkali merangkap sebagai tokoh agama dan
pada umumnya masih sangat kuat baik pada berbagai suku mayoritas
yang ada. Nilai-nilai tersebut masih dianut oleh masyarakat setempat
dengan kuat termasuk pada suku Kaili maupun suku Bugis sebagai
pendatang. Adalah lazim di pedesaan Donggala bila terdapat
permasalahan rumit dalam keluarga dilaporkan kepada tokoh adat
khususnya dalam memberi persetujuan atas berbagai permasalahan yang
dilaporkan kepadanya. Tidak seluruh kelompok adat di daerah Donggala
maupun Sulawesi Tengah telah terpengaruh nilai agama, khususnya pada
kelompok komunitas adat terpencil (KAT) yang masih banyak terdapat di
Sulawesi Tengah. Banyak suku KAT yang masih menganut animisme. Pada
kelompok adat ini, pernikahan dini sulit untuk terhindarkan karena
pernikahan dilakukan dengan para tokoh adat setempat. Tidak mudah
masuk pada para tokoh adat dan agama.
Hal yang menarik muncul dari sisi kelembagaan Adat dan Agama di
Cianjur dimana tokoh agama yang pada umumnya juga merupakan tokoh
adat justru sangat merespon. Pada dasarnya respon tokoh agama sangat
baik bahkan mendukung, mudah untuk didekati dan merespon positif
terhadap berbagai upaya yang dilakukan. Permasalahan terbesar justru
berasal dari sisi kelembagaan daerah yang belum sanggup bersinergi
secara efektif termasuk dengan tokoh agama.
Peran Orang Tua dan Keluarga Sangat Dominan
Peran Orang Tua
dalam pengambilan
keputusan pernikahan dini
Modernisasi
Pendidikan
Kalsel
(Banjar)
Takut/
tidak permisif
Bangka
(Bangka Selatan)
Permisif
Sulteng
(Donggala)
Jabar
(Cianjur)
Takut/
tidak permisif
Takut/
tidak permisif
berpengaruh
berpengaruh
Berpengaruh
Sosial Budaya
Tidak
berpengaruh
berpengaruh
Berpengaruh
102
Berpengaruh
103
sang anak. Sering terjadi pernikahan dengan alasan orang tua takut
melihat pergaulan anaknya termasuk ketika melihat anaknya berpacaran.
Namun banyak terdapat kasus orang tua yang menikahkan anaknya
dengan alasan ekonomi, khususnya untuk mengurangi beban keluarga.
Peran Pemerintah: Lemahnya Koordinasi dan Perencanaan Kebijakan dalam
pengendalian pernikahan dini.
Peran Pemerintah
pernikahan dini
Kalsel
(Banjar)
(Bangka Selatan)
Bangka
Sulteng
(Donggala)
Jabar
(Cianjur)
Pemahaman Aparat
Cukup
Kurang
Cukup
Cukup
Perencanaan
Kebijakan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak Ada
Ada, lemah
Koordinasi
Kebijakan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada, Lemah
Ada, Lemah
Ada, Lemah
Ada, Lemah
Ada, Kuat
Sosialisasi,
Advokasi
105
106
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN
Akar masalah utama pernikahan dini di beberapa Provinsi di Indonesia
pada umumnya adalah disebabkan beberapa dimensi antara lain:
modernisasi, pendidikan, tekanan ekonomi maupun sosial budaya. Secara
rinci dapat disimpulkan sebagai berikut:
107
109
Sekolah, Desa) hal ini menyebabkan sinergi sulit tercapai karena ego
sektoral yang tinggi di masing-masing sektor.
REKOMENDASI
Atas dasar kesimpulan diatas maka perlu direkomendasikan Pendekatan
kebijakan pengendalian pernikahan dini sebagai berikut :
110
Penentu kebijakan harus memprioritaskan sasaran
pengendalian pernikahan dini pada usia SMP melalui
peningkatan peran aktif lembaga sekolah maupun lembaga
pendidikan non formal lainnya. Banyak pasangan pernikahan dini
yang menikah memiliki tingkat pendidikan sebatas drop out sekolah
menengah pertama sehingga pencegahan pada lembaga pendidikan
menjadi penting dilakukan.
111
112
DAFTAR PUSTAKA
Act of The Parliament of The Republic of Ghana Entitled The Children's Act,
1998, diakses melalui pada 30 Mei 2012.
Balitbang Kesehatan Kemkes RI, (2011) Riset Kesehatan Dasar,
Kementerian Kesehatan.
Boserup, Ester (1990), Population, the Status of Women, and Rural
Development in McNicoll, G. and Mead Cain (1990), Rural
Development and Population: Institutions and Policy, New York:
Oxford University Press.
Choe, Kim; Thapa; dan Achmad (2001), Early Marriage and Childbearing
in Indonesia and Nepal in East-West Center Working Papers:
Population Series No. 108-15, November 2001. East West Center (2001)
Convention on the Elimination on All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW) tahun 1979.
Daulay, Harmona (2001), Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga
Migran: Studi Kasus TKIW di Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang
Jawa Barat, Yogyakarta: Galang Press dan Ford Foundation.
Elizabeth Warner, Behind the Wedding Veil: Child Marriage as a form of
Trafficking in Girls, 12 AM, U.J. Gender Social Policy & L.
European Union, Parliamentary Assembly Resolution 1468 (2005) Forced
Marriages and Child Marriages, diakses melalui
http://assembly.coe.int/Main.asp?link=/Documents/AdoptedText/ta05/ERES14
68.htm pada 31 Mei 2012
113
114
115