Anda di halaman 1dari 123

BUKU III

PERNIKAHAN DINI
PADA BEBERAPA
PROVINSI DI
INDONESIA:
AKAR MASALAH &
PERAN KELEMBAGAAN
DI DAERAH
2012
Direktorat Analisis
Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan
dan
Keluarga Berencana
Nasional
JAKARTA
2012

BUKU III
PERNIKAHAN DINI
PADA BEBERAPA PROVINSI
DI INDONESIA:
AKAR MASALAH DAN PERAN
KELEMBAGAAN DI DAERAH

2012
Direktorat Analisis
Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional

PENANGGUNG JAWAB:
Drs. Suyono Hadinoto, M.Sc
PENGARAH :
Dr. Tb. Rachmat Sentika, dr., Sp.A., MARS
TIM PENULIS
Koordinator
Aminullah, S.Sos, MM
Anggota
Tubagus Adi Satria P, SE, ME
Ristya Ira Murti, SE, MAPS
Fajar Ajie Setiawan, SIP
Editor
Tito Agung Yuswono, SE

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karuniaNya buku III Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi di Indonesia: Akar
Masalah dan Peran Kelembagaan Di Daerah dapat tersusun dan
tersajikan. Buku III ini merupakan buku isu spesifik yang kedua dari bukubuku mengenai permasalahan dan isu-isu strategis mengenai dampak
kependudukan terhadap aspek sosial ekonomi yang akan disusun
selanjutnya.
Buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam memahami
permasalahan dampak kependudukan terhadap aspek sosial dan
ekonomi di Indonesia, khususnya mengenai pernikahan dini. Fenomena
pernikahan dini sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi keluarga dan
berdampak pada kemiskinan perempuan yang mengalaminya. Penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh gambaran komprehensif sejauh mana
dampak sosial ekonomi kependudukan yang terjadi di daerah terkait
dengan fenomena pernikahan usia dini dan sejauh mana peran pengambil
kebijakan dalam mencegahnya.
Kami menyadari masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan
dalam penulisan dan penyusunan buku ini, untuk itu dengan senang hati
kami menerima masukan yang bersifat membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan
dan penyusunan buku ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya, semoga hasilnya dapat bermanfaat.
Jakarta, Desember 2012
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Direktur,

Drs. Suyono Hadinoto, M.Sc


PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

ii

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................................

iii

ABSTRAK ......................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................................................
Latar Belakang............................................................................................................
Identifikasi Masalah ................................................................................................
Tujuan Hasil yang Diharapkan .............................................................................

1
1
6
7

BAB II
METODE PENELITIAN...........................................................................................
Objek dan Lokasi Kajian Metode Penelitian ....................................................
Analisis Data ................................................................................................................
Reliabilitas dan Validitas. ..............................................................................

9
9
10
16

BAB III
PERNIKAHAN DINI SEBAGAI ISU STRATEGIS ..........................................
Pengertian Pernikahan Dini ..................................................................................
Isu Pernikahan Dini Di Tingkat Global...............................................................
Beberapa Penyebab Pernikahan Dini ................................................................

19
20
24
35

BAB IV
FENOMENA PERNIKAHAN DINI DI INDONESIA ......................................
Kebijakan Nasional Terkait Pernikahan Dini..................................................

39
44

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

iii

BAB V
STUDI KASUS PERNIKAHAN DINI PADA 4 PROVINSI.............................
Provinsi Kalimantan Selatan ................................................................................
Provinsi Bangka Belitung .......................................................................................
Provinsi Sulawesi Tengah ......................................................................................
Provinsi Jawa Barat...................................................................................................
Analisis Perbandingan ............................................................................................

53
53
65
77
88
95

BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................................... 107
Kesimpulan .................................................................................................................. 107
Rekomendasi.............................................................................................................. 110
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 113

iv

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

ABSTRAK
Executive Summary

Dampak dari fenomena pernikahan dini sangat terkait erat dengan


kondisi ekonomi keluarga dan berdampak pada kemiskinan perempuan
yang mengalaminya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
gambaran komprehensif sejauh mana dampak sosial ekonomi
kependudukan yang terjadi di daerah terkait dengan fenomena pernikahan
usia dini dan sejauh mana peran pengambil kebijakan dalam mencegahnya.
Selain itu penelitian juga bertujuan untuk memperoleh gambaran
kebijakan yang ada saat ini dan masukan rekomendasi kebijakan yang
akurat terkait dengan upaya pengendalian usia pernikahan di Indonesia.
Data diperoleh secara cross sectional di 4 Provinsi yang mengalami tingkat
pernikahan tinggi berdasarkan data Riskesdas 2010 (Kalimantan
Selatan, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah dan Jawa Barat).
Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan eksploratif.
Berdasarkan hasil kajian, akar masalah utama pernikahan dini di beberapa
Provinsi di Indonesia pada umumnya adalah disebabkan beberapa dimensi
antara lain: modernisasi, pendidikan, tekanan ekonomi maupun sosial
budaya. Dari sisi peran kelembagaan dapat disimpulkan bahwa peran
lembaga adat dan agama sangat strategis sebagai alat kontrol sosial dalam
pengendalian pernikahan dini. Selain itu disimpulkan bahwa Lemahnya
Koordinasi antar sektor dan lemahnya perencanaan kebijakan Pemerintah
dalam pengendalian pernikahan dini menjadi salah satu simpul yang harus
ditangani.
Kata kunci: pernikahan dini, modernisasi, pendidikan, tekanan ekonomi,
sosial budaya

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

vi

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR MASALAH
Berdasarkan data UNDESA (2011)1 Indonesia termasuk negara dengan
persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia (ranking 37). Posisi ini
merupakan yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Pada
kenyataannya menurut data Riskesdas (2010)2, perempuan muda di
Indonesia dengan interval usia 10-14 tahun yang telah menikah terdapat
sebanyak 0.2 persen atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14
tahun di Indonesia sudah menikah sebelum usia 15 tahun. Pada interval
usia yang lebih tinggi, perempuan muda berusia 15-19 yang telah
menikah memiliki angka 11,7% jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun sejumlah 1,6 %. Sementara
untuk interval usia diantara kelompok umur perempuan 20-24 tahun
ditemukan bahwa lebih dari 56,2 persen sudah menikah.
Provinsi dengan persentase perkawinan dini (<15 th) tertinggi adalah
Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan
Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen dan Banten 6,5
Persen. Sementara Provinsi dengan persentase perkawinan dini untuk
interval 15-19 tahun tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah
(52,1%), Jawa Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Selatan (48,4%),
Bangka Belitung (47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3%).

United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, Population Facts 2011/1
2
Balitbang Kesehatan Kemkes RI, Riset Kesehatan Dasar, Kementerian Kesehatan 2011

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

Gbr. 1. Persentase Perempuan usia 10-59 tahun


menurut umur perkawinan pertama, Riskesdas 2010
Mengapa pernikahan dini menjadi permasalahan? Perlu disadari bahwa
pernikahan dini merupakan gambaran rendahnya kualitas
kependudukan dan menjadi fenomena tersendiri di masyarakat. Akibat
yang timbul dari pernikahan dini di tingkat keluarga beragam dan
berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga.
Akibat dari pernikahan dini sangat terkait erat dengan kesejahteraan
perempuan muda yang mengalaminya. Mereka setelah menikah
cenderung mengalami drop out dari sekolah dan memperoleh tingkat
pendidikan yang rendah, status sosial yang menurun atau subordinasi
dalam keluarga, hilangnya hak kesehatan reproduksi, tingginya peluang
kematian ibu akibat melahirkan di usia muda hingga kekerasan dalam
rumah tangga. Hal ini pun diungkapkan oleh Erica Field (2004) dalam
penelitiannya3 sebagai berikut:
Early marriage is associated with a number of poor social and physical
outcomes for young women and their offspring. They attain lower
schooling, lower social status in their husbands families, have less
reproductive control, and suffer higher rates of maternal mortality and
domestic violence. They are often forced out of school without an
education; their health is affected because their bodies are too
immature to give birth.
3

Field, Erica, Consequences of Early Marriage for Women in Bangladesh, Harvard University, (2004).

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Gbr.2. Akibat Pernikahan Dini


Dalam penelitian Choe, Thapa, dan Achmad (2001)4 terungkap bahwa
pernikahan sebelum usia 18 tahun pada umumnya terjadi pada wanita
Indonesia terutama dikawasan pedesaan. Hal ini dapat disebabkan oleh
pendidikan yang rendah, menurut Choe, Thapa, dan Achmad (2001)5
pendidikan perempuan yang lebih tinggi terkait erat dengan usia
pernikahan remaja yang lebih lambat.
Gap akses kesempatan baik dari sisi kesejahteraan maupun kesetaraan
mempengaruhi posisi perempuan dalam pengambilan keputusan dalam
pernikahan usia dini. Berdasarkan penelitian Jones dan Gubhaju (2008)6
dalam beberapa dasawarsa terakhir perubahan dalam tren usia
pernikahan lebih banyak terjadi di kawasan urban di beberapa provinsi
4

Choe, Thapa, dan Achmad, Early Marriage and Childbearing in Indonesia and Nepal in East-West
Center Working Papers: Population Series No. 108-15, November 2001. East West Center (2001)
5
Ibid.
6
Jones & Gubhaju, Trends in Age at Marriage in Provinces of Indonesia, in Asia Research Institute
Working Paper no 105: 2008, Asia Research Institute NUS - Singapore (2008)

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

yang semakin memperlebar perbedaan antara kawasan perkotaan dan


pedesaan di Indonesia.
Selain itu pernikahan usia dini dapat pula disebabkan kultur yang masih
sangat permisif mengatur perkawinan sejak dini terutama bagi
perempuan. Menurut penelitian Jones & Gubhaju (2008)7, pernikahan
dini di Indonesia secara frekuen merefleksikan pernikahan yang telah
diatur atau karena kehamilan di luar nikah. Pada pernikahan yang
diatur ini perempuan selalu menjadi pihak yang menikah dengan usia
muda. Hal ini menunjukkan relasi gender secara asimetris sangat terjadi
pada perempuan usia muda dalam isu pernikahan dini. Berdasarkan
beberapa variasi studi kasus yang ditelaah oleh Vidhyandika Moeljarto
(1997)8 menggambarkan bahwa relasi gender yang asimetris amat
dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya.
Isu kebutuhan ekonomi dan pendidikan yang rendah juga selalu menjadi
salah satu penyebab diskriminasi gender pada perempuan termasuk
dalam isu pernikahan usia dini. Penelitian Klasen dan Wink (2002)9
menunjukkan dimana wilayah dengan pendidikan dan kesejahteraan
yang meningkat mengalami penurunan dalam bias gender dan wilayah
dengan pendidikan dan kesejahteraan yang buruk menyebabkan bias
gender tidak berubah bahkan memburuk.
Secara nasional pengendalian terhadap tingkat pernikahan dini menjadi
krusial karena keseluruhan penyebab dan akibatnya sangat memiliki
keterkaitan dengan pencapaian MDGs antara lain Goal 1. Eradicating
poverty and hunger, Goal 2. Achieving universal primary education,
Goal 3. Promoting gender equality, Goal 4. Protecting childrens lives
serta Goal 5&6. Improving Health.10\

Ibid.
Moeljarto, Vidhyandika Gender dan Kemiskinan : menelaah posisi perempuan dalam pembangunan
pertanian, dalam Analisa CSIS XXVI (4) 1997: 372-385. (1997)
9
Klasen, S., Wink, C. A Turning Point in Gender Bias in Mortality? An Update on the Number of Missing
Women in Population and Development Review 28 (2) : 285-312 (June 2002).
10
UNICEF, Child Marriage in Child Protection information Sheet, The Unicef, (2006)
8

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Pada dasarnya landasan hukum untuk mengentaskan pernikahan dini


ditingkat global telah diatur dalam berbagai konvensi internasional
antara lain Universal Declaration of Human Rights, Supplementary
Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and
Practices Similar to Slavery, Convention on Consent to Marriage, Minimum
Age for Marriage and Registration of Marriages, International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights, Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination against Women (CEDAW),hingga Convention on
the Rights of the Child (CRC).
Begitu pula di tingkat nasional landasan hukum sebenarnya sudah diatur
dalam UU Perkawinan no 1 / 1974, UU Perlindungan Anak no
23/2002, UU KDRT no 23/2004 serta UU HAM. Pada kenyataannya,
Indonesia masih belum dapat melindungi hal tersebut. Hingga saat
Indonesia belum mengatur usia legal minimum menikah adalah 18 tahun
ke atas padahal hingga tahun 2010 sudah terdapat 158 negara dengan
usia legal minimum menikah adalah 18 tahun ke atas.
Atas dasar hal tersebut diatas maka pernikahan usia dini di Indonesia
masih memiliki peluang untuk tetap terjadi mengingat faktor legalitas
yang belum diformulasikan secara penuh dan faktor kultur kelembagaan
dan karakteristik yang berbeda di masing-masing wilayah sehingga
mendorong terciptanya pernikahan dini.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

Gbr. 3. Kerangka Pemikiran


Atas dasar latar belakang permasalahan diatas maka pada dasarnya telah
diperoleh gambaran penyebab dan dampak pernikahan usia dini, namun
hal tersebut belum menggambarkan akar masalah yang terjadi terutama
dari sisi sosial ekonomi kependudukan di masing-masing daerah. Akar
masalah tersebut perlu dilihat dari berbagai aspek khususnya
kelembagaan, sosial budaya serta aspek kesempatan. Atas dasar hal
tersebut dilakukan kajian dengan judul Pernikahan Dini pada Beberapa
Provinsi di Indonesia: Akar Masalah dan Peran Kelembagaan di Daerah.
Melalui kajian ini diharapkan diperoleh gambaran komprehensif
mengenai latar belakang terjadinya pernikahan usia dini tersebut dan
respon kebijakan yang berjalan selama ini di daerah untuk diperoleh
rekomendasi kebijakan secara tepat untuk mengendalikan pernikahan
dini di Indonesia kedepan.

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Pernikahan Dini merupakan gambaran rendahnya kualitas
kependudukan dan menjadi fenomena tersendiri di berbagai daerah.
Akibat kependudukan yang timbul di tingkat keluarga beragam dan
berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga. Disisi kebijakan

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

nasional, respon atas masalah ini sudah menjadi isu yang cukup strategis
namun belum memiliki gambaran akurat terhadap respon kebijakan yang
diperlukan. Permasalahan-permasalahan tersebut menimbulkan
pertanyaan penelitian yang perlu dijawab antara lain:

Sejauh mana akar masalah khususnya dari sisi sosial ekonomi


yang terjadi di beberapa provinsi terkait dengan pernikahan usia
dini?

Peran kelembagaan dan kebijakan apakah yang ada selama ini


dan apa yang perlu dilakukan agar kebijakan pengendalian usia
pernikahan dapat dilakukan secara tepat dan akurat?

TUJUAN

Memperoleh gambaran komprehensif sejauh mana akar


masalah khususnya dari sisi sosial ekonomi yang terjadi di
beberapa provinsi terkait dengan pernikahan usia dini dan
sejauh mana peran kelembagaan didalamnya.

Memperoleh gambaran kebijakan yang ada saat ini dan masukan


rekomendasi kebijakan yang akurat terkait dengan upaya
pengendalian usia pernikahan di Indonesia.

HASIL YANG DIHARAPKAN

Diperolehnya gambaran komprehensif sejauh mana akar


masalah khususnya dari sisi sosial ekonomi yang terjadi di
beberapa provinsi terkait dengan pernikahan usia dini dan
sejauh mana peran kelembagaan didalamnya.

Diperolehnya masukan rekomendasi kebijakan secara akurat


terkait dengan upaya pengaturan usia pernikahan untuk
pengendalian dampak kependudukan.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB II
METODE PENELITIAN
OBYEK DAN LOKASI KAJIAN
Obyek penelitian merupakan Provinsi yang mengalami tingkat
pernikahan tinggi berdasarkan data Riskesdas 2010 dimana dilakukan
Studi kasus ditingkat Keluarga dan Pengambil Kebijakan setempat. Dari
seluruh Provinsi tersebut dipilih 4 Provinsi antara lain Kalimantan
Selatan, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah dan Jawa Barat sebagai
Provinsi yang akan diteliti.
Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan data Riskesdas 2010 dengan
memilih Provinsi dengan tingkat pernikahan dini tertinggi. Provinsi
dengan persentase perkawinan dini (<15 th) tertinggi adalah Kalimantan
Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur dan
Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen dan Banten 6,5 Persen.
Sementara Provinsi dengan persentase perkawinan dini untuk interval
15-19 tahun tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa
Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Selatan (48,4%), Bangka Belitung
(47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3%). Selain itu pemilihan lokasi
dilakukan sebab Keempat Provinsi terpilih memiliki kecenderungan
overpopulated diatas laju pertumbuhan penduduk nasional (1,49%)
dimana keempat provinsi tersebut antara lain: Kalimantan Selatan
(1,98%), Bangka Belitung (3,14) Sulawesi Tengah (1,94%) dan Jawa Barat
(1,89%).
Selain itu secara lebih mendalam akan dilakukan studi pada satu
kabupaten setempat di masing masing Provinsi yang cenderung padat
penduduk (overpopulated). Untuk Kalimantan Selatan dilakukan di Kab.
Banjar (Martapura), salah satu kawasan padat penduduk di Kalimantan
Selatan sekaligus Kabupaten yang menopang kawasan urban
Banjarmasin dan memiliki tingkat pernikahan dini yang tinggi di Kalsel.
Untuk Provinsi Bangka Belitung dilakukan di Kab. Bangka Selatan yang
merupakan kawasan kantong kemiskinan dan memiliki tingkat
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

pernikahan dini tinggi. Untuk Provinsi Sulteng dilakukan di Kab Donggala,


salah satu kawasan dengan tingkat pernikahan dini tinggi dan padat
penduduk karena penopang terdekat kawasan urban Kota Palu. Di Jawa
Barat dilakukan di Kab. Cianjur yang merupakan salah satu kawasan
padat penduduk sekaligus merupakan daerah dengan tingkat pernikahan
dini tinggi.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan eksploratif
dengan melakukan pengumpulan data primer berupa In-depth interview
dan Focus Group Discussion serta menggunakan beberapa pendekatan
dalam metodologi case study interpretif (memahami fenomena melalui
pemaknaan dari orang-orang yang terlibat didalamnya) dan metodologi
grounded theory (membangun kesimpulan secara induktif berdasarkan
data yang diperoleh untuk menjelaskan suatu fenomena sosial). Selain itu
dilakukan desk study untuk memperoleh data sekunder yang disusun
berupa deskripsi statistik dan analisis data literatur untuk kemudian
dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan data lapangan yang
diperoleh secara cross sectional di 4 Provinsi terpilih.
Metode pendekatan kualitatif dipilih karena dapat mengungkapkan
fenomena khusus kebijakan penjaminan kesehatan masyarakat secara
mendalam dari sisi pengambilan kebijakan. peneliti akan melakukan
investigasi, yaitu secara bertahap peneliti berusaha memahami gejalag e j a l a ke b i j a k a n d e n g a n m e m b e d a k a n , m e m b a n d i n g k a n ,
mengkatalogkan, dan mengelompokkan obyek studi. Peneliti memasuki
dunia informan dan melakukan interaksi dengan informan, dan mencari
sudut pandang informan melalui wawancara mendalam, diskusi-diskusi
secara berkelompok dan terfokus dengan stakeholders terkait serta
melakukan observasi langsung di lapangan.
Case study dipilih karena metode ini dapat mempelajari satu unit
kelompok tertentu untuk tujuan memahami kelompok yang lebih besar,
sebagaimana dinyatakan oleh Gerring (2007) dimana case study adalah
an intensive study of a single unit for the purpose of understanding a larger
class of (similar) units.
10

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Desain Penelitian yang dilakukan merupakan desain multikasus terjalin.


Menurut Yin (2008) desain multikasus terjalin merupakan study case
yang terdiri dari beberapa kasus dan beberapa unit analisis. Desain
Penelitian bersifat eksploratif, yaitu menemukan fakta dengan
mendalami secara nyata setiap objek secara akurat sifat dari beberapa
fenomena kelompok atau individu yang berasal dari hasil temuan dalam
pengumpulan data.
Disamping itu untuk memperoleh gambaran kebenaran pelaksanaan
program secara kualitatif dilakukan desk study dengan mendalami
berbagai literatur kepustakaan, statistik, maupun kertas kebijakan
khususnya menyangkut fenomena pernikahan dini di Indonesia. Dengan
pendekatan kualitatif tersebut diharapkan akan diperoleh data informasi
secara spesifik yang mana hasilnya tidak memungkinkan untuk
digeneralisasi.
Data yang digunakan mencakup data primer (pengamatan partisipatif,
wawancara, diskusi mendalam) dan data sekunder (studi literatur,
content analysis, historical analysis, dll). Kedua jenis data ini digunakan
untuk bahan analisis dan interpretasi. Data primer dan sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi fakta terkait pernikahan dini di
lapangan dan proses pelaksanaan kebijakan terkait.
Data primer yang diperoleh berasal dari informan, informan dipilih
terkait dengan pendekatan penelitian yang digunakan yaitu penelitian
dengan pendekatan kualitatif. Data yang didapat dari informan melalui
diskusi terbatas, wawancara dan pengamatan. Informasi dengan
wawancara dan diskusi terbatas dilakukan pada pelaku utama kebijakan
baik dari SKPD Daerah, akademisi dan masyarakat yang berhubungan
langsung dengan isu pernikahan dini di lapangan.
Rincian beberapa aktivitas utama dalam pendekatan kualitatif ini dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Kegiatan Pra Survey
Sebelum peneliti melakukan penelitian di lapangan, sebelumnya
peneliti telah melakukan beberapa hal persiapan yang diperlukan
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

11

sebelum penelitian, antara lain:

Penyusunan proposal penelitian

Studi literatur untuk memperdalam tujuan penelitian dan


memfokuskan penelitian yang akan dilakukan serta studi
literatur mengenai lokasi yang akan diteliti

Penyusunan pedoman wawancara


Wawancara Mendalam
Pada penelitian ini metode wawancara mendalam merupakan salah
satu teknik utama yang digunakan untuk mengumpulkan data dan
informasi. Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alasan,
Pertama, dengan wawancara, peneliti dapat menggali tidak saja apa
yang diketahui dan dialami subjek yang diteliti, tetapi juga apa yang
tersembunyi jauh di dalam diri subjek penelitian. Kedua, apa yang
ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat
lintas waktu, yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang,
dan juga masa mendatang.
Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam. Artinya
peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lebih bebas dan
leluasa, tanpa terikat oleh suatu susunan pertanyaan yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Tentu saja, peneliti menyimpan cadangan
masalah yang perlu ditanyakan kepada informan. Cadangan masalah
tersebut adalah kapan menanyakannya, bagaimana urutannya, akan
seperti apa rumusan pertanyaannya dan sebagainya yang biasanya
muncul secara spontan sesuai dengan perkembangan situasi
wawancara itu sendiri.
Dengan teknik ini peneliti berharap wawancara berlangsung luwes;
arahnya bisa lebih terbuka, percakapan tidak membuat jenuh kedua
belah pihak, sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya. Metode
wawancara mendalam menggunakan panduan wawancara yang
berisi butir-butir pertanyaan untuk diajukan kepada informan. Ini
hanya untuk memudahkan dalam melakukan wawancara, penggalian
data dan informasi, dan selanjutnya tergantung improvisasi di
lapangan. Proses wawancara mendalam, diawali dengan pengantar.
12

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Pada pengantar ini, secara terbuka dan jujur peneliti


memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dari wawancara.
Selanjutnya peneliti menyampaikan pertanyaan yang bersifat luas,
dan diakhiri dengan bertanyaan terbuka namun sesuai dengan
pedoman wawancara yang telah disusun.
Terdapat dua pedoman wawancara, pertama adalah pedoman umum
untuk memperoleh informasi terkait pemetaan kondisi dan dinamika
wilayah secara umum dan kedua adalah pedoman wawancara yang
digunakan untuk mewawancarai informan secara khusus sesuai
dengan perannya dalam masyarakat.
Diskusi Kelompok Terfokus
Diskusi Kelompok Terfokus merupakan salah satu teknik yang
peneliti gunakan dalam penelitian ini. Peneliti memerlukannya untuk
menggali data dan informasi kualitatif secara lebih mendalam dan
obyektif karena peneliti memperoleh informasi dari beberapa
stakeholders yang memliki peran yang sama sehingga dapat
dilakukan komparasi. Pada kegiatan ini, peneliti sebagai moderator
dan dibantu dengan peserta seluruh informan penelitian serta
penelitian dilaksanakan ditempat yang nyaman, sehingga
memberikan keleluasaan bagi informan berdiskusi. Untuk
kelancaran kegiatan ini moderator dilengkapi dengan topik diskusi
dan daftar pertanyaan. Adapun alasan peneliti untuk menggunakan
diskusi kelompok terfokus adalah:
1) Memberi kesempatan kepada peserta saling berinteraksi untuk
mengungkapkan informasi yang tersembunyi yang mungkin
tidak diperoleh dengan wawancara mendalam.
2) Memberi kesempatan peserta mengungkapkan wawasannya
mengenai fenomena yang terjadi di masyarakat.
3) Dapat mewawancarai sejumlah orang dalam waktu yang
terbatas;
4) Dapat mengumpulkan data secara efektif dan efisien
5) Digunakan dalam memperbaiki kebijakan, strategi, dan program
atau evaluasi program.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

13

Diskusi kelompok terfokus dilakukan setidaknya dipilih dari


kelompok antara lain sbb:
1) Keluarga/Kepala Keluarga yang melakukan pernikahan dini
2) Sekelompok Tokoh Masyarakat yang memiliki peran dan diakui
keberadaannya
3) Kelompok Pengambil Keputusan (Perangkat Desa, Tingkat
Kabupaten dan Tingkat Provinsi)
4) Akademisi
Diskusi dilakukan dengan melibatkan beberapa orang dalam
kaitannya dengan kriteria:
1) Pengetahuan mengenai budaya pernikahan dini yang terjadi
2) Pengetahuan mengenai situasi kesejahteraan masyarakat
setempat, dimulai dari situasi pendidikan, perekonomian
kemudian kesehatan hingga budaya khususnya terkait
pernikahan dini.
3) Sejauh mana peran narasumber sesuai dengan posisinya
dimasyarakat.
4) Pengetahuan mengenai pola pernikahan dini di kawasan
tersebut
5) Pengetahuan tentang kebijakan daerah tersebut
6) Pengetahuan tentang fenomena pernikahan dini yang terjadi
dan kemampuan mengungkap pandangan pribadi mereka
mengenai fenomena yang terjadi serta harapan mereka kedepan.
Informan
Pada penelitian ini yang menjadi informan adalah mereka yang
mempunyai kaitan erat dengan pengambilan keputusan di daerah
tersebut, masyarakat asli setempat yang tidak terkait pengambilan
keputusan, para pemuka agama, para pendatang yang telah lama
menetap, masyarakat perantau dan beberapa pihak lainnya yang
terkait dengan kesejahteraan masyarakat setempat.

14

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Analisis Data
Pada proses analisis data, peneliti menggunakan data-data yang telah
diperoleh di lapangan melalui pengumpulan data primer. Untuk
mengidentifikasi mengenai masalah dan potensi desa yang berkembang,
data hasil pemetaan yang sudah diperoleh dari lapangan peneliti anggap
sebagai awal dari kegiatan dimana peneliti melakukan eksplorasi terus
menerus untuk mengembangkan data yang diperoleh dari lapangan
sehingga ia menangkap pendalaman tema yang spesifik. Kemudian
peneliti mengembangkan tema-tema tersebut sebagai fokus
penelitiannya. Setelah diperoleh hasil identifikasi permasalahan dan
potensi, peneliti melakukan analisa untuk memperoleh gambaran
rekomendasi strategi yang tepat.
Pendekatan Kualitatif

Observasi
terlibat

Catatan
Wawancara

Rekaman
Wawancara

Foto
kegiatan

Dokumen

Pengolahan Data

Identifikasi
Permasalahan

Analisa

Rekomendasi

Gbr. 1. Analisis Data

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

15

Reliabilitas dan Validitas


Reliabilitas dan validitas merupakan hal yang diperlukan dalam menilai
suatu metode penelitian kualitatif. Dalam menilai reliabilitas
(kehandalan) suatu metode yang digunakan perlu diperhatikan hal-hal
berikut antar lain: dalam analisis tergambarkan pendekatan dan
prosedur analisis data yang digunakan, peneliti memberikan alasan
mengapa pendekatan tersebut digunakan dalam penelitian, peneliti juga
harus menunjukkan suatu proses penyusunan tema, konsep, dan teori
dari pengolahan data. Peneliti juga diharapkan mampu menunjukan
fakta-fakta termasuk dari penelitian kualitatif dan kuantitatif
sebelumnya.
Validitas menggambarkan keabsahan atau kesahihan dalam mengukur
hal yang diteliti. Validitas suatu penelitian dinilai dari keadaan yang
terlihat secara baik dan penggambaran secara tepat atas data yang
dikumpulkan. Dalam term validitas, hal yang diperlukan adalah:
pengaruh yang kuat dari desain penelitian dan pendekatan analisis pada
hasil yang dipresentasikan, kekonsistenan temuan, hasil yang
dipresentasikan luasannya mewakili secara keseluruhan dan berkaitan
dan penelitian menggunakan data asli yang memadai dan sistematik
dengan demikian pembaca yakin bahwa interpretasi data terkait dengan
data yang dikumpulkan.
Untuk menggambarkan reliabilitas dan validitas yang telah penulis
lakukan, telah dilakukan hal-hal berikut, antara lain:
1)

triangulasi data dan metode. Data dan metode dikumpulkan melalui


sumber majemuk dengan memasukan berbagai data yang telah
diperoleh seperti sumber pustaka referensi, hasil wawancara, diskusi
kelompok terfokus, dokumen-dokumen berupa gambar dan pustaka,
peta wilayah, peta transek dan lainnya;

2)

pemeriksaan silang antar informan mengenai permasalahan yang


sama;

3)

pengamatan berulang di lokasi penelitian yang dilakukan kurang


lebih tiga kali yang dilakukan bersamaan dengan proses
pendokumentasian baik berupa gambar foto maupun peta transek;

16

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

4)

klarifikasi prasangka peneliti,

5)

mempertimbangkan berbagai masalah dari masukan informan;

\6) menyediakan alasan untuk keputusan mereka menyediakan


masukan atau tidak;
7)

menjelaskan bagaimana mereka mengetahui tentang masukan, jenis


masukan, dan mengapa;

8)

menjelaskan bagaimana masukan dari informan telah digunakan


dalam analisis dan interpretasi data.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

17

18

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB III
PERNIKAHAN DINI SEBAGAI ISU STRATEGIS

Periode remaja adalah sebuah masa transisi baik dari segi fisik maupun
psikis yang menjadi periode di dalam kehidupan setiap manusia. Secara
fisik, periode ini ditandai dengan munculnya pubertas, yaitu mulai
aktifnya seorang remaja secara seksual, munculnya pertumbuhan dan
perubahan fisik yang cepat dan munculnya ketertarikan terhadap lawan
jenis baik secara fisik maupun seksual (Lahey, 2004). Dari segi psikis,
periode remaja adalah sebuah periode transisi dari kanak-kanak menuju
dewasa. Hal ini bukanlah sebuah proses yang terpisah dengan proses
sebelumnya, melainkan sebuah tahapan lebih lanjut dari masa kanakkanak untuk mempersiapkan kematangan menuju masa dewasa. Dalam
periode remaja ini, terjadi pembentukan pola perilaku dan proses
pencarian jati diri, sehingga periode ini seringkali ditandai dengan
munculnya instabilitas emosi. Periode remaja adalah sebuah periode
persiapan menuju dewasa, salah satunya adalah persiapan psikis terkait
dengan pernikahan dan pembentukan keluarga (Hurlock, 1999).
Periode remaja ini kemudian menjadi periode penting di dalam
pertumbuhan manusia mengingat banyaknya proses, baik fisik maupun
psikis, yang terjadi di dalamnya. Proses pertumbuhan ini dapat
terganggun oleh beberapa hal, salah satunya adalah pernikahan dini
(early marriage). Pernikahan adalah kemitraan yang mengikat yang
disahkan oleh hukum antara dua orang dewasa tanpa adanya paksaan.1
Terjadinya pernikahan di dalam periode remaja ini dapat mengganggu
beberapa proses pertumbuhan seperti dapat terganggunya proses
pendewasaan diri dan belum matangnya fisik pihak yang melakukan
pernikahan, terutama bagi perempuan muda. Pernikahan dini kemudian
dinilai sebagai isu penting yang harus memiliki batasan yang jelas, tidak
1

Plan-Uk, Early and Forced Marriage facts, figures, and what you can do, diakses melalui
http://www.plan-uk.org/early-and-forced-marriage/ pada 28 Mei 2012.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

19

saja di dalam skala nasional tetapi juga di dunia internasional.2 Hal ini
dikarenakan pernikahan dini seringkali berujung pada kerugian baik dari
segi kesehatan maupun perkembangan bagi pihak wanita, dan juga isu ini
menjadi sebuah isu pelanggaran HAM yang paling terabaikan secara luas.3

PENGERTIAN PERNIKAHAN DINI


Pernikahan dini mengacu kepada sebuah pernikahan yang berada di
bawah batas umur dewasa atau pernikahan yang melibatkan satu atau
dua pihak yang masih anak-anak. Artikel 1 The United Nations Convention
on the Rights of the Child (CRC) tahun 1989 mendefinisikan anak-anak
sebagai,
A child means every human being below the age of eighteen years
unless, under the law applicable to the child, majority is attained
earlier.
Secara umum, sebuah pernikahan dikategorikan sebagai pernikahan dini
(early marriage) atau juga disebut sebagai pernikahan anak-anak (child
marriage) apabila ada salah satu pihak yang masih berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun. Ada beberapa definisi dari pernikahan dini saat ini,
namun sebagian besar berpusat kepada penggolongan di bawah umur 18
tahun. Definisi pertama adalah menurut The Inter-African Committee
(IAC) yang mengatakan bahwa,
Any marriage carried out below the age of 18 years, before the girl is
physically, physiologically, and psychologically, ready to shoulder the
responsibilities of marriage and child-bearing4
Definisi ini penting bagi usaha pencegahan pernikahan dini di Afrika
mengingat beberapa negara di Afrika seperti Chad dan Afrika Tengah
merupakan negara dengan tingkat pernikahan dini tertinggi di dunia.
2

Berbagai konvensi internasional telah dilangsungkan terkait dengan isu pernikahan dini dan hak asasi
anak dan wanita seperti Convention on the Elimination on All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW) tahun 1979.
3
IPPF, Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action, International Planned Parenthood
Federation and the Forum on Marriage and the Rights of Women and Girls, 2006.
4
The Inter-African Committee, Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children (1993),
Newsletter, Desember 1993.

21

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Definisi IAC menjadi dasar dari kebijakan pemerintah negara-negara di


Afrika untuk mengurangi tingkat pernikahan dini, seperti yang dilakukan
oleh Ghana melalui Ghanas Children Act of 1998. Kebijakan ini merupakah
salah satu pioneer kebijakan pemerintah negara Afrika, dengan
memasukkan hak untuk menolak pernikahan paksa seperti yang tertera
di Artikel 14.1 dan 14.2 yaitu,
14.1 No person shall force a child: (a) to be betrothed; (b) to be the
subject of a dowry transaction; or (c) to be married.
14.2 The minimum age of marriage of whatever kind shall be eighteen
years5
Permasalahan pernikahan dini juga terjadi di beberapa negara di Eropa.
Oleh sebab itu, Dewan Parlemen Uni Eropa di dalam pertemuannya tahun
2005 membahas mengenai pernikahan paksa dan pernikahan dini
sebagai bentuk pencegahan dan usaha melawan praktek pernikahan dini.
Di dalam Resolusi Dewan Parlemen Uni Eropa No. 1468 (2005), Artikel 7
tertulis,
The Assembly defines child marriage as the union of two persons at
least one of whom is under 18 years of age.6
Pada tahun 1945, The Universal Declaration of Human Rights
dideklarasikan sebagai deklarasi internasional paling komprehensif yang
membahas mengenai hak asasi manusia. Walaupun masih secara umum,
deklarasi ini memasukkan hak wanita dan anak-anak ke dalamnya untuk
kemudian ditindaklanjuti oleh negara peserta deklarasi. Salah satu hasil
negosiasi di dalam deklarasi ini adalah dibutuhkan adanya perjanjian
khusus yang mengatur mengenai pernikahan. Kehendak tersebut
direalisasikan dengan adanya Convention on Consent to Marriage,
Minimum Age for Marriage and Registration of Marriage yang
dilaksanakan pada tahun 1964. Artikel 2 dari perjanjian internasional ini
menyebutkan bahwa,
5

Act of The Parliament of The Republic of Ghana Entitled The Childrens Act, 1998, diakses melalui
http://www.law.yale.edu/rcw/rcw/jurisdictions/afw/ghana/Ghana_Childrens_Act.pdf pada
30 Mei 2012
European Union, Parliamentary Assembly Resolution 1468 (2005) Forced Marriages and Child
M a r r i a g e s , d i a k s e s m e l a l u i h t t p : / / a s s e m b l y. c o e . i n t / M a i n . a s p ? l i n k = /
Documents/AdoptedText/ta05/ERES1468.htm pada 31 Mei 2012

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

21

States Parties to the present Convention shall specify a minimum age


for marriage (not less than 15 years according to the non-binding
recommendation accompanying this convention). No marriage shall be
legally entered into by any person under this age, except where a
competent authority has granted a dispensation as to age, for serious
reasons, in the interests of the intending spouses.
Artikel 2 perjanjian ini tidak menyebutkan dengan jelas batasan umur
minimal yang dimaksud. Namun perjanjian ini ditindak-lanjuti dengan
sebuah rekomendasi tak mengikat di dalam konvensi untuk mengatur
batas umur minimal untuk menikah adalah 15 tahun.
Sebagai tindak lanjut dari Convention on Consent to Marriage, Minimum
Age for Marriage and Registration of Marriage, pada tahun 1994 diadakan
sebuah konvensi internasional dengan agenda mengenai hak-hak wanita
dan anak perempuan yaitu The Convention on the Elimination of All Form
of Discrimination Against Women (CEDAW). Perjanjian internasional ini
adalah yang paling komprehensif mengenai hak-hak wanita dab
menyebutkan bahwa semua pertunangan atau pernikahan seorang anak
seharusnya tidak diperbolehkan di seluruh dunia. Komite yang bertugas
memonitor konvensi ini menyebutkan lebih lanjut di dalam General
Recommendation 21 (Artikel 16-2) bahwa,
the minimum age for marriage for both male and female should be 18
years, the age when they have attained full maturity and capability to
act.
Argumen CEDAW mengenai batasan umur dan kondisi mengenai
pernikahan ini dikarenakan hampir seluruh pernikahan dini diatur
berdasarkan persetujuan orang tua dan gagal menjamin kepentingan dari
anak perempuan yang menikah. 7
Beragamnya definisi pernikahan dini yang ada masih menimbulkan
perdebatan hingga saat ini. Negara-negara masih berdebat mengenai

United Nations, General Recommendations Made by the Committee on the Elimination of


Discrimination Against Women, General Recommendation No. 21, sesi ke-tiga belas, 1994.

22

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

batas minimal usia diperbolehkan menikah karena bersinggungan


dengan budaya, adat-istiadat, dan agama yang seringkali sulit untuk
dihilangkan. Selain itu, beberapa negara berkembang merasa kesulitan
dengan adanya batas umur mengingat faktor umur menikah berpengaruh
terhadap tingkat pendidikan, kesejahteraan sosial, keberadaan lapangan
pekerjaan, dan kesetaraan gender yang terkadang tidak menjadi prioritas
kebijakan di negara-negara berkembang.
Melihat beberapa definisi di atas, pernikahan dini secara umum memiliki
definisi umum yaitu perjodohan atau pernikahan yang melibatkan satu
atau kedua pihak,sebelum pihak wanita mampu secara fisik, fisiologi, dan
psikologi untuk menanggung beban pernikahan dan memiliki anak,
dengan batasan umur umum adalah di bawah 18 tahun.
Batasan umur 18 tahun untuk pria maupun wanita telah diratifikasi lebih
dari seratus negara di dunia, namun tidak termasuk Indonesia. Di dalam
hukum Indonesia, batas umur minimum untuk menikah masih berusia 18
tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Hal ini membuat Indonesia
masih tertinggal dari mayoritas negara-negara di dunia dalam hal
proteksi anak dan usaha mengurangi terjadinya pernikahan dini.
Kebijakan nasional Indonesia hingga saat ini masih mengacu kepada
berbagai perjanjian dan kebijakan internasional yang telah diratifikasi
dan ditandatangani oleh pemerintah Indonesia. Berbagai kebijakan dan
perjanjian internasional tersebut beberapa memiliki kekuatan hukum
yang mengikat (binding) dan tidak mengikat (non-binding), dengan fokus
adalah perlindungan dan penegakan hak wanita dan anak-anak.
Kebijakan-kebijakan tersebut berangkat dari kondisi perlindungan hak
wanita dan anak yang memprihatinkan serta praktik pernikahan dini
yang masih luas terjadi di dunia maupun di Indonesia. Isu ini tidak saja
menjadi fokus perhatian di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional.
Masih meluasnya praktik pernikahan dini terutama di Afrika dan Asia
menjadi salah satu prioritas dunia internasional terutama badan-badan
kerjasama internasional seperti PBB, UNICEF, dan UNFPA.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

23

ISU PERNIKAHAN DINI DI TINGKAT GLOBAL


Pernikahan dini merupakan salah satu isu internasional yang telah lama
menjadi prioritas dunia internasional untuk dihapuskan. Praktik ini
berasal dari interpretasi yang keliru dari ajaran agama, praktik adatistiadat, budaya, dan kebiasaan kuno yang seringkali bersifat patrialis dan
memandang rendah derajat wanita. Pernikahan dini sebelum umur 18
tahun adalah bentuk pelanggaran berbagai bentuk perjanjian dan
kerjasama internasional. Meski demikian, banyak perempuan muda di
berbagai negara berkembang melihat pernikahan sebagai salah satu jalan
untuk mendapatkan perlindungan dan mengamankan masa depan
mereka. Pandangan ini tidak saja dimiliki oleh perempuan muda tersebut,
tetapi juga oleh keluarga sehingga terkadang terjadi pemaksaan
pernikahan di usia dini dengan harapan pernikahan dini tersebut dapat
menguntungkan mereka baik secara sosial maupun ekonomi.
Kenyataannya, pernikahan dini cenderung lebih memberikan dampak
negatif bagi perempuan muda seperti hilangnya kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan formal, terisolasi secara sosial, berkurangnya
kesempatan untuk mengembangkan diri dan pelayanan kesehatan. Hal ini
mendorong berkembangnya konsensus internasional untuk mengurangi
dan mencegah pernikahan dini melalui berbagai perjanjian dan
kerjasama internasional terutama setelah diadopsinya Millenium
Development Goals pada tahun 2000.
2.2.1 Isu Pernikahan Dini dan Kemiskinan
Dalam mengkaji penyebab-penyebab kemiskinan, Paul Spicker (2002)
memberikan gambaran mengenai penyebab kemiskinan. Ia membagi
penyebab kemiskinan dapat dibagi dalam empat mazhab, antara lain:
1.

2.

3.

24

Individual explanation, diakibatkan oleh karakteristik orang miskin


itu sendiri: malas, pilihan yang salah, gagal dalam bekerja, cacat
bawaan, belum siap memiliki anak dan sebagainya.
Familial explanation, akibat faktor keturunan, dimana antar generasi
terjadi ketidakberuntungan yang berulang, terutama akibat
pendidikan.
Subcultural explanation, akibat karakteristik perilaku suatu
lingkungan yang berakibat pada moral dari masyarakat.
Direktorat Analisis Dampak Kependudukan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

4.

Structural explanations, menganggap kemiskinan sebagai produk


dari masyarakat yang menciptakan ketidakseimbangan dengan
pembedaan status atau hak.

Pendapat ini memberikan gambaran berbeda bagi peneliti dalam


menjelaskan penyebab kemiskinan dan alasan mengapa suatu komunitas
dianggap miskin meskipun secara fisik dan materi mereka tidak memiliki
masalah dengan itu. Hal ini terutama terkait dengan penyebab
ketidakseimbangan. Terjadinya pernikahan dini merupakan gambaran
mendasar bahwa terjadi ketidakseimbangan terutama dalam hal
pembedaan status dan hak terutama pada anak yang dinikahkan.
Amartya Sen, seperti dikutip dari Bloom dan Canning (2001) mengatakan
bahwa seseorang dikatakan miskin bila mengalami capability
deprivation dimana seseorang tersebut mengalami kekurangan
kebebasan yang substantif. Menurut Bloom dan Canning, kebebasan
substantif ini memiliki dua sisi: kesempatan dan rasa aman. Kesempatan
membutuhkan pendidikan dan keamanan membutuhkan kesehatan.
Kedua hal inilah yang fungsi pemenuhannya disediakan oleh lembaga
keluarga.
Bila mengkaitkan penjelasan diatas dengan penjelasan mengenai konsep
kemiskinan pada subbab sebelumnya dimana Paul Spicker (2002), telah
mengidentifikasi bahwa salah satu yang dapat menjelaskan penyebab
terjadinya kemiskinan adalah penjelasan budaya dan struktur dalam
masyarakat, hal-hal tersebut ternyata amat berkaitan sebagaimana
pernyataan Oscar Lewis (dikutip dari Hari Susanto, 2006), dua hal yang
menyebabkan kemiskinan, pertama mereka yang mengecilkan kapasitas
pribadi akibatnya mereka menjadi miskin dan kedua adalah budaya
kemiskinan yaitu suatu cara hidup yang diwariskan dari generasi ke
generasi melalui garis keturunan keluarga. Oscar Lewis sendiri
menyebutkan budaya kemiskinan berkaitan erat dengan struktur
kebudayaan, hubunganhubungan interpersonal, kebiasaan-kebiasaan,
sistem nilai dan orientasi terhadap masa depan. Dengan demikian dapat
dikatakan budaya pernikahan dini memang menjadi salah satu penyebab
utama terjadinya kemiskinan dan begitu pula sebaliknya.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

25

Permasalahan utama dalam pernikahan dini adalah masalah kesetaraan.


Kesetaraan dalam gender adalah suatu kondisi dimana porsi sosial
perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Hal ini
terwujud bila terdapat perlakuan adil antara laki-laki dan perempuan.
Permasalahan lainnya tentu saja mengenai ketidaksetaraan dalam gender
atau biasa disebut dengan diskriminasi gender. Diskriminasi gender
adalah keadaan suatu sistem atau struktur dimana baik perempuan
maupun laki-laki menjadi korban dari sistem atau struktur tersebut.
Berbagai pembedaan peran dan kedudukan terjadi secara langsung
berupa perbedaan perlakuan dan sikap dan secara tidak lansung berupa
dampak peraturan, perundang-undangan maupun kebijakan yang
menimbulkan bermacam-macam ketidakadilan. Diskriminasi inilah yang
menciptakan kesenjangan dalam peran, fungsi dan tanggung jawab
perempuan dan laki-laki atau lazim disebut dengan bias gender.
Diskriminasi gender dapat terjadi baik pada laki-laki ataupun
perempuan, namun secara agregat diskriminasi gender cenderung jauh
lebih banyak dialami perempuan. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
meliputi:

Marjinalisasi (pemiskinan), dimana perempuan atau laki-laki


dipinggirkan dari suatu kegiatan produksi yang secara umum
memerlukan keterampilan atau keahlian, dan keterampilan itu hanya
dipercayakan sepihak pada laki-laki atau perempuan. Dalam hal ini
banyak lapangan pekerjaan cenderung tertutup bagi salah satu jenis
kelamin dan menyingkirkan jenis kelamin yang lain sehingga jenis
kelamin tersebut cenderung menjadi miskin.

Subordinasi, dimana terdapat keyakinan bahwa jenis kelamin yang


satu dianggap lebih utama dari yang lain. Sudah sejak dulu banyak
pandangan yang memposisikan perempuan dalam peran dan
kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki.

Pandangan stereotype, dimana suatu jenis kelamin dilabelkan atau


dianggap sama secara umum. Perempuan biasanya dilabelkan sebagi
ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Hal ini
dianggap merugikan karena apabila perempuan atau laki-laki
melakukan hal yang dianggap biasa dilakukan jenis kelamin
26

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

lawannya cenderung tidak dihargai dan tidak dianggap. Seperti


perempuan terlibat politik dan mencari nafkah atau laki-laki
mengurus anak sendiri.

Kekerasan, hal ini muncul akibat pembedaan peran yang muncul


dalam berbagai bentuk. Kekerasan ini tidak hanya muncul secara fisik
seperti pemukulan, penyiksaan, kekerasan seksual, tetapi juga secar
non fisik seperti pelecehan martabat, ancaman paksaan, terror yang
mengganggu secara emosional.

Beban kerja ganda (multiple burden), dimana salah satu jenis


kelamin tertentu harus menanggung semua aktivitas tertentu yang
dianggap harus mereka kerjakan. Biasanya terjadi pada perempuan
yang bekerja dimana mereka sudah mencari nafkah dan harus
mengerjakan tugas rumah tangganya tanpa dibantu oleh suaminya
yang merasa tidak perlu terlibat dalam hal rumah tangga.
Hal-hal tersebut diatas sangat terkait dengan isu pernikahan dini
sebagaimana penelitian Erica Field (2004) yang salah satunya
menyebutkan bahwa: Early marriage is associated with a number of poor
social and physical outcomes for young women and their offspring. They
attain lower schooling, lower social status in their husbands families, have
less reproductive control, and suffer higher rates of maternal mortality and
domestic violence. They are often forced out of school without an education,
their health is affected because their bodies are too immature to give birth.
Penyebab-penyebab tersebut mendorong perempuan menjadi miskin
dan ditambah pula dengan rendahnya investasi pembangunan sumber
daya perempuan, proses pemiskinan berlanjut sehingga menyebabkan
perempuan semakin kesulitan memperoleh akses menuju sumbersumber produksi. Hal tersebut ditambah lagi dengan buruknya
infrastruktur dan kurangnya informasi.
2.2.2 Isu Pernikahan Dini dan Peran Keluarga
Jones & Gubhaju (2008)8 dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa
pernikahan dini di Indonesia secara frekuen merefleksikan pernikahan
8

Jones & Gubhaju (2008), Trends in Age at Marriage in Provinces of Indonesia, Asia Research Institute
Working Paper no 105

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

27

yang telah diatur. Hal ini menunjukkan peran keluarga sangat erat terkait
dengan pernikahan dini. Menurut Amartya Sen (1990)9, hubungan
keluarga, serupa dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, meliputi
kombinasi kecocokan dan konflik. Manfaat yang nyata bertambah bagi
semua pihak sebagai hasil dari ketetapan keluarga, tetapi wujud dari
pembagian kerja dan kesanggupan menentukan distribusi yang spesifik
mengenai keuntungan-keuntungan yang diperoleh serta menentukan
pola-pola tertentu dari ketidakadilan. Peter McDonald10 mengungkapkan
bahwa berdasarkan berbagai sumber selama abad 20, perempuan yang
lembaga hidupnya berada dalam orientasi keluarga (family-oriented
institutions) cenderung mengalami fertilitas yang tinggi serta kesetaraan
gender yang buruk.
Lupin Rahman dan Rao (2004)11 mengungkap bahwa keuntungan dari
bias pertumbuhan ekonomi terhadap pria memberikan dampak yang
negatif bagi peran perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga.
Mereka juga mengungkap bahwa terdapat bukti bahwa kekayaan
rumahtangga sebenarnya mengurangi peran perempuan dalam
pengambilan keputusan rumahtangga.
Lalu bagaimanakah dampaknya terhadap kualitas keluarga pada
pernikahan dini? Vidhyandika Moeljarto (1997)12 mengungkap bahwa
pengaruh hubungan gender yang asimetris menyebabkan kurangnya
akses wanita terhadap bermacam hal seperti pangan, kesehatan,
pendidikan dan skill yang dapat mendukung mereka agar dapat produktif.
Kurangnya akses tersebut secara langsung berakibat pada kemiskinan.
Dengan dasar acuan Todaro, ia menjelaskan bahwa bila wanita miskin,
maka anak menjadi satu-satunya sumber yang dapat dikontrol untuk
mengurangi beban pekerjaan mereka. Hal itu berakibat lepasnya
pendidikan dan kemiskinan semakin menjadi.
9

Sen, Amartya (1990), Cooperation, Inequality, and the Family in McNicoll, G. and Mead Cain (1990),
Rural Development and Population: Institutions and Policy, New York: Oxford University Press.
10
McDonald, Peter (2000), Gender Equity in Theories of Fertility Transition in Population and
Development Review 26 (3) : 427-439 (September 2000).
11
Rahman, Lupin, Rao, V. (2004), The Determinants of Gender Equity in India: Examining Dyson and
Moores Thesis with New Data in Population and Development Review 30 (2) : 239-268 (June
2004).
12
Moeljarto, Vidhyandika (1997), Gender dan Kemiskinan : menelaah posisi perempuan dalam
pembangunan pertanian, dalam Analisa CSIS XXVI (4) : 372-385.

28

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Sementara menurut Harmona Daulay (2001)13, berbicara mengenai


pengambilan keputusan dalam keluarga tidak terlepas dari masalah
patriarki yang menggambarkan dominasi pria atas perempuan dan anakanak dan ini berlanjut kepada dominasi pria dalam semua lingkup
kemasyarakatan lainnya. Di negara dunia ketiga pada umumnya, menurut
Ester Boserup (1990)14 keluarga di pedesaan disusun dalam suatu
autocratic age-sex hierarchies. Keluarga yang lebih muda harus
menunjukkan kepatuhan terhadap pihak yang lebih tua, dan pihak yang
tertua merupakan pengambil keputusan dalam keluarga. Dalam
kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan dapat mengatur tenaga
kerja dari anggota keluarga yang lebih muda dari jenis kelamin yang sama
sesuai dengan kebiasaan pembagian kerja pada umumnya apalagi pada
pasangan perempuan yang berusia dini. Tetapi ketika dibutuhkan
perubahan dalam pendistribusian tenaga kerja dalam keluarga (akibat
perubahan metode produksi atau ketersediaan sumberdaya misalnya)
maka pemimpin keluargalah yang menentukan. Dengan semakin banyak
menugaskan pekerjaan pada perempuan dan keluarga yang lebih muda
maka pemimpin keluarga semakin mudah meningkatkan pendapatan
keluarga sementara ia dapat mengurangi beban kerjanya sendiri.
Baik budaya ataupun perjanjian pernikahan menetapkan bahwa
perempuan harus melakukan pekerjaan yang dibutuhkan untuk melayani
anggota keluarga laki-laki dan anak-anak. Kewajiban ini ternyata tidak
hanya merawat anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga saja, tetapi
juga membawa air, mengumpulkan bahan bakar, mengurus ternak atau
hewan piaraan dan mengolah hasil panen. Di kebanyakan masyarakat
pedesaan perempuan diharuskan untuk membantu bekerja di ladang dan
di masyarakat tertentu perempuan dan anak-anak bahkan melakukan
hampir seluruh pekerjaan tani.
Kehamilan yang sering serta diperpanjang dengan masa menyusui
membebani kesehatan perempuan. Jika seorang perempuan menikah
13

Daulay, Harmona (2001), Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran: Studi Kasus TKIW di
Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang Jawa Barat, Yogyakarta: Galang Press dan Ford
Foundation.
14
Boserup, Ester (1990), Population, the Status of Women, and Rural Development in McNicoll, G. and
Mead Cain (1990), Rural Development and Population: Institutions and Policy, New York: Oxford
University Press.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

29

dini dan menghabiskan seluruh waktunya antara pubertas dan


menopause dengan kehamilan dan menyusui, dan jika pula ia harus
bekerja keras pada tugas-tugas berganda dalam rumah tangga dan di
ladang, tekanan terhadap kesehatannya sangatlah berat. Ketidaksehatan
dan kematian ibu dan anak serta frekuensi aborsi tak terencana
disebabkan atau diakibatkan oleh contoh perawatan anak disertai
bekerja seperti diatas. Dengan demikian sebuah konflik muncul antara
kepentingan keluarga dalam banyaknya jumlah anak yang harus bertahan
hidup dan kepentingan pemimpin keluarga untuk memperoleh tenaga
bekerja sebanyak mungkin dari perempuan dewasa.
Hal tersebut diatas menggambarkan bahwa ekonomi berpengaruh besar
dalam pengambilan keputusan di keluarga. Kebutuhan konsumsi
keluarga yang makin tinggi mendorong keinginan untuk meningkatkan
daya beli sekaligus mengurangi beban tekanan ekonomi pada keluarga.
Hal ini menjadi tuntutan seiring dengan faktor arus modernisasi dan
informasi yang masuk dengan cepat hingga ke pedesaan. Perubahan yang
terjadi di lingkungan pedesaan maupun keluarga yang pada awalnya
berjalan lambat, tiba-tiba harus beradaptasi secara cepat akibat arus
informasi yang deras masuk ke lingkungannya, hal ini pun mendorong
arus konsumsi terjadi lebih cepat di pedesaan. Alvin Toffler15 menyebut
keadaan ini sebagai decision stress. Ini adalah keadaan dimana individu
yang terjebak dalam lingkungan yang yang berubah secara lambat dan
tiba-tiba harus beradaptasi dalam lingkungan baru yang menuntut
perubahan secara cepat dan kompleks sehingga mereka mengalami
future shock (Stres atau disorientasi pada individu dikarenakan
perubahan yang terlalu banyak dalam waktu yang sangat singkat). Inilah
yang dihadapi kepala keluarga di pedesaan saat ini, begitu banyak
dorongan konsumsi dan kebutuhan baru yang direspon segera, belum lagi
tuntutan anggota keluarga yang tinggi akibat perubahan zaman yang
cepat dan tumbuhnya berbagai kebutuhan baru secara pesat. kebutuhan
daya beli yang dihadapi dari hari ke hari kian kompleks.
Yang harus diwaspadai dalam isu pernikahan dini adalah ketika adalah
keluarga terjebak menjadi korban future shock. Menurut Toffler16 respon
15
16

Toffler, Alvin, (1971), Future Shock, Bantam Books, New York . Hal. 355.
Ibid Hal. 359.

30

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

yang paling umum dilakukan masyarakat terhadap perubahan sosial


seperti ini adalah strategi reversionis, dimana para korban terobsesi
untuk mengulang rutinitas atau kebiasaan yang sudah pernah sukses
beradaptasi atau sukses dilakukan sebelumnya tetapi sebenarnya tidak
relevan dan tidak cocok dilakukan pada keadaan saat ini. Kebutuhan
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga secara cepat termasuk
dalam memenuhi keinginan memiliki daya beli yang tinggi atau
mengurangi beban ekonominya, mendorong pengambilan keputusan,
kepala keluarga untuk segera menikahkan anaknya, padahal itu belum
tentu solusi yang tepat.
2.2.2. Pernikahan Dini dalam Isu Global
Millenium Development Goals (MDGs) adalah sebuah komitmen dari para
pemimpin negara-negara di dunia melalui Millenium Declaration yang
dideklarasikan pada September 2000. MDGs menyadari bahwa tidak ada
satupun target dari MDGs yang dapat tercapai tanpa dimasukkannya
perlindungan anak-anak ke dalam strategi dan rencana realisasi MDGs,
yang terdiri dari delapan komitmen global yaitu:
1. Menghapus kemiskinan dan kelaparan (Eradicate extreme poverty
and hunger)
2. Mencapai pendidikan dasar universal (Achieve universal primary
education)
3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
(Promote gender equity and empower women)
4. Mengurangi kematian bayi dan anak-anak (Reduce child mortality)
5. Meningkatkan kesehatan ibu (Improve maternal health)
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya (Combat
HIV/AIDS, malaria, and other disease)
7. Menjamin pemeliharaan lingkungan (Ensure environmental
sustainability)
8. Membangun kerjasama global terkait pembangunan (Develop global
partnership for development)
Usaha mengurangi dan menghapuskan pernikahan dini menjadi krusial
karena hal ini berhubungan langsung dengan target-target MDGs. AnakPERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

31

anak yang hidup di dalam kemiskinan dan kelaparan seringkali


merupakan anak-anak yang mengalami penganiayaan, eksploitasi, dan
diskriminasi yang berkaitan erat dengan pernikahan dini. Praktik
pernikahan dini yang seringkali tanpa adanya dokumen resmi membuat
anak-anak terutama anak perempuan tidak dapat mengakses layanan
kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial lainnya. Data angka kelahiran
yang tidak akurat juga membuat pemerintah tidak dapat membuat
rencana dan kebijakan terkait usaha melawan pernikahan dini dan
kemiskinan sehingga usaha mencapai target 1 MDGs dapat terganggu.
Terkait dengan target 2, pernikahan dini seringkali membuat anak
perempuan menjadi putus sekolah atau tidak mendapatkan kesempatan
meraih pendidikan formal dikarenakan pernikahan dini seringkali
membawa dampak isolasi terhadap anak perempuan. Hal ini berkaitan
dengan target 3 MDGs yaitu untuk mendorong adanya kesetaraan gender
dan pemberdayaan perempuan. Hilangnya kesempatan meraih
pendidikan formal menghambat perkembangan kualitas perempuan
yang juga mendorong munculnya ketidaksetaraan dan terhambatnya
proses pemberdayaan perempuan. Pernikahan dini terkait erat dengan
tingginya tingkat kematian anak-anak, mengingat ketidaksiapan fisik
anak perempuan untuk mengandung dan melahirkan mendorong
tingginya kematian ibu dan anak sehingga bertentangan dengan target 4
MDGs yaitu untuk mengurangi angka kematian anak.
Perlindungan perempuan muda dari praktik pernikahan dini merupakan
salah satu faktor penting di dalam target 5 MDGs yaitu untuk
meningkatkan kesehatan ibu dan bayi karena kehamilan di usia dini dapat
membahayakan kesehatan mengingat ketidaksiapan fisik anak
perempuan untuk melakukan aktifitas seksual dan mengandung.
Ketidaksetaraan posisi anak perempuan yang seringkali terjadi di dalam
pernikahan dini membuat pihak perempuan dirugikan dengan
terhambatnya akses informasi dan pendidikan mengenai bahaya dan
penyebaran HIV/AIDS yang menjadi permasalahan utama terutama di
negara-negara di Afrika, terkait dengan target 6. Target 7 MDGs mengenai
kesinambungan lingkungan dapat terganggu salah satunya dengan
adanya ledakan penduduk yang memberikan tekanan bagi akses dan
pasokan pangan dunia. Pernikahan dini menjadi salah satu faktor
32

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

terjadinya ledakan penduduk dikarenakan kurangnya akses pendataan


terhadap pernikahan dan kurangnya informasi untuk merencakan jumlah
keluarga sehingga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol jumlah
penduduk terkait dengan pelestarian lingkungan. Kerjasama
internasional yang merupakan target 8 dari MDGs merupakan salah satu
cara dalam menanggulangi pernikahan dini, mengingat isu ini merupakan
isu global yang harus ditanggulangi bersama. Hal ini dikarenakan luasnya
persebaran kasus pernikahan dini di dunia sehingga usaha untuk
mengurangi dan menghapuskan pernikahan dini membutuhkan
koordinasi yang global dan meluas pula.
Hingga saat ini, pernikahan dini masih umum terjadi di negara-negara
berkembang terutama di Afrika dan Asia Selatan. Pernikahan dini yang
terjadi masuk ke dalam kategori umur sudah menikah di bawah umur 15
tahun dan di bawah umur 18 tahun, dengan kasus praktik pernikahan dini
tertinggi di dunia terjadi di Mali. Berdasarkan data United Nations
Department of Economic and Social Affairs tahun 2011, Mali menempati
posisi tertinggi dengan 20% dari wanita kelompok umur 20-24 menikah
sebelum umur 15 tahun dan 70% diantara kelompok umur tersebut
mengaku telah menikah sebelum umur 18 tahun, yang merupakan batas
minimal umur untuk menikah yang disetujui 158 negara di dunia.17
Bangladesh menempati urutan kedua dengan 65% kelompok umur 20-24
mengaku telah menikah sebelum umur 18 tahun, disusul oleh Republik
Afrika Tengah dengan 60%, Mozambik dengan 55%, dan Burkina Faso
dengan 52%.
UNDESA mengambil 62 negara dengan kasus pernikahan dini tertinggi di
dunia sebagai gambaran persebaran kasus pernikahan dini ini, dengan
sampel kelompok umur 20-24 tahun. Berdasarkan statistik di atas, dapat
terlihat bahwa seluruh negara yang berada di 50 besar dengan kasus
pernikahan dini terbanyak adalah negara-negara berkembang, dengan
sebagaian besar berada di kawasan Afrika dan Asia Selatan.

17

United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, Population Facts 2011/1

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

33

Tabel. 2.1
Persentase perempuan umur 20-24 dalam kurun 2000-2010 yang
telah menikah pada 18 tahun di negara-negara dengan umur
minimum menikah 18 tahun.18

18

Ibid.

34

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BEBERAPA PENYEBAB PERNIKAHAN DINI


Isu pernikahan dini sebagai salah satu isu sentral pembangunan
internasional merupakan isu penting di dalam usaha untuk mencapai
target-target MDGs yang telah disepakati dunia pada tahun 2000 dan
akan dievaluasi ulang pada tahun 2015. Keterikatan isu pernikahan dini
dengan delapan poin pembangunan MDGs mendorong perhatian
terhadap isu ini, mengingat isu gender dan anak-anak merupakan salah
satu prioritas. Percepatan penanggulangan yang dibutuhkan untuk
mendukung usaha global untuk menanggulangi pernikahan menuntut
adanya kajian-kajian yang komprehensif sebagai alternatif masukan bagi
pembuat kebijakan di berbagai negara.
Sebagai organisasi pemerintah internasional yang paling besar, PBB terus
berupaya meningkatkan kesadaran dunia dengan memberikan berbagai
informasi. Salah satunya adalah United Nations Population Facts
No.2011/1 yang dipublikasikan PBB pada Desember 2011 yang
memberikan gambaran umum mengenai persebaran isu pernikahan dini
di dunia. Laporan ini memberikan sebuah grafik kasus pernikahan dini
yang terjadi hingga umur 18 tahun di negara-negara yang memiliki syarat
minimal pernikahan tanpa persetujuan orangtua berumur 18 tahun
(Tabel 2.1). Dapat terlihat bahwa pernikahan dini sebelum umur 18 tahun
terjadi di negara-negara Afrika terutama Mali, Republik Afrika Tengah,
Mozambik, Eritrea, Uganda dan Burkina Faso. Selain itu, beberapa negara
di kawasan Asia Selatan seperti Bangladesh, Nepal dan India ikut memiliki
persentase yang tinggi dalam kasus pernikahan dini yang terjadi
Secara umum, negara-negara di dunia telah menyetujui bahwa umur
minimal untuk menikah baik perempuan maupun laki-laki adalah 18
tahun. Terkait dengan perempuan, terdapat 158 negara yang mengatur
bahwa umur minimal perempuan adalah 18 tahun. Meski demikian, 29
negara memperbolehkan perempuan untuk menikah di bawah umur 18
tahun dengan adanya izin dari orangtua, termasuk Indonesia. Hal ini
menjadi perhatian bagi beberapa kalangan, terutama organisasiorganisasi pemerhati isu gender dan anak, mengingat Indonesia
seringkali dilihat sebagai salah satu contoh pembangunan yang berhasil,
dan kebijakan terkait minimal umur ini dapat menjadi salah satu faktor

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

35

yang kurang baik di mata dunia internasional. Mereka berargumen bahwa


terjadi ketimpangan gender antara minimal umur di Indonesia, dengan
melihat bahwa minimal umur bagi pria di Indonesia adalah 18 tahun,
termasuk ke dalam kelompok umum sejumlah 180 negara yang mengatur
bahwa umur minimal pria untuk menikah adalah 18 tahun. Hanya 8
negara yang memperbolehkan pria untuk menikah di bawah 18 tahun.
Pernikahan dini seringkali terjadi di negara-negara berkembang dengan
perempuan yang memiliki persentase lebih besar dibandingkan pria. Hal
ini umum terjadi pada perempuan di 63 negara berkembang bila
dibandingkan dengan kasus pada pria yang umumnya hanya di delapan
negara berkembang, dimana 20% dari perempuan berumur 20-24 tahun
di 39 negara tersebut telah menikah sebelum umur 18 tahun. Yang
mencengangkan, lebih dari 50% wanita berumur 20-24 tahun di
Bangladesh, Burkina Faso, Republik Afrika Tengah, Mali, Mozambik, dan
Nepal telah menikah sebelum umur 18 tahun. Data-data tersebut
memperlihatkan bahwa pernikahan dini yang direstui oleh orangtua
mempelai masih umum terjadi, memperlihatkan masih rendahnya
penegakan hukum terkait batas minimal umur pernikahan.
Sebuah lembaga penelitian, East-West Center, juga menuliskan tentang
pernikahan dini, yang memfokuskan penelitiannya di Indonesia dan
Nepal. Menurut penelitian mereka, pernikahan dini masih umum
dijumpai di daerah pedesaan di Indonesia dan umum terjadi baik di
daerah urban maupun daerah pedesaan di Nepal. Kenyataan yang juga
memperlihatkan bahwa praktik pernikahan dini merupakan praktik yang
umum terjadi di daerah pedesaan dengan akses pendidikan rendah.
Pernikahan dini yang terjadi di negara-negara berkembang terutama
Indonesia dan Nepal seringkali dikarenakan adanya norma-norma yang
berlaku di masyarakat tradisional dengan eratnya hubungan sosialekonomi antar generasi. Hal ini mendorong terjadinya pemaksaan
pernikahan atau perjodohan remaja oleh orangtua yang berasal dari
kalangan ekonomi lemah dengan alasan bahwa pernikahan dapat
mengurangi beban tanggungan ekonomi keluarga dan menyejahterakan
remaja yang dinikahkan, walaupun hal tersebut belum tentu terbukti.
Fenomena ini terlihat dengan jawaban yang diberikan oleh remaja yang

36

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

terlibat pernikahan dini bahwa alasan mereka untuk menikah karena


orangtua saya menginginkan hal tersebut.19
Selain itu, Shirley Johnson-Lans dan Patricia Jones di dalam tulisannya
yang berjudul Child Brides in Rural India menyatakan, alasan dari adanya
perjodohan ini juga dikarenakan adanya kesadaran orangtua untuk
mengikuti norma-norma yang dilakukan oleh keluarga lain agar orangtua
tersebut dapat diterima di masyarakat dan mendapatkan pengakuan
sosial dari masyarakat di sekitarnya. Praktek ini seringkali terjadi pada
remaja perempuan di India yang diatur pernikahan/perjodohannya saat
ia masih anak-anak atau berusia di bawah 10 tahun.
Meski demikian, tingkat pertumbuhan kasus pernikahan dini di kedua
negara cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini cukup
menjanjikan, walaupun harus disadari bahwa penurunan angka ini juga
terkait dengan tingkat pertumbuhan penduduk di kedua negara tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Asia Research Institute Working
Paper Series No.105 yang berjudul Trends in Age of Marriage in the
Provinces in Indonesia, penurunan angka pertumbuhan kasus pernikahan
dini tersebut terutama disebabkan oleh adanya urbaninasi dan
pembangunan terutama bidang pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu kunci utama di dalam usaha untuk
mengurangi kasus pernikahan dini. Ketersediaan pendidikan
berpengaruh erat tehadap terjadinya pernikahan dini, seperti yang
dikemukakan di dalam penelitian East-West Center:20 The more
education respondents have, the slower the pace of marriage. Analisa ini
dapat membantu para pembuat keputusan bahwa di dalam upaya untuk
memerangi pernikahan dini, faktor pendidikan harus menjadi faktor yang
dikedepankan sebagai salah satu strategi.

19

Kim, Minja., Thapa, Shyam., and Achmad, Sulistinah, Early Marriage and Childbearing in Indonesia and
Nepal, East-West Center Working Paper No.108-15, East-West Center, hal. 8
20
Ibid. hal. 10-11

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

37

38

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB IV
FENOMENA PERNIKAHAN DINI
DI INDONESIA

Sebagian besar penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa, Madura, dan


Bali sebesar 60% dari total penduduk Indonesia, dengan sisanya 40%
tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan pulau-pulau
lainnya. Tingginya pertumbuhan di Pulau Jawa tidak serta merta
menghapuskan praktek pernikahan dini mengingat praktek ini terkait
dengan budaya, tekanan sosial, dan dorongan kondisi ekonomi khususnya
modernisasi yang berdampak pada konsumerisme.
Selain itu, rendahnya tingkat perkembangan di pulau-pulau di luar Jawa
ikut mendorong tingginya angka pernikahan dini terkait dengan besarnya
praktek pernikahan dini di pedesaan. Di Indonesia, tingginya usia
perkawinan pertama terjadi dibawah 20 tahun (4,8% pada usia 10-14
tahun, 41,9% pada usia 15-19 tahun). Umur pertama menikah pada usia
sangat muda (10-14 tahun) cenderung lebih tinggi di perdesaan (6,2%),
kelompok perempuan yang tidak sekolah (9,5%), kelompok
petani/nelayan/buruh (6,3%), serta status ekonomi terendah/kuintil 1
(6,0%).
Tabel 2.2 dibawah memperlihatkan bahwa sebagian besar penduduk
Indonesia tinggal di daerah pedesaan, dengan kelompok umur 10-19
tahun menempati persentase terbesar. Berdasarkan tabel ini, rawannya
pernikahan dini di daerah pedesaan didukung oleh tingginya angka
penduduk kelompok umur rawan pernikahan dini, yaitu 18 tahun ke
bawah.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

39

Tabel 2.2 Sampel Populasi Rumah Tangga di Indonesia,


(sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2007)

Pentingnya mengatur umur pernikahan dikarenakan terkaitnya hal ini


dengan kesehatan, fertilitas, pendidikan, dan perencanaan keluargnya
yang menjadi faktor kesejahteraan rumah tangga. Pernikahan dini yang
terjadi dapat mengganggu proses-proses ini, sehingga mengatur umur
perkawinan pertama menjadi penting.
Umur perkawinan pertama adalah indikator dimulainya seorang
perempuan berpeluang untuk hamil dan melahirkan. Di dalam
perkawinan pada usia muda, seseorang akan mempunyai rentang waktu
untuk hamil dan melahirkan dalam waktu yang lebih panjang
dibandingkan pada perempuan yang menikah pada usia yang lebih tua.
Namun perkawinan dengan usia terlalu muda (pernikahan dini) justru
dapat memberikan dampak negatif terhadap kehamilan dan melahirkan
karena belum siapnya fisiologi dan fisik seorang wanita muda.

40

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Gambar 2.1
(sumber: RISKESDAS, 2010)

Gambar 2.1 menyajikan distribusi persentase perempuan menurut


kelompok umur perkawinan pertama. Terlihat bahwa sebagian besar
(41,9%) menikah pertama kali pada usia 15-19 tahun dan 4,8% pada usia
10-14 tahun. Angka ini memberikan suatu gambaran mengenai
pernikahan dini yang mengkhawatirkan, mengingat batas umur
pernikahan dini yang disetujui dunia internasional adalah 18 tahun ke
bawah.
Walaupun secara hukum batasan menikah pria di Indonesia adalah 19
tahun dan perempuan 16 tahun, namun hukum ini belum
mengakomodasi berbagai perjanjian internasional yang mengatur dan
menyarankan dengan tegas persamaan batasan untuk pria dan wanita
adalah sama, yaitu 18 tahun.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pernikahan dini di Indonesia
sebagian besar terjadi di daerah pedesaan / pedalaman dibandingkan
dengan daerah perkotaan. Hal ini dapat dilihat melalui Tabel 2.3 di bawah
ini.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

41

Tabel 2.3.
Persentase Perempuan Pernah Kawin 10-59 menurut Umur
Perkawinan Pertama dan Karakteristik, (Riskesdas, 2010)

Berdasarkan hasil Riskesdas 2010 jika dilihat dari sisi kultur, maka umur
perkawinan usia muda sejak dini 10-14 tahun sebenarnya sudah terjadi
sejak dulu. Terlihat dari persentase pada kelompok umur 55-59 tahun,
diantara mereka 8,3 persen menikah pada usia 10-14 tahun, dan 42,1
persen menikah pada usia 15-19 tahun. Pada perempuan kelompok 15-19
tahun, masih ada 5,4 persen menikah pada usia 10-14 tahun. Hal ini
berarti dalam 4 tahun terakhir masih terjadi pernikahan usia dibawah
lima belas tahun dalam jumlah lebih dari persen. Jika dilihat dari
karakteristik pekerjaan dan lokasi, perkawinan usia sangat muda (10-14
tahun) banyak terjadi pada perempuan di daerah perdesaan, pendidikan
rendah, status ekonomi termiskin, dan kelompok petani/nelayan/buruh.
Pernikahan yang terjadi pada kelompok umur 10-14 sebesar 6,2% dan
kelompok umur 15-19 sebesar 48,3%. Terlihat berbanding jauh dengan
42

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

pernikahan yang terjadi di daerah perkotaan pada kelompok umur 10-14


tahun yang kurang lebih setengahnya yaitu sebesar 3,4% dan kelompok
umur 15-19 tahun sebesar 35,6%. Tingginya tingkat pernikahan dini di
daerah pedesaan dapat dikaitkan dengan minimnya akses informasi dan
rendahnya tingkat pendidikan di daerah pedesaan / pedalaman.
Menurut hasil Riskesdas 2010, semakin tinggi pendidikan persentase
usia perkawinan pertama pada usia dini semakin kecil. Hal ini
mengindikasikan bahwa pendidikan dapat menunda usia perkawinan
pertama pada usia dini. Seperti terlihat di tabel 2.3, pernikahan yang
terjadi di kelompok umur 15-19 tahun paling tinggi terjadi pada
kelompok pendidikan tamatan SD sebesar 54,3% dan kelompok umur 1014 tahun sebesar 9,5% terjadi pada kelompok pendidikan tidak sekolah.
Kelompok pendidikan tamatan SLTP pun terhitung tinggi, dengan 47,5%
terjadi di kelompok umur 15-19 tahun. Munculnya kekhawatiran juga
dikarenakan hal ini berarti tidak tercapainya program belajar 9 tahun
pemerintah. Salah satu akibatnya adalah pernikahan dini yang
mengganggu akses pendidikan terutama di daerah pedesaan. Hal ini
mengindikasikan bahwa pendidikan memiliki peran yang sangat tinggi
dalam mengurangi angka dan menunda pernikahan dini.
Tersebarnya kasus pernikahan dini menjadi salah satu hambatan yang
dihadapi pemerintah dalam upayanya untuk mengurangi dan
menghapuskan praktek pernikahan dini di Indonesia. Tabel 3.4
memperlihatkan umur perkawinan pertama di Indonesiadenga usia ratarata perkawinan pertama adalah pada usia 20 tahun. Namun apabila
diperhatikan, persentase menurut kelompok umur perkawinan pertama
menunjukkan bahwa terdapat perkawinan pada usia muda 10-19 tahun
(46,7%). Tingginya persentase ini dapat dilihat melalui persebarannya,
dengan provinsi dengan persentase perkawinan usia sangat muda (10-14
tahun) yang paling tinggi adalah Kalimantan Selatan (9%), Jawa Barat
(7,5%), Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7
persen. Di kelompok umur 15-19 tahun, persebaran pernikahan dini
dapat terlihat dengan provinsi dengan persentase terbesar adalah
Kalimantan Tengah sebesar 52,1%, Jawa Barat sebesar 50,2%,
Kalimantan Selatan dengan 48,4%, Sulawesi Tengah sebesar 46,3%, dan
Banten sebesar 45,7%.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

43

Tabel 3.4

KEBIJAKAN NASIONAL TERKAIT PERNIKAHAN DINI


Keberadaan Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk
terbanyak di dunia memberikan banyak keuntungan bagi proses
pembangunan negara. Namun, selain adanya keuntungan, banyaknya
penduduk juga membawa berbagai permasalahan yang meluas dan
tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Permasalahan kependudukan
antara lain adalah ledakan penduduk, pemerataan kesejahteraan, dan isu
pernikahan dini.
44

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Pernikahan dini di Indonesia merupakan salah satu permasalahan


kependudukan yang menjadi perhatian dunia internasional setelah
Indonesia menempati posisi ke 37 dengan kasus pernikahan dini
terbanyak di dunia atau kedua di ASEAN setelah Kamboja berdasarkan
data UNDESA tahun 2011. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2010 diketahui bahwa terdapat 0.2% atau 22.000
perempuan muda yang telah menikah antara umur 10-14 tahun dan
11.7% dari kelompok umur 15-19 tahun. Hal ini menjadi perhatian
mengingat batasan umur minimal untuk menikah yang telah disetujui
dunia internasional adalah 18 tahun dan 16 tahun menurut kebijakan
pemerintah Indonesia. Beberapa kebijakan telah dikeluarkan oleh
pemerintah untuk menanggulangi isu pernikahan dini yang terjadi demi
meningkatkan standar hidup perempuan muda di Indonesia.
1

UU Republik Indonesia No.1/1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia No.1/1974 Tentang Perkawinan (UU


Perkawinan) disahkan pada tanggal 2 Januari 1974 sebagai hasil dari
negosiasi politik antara kelompok hak perempuan, kelompok agama dan
kelompok adat di Indonesia. UU Perkawinan hadir sebagai undangundang pertama di Indonesia yang memberikan jaminan hukum
mengenai pernikahan bagi masyarakat Indonesia dan bertujuan untuk
menyatukan berbagai hukum terkait pernikahan setelah sebelumnya isu
pernikahan diatur melalui beberapa hukum yaitu Hukum Adat bagi warga
Indonesia asli, Hukum Islam bagi warga negara Indonesia yang beragama
Islam, Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia (Huwelijk Ordanantie
Christen Indonesia No.74/1933) bagi warga negara Indonesia yang
beragama Kristen di Jawa, Minahasa, dan Ambon, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgelijk Werboek) bagi warga Indonesia keturunan
Eropa dan Cina, serta Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op
Gemeng de Huwelijken S.1898 No.158) untuk pernikahan campuran. Pasal
66 UU Perkawinan menyatakan bahwa semenjak adanya UU Perkawinan

United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, Population Facts 2011/1

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

45

ini, seluruh peraturan pernikahan yang telah diatur di dalam UU


Perkawinan dinyatakan tidak berlaku.2
UU Perkawinan secara umum mengatur mengenai pernikahan yang
terjadi di Indonesia, termasuk mengenai batasan umur minimum untuk
menikah yang terkait dengan pernikahan dini. Selain itu, undang-undang
ini juga mengatur mengenai syarat pernikahan. Beberapa pasal UU
Perkawinan yang terkait dengan pernikahan dini adalah Pasal 6 dan Pasal
7. Pasal-pasal tersebut berbunyi:
Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
(enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh
kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
Pasal 6 UU Perkawinan secara jelas mennyebutkan bahwa pernikahan
hanya diperbolehkan terjadi apabila dilakukan secara sukarela oleh
kedua belah pihak yang akan menikah. Hal ini dengan tegas melarang
terjadinya pernikahan paksa (forced marriage), terutama yang
melibatkan anak-anak. Pernikahan dini seringkali terkait dengan
2

Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 berbunyi, Untuk perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini,
maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No.158), dan Peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.

46

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

pernikahan paksa tanpa adanya kesukarelaan anak, sehingga praktik


pernikahan ini dilarang di Indonesia.
Batasan umur minimum untuk menikah di Indonesia diatur di dalam
Pasal 7 yang menyatakan bahwa syarat umur minimum untuk menikah
bagi pria adalah 19 tahun dan wanita 16 tahun. Terkait dengan isu
pernikahan dini, batasan umur ini masih belum memberikan
perlindungan yang maksimal bagi anak perempuan mengingat standar
internasional untuk batasan umur minimum menikah adalah 18 tahun.
Selain itu, adanya perbedaan batasan umur bagi pria dan wanita
bertentangan dengan hak kesetaraan perempuan yang diatur beberapa
perjanjian internasional seperti Universal Declaration on Human Rights
dan CEDAW. Pasal 7.2 juga memberikan celah bagi terjadinya pernikahan
dini dengan memberikan kemungkinan adanya dispensasi apabila ada
pengajuan dispensasi dari orangtua yang menjadikan undang-undang ini
tidak tegas menjamin pelarangan pernikahan dini.
Undang-Undang Perlindungan Anak no.23/2002
Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 (UUPA) disahkan
di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2002. Undang-undang ini menyatakan
bahwa definisi anak-anak adalah seseorang yang belum berumur 18
tahun sehingga berbenturan dengan UU Perkawinan yang menyatakan
batas umur menikah untuk perempuan adalah 16 tahun. Hal ini
mendorong dijadikannya definisi UUPA sebagai dasar penggolongan
untuk pernikahan dini. Pasal di dalam UUPA yang berkaitan dengan
pernikahan dini adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

47

Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau
pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
e. ketidakadilan; dan
Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pasal 1 UUPA menjelaskan mengenai definisi dari anak-anak dan
perlindungan anak. Pasal 4 terkait dengan penjelasan mengenai hak anak,
terutama hak perlindungan dari diskriminasi yang seringkali terjadi di
dalam pernikahan dini. Pasal 13 menjelaskan hak anak untuk terlindungi
dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, dan ketidakadilan dari orangtua
yang merupakan bentuk pelanggaran dari pernikahan dini karena selain
diskriminasi, pernikahan dini dapat menjadi bentuk eksploitasi anak
apabila terkait dengan alasan ekonomi/politik, dan secara umum
merupakan bentuk ketidakadilan terhadap anak terutama anak
perempuan. Pasal 26 menyebutkan bahwa orangtua memiliki kewajiban
untuk mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak-anak, dalam UUPA
ini yaitu yang berada di bawah umur 18 tahun sehingga apabila terjadi
pernikahan dini maka pada dasarnya orangtua bertanggung jawab untuk
mencegah agar pernikahan dini tidak terjadi.

48

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Undang-Undang No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia


Undang-Undang No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
adalah undang-undang yang disahkan presiden Republik Indonesia pada
tanggal 23 September 1999 yang mengatur mengenai hak asasi manusia
termasuk hak perempuan dan anak. Di dalam UU HAM Pasal 1 ayat 5
disebutkan bahwa
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Pernikahan dini seringkali merupakan bentuk paksaan yang memisahkan
anak dari orangtuanya dan juga terjadi tidak demi kepentingan anak. Hal
ini merupakan pelanggaran terhadap UU HAM bagian Hak Anak Pasal 59
ayat 1 yang berbunyi,
Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara
bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan
aturan hukum yang sah yang menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak.

Pernikahan dini juga terkait dengan berkurangnya taraf hidup anak dan
hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal untuk
mengembangkan dirinya dikarenakan bertambahnya tanggung jawab di
dalam rumah tangga terutama setelah mengandung dan memiliki anak.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 60 ayat 1 UU HAM karena disebutkan
bahwa,
Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakal, dan tingkat
kecerdasannya.

Meski demikian, UU HAM belum memberikan perlindungan maksimal


terhadap anak terutama anak perempuan dari praktik pernikahan dini,
salah satunya dikarenakan tidak adanya pasal khusus yang mengatur
mengenai hal ini.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

49

Beberapa kebijakan dan undang-undang yang disahkan oleh pemerintah


Indonesia pada dasarnya telah memberikan kerangka perlindungan
terhadap anak perempuan dari pernikahan dini. Namun adanya
pertentangan seperti batas minimal umur menikah untuk perempuan
antara UU Perkawinan dengan UUPA masih memberikan celah bagi
terjadinya pernikahan dini di Indonesia.
Isu pernikahan dini masih merupakan isu yang penting untuk
ditanggulangi di Indonesia. Selain itu, pentingnya isu ini dikarenakan
kaitannya dengan pencegahan ledakan penduduk, peningkatan kualitas
pendidikan, kesehatan, serta pemerataan dan kontrol populasi di
Indonesia.
Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia

Kebijakan ini merupakan hasil kerjasama dari berbagai elemen dan


departemen pemerintahan Indonesia yang didukung oleh UNFPA dan
dipublikasikan pada April 2005 yang berisi sebelas bab tentang kebijakan
dan strategi umum serta kebijakan dan strategi komponen, peran sektorsektor terkait, isu desentralisasi, kerjasama internasional, serta
indikator-indikator untuk memantau kemajuan program serta
monitoring & evaluasi.
Isu pernikahan dini yang seringkali terkait dengan isu kesehatan
reproduksi dan kesetaraan gender juga menjadi prioritas Pemerintah
Indonesia yang tercermin di dalam Kebijakan Umum:
1. Menempatkan upaya kesehatan reproduksi menjadi salah satu
prioritas pembangunan nasional
4. Menggunakan pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di
semua upaya kesehatan reproduksi.
Kebijakan Umum ini kemudian diformulasikan menjadi Kebijakan
Komponen yang berkaitan dengan isu kesehatan reproduksi remaja
(Pasal 4.a). Kebijakan Komponen ini akan dicapai melalui beberapa
Strategi Komponen yang berkaitan yaitu:

50

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

4.b. (1) Pembinaan kesehatan reproduksi remaja disesuaikan dengan


kebutuhan proses tumbuh kembang remaja dengan menekankan pada
upaya promotif dan preventif yaitu penundaan usia perkawinan muda
dan mencegah seks pranikah.
Di dalam Strategi Umum kebijakan ini tertulis bahwa 2. Terbitnya
peraturan perundangan di bidang kesehatan reproduksi. Salah satu upaya
implementasi kebijakan tersebut adalah dengan adanya Kebijakan
Pendewasaan Usia Perkawinan pada tahun 2010.
Kebijakan Pendewasaan Usia Perkawinan

Kebijakan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) ditulis oleh BKKBN yang


bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan remaja dan
pengelola program PKBR tentang hak-hak reproduksi pada remaja serta
perlunya Pendewasaan Usia Perkawinan dalam rangka mewujudkan
Tegar Remaja menuju Tegar Keluarga untuk mewujudkan Keluarga Kecil,
Bahagia Sejahtera.
Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) di dalam kebijakan ini dibagi
menjadi tiga komponen yaitu PUP dan Perencanaan Keluarga, PUP dan
Kesiapan Ekonomi Keluarga, serta PUP dan Kematangan Psikologis
Keluarga. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada remaja
bahwa pernikahan terutama melihat ketiga hal di atas, sehingga upaya
pendewasan usia perkawinan dapat berjalan efektif dan mengurangi
angka pernikahan dini di Indonesia.
Secara umum keberadaan kebijakan nasional yang ada saat ini pada
dasarnya cukup komprehensif, namun hal tersebut belum berdampak
pada pengendalian pernikahan dini secara signifikan. Hal ini
menunjukkan ada permasalahan dalam implementasi kebijakan tersebut
di lapangan. Salah satu isu utama adalah masalah pengaturan atau
regulasi mengenai usia pertama menikah dimana Indonesia masih
memberikan dispensasi peluang hingga batas usia 16 tahun dalam UU
Perkawinan dimana usia tersebut berdasarkan UU Perlindungan Anak
masih masuk dalam kategori usia anak (<18 Tahun). Selain isu regulasi,
implementasi juga tidak berjalan disebabkan proses perencanaan
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

51

kebijakan daerah yang belum menempatkan isu pernikahan dini dalam


isu-isu pembangunan yang mendesak untuk ditangani sehingga
seringkali kebijakan terkait pernikahan dini di tingkat nasional sulit
diimplementasikan di lapangan.

52

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB V
STUDI KASUS PERNIKAHAN DINI
PADA EMPAT PROVINSI
Gambaran nasional pada Bab sebelumnya menunjukkan terjadinya
disparitas yang berbeda antar wilayah dimana tidak semua wilayah
memiliki angka pernikahan dini yang tinggi dan persebaran lokasi yang
tidak terkonsentrasi pada wilayah tertentu. Untuk memberikan
gambaran fenomena pernikahan dini secara lebih komprehensif mengapa
terdapat perbedaan tersebut maka perlu ditinjau kondisi di beberapa
provinsi dengan tingkat pernikahan dini yang cenderung tinggi. Sebagai
gambaran, maka dapat diambil studi kasus padaempat provinsi di wilayah
geografis yang berbeda yakni Kalimantan Selatan, BangkaBelitung,Sulawesi Tengah dan Jawa Barat. Secara umum dapat diuraikan
sebagai berikut:

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN


Kondisi Umum
Kalimantan Selatan menjadi fokus perhatian banyak kalangan yang peduli
atas tingginya praktek pernikahan dini karena provinsi ini adalah provinsi
dengan angka tertinggi pernikahan dini di Indonesia untuk kelompok
umur 10-14 tahun. Besarnya angka pernikahan dini di Kalimantan
Selatan untuk kelompok umur 10-14 tahun adalah sebesar 9%, memiliki
selisih cukup besar dengan peringkat kedua untuk kelompok umur ini
yaitu Jawa Barat dengan 7,5% dan jauh di atas provinsi terendah di
Indonesia yaitu Bali dengan 0,6%. Yang menjadi perhatian berikutnya
adalah, angka pernikahan dini untuk kelompok umur 10-14 tahun ini jauh
di atas rata-rata nasional yang hanya 4,8%, menurut data yang dirilis
Riskesdas pada tahun 2010. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat
selama beberapa tahun sebelumnya, Jawa Barat masih menempati posisi
tertinggi untuk angka pernikahan dini kelompok umur 10-14 tahun.1
1

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar 2010, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2010.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

53

Selain menempati posisi pertama pada kelompok umur 10-14 tahun,


Kalimantan Selatan juga memiliki angka pernikahan yang cukup tinggi
untuk kelompok umur 15-19 tahun yaitu sebesar 48,4% dan menempati
peringkat ketiga tertinggi di Indonesia setelah Kalimantan Tengah dengan
52,1% dan Jawa Barat dengan 50,2%. Lagi-lagi, angka pernikahan dini
kelompok umur 15-19 tahun di Kalimantan Selatan ini berada di atas ratarata nasional yaitu 41,9%. Tingginya angka pernikahan di kelompok umur
10-14 tahun dan 15-19 tahun mengkhawatirkan banyak kalangan,
terutama mengenai faktor pendidikan mengingat pernikahan dini ini
terjadi di kelompok umur pelajar wajib belajar 12 tahun. Dengan
tingginya angka pernikahan dini ini, dapat diasumsikan bahwa program
wajib belajar menjadi terganggu, serta dapat mengakibatkan tingginya
angka putus sekolah karena berubahnya tanggung jawab dari seorang
pelajar menjadi seorang suami/istri.
Kalimantan Selatan dengan jumlah penduduk sebesar 3,626,616 jiwa,
dengan persebaran sejumlah 1,525,125 jiwa (42,05%) tinggal di daerah
perkotaan dan 2,101,491 jiwa (57,95%) tinggal di daerah pedesaan,
seringkali merupakan daerah dengan akses minim. Angka penduduk
untuk kelompok umur 10-14 tahun sebesar 333,204 jiwa dan untuk
kelompok umur 15-19 tahun sebesar 328,014 jiwa. Apabila digabungkan,
kedua kelompok umur ini hampir mencapai 20% dari total penduduk
Kalimantan Selatan yang terpusat di beberapa daerah seperti Kota
Banjarmasin, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Banjar Baru.2
Beberapa hal yang menjadi faktor tingginya praktek pernikahan dini di
Kalimantan Selatan, terutama di Kabupaten Banjar dengan angka
tertinggi adalah faktor sosial dan budaya masyarakat, tingkat pendidikan,
ekonomi, geografis, serta faktor psikologi keluarga, terutama adalah
ekonomi dan budaya. Hal ini diungkapkan oleh Rosihan Adhani, Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, yang menambahkan
bahwa banyaknya kasus pernikahan dini di Kalimantan Selatan, terutama
di Kabupaten Banjar, dikarenakan ketidakmampuan meneruskan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia memberikan keterangan lebih
2

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan, Sensus 2010, diakses melalui
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=6300000000&wilayah=Kalimantan-Selatan pada
20 Juni 2012.

54

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

lanjut bahwa pernikahan dini seringkali membawa dampak kesulitan


ekonomi, yang berujung pada kurangnya asupan gizi bagi keluarga. Oleh
karena itu, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar ini
menyarankan bahwa usia pernikahan minimal adalah 25 tahun untuk
laki-laki dan 20 tahun untuk perempuan.3
Kabupaten Banjar dengan angka pernikahan dini tertinggi di Kalimantan
Selatan, memiliki faktor khusus yang mendorong terjadinya pernikahan
dini dengan kuatnya sistem kepercayaan yang dianut masyarakat Banjar,
yaitu mazhab Imam Syafii. Kepercayaan setempat ini mengajarkan bahwa
pernikahan dini merupakan salah satu bentuk usaha untuk mencegah
kerusakan sehingga dianjurkan oleh pemuka agama dan banyak
dipraktekkan di Kabupaten Banjar. Hal ini patut mendapat perhatian
lebih, mengingat Banjar merupakan daerah dengan kepadatan penduduk
tertinggi kedua di Kalimantan Selatan dengan 506.204 jiwa atau 14,3%
dari total penduduk Kalimantan Selatan.4 Kota Banjarmasin berada di
peringkat kedua setelah Kabupaten Banjar terkait kasus pernikahan dini,
dengan perilaku seks bebas yang mendorong terjadinya pernikahan dini
di kota ini. Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin Hj. Dias R. Prawasti
mengatakan bahwa dari 50 kasus persalinan remaja putri pada tahun
2010 melonjak menjadi 235 kasus persalinan pada 2011. Ia
menambahkan bahwa tidak tertutup kemungkinan akan kembali
melonjak di tahun 2012. Kasus ini terjadi pada remaja yang masih duduk
di usia SMP dan SMA, dan seringkali berakhir dengan pernikahan dini.5
Secara keseluruhan, berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 Badan
Pusat Statistik di Kalimantan Selatan tercatat sebanyak 268 jiwa
kelompok umur 10-14 tahun berstatus menikah, 57 jiwa berstatus cerai
hidup dan 3 jiwa berstatus cerai mati. Pada kelompok umur 15-19 tahun
tercatat 38,568 jiwa berstatus menikah, 2,249 jiwa berstatus cerai hidup
3

Radar Banjarmasin, Pernikahan Dini Kalsel Tertinggi, Radar Banjarmasin Online, diakses melalui
http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/Radar%20Banua/30362 pada 20
Juni 2012.
BKKBN Provinsi Kalsel, Profil Data Kependudukan dan KB Nasional Provinsi Kalimantan Selatan,
Februari 2012.
Bharata News, Seks Bebas Remaja Banjarmasin Meningkat, diakses melalui
http://www.bharatanews.com/berita-831-seks-bebas-remaja-banjarmasin-meningkat.html
pada 20 Juni 2012.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

55

dan 125 jiwa berstatus cerai mati. Angka ini masih dapat meningkat
mengingat masih terdapat 2,148 jiwa yang tidak ditanyakan pada
kelompok umur 10-14 tahun dan 3,500 jiwa pada kelompok umur 15-19
tahun.6
Gambaran Permasalahan
Provinsi Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang memiliki budaya
agamis yang cukup kental. Hal ini sangat kuat terasa terjadi baik di
perkotaan maupun pedesaan. Disisi lain pertumbuhan ekonomi yang
sangat pesat khususnya dari sektor pertambangan memberikan
sumbangan yang tidak kecil bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat. Pesatnya pertumbuhan ekonomi tersebut berdampak pada
pola perilaku konsumtif dan mempercepat arus modernisasi yang terjadi.
Situasi ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan pernikahan dini,
Provinsi Kalimantan Selatan memiliki satu karakteristik pernikahan dini
yang sejalan dengan hasil penelitian Jones & Gubhaju (2008)7, bahwa
pernikahan dini di Indonesia secara frekuen merefleksikan pernikahan
yang telah diatur. Berdasarkan pernyataan berbagai narasumber,
pernikahan dini di Kalimantan Selatan yang masih diatur secara kultur
masih banyak terjadi baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan.
Meskipun kesejahteraan masyarakat Kalimantan Selatan meningkat
pesat akibat pertambangan, hal ini tidak mengurangi tingkat pernikahan
dini baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan.
Untuk mengkaji hal tersebut, studi secara mendalam dilakukan di
Kabupaten Banjar, Kabupaten Banjar dipilih karena merupakan salah
satu Kabupaten dengan tingkat pernikahan dini yang cukup tinggi di
Kalimantan Selatan dan letaknya yang secara geografis sangat strategis
dapat memberikan gambaran permasalahan yang terjadi baik dari sisi
perkotaan maupun dari sisi pedesaan tersebut. Berdasarkan data Kantor
Agama setempat jumlah dari 6034 pasangan yang menikah, terdapat
2590 perempuan berusia dibawah 20 tahun (40% dari total perempuan).
6
7

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan, loc.cit.


Ibid.

56

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Menurut narasumber Kabag Kesra Pemerintah Kabupaten Banjar.


tingginya angka pernikahan usia dini di Kabupaten Banjar sendiri telah
sorotan di antara kabupaten dan kota lain di Kalimantan Selatan selama
ini.
Di Kabupaten Banjar, latar belakang masalah pernikahan dini sangat
terkait dengan faktor sosial budaya khususnya agama islam yang sangat
melekat disatu sisi dan peran modernisasi yang tumbuh secara pesat
beberapa waktu terakhir di sisi lain. Kabag Kesra Pemkab Banjar
mengungkapkan bahwa :
Faktor yang memengaruhi realitas tersebut (pernikahan dini)
adalah faktor sosial dan budaya masyarakat, tingkat pendidikan,
ekonomi, geografis atau wilayah serta faktor psikologi keluarga,
Faktor lain yang cukup memengaruhi adalah sifat masyarakat Banjar
yang tergolong agamis dan mayoritas menganut mazhab Imam
Syafii, kebanyakan berlatar pendidikan klasik atau mendalami kitab
kuning,
Sifat yang dianut anggota masyarakat tersebut membuat mereka
memegang prinsip lebih baik mencegah kerusakan daripada telanjur
mengalami hal-hal yang tak diinginkan di belakang hari. Oleh karenanya
sejak dahulu telah menjadi kelaziman bagi orang tua untuk menikahkan
anak di usia dini dengan menggunakan alasan secara agama dengan
berlandaskan kitab kuning tersebut. meskipun sebenarnya diakui
menurut beberapa narasumber, masyarakat hanya mengambil alasan
agama tersebut secara terpotong. Karena pada dasarnya Agama Islam
menganjurkan untuk melihat dampak yang terjadi kemudian. Namun
demikian hal ini sudah telanjur menjadi prinsip yang mendasar pada
sebagian besar orang tua.
Sementara disisi lain, faktor modernisasi yang sangat pesat tumbuh di
Kalimantan Selatan satu dekade terakhir, telah menjadi pintu masuk bagi
nilai-nilai sosial budaya modern yang baru dan bebas. Perilaku remaja
yang cenderung lebih bebas dan bahkan dianggap diluar kewajaran telah
menjadi hal yang lumrah terjadi khususnya di perkotaan. Penduduk usia
remaja cenderung lebih berani untuk berpacaran di depan umum, hal ini

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

57

diakui oleh seluruh narasumber dimana saat ini remaja jauh lebih bebas
dalam berpacaran sebagaimana dapat disaksikan secara jelas di tamantaman kota khususnya di sore dan malam hari, hal ini dapat disaksikan
bahkan hingga ke kota Banjarmasin.
Kenyataan tersebut membuat orang tua semakin ketakutan, dan pada
akhirnya membuat orang tua justru mengatur agar pernikahan dilakukan
lebih cepat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat sebagaimana
ditunjukkan oleh modernisasi justru semakin mendorong terjadinya
pernikahan di usia dini.
Lalu dimanakah peran pendidikan? pada beberapa penelitian
sebelumnya diungkapkan bahwa faktor pendidikan menjadi hal penting
untuk mencegah terjadinya pernikahan dini. Seharusnya perekonomian
yang membaik akan meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat dan
pada akhirnya berdampak pada penurunan angka pernikahan dini. tetapi
hal ini tidak terjadi di Kalimantan Selatan. Pertumbuhan ekonomi yang
pesat maupun fasilitas pendidikan yang telah disediakan tidak dibarengi
minat masyarakat pada pendidikan.
Faktor tarikan ekonomi dari pertambangan batu bara yang begitu kuat
telah memikat remaja pria untuk bekerja di pertambangan. Tingginya
pendapatan yang diperoleh telah menyebabkan remaja pria memilih
untuk bekerja di tambang ketimbang untuk melanjutkan studinya.
Berdasarkan hasil pengamatan maupun wawancara, kebanyakan dari
mereka yang bekerja adalah lulusan SMP/SMA/SMK. Ekspektasi mereka
pada umumnya adalah mereka memperoleh modal yang cukup dengan
bekerja di tambang. Menikah telah menjadi tujuan awal mereka sehingga
ketika mereka sudah merasa memiliki modal yang cukup, mereka akan
langsung melamar gadis yang sudah dipacarinya atau mencari calon yang
disukai untuk segera dinikahinya. Di pedesaan pada umumnya remaja
usia 17- 18 tahun telah memiliki sedikit penghasilan dan pada usia inilah
biasanya mereka mulai menikah.
Pola perkawinan usia dini di Banjar pada umumnya adalah pada usia
sepantar, usia remaja perempuan yang dipinang oleh para remaja pria ini

58

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

biasanya sebaya atau sedikit lebih muda beberapa tahun. Pada salah satu
pasangan yang diwawancarai, mereka mengakui saling menyukai (tidak
dijodohkan) dan mereka bersepakat untuk menikah karena satu sama
lain sudah merasa cukup siap untuk menikah (tidak ada lagi yang mereka
cari). Alasan mereka ini didukung oleh orang tua yang takut jika mereka
sudah keburu tua, tidak sanggup lagi membiayai pernikahannya dan takut
jika tidak segera dinikahkan akan menjadi omongan masyarakat. Remaja
perempuan yang diwawancara ini mengaku berusia 17 tahun dan lulus
SMP. Ia tidak melanjutkan sekolahnya karena orang tua menganggap
sudah cukup dan tidak perlu lagi melanjutkan sekolah. Hal serupa juga
terjadi pada teman-temannya yang menurutnya kebanyakan lulus
SMP/Pesantren langsung menikah. Hal ini membuat kelompok remaja
disana cenderung takut anggapan negatif bila mereka terlambat menikah.
Alasan serupa juga diungkapkan pasangan lainnya yang diwawancara,
bahkan mereka menambahkan bahwa lingkungan sangat mendukung
bagi siapapun pasangan muda yang ingin segera menikah. Terlepas hal ini
benar atau tidak namun perspektif inilah yang ditangkap oleh pasangan
tersebut selama ini.
Remaja perempuan usia SMP di Kalimantan Selatan merupakan usia yang
rentan. Berdasarkan hasil observasi lapangan di Kota Banjarmasin,
banyak terdapat kumpulan remaja perempuan dengan usia SMP di
tempat umum seperti balai kota pada sore hingga malam hari. Ketika
salah satu remaja perempuan tersebut diwawancara, dia mengakui masih
berusia 13 tahun lebih. Pada saat yang sama ia dikenalkan oleh temanteman sepermainannya dengan remaja laki-laki berusia 17 tahun yang
sudah bekerja di tambang. Para remaja perempuan dan laki-laki ini
berpakaian menarik, mengendarai motor dan memiliki telpon genggam.
Narasumber BPS mengungkapkan dalam proses pengumpulan data,
mereka tidak jarang menemui wanita usia subur yang sudah menikah di
usia masih dini bahkan belum menstruasi pun sudah menikah.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun fasilitas pendidikan telah ada
namun minat sebagian masyarakat untuk bersekolah belum besar
khususnya bagi perempuan. Sementara untuk anak laki-laki orang tua
lebih berminat menyekolahkan ke sekolah agama/pesantren yang
seringkali tidak tercatat secara statistik. Informasi mengenai dampak dari
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

59

pernikahan dini ini sendiri belum sampai dengan jelas pada mereka
maupun pada orang tua. Pemahaman orang tua masih rendah baik soal
pernikahan dini maupun pentingnya pendidikan bagi remaja perempuan.
Salah satu pimpinan dinas pemberdayaan perempuan pada diskusi
mengungkapkan bahwa orang tua cenderung tidak takut untuk
menikahkan anak di usia dini. ia mengungkapkan pernah bertemu orang
tua yang menikahkan sendiri anak perempuannya saat masih berusia 16
tahun tanpa melalui pengadilan (untuk menghindari biaya sidang), dan
ketika ditanya alasannya ia mengungkapkan bahwa dirinya takut terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Masalah pendidikan ini berdampak pula pada kualitas kesehatan,
terdapat beberapa kasus kematian ibu terjadi karena sang ibu terlambat
mendeteksi dikarenakan pemahaman yang rendah. Selain itu
Narasumber Dinas Kesehatan juga mencatat bahwa banyak kasus
kematian ibu terjadi akibat suami terlambat dalam mengambil keputusan
sehingga menghambat upaya rujukan.
Tingginya pasangan usia muda ini berdampak pula pada kualitas keluarga
yang dibangun, Salah satu narasumber menyoroti bahwa dahulu
pasangan menikah usia dini tetap langgeng hingga tua, namun saat ini
banyak sekali kasus perceraian terjadi. Hal ini dibenarkan oleh berbagai
narasumber termasuk dari kantor pengadilan agama yang menyatakan
bahwa perceraian kini banyak terjadi pada pasangan usia muda tersebut.
Telah menjadi tradisi di Kalimantan Selatan, apabila pasangan melakukan
pernikahan, maka pasangan akan ikut pada orang tua pihak perempuan
untuk jangka bebrapa lama. Masalah biasanya muncul ketika campur
tangan orang tua terjadi. Kemapanan orang tua seringkali mendorong
terjadinya pernikahan. Hal ini seringkali menyebabkan pasangan belum
siap berumah tangga dan masih memiliki emosi yang masih labil dan pada
akhirnya berdampak pada perceraian.
Peran Kelembagaan
Pada tingkat Masyarakat, Kalimantan Selatan memiliki kelembagaan yang
sangat kuat dari sisi Agama. Tokoh agama berpengaruh penting dalam
pengambilan keputusan keluarga. Bahkan tidak sedikit keluarga yang
lebih memilih menyekolahkan anaknya di pesantren dibandingkan
60

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

dengan sekolah formal. Sekolah agama menjadi pilihan utama bagi orang
tua untuk menyekolahkan anaknya pasca lulus SD.
Beberapa narasumber menganggap bahwa faktor agama sudah sangat
melekat dalam kehidupan masyarakat Banjar. Sehingga tokoh agama pun
menjadi panutan mereka yang utama dan perannya sangat menentukan
pilihan jalan warganya termasuk dalam hal menikah. Pada dasarnya
menurut beberapa narasumber, tokoh agama tidak sulit untuk didekati
dan mereka memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam
mempengaruhi massa. Mereka sendiri apabila dijelaskan pada dasarnya
memahami maksud dari program pencegahan nikah usia dini tersbut
namun pendekatan ini dirasa masih kurang.
Sementara dari sisi kelembagaan keluarga, faktor orangtua pada
dasarnya masih sangat kuat dalam menentukan pilihan bagi sang anak.
Menurut beberapa narasumber, pada tingkat ekonomi yang lebih mapan,
keluarga akan mengambil keputusan untuk memberikan pendidikan
yang baik pada anaknya namun disisi lain orang tua cenderung
menggunakan pola pikir sederhana sehingga ketakutan pada
pelanggaran norma agama membuat mereka pada akhirnya tetap
menikahkan anaknya tersebut sebelum mereka melanjutkan pendidikan
ketingkat yang lebih tinggi. Menurut narasumber BPS, berdasarkan
pengalaman pribadi di lapangan, selain nilai agama, alasan lain orang tua
adalah mereka tidak ingin malu dan menanggung beban kalau anak
perempuan mereka belum menikah, baik dari sisi ekonomi (selagi mereka
mampu) maupun akan terlibat pergaulan bebas.
Dari sisi pengembangan kebijakan, pada dasarnya para pelaksana
kebijakan sudah memiliki pemahaman yang cukup mengenai isu
pernikahan dini. Namun hal tersebut tidak tampak dalam perencanaan
kebijakan dimana isu pernikahan dini belum menjadi prioritas perhatian
baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten. Hal ini diakui oleh para
stakeholders.
Regulasi yang ada saat ini pun dianggap oleh stakeholders tidak
memberikan kewenangan bagi Kantor Urusan Agama untuk mencegah
pernikahan antara usia 16-19 tahun selama syaratnya telah dipenuhi.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

61

Disisi lain, masih banyak terjadi upaya memalsukan identitas dengan


menaikkan umur dan pernikahan yang tidak tercatat. Oleh karenanya
peran regulator menjadi sangat penting khususnya untuk mengendalikan
di tingkat kelurahan/desa.
Terkait dengan upaya koordinasi kebijakan untuk isu pernikahan dini,
stakeholders di tingkat provinsi telah melakukan upaya-upaya advokasi
lintas sektor khususnya melalui upaya fasilitasi Kantor Perwakilan
BKKBN Provinsi. Namun hal serupa tidak terjadi di tingkat Kabupaten.
Stakeholders di tingkat Kabupaten mengakui bahwa koordinasi lintas
sektor belum dilakukan secara khusus untuk isu ini.
Hal ini dapat saja terjadi, tidak hanya karena lemahnya perencanaan dan
koordinasi, tetapi juga keterbatasan yang ada dalam kelembagaan di
kabupaten. Banyaknya keluhan mengenai kurangnya SDM, anggaran dan
sarana prasarana hingga regulasi menggambarkan betapa langkah
stakeholders di daerah menjadi sangat terbatas.
Lemahnya kelembagaan di daerah sangat tampak namun tidak diimbangi
dengan upaya koordinasi sinergis antar sektor. Nuansa ego sektoral
sangat terasa terjadi ditingkat kabupaten. Komunikasi yang dilakukan
cenderung seperlunya dan seusai kebutuhan tupoksi kewenangan. Hal
dengan adanya celah dalam kewenangan terkait pengendalian
pernikahan dini.
Dampak nyata yang terjadi dari lemahnya kelembagaan baik dari sisi
infrastruktur maupun sinergi dan koordinasi lintas sektor adalah hampir
tidak berjalannya sosialisasi sehingga upaya memperkenalkan isu
pernikahan dini tidak berjalan baik di masyarakat. Hal ini sangat tampak
terjadi ketika dilakukan wawancara pada masyarakat dimana mereka
tidak memahami isu tersebut dan mengaku tidak pernah memperoleh
pengetahuan tentang itu. Hal menarik adalah bahwa ketika narasumber
ditanyakan mengenai pemahamannya terkait tayangan iklan menunda
usia pernikahan, mereka mengaku tahu iklan itu tetapi mereka tidak
memahami apa maknanya. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi sosialisasi
di lapangan menjadi sangat penting dan tidak akan berjalan tanpa adanya
sinergi lintas sektor baik antar SKPD maupun hingga ke tataran lapangan
seperti sekolah maupun tokoh agama.
62

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Pertemuan antar stakeholders yang terjadi pada saat triangulasi diskusi


kelompok terarah yang dilakukan untuk penelitian ini di Kabupaten
Banjar merupakan pertemuan yang pertama kali dilakukan untuk
membahas isu pernikahan dini. Paska pertemuan telah diperoleh
komitmen bahwa para stakeholders akan menindaklanjuti pertemuan
koordinasi secara lebih intensif kedepan untuk membahas pengendalian
pernikahan dini.
Akar Masalah
Berdasarkan gambaran permasalahan dan peran kelembagaan
khususnya di Kabupaten Banjar dan umumnya di Provinsi Kalimantan
Selatan, maka dapat dilihat akar permasalahan pernikahan dini di Kalsel
masih banyak terjadi di pedesaan maupun perkotaan dan masih diatur
secara kultur. Disisi lain meskipun pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan penduduk Kalimantan Selatan meningkat pesat akibat
pertambangan, ternyata tidak mengurangi tingkat pernikahan dini baik di
kawasan pedesaan maupun perkotaan.
Latar belakang masalah pernikahan dini ini melekat di masyarakat
setempat khususnya di wilayah Banjar sangat terkait dengan faktor sosial
budaya dan agama yang sangat melekat di mindset masyarakat dan peran
modernisasi yang tumbuh secara pesat beberapa waktu terakhir di sisi
lain.
Dari sisi sosial budaya dan agama, mindset yang dianut anggota
masyarakat adalah prinsip lebih baik mencegah kerusakan pada anakanak daripada telanjur mengalami hal-hal yang tak diinginkan di
kemudian hari. Oleh karenanya telah menjadi kelaziman bagi orang tua
untuk menikahkan anak di usia dini dengan menggunakan alasan secara
agama. Meskipun faktor ekonomi juga sebenarnya merupakan alasan,
baik karena mereka merasa telah mampu secara ekonomi dan sanggup
membiayai pernikahan dalam keluarganya.
Dari sisi peran modernisasi dan perekonomian yang sangat pesat tumbuh
di Kalimantan Selatan satu dekade terakhir, juga telah menjadi pintu
masuk bagi nilai-nilai sosial budaya modern yang baru dan bebas.
kelompok remaja disana cenderung merasa sudah mampu untuk
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

63

menikah di usia muda. Mereka pun beralasan bahwa mereka takut


anggapan negatif bila mereka terlambat menikah. Alasan serupa juga
diungkapkan pasangan lainnya yang diwawancara, bahkan mereka
menambahkan bahwa lingkungan pun termasuk keluarga sangat
mendukung bagi siapapun pasangan muda yang ingin segera menikah.
Hal ini membuat pernikahan di usia dini menjadi seperti tren di generasi
muda.
Seharusnya perekonomian yang membaik akan meningkatkan tingkat
pendidikan masyarakat dan pada akhirnya berdampak pada penurunan
angka pernikahan dini. tetapi hal ini tidak terjadi di Kalimantan Selatan.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat maupun fasilitas pendidikan yang
telah disediakan tidak dibarengi minat masyarakat khususnya generasi
muda pada pendidikan.
Dari sisi peran kelembagaan, akar masalah berdasarkan peran dapat
dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain:
Peran Orang Tua dan Keluarga
Dalam kelembagaan keluarga, faktor orangtua pada dasarnya masih
sangat kuat dalam menentukan pilihan bagi sang anak. nilai agama
merupakan hal utama yang dijadikan landasan para orang tua dalam
menikahkan anaknya di usia dini. Selain nilai agama, alasan lain
orang tua menikahkan adalah mereka tidak ingin malu dan
menanggung beban kalau anak perempuan mereka belum menikah,
baik dari sisi ekonomi (selagi mereka mampu) maupun akan terlibat
pergaulan bebas.
Peran Adat dan Agama
Dari sisi adat dan agama pada dasarnya tokoh agama setempat
merupakan tokoh adat, dan mereka berpengaruh penting dalam
pengambilan keputusan keluarga. Tokoh agama setempat juga
memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam mempengaruhi massa.
Orang tua dalam keluarga pun sangat mengikuti arahan para tokoh
agama panutannya. Selain itu para tokoh agama ini tidak sulit untuk
didekati namun pendekatan yang dilakukan selama ini dirasakan
masih sangat kurang.

64

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Peran Pemerintah
Dari sisi pemerintah selaku penentu dan pelaksana kebijakan pada
dasarnya sudah memiliki pemahaman yang cukup mengenai isu
pernikahan dini. Namun hal tersebut tidak tampak dalam
perencanaan kebijakan dimana isu pernikahan dini dimana isu ini
belum menjadi prioritas perhatian baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten.
Upaya koordinasi kebijakan untuk isu pernikahan dini, stakeholders
di tingkat provinsi telah melakukan upaya-upaya advokasi lintas
sektor khususnya melalui upaya fasilitasi Kantor Perwakilan BKKBN
Provinsi. Namun hal serupa tidak terjadi di tingkat Kabupaten.
Stakeholders di tingkat Kabupaten mengakui bahwa koordinasi
lintas sektor belum dilakukan secara khusus untuk isu ini. Lemahnya
kelembagaan di daerah memang sangat tampak dan tidak diimbangi
dengan upaya koordinasi sinergis antar sektor. Nuansa ego sektoral
sangat terasa terjadi ditingkat kabupaten. Dampak nyata yang terjadi
dari lemahnya kelembagaan ini adalah hampir tidak berjalannya
sosialisasi di masyarakat termasuk pada tokoh agama.

PROVINSI BANGKA BELITUNG


Kondisi Umum
Provinsi Bangka-Belitung (Babel) sebagai salah satu provinsi termuda di
Indonesia memiliki penduduk sebesar 1,223,296 jiwa, dengan catatan
635,094 berjenis kelamin pria dan 588,202 berjenis kelamin wanita.
Provinsi Babelmemiliki angka umur perkawinan pertama tertinggi di
Pulau Sumatera untuk kelompok umur 15-19 tahun dengan 47,9% dari
jumlah total kelompok umur sebesar 101,985 jiwa, sedikit di atas Provinsi
Belitung dengan 45,9% angka umur perkawinan pertama. Untuk
kelompok umur 10-14 tahun yang berjumlah 109,303 jiwa, angka umur
perkawinan pertama provinsi ini sebesar 2,8%, berada di bawah Sumatra
Selatan, Jambi, dan Bengkulu.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi
Babel, pada kelompok umur 10-14 tahun yang masih digolongkan sebagai
anak-anak, ditemukan sebanyak 135 jiwa berstatus menikah dan 11 jiwa
berstatus cerai hidup. Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat 146 kasus
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

65

pernikahan dini yang resmi tercatat , walaupun adanya aturan minimal


umur menikah pada laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun sesuai
Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Meskipun bukan yang
tertinggi di Pulau Sumatra, angka pernikahan dini yang di atas 100 kasus
untuk kelompok umur 10-14 tahun ini tergolong mengkhawatirkan,
mengingat kelompok umur 10-14 tahun masih termasuk ke dalam
kelompok usia SD dan SMP atau kelompok usia wajib belajar 9 tahun.
Adanya kasus pernikahan dini di kelompok ini dikhawatirkan mendorong
terjadinya putus sekolah, terhambatnya program pendidikan pemerintah
dan hilangnya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi.8
Pada kelompok umur 15-19 tahun, yang termasuk usia awal produktif,
terdapat 10,494 jiwa berstatus menikah, 420 jiwa berstatus cerai hidup,
dan 25 jiwa berstatus cerai mati. Hal ini memperlihatkan tingginya angka
pernikahan dini di Provinsi Babel dengan total 10,939 jiwa sudah
menikah pada kelompok umur 15-19 tahun atau 10,7% dari total
kelompok umur ini. Kelompok umur 15-19 merupakan kelompok usia
pendidikan sekolah menengah atas (SMA), sebuah fase penting di dalam
perkembangan kedewasaan dan kepribadian remaja sehingga tingginya
kasus pernikahan dini untuk kelompok umur ini di Provinsi Babel
menjadi perhatian banyak kalangan, terutama BKKBN yang berhubungan
langsung dengan kependudukan dan keluarga berencana dan menjadi
ujung tombak pemerintah di dalam menanggulangi tingginya pernikahan
dini di Indonesia.9
Provinsi Babel dengan jumlah penduduk sebesar 1,223,296 jiwa, dengan
persebaran sejumlah 602,106 jiwa (49,2%) tinggal di daerah perkotaan
dan 621,190 jiwa (50,8%) tinggal di daerah pedesaan, seringkali
merupakan daerah dengan akses minim. Angka penduduk untuk
kelompok umur 10-14 tahun sebesar 109,303 jiwa dan untuk kelompok
umur 15-19 tahun sebesar 101,985 jiwa. Apabila digabungkan, kedua
kelompok umur ini mencapai 17,2% dari total penduduk Babel yang
8

Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka-Belitung, Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Perkawinan,
diakses melalui http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=336&wid=1900000000
pada 22 Juni 2012.
9
Ibid.

66

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

terpusat di beberapa daerah seperti Bangka dan Bangka Selatan.


Praktik pernikahan dini di Provinsi Babel yang seringkali terjadi di
kalangan pelajar sekolah menengah dan menjadi kekhawatiran bagi
pemerintah daerah seperti yang disebutkan oleh Bupati Bangka Tengah,
H. Erzaldi Roesman. Ia menekankan pentingnya peran orangtua dalam
memberikan pemahaman dan mencegah terjadinya pernikahan dini.10 Hal
ini terkait dengan meningkatnya kasus pernikahan dini di Tanjungpandan
dari 3 kasus pada tahun 2009 menjadi 11 kasus pada tahun 2010 yang
sempat menjadi perhatian pemerintah daerah. Erzaldi menilai, maraknya
pernikahan dini di Kabupaten Bateng disebabkan lemahnya pengawasan
orang tua serta cara berpikir instan. Misalnya, bila sang lelaki sudah
bekerja sendiri di TI (Tambang Inkonvensional) atau berkebun, dianggap
sudah boleh menikah meskipun dari sisi usia belum matang. Lebih lanjut,
baru-baru ini ditemukan adanya anak berusia 3 tahun yang
perkembangan fisiknya seperti baru berusia 1,5 tahun. Setelah ditelusuri,
ternyata kedua orang tua anak tersebut bukan tidak mampu secara
ekonomi namun belum tahu caranya menghidupi sang anak.11
Meningkatnya tren pernikahan dini di Babel dapat terlihat melalui
dispensasi pernikahan yang dikeluarkan oleh Kantor Pengadilan Agama
Kelas II Tanjungpandan yang telah mengeluarkan 30 lebih dispensasi
untuk pernikahan anak di bawah umur. Menurut Pelaksana Tugas Ketua
Pengadilan Agama Kelas II Tanjungpandan , Nasrullah, dari bulan Januari
hingga Mei 2012 telah ada 30 dispensasi pernikahan dini yang
dikeluarkan, dengan rata-rata yang melakukan praktek pernikahan dini
telah hamil terlebih dahulu.12 Sejalan dengan Bupati Erzaldi Roesman,
Nasrullah juga menambahkan bahwa salah satu faktor terjadinya
pernikahan dini di Provinsi Babel dikarenakan kurangnya pengawasan
dan pemahaman orangtua terhadap isu ini sehingga perilaku pergaulan
bebas seringkali berujung pada pernikahan dini.
10

Bangka Pos Online, Erzaldi: Prihatin Pernikahan Dini Marak, Bangka Pos, 11 Juni 2012, diakses melalui
http://bangka.tribunnews.com/2012/06/11/erzaldi-prihatin-pernikahan-dini-marak pada 14
Juni 2012.
11
Berita Koba, Pernikahan Dini Marak, Erzaldi Minta Peran Aktif Orangtua, Bangka Tribun News, diakses
melalui http://www.radarbangka.co.id/berita/detail/koba/8379/pernikahan-dinimarakerzaldi-minta-orang-tua-berperan-aktif.html pada 22 Juni 2012.
12
Pos Belitung, PA Keluarkan 30 Dispensasi, Bangka Pos Group, diakses melalui
http://cetak.bangkapos.com/communitynews/read/47652.html pada 22 Juni 2012.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

67

Gambaran Permasalahan
Pernikahan dini di Provinsi Bangka Belitung telah menjadi isu yang
berlangsung sejak lama dan tetap berlangsung hingga saat ini khususnya
di Kab. Bangka Selatan. Kabupaten Bangka Selatan merupakan salah satu
Kabupaten tertinggal yang ada di Kepulauan Bangka dengan angka
pernikahan dini paling signifikan. Di Kabupaten Bangka Selatan sendiri
terdapat satu fenomena perubahan penyebab pernikahan dini yang
terjadi dalam satu dekade terakhir. Diakui oleh para stakeholders di
lapangan, jika dahulu budaya merupakan penyebab terjadinya
pernikahan dini, saat ini justru faktor modernitas yang menjadi akar
utama, namun demikian pernikahan dini tetap berlangsung sejak dulu
dengan alasan yang berbeda. Salah satu narasumber bercerita mengenai
Pembantu Rumah Tangga di keluarganya yang telah berganti 3 generasi
dan semuanya pernah keluar dikarenakan menikah di usia 15 tahun.
Hanya generasi ketiga atau sang cucu yang pada akhirnya berhasil dicegah
dan bersekolah.
Pada beberapa dekade lalu, budaya kawin massal merupakan suatu
budaya yang rutin dilakukan. Kawin massal dilakukan berkaitan dengan
musim panen lada yang terjadi di Bangka Selatan. Pada Musim panen lada,
warga menjemur lada di sepanjang ruas jalan Kecamatan Airgegas hingga
Toboali. Kawin massal dilakukan dalam satu hari secara bersamaan
dengan melakukan pesta perkawinan hingga puluhan pasang pengantin.
Pada kegiatan ini, Para pengantin dikumpulkan disatu titik disebuah
tempat pesta bersama. Para pengantin pun melakukan sejumlah ritual,
dimulai dengan menggigit satu butir lada, ritual mendapatkan percikan
air buah kelapa dan terakhir diarak dari ujung desa ke ujung desa. Setelah
ritual, masing-masing keluarga akan menggelar pesta perkawinan
sendiri-sendiri dengan sengaja mendatangkan hiburan di masing-masing
rumah.
Kawin massal juga dijadikan salah satu cara oleh para pasangan untuk
memperoleh buku nikah secara sah. Hal ini diuraikan oleh salah seorang
narasumber dari Kantor KB, sebagaimana berikut:

68

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Biasanya ketika panen lada itu musim kawin, bisa ada puluhan
pasang, semacam adu kawin, biasanya mereka sudah nikah dulu,
untuk dapat buku nikah mereka kawin massal
Namun demikian budaya ini sudah kian terkikis. Salah satu Kecamatan
yang hingga saat ini masih mempertahankan tradisi kawin massal adalah
Kecamatan Toboali, Bangka Selatan. Uniknya justru saat ini untuk
mempertahankan tradisi kawin massal, Pemerintah Setempat
menjadikan tradisi ini sebagai salah satu agenda wisata di Bangka Selatan.
Berdasarkan kutipan dari harian Bangka Pos13, Kepala Desa Serdang
Kabupaten Bangka Selatan Zuriyat mengungkapkan:
kegiatan kawin massal merupakan kegiatan adat Desa Serdang yang
terus di jaga hingga saat ini. Ritual adat kawin massal menjadi tradisi
turun temurun yang hingga kini menurutnya harus tetap di jaga
Meskipun demikian anggapan perempuan jika sudah melewati usia 20
tahun tidak pantas melajang masih terjadi, mereka akan disebut sebagai
dayang tua. Sehingga ketika panen orang tua akan berupaya untuk bisa
menikahkan putrinya. Ditambah lagi terkait ego persaingan nikah massal,
pesta harus dilakukan dengan mengundang pemain musik ternama dari
Kota Pangkal Pinang.
Saat ini tradisi Kawin Massal masih terjadi di Toboali, namun yang
menarik, hal ini tidak lagi terkait panen lada. Dahulu warga Toboali
banyak bermata pencaharian sebagai petani lada tetapi saat ini sudah
mulai ditinggalkan karena dianggap kurang menguntungkan.
Meningkatnya aktivitas pertambangan timah, penduduk toboali
khususnya generasi muda kini banyak bekerja di sektor tambang timah,
yaitu TI (tambang inkonvensional). Bangka Selatan sendiri saat ini
otomatis hanya memiliki industri tambang timah, yaitu PT. Timah dan PT.
Kobatin. Dari sisi pendapatan, keberadaan TI mendorong tingkat
kesejahteraan masyarakat secara signifikan khususnya generasi muda.
Hal ini berdampak pada sikap konsumtif.

13

Dikutip dari http://www.visitbangkabelitung.com/kawin-massal-di-kabupaten-bangka-selatan

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

69

Semakin tingginya tingkat konsumsi setempat muncul dibarengi dengan


arus modernitas yang sangat pesat. Arus ini tidak dapat dibendung
terlebih budaya setempat yang cenderung cair terhadap nilai-nilai baru
memudahkan pengaruh modernisasi masuk hingga ke pelosok
pedalaman, padahal Bangka Selatan selama ini tergolong memiliki jarak
terjauh dari Ibukota Pangkal Pinang. Dinamika yang terjadi saat ini di
masyarakat telah mempengaruhi nilai-nilai setempat yang ada khususnya
terkait pernikahan dini.
Saat ini pada dasarnya pemahaman orang tua setempat akan pentingnya
pendidikan anak saat ini sudah cukup baik. Mereka memiliki keinginan
agar anaknya dapat bersekolah dan mereka tidak memaksakan anak
untuk menikah. Namun demikian pendidikan belum menjadi prioritas,
hal ini ditunjukkan oleh kesadaran orang tua yang belum sepenuhnya.
Masih ada pandangan bahwa jika jumlah anak yang banyak menjadi
beban sehingga bila lepas satu mereka merasa berkurang beban, hal ini
membuat orang tua cenderung permisif terhadap anak. Oleh karenanya
hambatan lain terjadi justru muncul dari sisi sang anak. Arus informasi
yang pesat telah masuk hingga ke pelosok desa. Gaya hidup modern saat
ini dengan mudahnya diterapkan oleh generasi muda setempat dalam
pola hidup kesehariannya. Berdasarkan pengakuan sebagian
stakeholders saat ini arus modernisasi khususnya pergaulan bebas sulit
untuk dibendung di Toboali. Sikap permisif pun mulai timbul di
masyarakat.
Berdasarkan informasi narasumber, hampir seluruh yang meminta
dispensasi pernikahan (<16 tahun) ke pengadilan Agama untuk izin
menikah adalah alasan karena pergaulan bebas. Kasus kehamilan diluar
nikah mulai lazim terjadi, meskipun tidak dapat digeneralisir. Tetapi
kasus yang muncul diakui cukup signifikan. Biasanya bila terjadi
kehamilan di luar nikah maka pasangan akan tetap dinikahkan bahkan
dipestakan secara besar-besaran. Hal seperti ini menjadi lumrah terjadi
tanpa kontrol sosial yang kuat. Orang tua pun kesulitan untuk
mengendalikan pergaulan remaja setempat.
Yang menarik banyak dampak terjadi akibat munculnya hiburan-hiburan
di desa salah satunya setelah hiburan pesta kawinan massal. Pengaruh

70

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

hiburan merupakan istilah yang paling sering disebutkan oleh


narasumber terkait pernikahan dini di Bangka Selatan. Sarana hiburan
seperti televisi, akses internet dan telepon genggam (HP) dianggap oleh
banyak narasumber sebagai stimulus awal terjadinya pergeseran nilai
diantara remaja.
Berdasarkan temuan lapangan sebagaimana diungkapkan petugas BPS,
masih banyak ditemukan pasangan usia dini yang menikah karena hamil
diluar nikah. Selain itu berdasarkan temuan lapangan petugas BPS, masih
banyaknya terjadi kehamilan diluar nikah adalah karena
keingintahuan/coba-coba. Disisi lain pengetahuan mereka tentang KB
dan tingkat pendidikan mereka sangat rendah. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan narasumber Dinas Kesehatan yang juga bidan. Berdasarkan
pengalamannya di puskesmas, seringkali ditemui kasus ibu remaja hamil
yang mengalami pendarahan. Biasanya mereka mengalami perdarahan
karena berusaha menutupi kehamilan atau bahkan tidak mengetahui
kehamilannya. Biasanya orang tua tidak mengetahui. Pernah pula
ditemukan beberapa pasien yang berusaha melakukan aborsi tradisional,
pasien yang datang ke rumah sakit karena sakit perut, lalu diketahui hamil
dan pada akhirnya bayinya meninggal.
Hal menarik lainnya, pernikahan usia dini juga menjadi tren di kalangan
anak muda. Salah satu narasumber remaja perempuan yang
diwawancarai mengaku bahwa ia menikah karena melihat temantemannya yang telah menikah terlebih dahulu sehingga ia memaksa
kepada orang tuanya untuk segera dinikahkan (bukan karena kehamilan
tetapi keinginan sendiri). Selain itu mereka lebih memilih menikah
daripada harus memberatkan orang tua. Orang tua yang bersangkutan
ketika diwawancara mengaku bahwa ia pada dasarnya ingin anaknya
melanjutkan sekolah tetapi sang anak lebih menginginkan menikah.
Faktor ekonomi pun menjadi alasan untuk menikah di usia dini.
kecenderungan remaja pria yang sudah bekerja di TI sejak muda akan
menikah di usia muda karena mereka memiliki kemampuan dari sisi
pendapatan. Hal ini menjadi gayung bersambut dengan keinginan remaja
perempuan untuk segera menikah. Apalagi mereka melihat teman-teman
sekolahnya yang telah menikah terlebih dahulu. Pada akhirnya saat ini
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

71

pernikahan di usia sekolah sudah menjadi kelaziman diantara mereka.


Aktualisasi diri pada generasi muda setempat masih pada kemampuan
daya beli ketimbang pendidikan. Hal ini dapat digambarkan oleh salah
seorang narasumber dinas terkait dimana salah satu penyebab yang
sering terjadi sehingga siswa putus sekolah adalah karena mereka sudah
bekerja di TI dan pernikahan.
Dampak psikologis paska pernikahan pun pada akhirnya muncul.
Kebiasaan hidup konsumtif berakibat pada rendahnya kemampuan
pasangan untuk menabung. Uang yang diperoleh selalu habis.
Berdasarkan pernyataan beberapa narasumber ketika suami tidak
bekerja, Suami sendiri masih sibuk bermain seperti playstation, dakling,
maupun bermain dengan teman-temannya. Belum lagi keberadaan
mereka yang masih tinggal dengan orangtua salah satu pasangan,
akhirnya berujung pada saling salah menyalahkan. Hal ini menimbulkan
dampak negatif pada pernikahan mereka.
Masalah lainnya adalah banyaknya komunitas masyarakat di luar
masyarakat asli Bangka sendiri yang tinggal di Bangka Selatan. Komunitas
tersebut setidaknya antara lain komunitas nelayan Bugis yang sudah
menetap lama, komunitas transmigran dari Jawa, komunitas transmigran
dari daerah lainnya seperti Bali serta komunitas warga keturunan.
Komunitas-komunitas seperti Bugis dan transmigran cenderung masih
memiliki budaya yang kuat dan resisten.
Peran Kelembagaan
Dari sisi kelembagaan di tingkat masyarakat setempat secara umum
sudah sangat cair, sebagaimana diakui oleh seluruh narasumber
setempat. Peran lembaga budaya, agama ataupun adat tradisi masyarakat
lokal di Bangka Selatan nyaris tidak tampak. Peran lembaga budaya,
agama maupun adat lebih kuat terjadi di komunitas keturunan Cina
maupun komunitas transmigran. Ketidakhadiran peran lembaga tersebut
berpengaruh besar pada lemahnya kontrol sosial di dalam masyarakat.
Salah satu kelompok yang diwawancarai adalah kelompok komunitas
Tionghoa Budha yang berjumlah cukup signifikan di Kepulauan Bangka.
Menurut salah seorang tokoh agama Budha setempat mengakui bahwa

72

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

pernah terjadi tingkat pernikahan dini yang cukup signifikan di


komunitas tersebut. Namun seiring dengan meningkatnya peran tokoh
agama hal ini dapat ditekan sehingga usia menikah saat ini di komunitas
mereka sudah meningkat hingga ke usia 20-22. Hal ini menunjukkan
bahwa kontrol sosial masyarakat secara kuat sebenarnya dapat
mengendalikan pernikahan dini.
Lemahnya kontrol sosial di masyarakat juga berdampak pada peran
kelembagaan di tingkat keluarga, dalam hal ini peran orang tua dan
keluarga. Pada umumnya keluarga menganggap pendidikan itu penting,
menjadi suatu kebanggaan. Yang menjadi kendala adalah kepedulian.
Banyak masyarakat ingin anaknya sekolah tinggi tapi kualitas
perkembangan anaknya tidak diperhatikan, mereka umumnya seharian
bekerja di tambang, sehingga kualitas hidup anak tidak diperhatikan,
hanya diberikan materi dan uang jajan. Sehingga pergaulan bebas mulai
menjadi hal biasa. Dan untuk menutupi malu pada akhirnya mereka
dinikahkan, salah seorang narasumber yang menyatakan bahwa
pernikahan terkadang hanya digunakan untuk meredam saja. Pada
akhirnya orang tua cenderung bersikap permisif, hal ini ditunjukkan oleh
anggapan bahwa menikah itu learning process, tanpa menyadari bahwa
seringkali setelah menikahkan malah menimbulkan masalah baru dalam
keluarga.
Bila dilihat dari sisi aksesibilitas sebenarnya sarana lembaga pendidikan
sudah tersebar hingga ke pelosok desa khususnya Sekolah Dasar dan SMP.
Namun demikian seringkali terjadi putus sekolah, ataupun kursi yang
kosong. faktor orang tua sangat menentukan anak tersebut akan masuk ke
sekolah atau tidak. Keengganan untuk bersekolah ini dari sisi ekonomi
dikarenakan remaja laki-laki lebih memilih bekerja di TI karena
pendapatan yang cukup sebagai modal menikah dan dari sisi mindset
remaja perempuan menganggap buat apa sekolah, pulang-pulangnya ke
dapur juga sehingga mereka lebih memilih menikah dan keinginan ini
pun pada akhirnya diamini oleh orang tua. Oleh karenanya diperlukan
pengembangan kebijakan secara tepat disertai dengan sinergi lintas
sektor untuk meningkatkan awareness pada orang tua.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

73

Dari sisi pengembangan kebijakan, isu pernikahan dini memang sama


sekali belum menjadi perhatian, SKPD Provinsi yang sangat terkait pun
sama sekali belum memiliki kegiatan dan gambaran terkait isu. Mengenai
isu ini BAPPEDA Provinsi mengakui bahwa belum ada upaya perencanaan
maupun koordinasi yang melibatkan lintas sektor secara spesifik untuk
pengendalian pernikahan dini sehingga sinergi belum sama sekali
tercipta. Oleh karenanya hasil pertemuan FGD yang dilakukan dalam
rangka penulisan ini akan menjadi masukan BAPPEDA sebagai input
untuk SKPD teknis pada perencanaan program tahun 2013 sehingga
dapat dilakukan koordinasi lintas sektor.
Di tingkat Kabupaten, Dinas Kesehatan setempat pada dasarnya telah
memulai kegiatan penyuluhan pada remaja (PKPR) khususnya pada
tahun 2012 ini, hal ini menyikapi laporan bidan mengenai meningkatnya
angka kehamilan di usia dini, namun koordinasi belum dilakukan dengan
SKPD lainnya seperti kantor KB. Sementara disisi lain kantor KB memiliki
program tersendiri yakni PIK Remaja. Masalah prioritas anggaran pun
menjadi kendala besar di tingkat Kabupaten. Fungsi penyuluhan
dilakukan secara terbatas oleh penyuluh lapangan seperti PLKB yang
tetap memiliki motivasi kuat untuk melakukan edukasi secara sukarela di
masyarakat. Selain itu fungsi regulasi juga menjadi hal penting yang harus
menjadi sorotan. Hingga saat ini regulasi terkait tambang TI belum ada
sama sekali khususnya untuk mengatur sumber daya manusia.
Banyaknya remaja usia sekolah yang bekerja di TI secara langsung
ataupun tidak berdampak pada keinginan remaja tersebut untuk segera
menikah di usia dini.
Tampak bahwa peran sinergi kebijakan sangat diperlukan di Kabupaten
sehingga terdapat program dan arah sasaran yang jelas. Saat ini upaya
masih dilakukan secara sektoral, terbatas, minim anggaran dan tanpa
arah sasaran yang jelas. Hampir tidak pernah ada koordinasi lintas
stakeholders dilakukan terkait hal ini. Ini terlihat dari kekurangpahaman
beberapa stakeholders terkait pernikahan dini. Koordinasi menjadi
sangat urgen untuk dilakukan mengingat cepatnya terjadi pergeseran
nilai melalui modernisasi dimana pengaruhnya sudah masuk hingga ke
pelosok wilayah pedesaan.

74

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Akar Permasalahan
Berdasarkan gambaran permasalahan dan peran kelembagaan
khususnya di Kabupaten Bangka Selatan dan Kepulauan Bangka pada
umumnya dapat dilihat bahwa akar permasalahan pernikahan dini di
Bangka saat ini banyak terjadi di pedesaan dan lebih karena faktor
modernisasi. Jika dahulu budaya merupakan penyebab terjadinya
pernikahan dini, saat ini justru faktor modernitas yang menjadi akar
utama.
Pada beberapa dekade lalu, budaya kawin massal merupakan suatu
budaya yang rutin dilakukan berkaitan dengan musim panen lada
khususnya di Bangka Selatan. Namun demikian budaya ini sudah kian
terkikis seiring dengan ditinggalkannya lada dan masyarakat beralih ke
pertambangan.
Meningkatnya aktivitas pertambangan timah inkonvensional (tambang
TI) telah mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat secara signifikan
khususnya generasi muda. Hal ini berdampak pada sikap konsumtif.
Semakin tingginya tingkat konsumsi setempat muncul dibarengi dengan
arus modernitas yang sangat pesat.
Arus modernisasi yang pesat tidak dapat dibendung terlebih dahulu oleh
budaya setempat yang cenderung sangat cair terhadap nilai-nilai baru.
Hal ini memudahkan pengaruh modernisasi masuk hingga ke pelosok
pedalaman tanpa terbendung. Kesadaran orang tua yang belum
sepenuhnya sehingga mereka cenderung permisif terhadap anak. Kasus
kehamilan diluar nikah mulai lazim terjadi, meskipun tidak dapat
digeneralisir. Tetapi kasus yang muncul diakui cukup signifikan. Hal
seperti ini menjadi lumrah terjadi tanpa kontrol sosial yang kuat. Orang
tua pun kesulitan untuk mengendalikan pergaulan remaja setempat.
Faktor ekonomi pun menjadi alasan untuk menikah di usia dini.
Aktualisasi diri pada generasi muda setempat masih pada kemampuan
daya beli ketimbang pendidikan. Hal ini sering menjadi penyebab
terjadinya siswa putus sekolah karena mereka sudah bekerja di TI dan
pernikahan. Mereka lebih memilih menikah daripada harus
memberatkan orang tua. Pernikahan usia dini inipun menjadi tren di
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

75

kalangan anak muda. Apalagi mereka melihat teman-teman sekolahnya


yang telah menikah terlebih dahulu. Pada akhirnya saat ini pernikahan di
usia sekolah sudah menjadi kelaziman diantara mereka.
Dari sisi peran kelembagaan, peran dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang, antara lain:
Peran Orang Tua dan Keluarga
Dalam kelembagaan keluarga, lemahnya kontrol sosial di masyarakat
berdampak pada peran orang tua dan keluarga. Orang tua cenderung
bersikap permisif, mereka beranggapan bahwa menikah itu learning
process, tanpa menyadari bahwa seringkali setelah menikahkan
malah menimbulkan masalah baru dalam keluarga. faktor orang tua
sangat menentukan anak akan masuk ke sekolah atau tidak.
Keengganan untuk bersekolah ini dari sisi ekonomi dikarenakan
remaja laki-laki lebih memilih bekerja dan menikah dengan remaja
perempuan yang juga lebih memilih menikah dan keinginan ini pun
disetujui pula oleh orang tua. Oleh karenanya diperlukan
pengembangan kebijakan secara tepat disertai dengan sinergi lintas
sektor untuk meningkatkan awareness pada orang tua.
Peran Adat dan Agama
Dari sisi kelembagaan adat dan agama, pada umumnya budaya
setempat sudah sangat cair. Peran lembaga budaya, agama ataupun
adat tradisi masyarakat lokal di Bangka Selatan nyaris tidak tampak.
Ketidakhadiran peran lembaga tersebut berpengaruh besar pada
lemahnya kontrol sosial di dalam masyarakat Bangka.
Peran lembaga budaya, agama maupun adat lebih kuat terjadi di
komunitas keturunan Cina maupun komunitas transmigran.
Menurut salah seorang tokoh agama Budha setempat mengakui
bahwa pernah terjadi tingkat pernikahan dini yang cukup signifikan
di komunitas tersebut. Namun seiring dengan meningkatnya peran
tokoh agama hal ini dapat ditekan signifikan. Hal ini menunjukkan
bahwa kontrol sosial masyarakat secara kuat sebenarnya dapat
mengendalikan pernikahan dini.

76

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Peran Pemerintah
Dari sisi pemerintah selaku penentu dan pelaksana kebijakan pada
dasarnya isu pernikahan dini sama sekali belum menjadi perhatian,
SKPD Provinsi yang sangat terkait pun sama sekali belum memiliki
kegiatan dan gambaran terkait isu. Belum ada upaya perencanaan
maupun koordinasi yang melibatkan lintas sektor secara spesifik
untuk pengendalian pernikahan dini sehingga sinergi belum sama
sekali tercipta. Di tingkat Kabupaten, beberapa Dinas setempat pada
dasarnya telah memulai kegiatan namun koordinasi belum
dilakukan. Masalah penganggaran dan regulasi pun menjadi kendala
besar di tingkat Kabupaten hal ini berdampak pada fungsi
penyuluhan masih dilakukan secara terbatas. Koordinasi secara
sinergis menjadi sangat urgen untuk dilakukan mengingat cepatnya
terjadi pergeseran nilai melalui modernisasi dimana pengaruhnya
sudah masuk hingga ke pelosok wilayah pedesaan.

PROVINSI SULAWESI TENGAH


Kondisi Umum
Provinsi Sulawesi Tengah memiliki jumlahpenduduk sebesar 2,635,009
dengan persebaran sejumlah 640,948 jiwa (24,3%) tinggal di daerah
perkotaan dan 1,994,061 jiwa ( 75,7%) tinggal di daerah pedesaan. Angka
ini memperlihatkan bahwa sebagian besar penduduk Sulawesi Tengah
berada di daerah pedesaan atau pedalaman. Menurut Berita Resmi
Statistik BPS Provinsi Sulawesi Tengah, angka kemiskinan di provinsi ini
terutama berada di daerah pedesaan atau pedalaman, dengan jumlah
sekitar 18% penduduk pedesaan mengalami kemiskinan yang menjadi
salah satu faktor pendorong pernikahan dini.14
Penduduk Sulawesi Tengah yang masuk kelompok umur 10-14 tahun
sebesar 271,377 atau 10,2% dan penduduk berumur 15-19 tahun sebesar
227,650 atau 8,6% dari total penduduk Sulawesi Tengah. Kasus
14

Berita Resmi Statistik, Profil Kemiskinan di Sulawesi Tengah September 2011, BPS Provinsi Sulawesi
Tengah, diakses melalui http://sulteng.bps.go.id/jdownloads/BRS/2012/5.%20Kemiskinan%
20SEPTEMBER%202011%20Sulteng.pdf pada 23 Juni 2012.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

77

pernikahan dini di Sulawesi Tengah merupakan kasus pernikahan dini


yang terbesar di Sulawesi untuk kelompok umur 15-19 tahun dengan
persentase sebesar 46,3% dan kedua tertinggi di Sulawesi untuk
kelompok umur 10-14 tahun sebesar 4,1% setelah Sulawesi Selatan
dengan 4,3%.15
Berdasarkan data Sensus 2010 BPS Sulawesi Tengah, tercatat sebesar 452
jiwa kelompok umur 10-14 yang berstatus menikah. Lebih lanjut, yang
lebih mengkhawatirkan tercatat 42 jiwa yang berstatus cerai hidup dan
20 jiwa berstatus cerai mati. Apabila dijumlahkan, terdapat 512 jiwa
kelompok umur 10-14 tahun yang sudah pernah menikah atau sekitar
0,18% dari kelompok umur ini. Angka ini masih dapat meningkat
mengingat masih terdapat 1,058 jiwa yang berstatus tidak ditanyakan.16
Sedangkan pada kelompok umur 15-19 tahun, tercatat sebesar 21,279
jiwa yang berstatus menikah, kemudian tercatat 935 jiwa berstatus cerai
hidup dan 115 jiwa berstatus cerai mati atau apabila dihitung secara total,
terdapat 9,8% penduduk Sulawesi Tengah berumur 15-19 tahun yang
telah menikah dengan adanya kemungkinan bertambahnya angka
tersebut mengingat masih terdapat 1,256 jiwa yang tidak ditanyakan.
Banyaknya pernikahan dini untuk kelompok umur 10-19 tahun di
Provinsi Sulawesi Tengah dengan jumlah diatas 22,000, patut
mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat, dikarenakan rata-rata umur pernikahan pertama di Sulawesi
Tengah adalah 19,6 tahun. Hal ini berarti masih terdapat kemungkinan
sebesar 22,000 kasus pernikahan dini yang terjadi di Sulawesi Tengah,
dengan anggapan bahwa kasus-kasus tersebut terjadi di rentang umur
10-19 tahun, hanya satu tahun di atas umur minimal menikah sesuai
standar internasional yaitu 18 tahun.

15

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut
Kelompok Umur dan Status Perkawinan, diakses melalui
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=271&wid=7200000000 pada 23 Juni 2012.
16
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Perkawinan,
diakses melalui http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=271&wid=7200000000
pada 23 Juni 2012.

78

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Gambaran Permasalahan
Sulawesi Tengah merupakan provinsi multietnis dengan setidaknya 12
kelompok suku dengan bahasanya masing-masing yang berbeda
diantaranya : Etnis Kaili (terbesar, 45% penduduk), Etnis Kulawi; Etnis
Lore; Etnis Amona; Etnis Mori; Etnis Bungku; Etnis Saluan; etnis Balantak;
Etnis Balantak; Etnis Buol; Etnis Tolitoli dan Etnis Tomini. Selain itu
terdapat suku adat terpencil di daerah pegunungan seperti suku Daa di
Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku Daya
di Buol Tolitoli. Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah juga dihuni oleh
masyarakat Bugis dan Makassar yang telah menetap di Sulawesi Tengah
selama lebih dari 2 abad. Selain itu adapula komunitas transmigran dari
Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Terkait dengan pernikahan dini, menurut data BPS Sulawesi Tenggara,
angka pada tahun 2011 terdapat 17,5% perempuan dengan usia
perkawinan pertama d 16 tahun dan 24,94% dengan usia perkawinan
pertama d17-18 tahun. Secara keseluruhan, usia perkawinan pertama
d19 tahun menapai 52,62%, Dalam tiga tahun terakhir untuk perempuan
yang pernah menikah antara usia 15-19 tahun bahkan cenderung
stagnan, dimana pada tahun 2009 mencapai 48,51% lalu menurun sedikit
menjadi 48,23% di tahun 2011, dan meningkat kembali menjadi 48,44%.
Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan masih dan terus terjadi di
Sulawesi Tengah khususnya di pedesaan (56,46%).
Realitas di lapangan juga menunjukkan hal serupa sebagaimana
dinyatakan oleh Narasumber Dinas Kesehatan Kab. Donggala yang
mengungkapkan bahwa fakta tersebut terlihat pada kegiatan posyandu
yang dilakukan di pedesaan, dimana mayoritas pengunjung Posyandu
merupakan ibu-ibu muda dengan usia remaja. Pada umumnya para ibu
usia remaja tersebut memiliki pengetahuan yang rendah mengenai risiko
kehamilan di usia dini dan memiliki masalah dengan kesehatan.
Kajian dilakukan secara lebih mendalam di Kabupaten Donggala dimana
kabupaten Donggala sendiri merupakan daerah yang dianggap memiliki
tingkat pernikahan dini tertinggi di Sulawesi Tengah. Mayoritas
penduduk Donggala merupakan etnis Kaili dan Donggala juga memiliki
konsentrasi kantong masyarakat Bugis terbanyak di Sulawesi Tengah juga
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

79

terdapat di Pantai Barat Donggala. Selain itu masih terdapat beberapa


suku adat terpencil yakni suku Daa. Berbeda dengan kabupaten Bangka
Selatan yang cenderung cair dalam hal pembauran budaya, Kabupaten
Donggala justru cenderung resisten dimana pengaruh kultur setempat
masing-masing masih kuat secara adat.
Pada suku Kaili, alasan ekonomi dan alasan budaya sangat kentara terjadi.
Pada masyarakat Kaili yang berada di pedesaan masih banyak terjadi
putus sekolah. Hal ini terjadi karena orang tua menginginkan agar anak
jangan sekolah tinggi-tinggi sehingga mereka bisa membantu dalam
bertani. Sementara anak perempuan dinikahkan agar tidak menjadi
beban orang tua, dan orang tua akhirnya dapat melepas beban tanggung
jawab. Seringkali pernikahan ini terjadi di pedesaan dimana banyak anak
perempuan tidak bersekolah baik karena akses yang rendah maupun
anggapan bahwa pendidikan belum menjadi prioritas dalam keluarga.
Melepas beban tanggung jawab orang tua merupakan salah satu alasan
terjadinya pernikahan dini pada masyarakat Kaili yang paling sering
dikemukakan baik dalam wawancara maupun FGD. Hal ini dilakukan
untuk melepas tekanan ekonomi keluarga, sayangnya hal ini tidak terjadi
bahkan justru semakin menambah beban keluarga. Orang tua berharap
dengan menikahkan anaknya setelah setelah dianggap aqil baligh maka
beban tanggung jawab orang tua dapat digeser pada suami namun pada
kenyataannya banyak kasus justru sang anak ataupun pasangannya tidak
memiliki pekerjaan dan pada akhirnya malah tetap tinggal bersama orang
tua. Belum lagi di usia yang masih muda, seringkali keributan terjadi
diantara pasangan menikah muda dan pada akhirnya orang tua
melakukan intervensi.
Dalam wawancara terhadap salah satu narasumber pelaku pernikahan
dini, ia mengakui bahwa orang tuanya saat ini telah menyesal menikahi
anaknya di usia belia. Namun demikian orang tua menikahkan anaknya di
usia dini tidak semata karena ingin melepas tanggung jawab, hal lain yang
mendorong orang tua menikahkan anaknya secara dini adalah karena
ketakutan mereka akan terjadinya pergaulan bebas karena melihat anak
perempuannya memiliki teman laki-laki.

80

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Selain diakibatkan orang tua yang hendak menggeser beban tanggung


jawab, pernikahan dini juga kerap terjadi karena pergaulan (kebebasan)
sekaligus budaya. Selama ini terdapat adat kawin lari (nosikempalaisaka)
yang turun temurun telah dilakukan. Dalam hal terjadi kawin lari, tokoh
adat akan mengenakan denda adat pada pelanggarnya. Kawin lari inilah
yang seringkali digunakan oleh pasangan muda untuk memaksakan
orang tua mereka untuk menikahkan mereka sehingga terhindar dari aib.
Namun seringkali akibat memaksakan pernikahan dini melalui kawin lari
menyebabkan pasangan perempuan mengalami hamil di luar nikah dan
pada akhirnya orang tua pun mau tidak mau harus menikahkan anaknya.
Salah satu narasumber perempuan yang melakukan pernikahan dini, saat
ini berusia 20 tahun dan telah menikah sejak usia 17 tahun dan memiliki
anak. Pernikahan dilakukan karena ia hamil di luar nikah dan berhenti
dari sekolah. Untuk menghindari malu ia segera dinikahkan dan
dipestakan oleh orang tuanya, hal ini melibatkan persetujuan tokoh adat.
Pada suku Bugis, alasan budaya dan ekonomi pun tampak. Suku Bugis di
Sulawesi Tengah memiliki kultur yang cenderung tertutup khususnya
dalam hal pernikahan. Pernikahan yang terjadi seringkali merupakan
pernikahan yang diatur secara tradisi oleh orang tua. Pernikahan diatur
sedemikian rupa untuk menjaga pertalian keluarga.
Pernikahan kerap dilakukan antara keluarga yang masih memiliki ikatan
darah secara dekat dan dilakukan sejak usia dini. Kultur ini masih sangat
kuat dan tetap dilakukan turun temurun dalam rangka menjaga
regenerasi khususnya harta warisan keluarga. Sebagai contoh, pada suatu
keluarga yang memiliki lahan pohon cengkeh, mereka akan melakukan
perjodohan dalam ikatan pertalian keluarga supaya lahan cengkeh
tersebut tidak akan diambil oleh orang lain. Hal ini terjadi pada keluarga
dalam komunitas masyarakat Bugis dengan berbagai tingkatan
pendapatan baik miskin ataupun kaya dan sudah menjadi mindset orang
tua secara turun temurun.
Menurut informasi salah seorang narasumber akademisi setempat,
pernikahan dini di kelompok masyarakat bugis biasanya terjadi di usia
SMP, dimana sejak SD keluarga telah menyimpan calon bagi sang anak

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

81

meskipun si anak sebenarnya belum mengerti sama sekali mengenai


pernikahan. Dalam suatu penelitian di kantong masyarakat Bugis di
pantai barat Donggala bahkan ditemukan bahwa rata-rata pernikahan
dilakukan pada usia dibawah 16 tahun. Berbagai alasan menjadi dasar hal
ini dilakukan tetapi lazimnya selain untuk menjaga tali keluarga, juga
dikarenakan ketakutan sekaligus harga diri orang tua bahwa sang anak
akan menjadi perawan tua jika tidak menikah di usia muda. Hal yang
menarik adalah rendahnya tingkat perceraian pada pasangan usia muda.
Hal ini dikarenakan kontrol sosial yang sangat kuat (adat) perceraian
merupakan aib bagi keluarga. Bagi masyarakat setempat budaya adalah
segalanya.
Pernikahan dini di usia SMP diakui oleh berbagai pihak terjadi dan sulit
dikontrol, hal ini diakui oleh kantor kementerian agama setempat dimana
banyak pernikahan di bawah tangan yang tidak tercatat. Dinas pendidikan
mengakui bahwa angka putus sekolah SMP-SMA sangat tinggi dan secara
kasuistik ditemukan banyak anak yang belum lulus sekolah sudah
dinikahkan oleh orang tuanya. Sayangnya pada beberapa kasus
pernikahan yang diatur malah berujung pada keluarga yang berantakan.
Pernikahan dini juga terjadi pada masyarakat terpencil, berdasarkan
informasi dinas sosial setempat, dalam kelompok masyarakat KAT,
pernikahan dini sangat lazim terjadi. Seperti suku Daa yang masih tinggal
di pegunungan Donggala (orang gunung), akses informasi dan
transportasi masih sangat terbatas karena lokasinya yang sangat terisolir.
Masyarakat suku Daa yang berjumlah sekira 130 kk memiliki kualitas
kesehatan yang sangat rendah dan akses pendidikan hampir tidak ada.
Pada kelompok masyarakat ini peran Kepala Suku masih sangat kuat.
Pernikahan dini lazim dilakukan khsuusnya oleh para tetua adat. Tidak
jarang 1 orang suami memiliki 3 orang istri dengan jumlah anak mencapai
puluhan. Bahkan pernah ditemukan seorang anak dengan usia 15 tahun
memiliki 7 anak.
Peran Kelembagaan
Pada tingkat masyarakat, kelembagaan dari sisi adat masih sangat kuat.
Meskipun arus modernisasi yang masuk ke Sulawesi Tengah cukup
signifikan hingga ke desa khususnya dalam hal media informasi, namun
82

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

adat masih berperan penting di masyarakat. Banyaknya suku adat yang


terdapat di Sulawesi Tengah diiringi dengan beragamnya nilai-nilai adat
istiadat yang berlaku. Nilai-nilai tersebut masih dianut oleh masyarakat
setempat dengan kuat termasuk pada suku Kaili maupun suku Bugis
sebagai pendatang. Adalah lazim di pedesaan Donggala bila terdapat
permasalahan rumit dalam keluarga dlaporkan kepada tokoh adat.
Sebagaimana pernyataan beberapa narasumber bahwa Ketua Adat masih
snagat berperan kuat khususnya dalam memberi persetujuan atas
berbagai permasalahan yang dilaporkan kepadanya.
Terkait dengan pernikahan dini, peran Suku Kaili sebenarnya memiliki
rambu yang dapat digunakan Denda nikah dini. perkawinan sering
dilakukan melalui nosikempalaisaka (kawin lari), yaitu sang pemuda
menculik sang gadis lalu membawa lari ketempat lain, agar keduanya mau
tidak mau harus dikawinkan melalui jalan kompromi, selain itu adat juga
memberlakukan denda adat atas perbuatan tersebut. Kebiasaan kawin
lari Suku Kaili ini merupakan budaya asli yang sebenarnya lambat laun
mulai berkurang setelah terjadi asimilasi dengan budaya islam yang
secara perlahan telah menyatu dengan budaya setempat sejak abad 17
dan khususnya awal abad 20 sejak masuknya Perguruan Al-Khairat di
wilayah Palu. Hal ini ditunjukkan pula oleh banyaknya tokoh adat Kaili
yang juga merupakan tokoh Agama. Oleh karenanya peran tokoh agama
pun saat ini pun sangat berpengaruh. Begitu pula pada Suku Bugis. Peran
tokoh adat dan agama sangat tinggi dalam mengatur kelompoknya hingga
keluarga termasuk dalam hal pernikahan dini. Masyarakat sangat
menjaga adat tradisi khususnya untuk menjaga darah dan warisan dalam
keluarga.
Tidak seluruh kelompok adat di daerah Donggala maupun Sulawesi
Tengah telah terpengaruh nilai agama, khususnya pada kelompok
komunitas adat terpencil (KAT) yang masih banyak terdapat di Sulawesi
Tengah. Banyak suku KAT yang masih menganut animisme. Pada
kelompok adat ini, pernikahan dini sulit untuk terhindarkan karena
pernikahan dilakukan dengan para tokoh adat setempat.
Peran kelembagaan orang tua dan keluarga meskipun tetap terikat
dengan adat dan agama, sangat kuat dalam menentukan terjadinya
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

83

pernikahan dini. Seringkali orang tua ingin menikahkan anaknya pada


usia dini karena keinginan untuk menggeser beban tekanan ekonomi dan
keinginan tersebut seringkali sejalan dengan alasan adat dan agama. Hal
ini menurut beberapa narasumber terjadi pada keluarga miskin.
Pada kasus yang berbeda pernikahan dini juga diatur oleh orang tua atas
dasar ikatan emosional keluarga dengan keluarga lainnya. Hal ini jelas
memperoleh dukungan secara adat dan budaya karena akan menjaga
regenerasi adat. Hal ini terjadi khususnya pada masyarakat kelompok
Bugis baik dari kelompok pendapatan mampu ataupun tidak. Meskipun
regenerasi adat menjadi alasan yang kuat, namun hal ini tetap dilandasi
faktor ekonomi dimana orang tua dan keluarga ingin menjaga garis
keluarganya khususnya dari sisi harta warisan.
Selain dua hal diatas, faktor globalisasi dan modernisasi pesatnya arus
informasi juga tetap menjadi salah satu penyebab terjadinya pernikahan
dini. Hal ini tampak dari masih terjadinya kawin lari, dimana pasangan
muda seringkali memang saling menginginkan kawin lari tersebut dan
pada akhirnya seringkali terjadi kehamilan di luar nikah. Orang tua pun
akhirnya mau tidak mau menerima dan berkompromi, hal ini
dimungkinkan secara budaya dengan konsekuensi denda. budaya
ternyata tersebut memberikan peluang terjadinya pernikahan dini.
Dari sisi peran kelembagaan pemerintah, hal yang paling tampak terlihat
adalah tidak pernah adanya koordinasi maupun sinergi padahal disisi lain
masing-masing lembaga memiliki keterbatasan. Kelembagaan
pemerintah setempat pada dasarnya telah menyadari isu pernikahan dini
ini memang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah khususnya Donggala serta
telah dilakukan upaya-upaya meskipun belum signifikan.
Sebagai gambaran, Kantor Kementerian Agama mengakui bahwa mereka
menyadari hal ini terjadi namun mereka memiliki keterbatasan, baik
secara undang-undang maupun secara sumber daya. Peran KUA sebagai
ujung tombak mereka masih belum kuat karena tidak semua daerah
memiliki KUA dan SDM yang cukup, sehingga beban kerja menjadi sangat
tinggi. Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan publik
termasuk dalam hal penyuluhan lapangan dimana jumlah tenaga

84

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

penyuluh lapangan masih sangat terbatas. BPS juga menyatakan


seringkali dalam survey ke lapangan ditemukan banyak kasus pernikahan
usia dini yang tidak tercatat secara resmi oleh pemerintah. Hal ini
menunjukkan terdapat kelemahan dalam pengawasan secara
kelembagaan. KUA cenderung hanya sekedar mencek persyaratan dan
tidak melakukan monitoring.
Hal serupa juga diungkapkan kantor KB dan pemberdayaan perempuan
kab. Donggala. SDM PLKB yang dapat dikerahkan masih terbatas dan
terhambat infrastruktur, sarana prasarana dan anggaran. Menurut Kabag
Kesra setempat seharusnya kantor KB dan pemberdayaan perempuan
setempat dapat memasukan hal ini dalam anggaran peningkatan kualitas
hidup perempuan, namun ini tidak terjadi karena terdapat pemahaman
yang berbeda, dimana fungsi pemberdayaan perempuan masih
diidentikan dengan fungsi pencegahan KDRT semata. Dinas Kesehatan
dan Dinas Sosial setempat juga pada dasarnya telah menangkap
fenomena pernikahan dini ini dan mereka seringkali berhadapan dengan
isu tersebut baik dalam kegiatan Posyandu dan Puskesmas, serta kegiatan
KAT yang dilakukan oleh Dinsos.
Upaya untuk mengatasi pernikahan dini menjadi terhambat akibat
koordinasi yang tidak terjadi, hal ini diakui oleh para stakeholders Kab.
Donggala bahwa belum pernah ada pertemuan khusus yang membahas
isu pernikahan dini ini. Bappeda pun mengakui isu ini tidak masuk dalam
rencana pembangunan yang disusun oleh Bappeda setempat. Namun
demikian pasca diskusi kelompok terfokus yang dilakukan dalam rangka
penulisan ini, Bappeda telah menyatakan bahwa kedepan pencegahan
pernikahan dini akan diprogramkan secara terencana dan dimasukan
sebagai usulan dalam APBD Kabupaten Donggala kedepan.
Akar Permasalahan
Berdasarkan gambaran permasalahan dan peran kelembagaan
khususnya di Kabupaten Donggala dan Provinsi Sulawesi Tengah pada
umumnya dapat dilihat bahwa akar permasalahan pernikahan dini di
Sulawesi Tengah adalah di pedesaan dengan alasan ekonomi dan
pengaruh beragam kultur setempat yang masih kuat secara adat.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

85

Seringkali pernikahan ini terjadi di pedesaan dimana banyak anak


perempuan tidak bersekolah baik karena akses yang rendah maupun
mindset bahwa pendidikan belum menjadi prioritas dalam keluarga.
Melepas beban tanggung jawab orang tua merupakan salah satu alasan
terjadinya pernikahan dini pada masyarakat Kaili Hal ini dilakukan untuk
melepas tekanan ekonomi keluarga. Namun demikian orang tua
menikahkan anaknya di usia dini tidak semata karena ingin melepas
tanggung jawab, hal lain yang mendorong orang tua menikahkan anaknya
secara dini adalah karena ketakutan mereka akan terjadinya pergaulan
bebas karena melihat anak perempuannya memiliki teman laki-laki.
Selain diakibatkan orang tua yang hendak menggeser beban tanggung
jawab, pernikahan dini juga kerap terjadi karena pergaulan (kebebasan)
sekaligus budaya. Selama ini terdapat adat kawin lari yang seringkali
digunakan oleh pasangan muda untuk memaksakan orang tua mereka
untuk menikahkan mereka sehingga terhindar dari aib namun
melibatkan persetujuan tokoh adat.
Pada suku Bugis, alasan budaya dan ekonomi pun tampak. Pernikahan
yang terjadi seringkali merupakan pernikahan yang diatur secara tradisi
oleh orang tua. Pernikahan diatur sedemikian rupa untuk menjaga
pertalian keluarga. Pernikahan kerap dilakukan antara keluarga yang
masih memiliki ikatan darah secara dekat dan dilakukan sejak usia dini.
Kultur ini masih sangat kuat dan tetap dilakukan turun temurun dalam
rangka menjaga regenerasi khususnya harta warisan keluarga.
Pernikahan dini juga terjadi pada masyarakat terpencil. Dalam kelompok
masyarakat KAT, pernikahan dini sangat lazim terjadi. Seperti suku Daa
yang masih tinggal di pegunungan Donggala dimana akses informasi dan
transportasi masih sangat terbatas karena lokasinya yang sangat terisolir.
Pada kelompok masyarakat ini peran Kepala Suku masih sangat kuat.
Pernikahan dini lazim dilakukan khsuusnya oleh para tetua adat.
Dari sisi peran kelembagaan, peran dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang, antara lain:

86

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Peran Orang Tua dan Keluarga


Peran kelembagaan orang tua dan keluarga meskipun tetap terikat
dengan adat dan agama, sangat kuat dalam menentukan terjadinya
pernikahan dini. Orang tua yang cenderung mengambil keputusan
untuk menikahkan anaknya. Seringkali orang tua ingin menikahkan
anaknya pada usia dini karena keinginan untuk menggeser beban
tekanan ekonomi atau menjaga harta warisan keluarga dan
keinginan tersebut seringkali didukung secara adat maupun agama.
Peran Adat dan Agama
Dari sisi kelembagaan Adat dan Agama, peran tokoh adat seringkali
merangkap sebagai tokoh agama dan pada umumnya masih sangat
kuat baik pada berbagai suku mayoritas yang ada. Nilai-nilai tersebut
masih dianut oleh masyarakat setempat dengan kuat termasuk pada
suku Kaili maupun suku Bugis sebagai pendatang. Adalah lazim di
pedesaan Donggala bila terdapat permasalahan rumit dalam
keluarga dilaporkan kepada tokoh adat khususnya dalam memberi
persetujuan atas berbagai permasalahan yang dilaporkan
kepadanya.
Tidak seluruh kelompok adat di daerah Donggala maupun Sulawesi
Tengah telah terpengaruh nilai agama, khususnya pada kelompok
komunitas adat terpencil (KAT) yang masih banyak terdapat di
Sulawesi Tengah. Banyak suku KAT yang masih menganut animisme.
Pada kelompok adat ini, pernikahan dini sulit untuk terhindarkan
karena pernikahan dilakukan dengan para tokoh adat setempat.
Peran Pemerintah
Dari sisi peran kelembagaan pemerintah, hal yang paling tampak
terlihat adalah tidak pernah adanya koordinasi maupun sinergi
p a da ha l disisi la in ma sin g -ma sin g lemb a ga memilik i
keterbatasan.pemerintah setempat pada dasarnya telah menyadari
isu pernikahan dini ini memang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah
khususnya Donggala serta telah dilakukan upaya-upaya meskipun
belum signifikan. Upaya untuk mengatasi pernikahan dini menjadi
terhambat akibat koordinasi yang tidak terjadi, isu ini pun belum
masuk dalam rencana pembangunan setempat.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

87

PROVINSI JAWA BARAT


Kondisi Umum
Tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi di Pulau Jawa dapat
terlihat dengan tingginya angka pernikahan dini di hampir seluruh
provinsi di pulau ini, terutama Propinsi Jawa Barat. Dengan rata-rata
umur perkawinan pertama adalah 19,2 tahun, terendah diantara
propinsi-propinsi di Pulau Jawa lainnya, Provinsi Jawa Barat memiliki
angka pernikahan yang sangat tinggi untuk kelompok umur 15-19 tahun
sebesar 50,2% serta 7,5% untuk kelompok umur 10-14 tahun. Untuk
kedua kelompok umur, angka ini merupakan angka umur perkawinan
pertama tertinggi di Pulau Jawa diikuti oleh Bantendengan 6,5%
(kelompok umur 10-14 tahun) dan 45,7% (kelompok umur 15-19 tahun).
Berdasarkan BPS Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2010 jumlah penduduk
Jawa Barat adalah 43,053,732 jiwa, dengan kelompok umur 10-14 tahun
4,183,620 jiwa dan kelompok umur 15-19 tahun 3,849,928 jiwa. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi pernikahan dini dalam angka besar di
kelompok umur 10-19 tahun bila dikaitkan dengan data dari Riskesdas
2010.17
Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 Badan Pusat Statistik Provinsi
Jawa Barat, dari 4 183 620 jiwa kelompok umur 10-14 tahun, 8,469 jiwa
diantaranya tercatat memiliki status menikah, cerai hidup 645 jiwa, dan
cerai mati 200 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat 0.02%
dari total populasi atau 0.22% dari total kelompok umur 10-14 tahun
yang berstatus menikah atau sudah pernah menikah. Meskipun secara
statistik terlihat kecil, pada kenyataannya terdapat di atas 9,000 jiwa
berumur 10-14 tahun yang sudah menikah.
Pada kelompok usia 15-19 tahun yang berjumlah 3,849,928 di Provinsi
Jawa Barat, terdapat 309,925 jiwa yang sudah berstatus menikah, 15,004
jiwa yang bertatus cerai hidup, dan 1008 jiwa yang berstatus cerai mati.
Apabila digabungkan, angka ini menunjukkan terdapat 8,5% dari total
kelompok usia 15-19 tahun yang sudah menikah.
17

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin,
2010, diakses melalui http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=336&wid
=3200000000 pada 14 Juni 2012.

88

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Pernikahan dini yang terjadi di Provinsi Jawa Barat terutama dikarenakan


faktor budaya yang seringkali bersumber dari faktor ekonomi.
Ketidakmampuan meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
dan juga ketidakmampuan finansial mendorong terjadinya pernikahan
dini dengan harapan mampu menjadi jalan keluar dari himpitan ekonomi.
Praktek pernikahan dini di Jawa Barat terjadi di daerah-daerah seperti
Subang dan daerah pesisir utara Jawa Barat seperti Karawang dan
Indramayu.
Menurut Kepala BKKBN Dr. dr. Sugiri Syarief MPA., seringkali pemerintah
terhambat karena keterbatasan akses layanan KB dan reproduksi di
daerah-daerah, tak terkecuali di Jawa Barat. Wakil Gubernur Jawa Barat
Dede Yusuf pun memberikan komentar senada dan memberikan target
untuk meningkatkan rata-rata nikah pertama kaum perempuan di Jawa
Barat dari 18,2 tahun menjadi di atas 20 tahun.18 Selain itu, Kepala BKKBN
Wilayah Jawa Barat, Siti Fathonah juga menyatakan bahwa permasalah
pernikahan dini yang terjadi di Jawa Barat khususnya juga menjadi faktor
terjadinya lonjakan penduduk di Jawa Barat dengan tingkat pertumbuhan
hampir mencapai 2% per tahun. Ia juga menyampaikan bahwa Tingkat
Kelahiran Total (TFR) Jawa Barat mencapai 2,5, berada di atas ideal
Indonesia sebesar 2.19
Namun, dengan gencarnya kampanye dan sosialisasi yang berisi
dorongan melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah atau berkarir di
sektor formal/informal, kasus pernikahan dini di Jawa Barat dapat mulai
ditekan. Hal ini dapat dilihat dari komitmen Pemprov Jawa Barat untuk
turut serta dalam kegiatan-kegiatan revitalisasi program KB dengan
meningkatkan anggaran APBD menjadi 9 miliar rupiah. 20

18

BKKBN Jawa Barat, Kespro Remaja agar Meningkat, diakses melalui


http://www.bkkbn.go.id/beritadaerah/Pages/Kespro-Remaja-agar-Meningkat.aspx pada 21
Juni 2012.
19
Pikiran Rakyat On-line, Pernikahan Dini di Jawa Barat Masih Tinggi, diakses melalui
http://www.pikiran-rakyat.com/node/193201 pada 22 Juni 2012.
20
Ibid.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

89

Gambaran Permasalahan
Isu pernikahan dini di Jawa Barat telah menjadi perhatian banyak pihak
khususnya di kawasan Pantura. Selain kawasan Pantura, kawasan yang
memiliki tingkat pernikahan dini tinggi adalah Kabupaten Cianjur. Dari
sisi kualitas pembangunan manusia Kabupaten Cianjur pada dasarnya
masih rendah, hal ini ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan Manusia
Cianjur yang saat ini masih menduduki ranking 24 dari 26 Kabupaten di
Jawa Barat. Hal ini menunjukkan kualitas penduduk Cianjur dari sisi ratarata lama sekolah maupun usia harapan hidup masih rendah. Menurut
narasumber BPS Cianjur usia harapan hidup yang rendah di Cianjur, Jawa
Barat sejalan dengan kematian bayi tinggi, hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pernikahan di usia muda pun tinggi.
Berdasarkan Survei Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) Kabupaten
Cianjur pada 2005, dari 593.334 pasangan, mereka menikah pada tahun
pertama di bawah usia 15 tahun sebanyak 183.226 pasangan (30,88%),
usia 16 tahun 67.082 pasangan (11,31%), usia 17-18 tahun 164.764
pasangan (27,77%), usia 19-24 tahun 162.214 pasangan (27,34%), usia
25 tahun ke atas 16.048 pasangan (2,70%).
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah sumber TKW terbesar di
Jawa Barat. Pernikahan dini seringkali terjadi di beberapa lokasi tertentu
yang menjadi sumber pengiriman TKW. Menurut Narasumber dari Badan
Pemberdayaan Perempuan dan KB setempat, pengiriman TKW sangat
terkait erat dengan pernikahan di usia dini. Salah satu syarat TKW adalah
bagi perempuan yang telah menikah. Hal ini lazim mendorong
pernikahan usia dini dengan memalsukan umur, menggunakan saksi
palsu dan bahkan surat nikah palsu. Bahkan ada kasus pernikahan dini
yang didukung oleh sponsor bahkan disuruh segera menikahkan.
Hal ini berdampak pula pada kualitas pendidikan sang anak. terdapat
kasus dimana terdapat anak remaja kelas 3 SMP yang tidak bisa ikut UAN
karena harus berangkat ke Batam. Hal ini sudah menjadi kelaziman
sehingga menjadi kebiasaan, bahkan seringkali TKW yang baru saja
beberapa bulan berangkat dipulangkan kembali dan tiga bulan kemudian
kembali lagi berangkat menjadi TKW. Mereka sama sekali tidak tertarik

90

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

untuk melanjutkan pendidikan dan permasalahan yang sama sudah


bertahun-tahun terjadi.
Akar masalah ekonomi sangat kuat menjadi tujuan pernikahan dini
dilakukan khususnya untuk menggeser beban keluarga. Hal ini justru
sering berdampak pada munculnya permasalahan baru, Dari sisi
ekonomi, fondasi daya beli keluarga muda cenderung rendah. Setelah
pasangan usia dini menikah, seringkali mereka bercerai sebelum sang
istri berangkat. Hal ini terpaksa dilakukan dengan alasan sang suami tidak
bisa menafkahi istri lebih dari sekian bulan. Bahkan terdapat beberapa
kasus lanjutan seperti diakui Dinas Sosial dan Nakertrans setempat, yakni
banyaknya anak terlantar yang masuk panti sebetulnya akibat
pernikahan dini.
Diakui oleh beberapa narasumber, penyebab tingginya usia kawin muda
di Cianjur salah satunya adalah Pendidikan dimana rata-rata lama sekolah
masih 6.3 tahun atau setara kelas satu SMP. Anak putus sekolah
cenderung lebih rentan untuk dinikahkan oleh orangtuanya melalui
kawin siri untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Perkawinan
dilakukan pada anak perempuan untuk menunjang ekonomi keluarga dan
biasanya dikawinkan dengan yang lebih tua. Hal ini tidak dibarengi
dengan pengetahuan Kesehatan Reproduksi sang anak perempuan yang
cukup sehingga sang anak secara fisik maupun non fisik pada dasarnya
tidak siap. Pernikahan anak perempuan sejak usia dini sebenarnya telah
menjadi kebiasaan di Cianjur sejak dulu, dimana perempuan yang belum
menikah hingga usia diatas 17 tahun dianggap sebagai perawan tua.
Disisi lain arus modernisasi juga masuk secara deras ke Wilayah Cianjur,
namun hal ini tidak dibarengi dengan pengetahuan yang berimbang dari
para remaja. Lingkungan sebaya dan media internet berpengaruh besar
dalam pergaulan sehari-hari saat ini di Cianjur. Berdasarkan penelitian
yang pernah dilakukan oleh Badan KB dan PP Kabupaten Cianjur pada
tahun 2009 diketahui bahwa pengetahuan remaja tentang hal-hal yang
berkaitan dengan masalah seks masih kurang. Informasi mengenai halhal terkait seks diperoleh justru melalui media internet, radio dan televisi.
Hal ini menunjukkan kerentanan arus informasi yang sangat cepat masuk
juga dapat berdampak banyak pada anak remaja.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

91

Peran Kelembagaan
Dari sisi kelembagaan, pengaruh orang tua sangat besar. Berdasarkan
pernyataan para stakeholders, banyak kasus dimana orang tua sangat
mengatur hubungan sang anak. Sering terjadi pernikahan dengan alasan
orang tua takut melihat pergaulan anaknya termasuk ketika melihat
anaknya berpacaran. Namun banyak terdapat kasus orang tua yang
menikahkan anaknya dengan alasan ekonomi, baik untuk menggeser
beban keluarga, dan bahkan secara kasuistik untuk menyelesaikan
hutang piutang. Selain itu ada pula kasus orang tua yang menikahkan
anaknya melalui kawin kontrak. Meskipun hal ini bersifat kasuistik dan
kawin kontrak sendiri saat ini sudah bergeser ke kawasan Bogor.
Di Cianjur pada dasarnya respon tokoh agama sangat baik bahkan
mendukung, dalam artian tokoh agama mudah untuk didekati dan
merespon positif terhadap berbagai upaya yang dilakukan. Permasalahan
terbesar sebagaimana diungkapkan para narasumber, justru berasal dari
sisi kelembagaan daerah yang belum sanggup bersinergi secara efektif.
Dari sisi pemerintah, tampak bahwa upaya koordinasi masih sangat
lemah dilakukan sehingga komunikasi kurang berjalan dengan baik.
Sebagai contoh, Dinas Kesehatan Kab. Cianjur pernah berkoordinasi
dengan kantor KUA di Cianjur Selatan, Dinas kesehatan meminta KUA
setempat di Cianjur selatan untuk membuat regulasi dalam menikahkan
wajib memberikan vaksin TT namun disisi lain KUA enggan membuat
aturan mengenai vaksin. KUA sendiri tidak mau mewajibkan. Hal ini
menyebabkan vaksin TT tidak bisa maksimal. Hal ini berdampak pada
rendahnya Imunisasi TT di Cianjur paling rendah.
Di masa lalu koordinasi sudah pernah dilakukan secara lintas sektor
melalui Perjanjian Kerjasama (MoU) pada tahun 1990an antara
Departemen Agama, Depdikbud dan BKKBN. Dilakukan Kejar Paket dan
jenis pendidikan lainnyauntuk mengeliminir pernikahan dini. Pernah
pula dilakukan melalui pendekatan regulasi dengan penyusunan
peraturan desa dan bahkan sempat muncul peraturan desa tentang kawin
muda dan telah dibahas di tingkat Kabupaten.

92

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Sebagai contoh Peraturan Desa Sukalaksana, Kec. Sukanagara, Kab.


Cianjur tentang rintisan ibu dan anak sehat sejahtera yang mengatur
larangan pernikahan dini. Menurut narasumber kantor Badan KB dan PP
setempat, dalam Lampiran Perdes tersebut dicantumkan sanksi bagi
pelanggar. Pasangan nikah yang wanitanya di bawah usia 16 tahun
didenda Rp 1 juta. Yang nantinya dialokasikan untuk keperluan
pendidikan anak keluarga miskin. Lahirnya perdes ini telah menempuh
mekanisme pembuatan regulasi di tingkat desa yang melibatkan publik
dalam penyusunannya, bahkan perdes ini sangat didukung oleh tokoh dan
ulama setempat. Perdes ini sendiri sudah membuat banyak pasangan
pernikahan usia dini urung melakukan pernikahan dini.
Di beberapa kecamatan juga sudah dilakukan kerjasama dengan KUA
setempat untuk pencegahan pernikahan dini. Pada dasarnya usia
pertama pernikahan sudah meningkat dalam 20 tahun terakhir dari usia
15 ke usia 19, namun hal ini harus ada kesepakatan mengawal usia ideal.
Untuk mengkampanyekannya, Kantor KB dan PP setempat telah
melakukan kampanye media program dan media tradisional. Namun
rintangan tetap banyak dihadapi.
Koordinasi pada dasarnya sudah berjalan di Cianjur, namun faktor ego
sektoral yang masih terasa sangat tinggi khususnya terkait prioritas
anggaran. Kesadaran tinggi stakeholders pada umumnya sangat tinggi
dan mereka sudah memiliki komitmen dengan isu pernikahan usia dini.
Persoalannya terletak pada bagaimana memprioritaskan isu ini menjadi
prioritas lintas sektor sehingga dapat dilakukan koordinasi dengan
mengesampingkan faktor egosektoral. Hal inilah yang selama ini
dirasakan menghambat jalannya sinergi kebijakan dalam pengendalian
angka pernikahan dini.
Selain itu meskipun komitmen stakeholders dan dukungan masyarakat
cukup tinggi, diakui beberapa pihak, program yang ada tidak memiliki
tindak lanjut sehingga upaya yang telah berjalan seringkali putus
ditengah jalan. Hal ini sangat terkait erat dengan sisi perencanaan.
Menurut narasumber Bappeda, diakui bahwa dari sisi perencanaan, isu
pernikahan dini belum muncul tetapi hanya sebatas pada bagian dari sub
kegiatan kesehatan reproduksi remaja dan kota layak anak. Oleh
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

93

karenanya Bappeda berkomitmen bahwa kedepan dalam jangka panjang


isu pernikahan dini akan dimasukkan dalam perencanaan program
daerah secara berkelanjutan.
Akar Masalah
Berdasarkan gambaran permasalahan dan peran kelembagaan
khususnya di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat pada umumnya
dapat dilihat bahwa akar permasalahan pernikahan dini di kawasan
tersebut adalah alasan ekonomi. Kabupaten Cianjur merupakan salah
satu daerah sumber TKW dan salah satu syarat TKW adalah bagi
perempuan yang telah menikah. Hal ini mendorong pernikahan usia dini
terjadi secara lazim. Akar masalah ekonomi sangat kuat menjadi alasan
tujuan pernikahan dini bertujuan untuk menggeser beban keluarga.
Anak putus sekolah cenderung lebih rentan untuk dinikahkan oleh
orangtuanya melalui kawin siri untuk mengurangi beban ekonomi
keluarga. Perkawinan dilakukan pada anak perempuan untuk menunjang
ekonomi keluarga dan biasanya dikawinkan dengan yang lebih tua. Hal ini
tidak dibarengi dengan pengetahuan Kesehatan Reproduksi sang anak
yang cukup sehingga sang anak secara fisik maupun non fisik pada
dasarnya tidak siap. Pergaulan bebas juga mulai terjadi dalam jumlah
yang tidak terlalu signifikan. Informasi mengenai hal-hal terkait seks
diperoleh justru melalui media internet, radio dan televisi. Hal ini
menunjukkan kerentanan arus informasi yang sangat cepat masuk
berdampak banyak pada perkembangan anak remaja.
Dari sisi peran kelembagaan, peran dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang, antara lain:
Peran Orang Tua dan Keluarga
Peran orang tua dalam keluarga sangat besar. Orang tua sangat
mengatur hubungan sang anak. Sering terjadi pernikahan dengan
alasan orang tua takut melihat pergaulan anaknya termasuk ketika
melihat anaknya berpacaran. Namun banyak terdapat kasus orang
tua yang menikahkan anaknya dengan alasan ekonomi, khususnya
untuk mengurangi beban keluarga.

94

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Peran Adat dan Agama


Dari sisi kelembagaan Adat dan Agama, Di Cianjur tokoh agama pada
umumnya juga merupakan tokoh adat. Pada dasarnya respon tokoh
agama sangat baik bahkan mendukung, mudah untuk didekati dan
merespon positif terhadap berbagai upaya yang dilakukan.
Permasalahan terbesar justru berasal dari sisi kelembagaan daerah
yang belum sanggup bersinergi secara efektif termasuk dengan tokoh
agama.
Peran Pemerintah
Dari sisi pemerintah, Koordinasi pada dasarnya sudah berjalan di
Cianjur bahkan hingga ke tingkat kecamatan dan desa, namun faktor
ego sektoral yang masih terasa sangat tinggi khususnya terkait
perencanaan baik dalam hal anggaran, prioritas pembangunan,
maupun keberlanjutan program. Kesadaran tinggi stakeholders pada
umumnya sangat tinggi dan mereka sudah memiliki komitmen
dengan isu pernikahan usia dini. Persoalannya terletak pada
bagaimana memprioritaskan isu ini secara berkelanjutan dan
menjadi prioritas lintas sektor sehingga dapat dilakukan koordinasi
secara sinergis.

ANALISIS PERBANDINGAN
Akar Masalah Utama
Akar Masalah

Kalsel
(Banjar)

(Bangka Selatan)

Sulteng
(Donggala)

Jabar
(Cianjur)

Modernisasi

Ya

Ya

Ya

Ya

Pendidikan

Ya

Ya

Ya

Ya

Tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tekanan Ekonomi
Sosial Budaya

Bangka

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

95

Berdasarkan uraian tersebut maka akar masalah utama pernikahan dini


di beberapa Provinsi di Indonesia pada umumnya adalah disebabkan
beberapa dimensi antara lain: modernisasi, pendidikan, tekanan ekonomi
maupun sosial budaya. Secara rinci dapat digambarkan sebagai berikut:

Gejala Modernisasi dan Perubahan Perilaku masyarakat.


Jika dibandingkan pada dasarnya keempat Provinsi memiliki
kesamaan latar masalah yang dihadapi dalam mengatasi pernikahan
dini yakni isu modernisasi. Pada dasarnya saat ini keempat Provinsi
memiliki kesamaan latar masalah yang dihadapi dalam mengatasi
pernikahan dini yakni modernisasi dan tingkat pendidikan yang
rendah. Fenomena modernisasi ini telah semakin meluas dan
berdampak pada perubahan perilaku penduduk di seluruh Provinsi
yang dikaji dan mendorong kebiasaan hidup konsumtif khususnya
dalam satu dasawarsa terahir. Dorongan globalisasi, teknologi
informasi maupun otonomi daerah yang begitu pesat dapat dijadikan
salah satu penyebab timbulnya fenomena modernisasi hingga di
daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya culture shock pada
masyarakat, Peningkatan kesejahteraan akibat pertumbuhan tidak
dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup penduduk salah
satunya pendidikan. Gaya hidup lebih menjadi pusat perhatian
masyarakat. Hal ini sangat kentara terjadi di seluruh Provinsi yang
diamati khususnya di Kalimantan Selatan dan Bangka-Belitung yang
mengalami booming perekonomian paling pesat akibat
pertambangan.
Arus modernisasi dalam masyarakat ditunjukkan oleh pola konsumsi
dan pola pemakaian jasa anggota masyarakat secara tinggi, salah
satunya oleh pemanfaatan jasa arus informasi yang masuk dengan
sangat pesat. Fenomena modernisasi telah semakin meluas dan
berdampak pada perubahan perilaku penduduk di seluruh Provinsi
yang dikaji dan mendorong kebiasaan hidup konsumtif khususnya
dalam satu dasawarsa terahir. Dorongan globalisasi informasi
maupun otonomi daerah yang begitu pesat dapat dijadikan salah satu
penyebab timbulnya fenomena modernisasi secara cepat hingga di
daerah bahkan menyebabkan terjadinya culture shock pada
masyarakat.
96

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Hal ini sangat jelas terlihat pada Provinsi Bangka Belitung khususnya
di Bangka Selatan. Latar belakang masalah pernikahan dini di
wilayah Bangka Selatan pada umumnya dapat dilihat bahwa akar
permasalahan banyak terjadi di pedesaan dan lebih karena faktor
modernisasi. Jika dahulu budaya merupakan penyebab terjadinya
pernikahan dini, saat ini justru faktor modernitas yang menjadi akar
utama dan kontrol sosial justru melemah karena budaya setempat
yang cenderung sangat cair terhadap nilai-nilai baru.
Meningkatnya aktivitas pertambangan timah inkonvensional
(tambang TI) di Bangka Selatan telah mendorong tingkat
kesejahteraan generasi muda dan berdampak pada sikap konsumtif
yang dibarengi dengan arus modernitas yang sangat pesat.
Rendahnya minat masyarakat atas pendidikan.

Pada dasarnya keempat Provinsi memiliki kesamaan latar masalah


yang dihadapi dalam mengatasi pernikahan dini yakni tingkat
pendidikan dan minat bersekolah yang rendah. Peningkatan
kesejahteraan akibat pertumbuhan ekonomi yang terjadi di
beberapa Provinsi yang diamati ternyata tidak dibarengi dengan
peningkatan kualitas hidup penduduk di bidang pendidikan. Gaya
hidup modernisasi lebih menjadi pusat perhatian masyarakat.
pesatnya arus modernisasi ini tidak dibarengi dengan minat
masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, banyak
pelaku pernikahan dini yang keluar sekolah justru masih di usia SMP.
Pendidikan seringkali dikaitkan dengan pernikahan dini karena anak
yang putus sekolah cenderung lebih rentan untuk dinikahkan melalui
kawin siri untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
Pendidikan masih belum menjadi prioritas perbaikan kesejahteraan
penduduk. Sementara disisi lain peningkatan kebutuhan konsumsi
yang semakin tinggi malah mendorong tekanan ekonomi yang
semakin meningkat pada keluarga. Hal ini pada akhirnya
menyebabkan keluarga baik orang tua maupun anak lebih memilih
bekerja untuk segera memperoleh pendapatan dan memenuhi
kebutuhannya ataupun menikahkan segera anak untuk mengurangi

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

97

beban keluarga ketimbang berpikir kesejahteraan jangka panjang


melalui kualitas pendidikan yang baik.
Rendahnya perhatian masyarakat pada pendidikan sangat kentara
terjadi di seluruh Provinsi yang diamati. Di Sulawesi Tengah,
Seringkali pernikahan ini terjadi di pedesaan dimana banyak anak
perempuan tidak bersekolah karena akses yang rendah dan mindset
bahwa pendidikan bukan prioritas dalam keluarga. Begitu pula di
Kalimantan Selatan dan Bangka-Belitung yang mengalami booming
perekonomian paling pesat dalam satu dasawarsa akibat
pertambangan. Seharusnya perekonomian yang membaik akan
meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat dan pada akhirnya
berdampak pada penurunan angka pernikahan dini. Tetapi hal ini
tidak terjadi di Kalimantan Selatan dan Bangka Belitung.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat maupun fasilitas pendidikan yang
telah disediakan tidak dibarengi minat masyarakat khususnya
generasi muda pada pendidikan. Aktualisasi diri pada generasi muda
setempat masih pada peningkatan pendapatan dan daya beli
ketimbang pendidikan. Hal ini sering menjadi penyebab terjadinya
siswa putus sekolah karena mereka sudah bekerja di Tambang dan
melakukan pernikahan di usia dini.
Tekanan Ekonomi dan Kemiskinan di Tingkat Keluarga.

Pada beberapa Provinsi Dimensi Tekanan Ekonomi khususnya akibat


kemiskinan sangat kentara terjadi kecuali di Kalimantan Selatan,
Peningkatan kebutuhan konsumsi yang semakin tinggi satu
dasawarsa terakhir malah mendorong tekanan ekonomi yang
semakin tinggi pada keluarga. Hal ini pada akhirnya menyebabkan
keluarga baik orang tua maupun anak lebih memilih bekerja untuk
segera memperoleh pendapatan dan memenuhi kebutuhannya
ataupun menikahkan segera anak untuk mengurangi beban keluarga
(tekanan ekonomi) ketimbang berpikir kesejahteraan jangka
panjang melalui kualitas pendidikan yang baik. Dimensi tekanan
ekonomi inilah yang sangat mewarnai pengambilan keputusan orang
tua dalam menikahkan anaknya, hal ini terjadi di seluruh provinsi
kecuali di Kalimantan Selatan. Hal yang tidak jauh berbeda tampak

98

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

pula di Jawa Barat yang sebenarnya lebih mendapatkan perhatian


pusat dalam isu-isu kesejahteraan termasuk ekonomi. Berdasarkan
gambaran permasalahan di setiap Provinsi umumnya dapat dilihat
bahwa akar permasalahan pernikahan dini di kawasan tersebut
adalah alasan ekonomi yang bertujuan untuk menggeser beban
keluarga.
Tekanan ekonomi ini pun sangat terkait dengan perubahan sosial
akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dan tuntutan
konsumsi akibat arus modernisasi. Menurut Toffler21 respon yang
paling umum dilakukan masyarakat terhadap kondisi future shock
seperti ini adalah strategi reversionis, dimana para korban terobsesi
untuk mengulang rutinitas atau kebiasaan yang sudah pernah sukses
beradaptasi atau sukses dilakukan sebelumnya tetapi sebenarnya
tidak relevan dan tidak cocok dilakukan pada keadaan saat ini.
Kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga secara cepat
termasuk dalam memenuhi keinginan memiliki daya beli yang tinggi
atau mengurangi beban ekonominya, mendorong pengambilan
keputusan, kepala keluarga untuk segera menikahkan anaknya,
padahal itu belum tentu solusi yang tepat. Yang menarik akar
masalah ekonomi ini seringkali berjalan seiring pula dengan faktor
budaya. alasan budaya pernikahan dini di pedesaan seringkali
berjalan seiring dengan kebutuhan ekonomi, sebagaimana dijelaskan
dalam akar masalah budaya sebagai alasan dasar pernikahan dini
berikut.
Budaya sebagai alasan dasar pernikahan dini.

Dimensi sosial budaya masih sangat kuat terjadi di beberapa provinsi


kecuali Bangka. Dimensi budaya memang masih kuat terjadi sejak
dulu hingga saat ini. Jika dilihat secara parsial, latar belakang masalah
pernikahan dini di wilayah Banjar sangat terkait dengan dimensi
sosial budaya dan agama yang sangat melekat di mindset masyarakat
(kebiasaan) dan peran modernisasi yang tumbuh secara pesat
beberapa waktu terakhir di sisi lain yang juga mempengaruhi
mindset masyarakat setempat.
21

Ibid Hal. 359.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

99

Secara budaya sejak lama pernikahan dini dilakukan pada anak


perempuan pada usia muda untuk menghindari anggapan perawan
tua dan biasanya dikawinkan dengan yang lebih tua. Namun yang
menarik, dimensi budaya semakin memupus pengaruhnya pada
beberapa Provinsi dan bahkan menghilang di Provinsi Bangka
Belitung, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir. Seringkali
dimensi budaya hanya dijadikan alasan menutupi alasan tekanan
ekonomi.
Hal yang lebih berbeda dan menarik tampak pada akar permasalahan
pernikahan dini di Donggala, Sulawesi Tengah khususnya suku Kaili
adalah di pedesaan dengan alasan ekonomi dan pengaruh beragam
kultur setempat yang masih kuat secara adat. Melepas beban
tanggung jawab orang tua merupakan salah satu alasan terjadinya
pernikahan dini pada masyarakat Kaili. Hal ini dilakukan untuk
melepas tekanan ekonomi keluarga dan ketakutan mereka akan
terjadinya pergaulan bebas karena melihat anak perempuannya
memiliki teman laki-laki akibat modernisasi. Pada suku Bugis, alasan
budaya dan ekonomi juga tampak. Pernikahan yang terjadi seringkali
merupakan pernikahan yang diatur secara tradisi oleh orang tua
untuk menjaga pertalian keluarga. Kultur ini masih sangat kuat dan
tetap dilakukan turun temurun dalam rangka menjaga regenerasi
khususnya harta warisan keluarga.
Peran Kelembagaan
Dari sisi peran kelembagaan yang berpengaruh dalam pengendalian
pernikahan dini, terdapat perbedaan mendasar antar provinsi. Secara
rinci, dari sisi peran kelembagaan dapat diuraikan sebagai berikut:
Peran Adat dan Agama Sebagai Kontrol Sosial
Peran Tokoh Adat/
Agama
Kuat

Lemah

100

Kalsel
(Banjar)

(Bangka Selatan)

Bangka

Sulteng
(Donggala)

Jabar
(Cianjur)

Adaptif

Ya

Ya

Resisten

Ya

Ya

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Peran tokoh adat dan agama di beberapa Provinsi masih sangat kuat
khususnya di Sulteng, Kalsel dan Jawa Barat. Sementara di Bangka
Belitung peran tokoh adat dan agama sudah tidak lagi berdampak banyak
pada masyarakat. Dengan adanya peran tokoh adat dan agama pada
dasarnya dapat menjadi pintu masuk bagi upaya pengendalian
pernikahan dini. Namun akan menjadi tantangan besar bila dilakukan di
Sulawesi Tengah yang multikultur dan cenderung resesif. Hal ini akan
mudah dilakukan melalui tokoh adat dan agama jika dilakukan di Kalsel
maupun Jawa Barat yang cenderung lebih terbuka, sementara di Ba-Bel
khususnya di Bangka Selatan, peran tokoh adat dan agama umumnya
sudah memudar sehingga perlu dilakukan terobosan lain ataupun upaya
untuk merubah mindset para tokoh adat yang berbeda-beda. Perlu diakui
bahwa peran tokoh adat dan agama akan sangat penting khususnya
sebagai alat kontrol sosial.
Dari sisi adat dan agama di Kalsel pada dasarnya tokoh agama setempat
merupakan tokoh adat, dan mereka berpengaruh penting dalam
pengambilan keputusan keluarga. Tokoh agama setempat juga memiliki
kemampuan yang sangat kuat dalam mempengaruhi massa. Orang tua
dalam keluarga pun sangat mengikuti arahan para tokoh agama
panutannya. Selain itu para tokoh agama ini tidak sulit untuk didekati
namun pendekatan yang dilakukan selama ini dirasakan masih sangat
kurang.
Dari sisi kelembagaan adat dan agama, di Bangka Selatan pada umumnya
budaya setempat sudah sangat cair. Peran lembaga budaya, agama
ataupun adat tradisi masyarakat lokal di Bangka Selatan nyaris tidak
tampak. Ketidakhadiran peran lembaga tersebut berpengaruh besar pada
lemahnya kontrol sosial di dalam masyarakat Bangka. Peran lembaga
budaya, agama maupun adat di Bangka Belitung lebih kuat terjadi di
komunitas keturunan Cina maupun komunitas transmigran. Menurut
salah seorang tokoh agama Budha setempat mengakui bahwa pernah
terjadi tingkat pernikahan dini yang cukup signifikan di komunitas
tersebut. Namun seiring dengan meningkatnya peran tokoh agama hal ini
dapat ditekan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol sosial
masyarakat secara kuat sebenarnya dapat mengendalikan pernikahan
dini.
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

101

Dari sisi kelembagaan Adat dan Agama di masyarakat Kaili dan Bugis di
Sulteng, peran tokoh adat seringkali merangkap sebagai tokoh agama dan
pada umumnya masih sangat kuat baik pada berbagai suku mayoritas
yang ada. Nilai-nilai tersebut masih dianut oleh masyarakat setempat
dengan kuat termasuk pada suku Kaili maupun suku Bugis sebagai
pendatang. Adalah lazim di pedesaan Donggala bila terdapat
permasalahan rumit dalam keluarga dilaporkan kepada tokoh adat
khususnya dalam memberi persetujuan atas berbagai permasalahan yang
dilaporkan kepadanya. Tidak seluruh kelompok adat di daerah Donggala
maupun Sulawesi Tengah telah terpengaruh nilai agama, khususnya pada
kelompok komunitas adat terpencil (KAT) yang masih banyak terdapat di
Sulawesi Tengah. Banyak suku KAT yang masih menganut animisme. Pada
kelompok adat ini, pernikahan dini sulit untuk terhindarkan karena
pernikahan dilakukan dengan para tokoh adat setempat. Tidak mudah
masuk pada para tokoh adat dan agama.
Hal yang menarik muncul dari sisi kelembagaan Adat dan Agama di
Cianjur dimana tokoh agama yang pada umumnya juga merupakan tokoh
adat justru sangat merespon. Pada dasarnya respon tokoh agama sangat
baik bahkan mendukung, mudah untuk didekati dan merespon positif
terhadap berbagai upaya yang dilakukan. Permasalahan terbesar justru
berasal dari sisi kelembagaan daerah yang belum sanggup bersinergi
secara efektif termasuk dengan tokoh agama.
Peran Orang Tua dan Keluarga Sangat Dominan
Peran Orang Tua
dalam pengambilan
keputusan pernikahan dini
Modernisasi
Pendidikan

Kalsel
(Banjar)
Takut/
tidak permisif

Bangka
(Bangka Selatan)

Permisif

Sulteng
(Donggala)

Jabar
(Cianjur)

Takut/
tidak permisif

Takut/
tidak permisif

Bukan Prioritas Bukan Prioritas Bukan Prioritas Bukan Prioritas

Tekanan Ekonomi/ Tidak pengaruh


kemiskinan

berpengaruh

berpengaruh

Berpengaruh

Sosial Budaya

Tidak
berpengaruh

berpengaruh

Berpengaruh

102

Berpengaruh

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Dalam kelembagaan keluarga, pada umumnya orang tua masih


memegang adat tradisi dan agama. Dampak modernisasi menjadi
ketakutan dalam benak orang tua setidaknya di provinsi Kalsel, Sulteng
maupun Jabar sehingga mereka ingin segera menikahkan anaknya. Orang
tua dan keluarga berperan penting dalam mewujudkan penurunan
pernikahan dini melalui pendidikan yang baik. Namun demikian
pendidikan masih bukan prioritas pembangunan.
Dalam kelembagaan keluarga di Banjar, faktor orangtua pada dasarnya
masih sangat kuat dalam menentukan pilihan bagi sang anak. nilai agama
merupakan hal utama yang dijadikan landasan para orang tua dalam
menikahkan anaknya di usia dini. Selain nilai agama, alasan lain orang tua
menikahkan adalah mereka tidak ingin malu dan menanggung beban
kalau anak perempuan mereka belum menikah, baik dari sisi kemapanan
(selagi mereka mampu) maupun akan terlibat pergaulan bebas.
Dalam kelembagaan orang tua dan keluarga di Bangka Selatan, lemahnya
kontrol sosial di masyarakat berdampak pada peran orang tua dan
keluarga. Orang tua cenderung bersikap permisif, mereka beranggapan
bahwa menikah itu learning process, tanpa menyadari bahwa seringkali
setelah menikahkan malah menimbulkan masalah baru dalam keluarga.
faktor orang tua sangat menentukan anak akan masuk ke sekolah atau
tidak. Keengganan untuk bersekolah ini dari sisi ekonomi dikarenakan
remaja laki-laki lebih memilih bekerja dan menikah dengan remaja
perempuan yang juga lebih memilih menikah dan keinginan ini pun
disetujui pula oleh orang tua. Oleh karenanya diperlukan pengembangan
kebijakan secara tepat disertai dengan sinergi lintas sektor untuk
meningkatkan awareness pada orang tua.
Peran kelembagaan orang tua dan keluarga di Donggala meskipun tetap
terikat dengan adat dan agama, sangat kuat dalam menentukan terjadinya
pernikahan dini. Orang tua yang cenderung mengambil keputusan untuk
menikahkan anaknya. Seringkali orang tua ingin menikahkan anaknya
pada usia dini karena keinginan untuk menggeser beban tekanan
ekonomi atau menjaga harta warisan keluarga dan keinginan tersebut
seringkali didukung secara adat maupun agama. Sementara peran orang
tua di Cianjur juga sangat besar. Orang tua sangat mengatur hubungan
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

103

sang anak. Sering terjadi pernikahan dengan alasan orang tua takut
melihat pergaulan anaknya termasuk ketika melihat anaknya berpacaran.
Namun banyak terdapat kasus orang tua yang menikahkan anaknya
dengan alasan ekonomi, khususnya untuk mengurangi beban keluarga.
Peran Pemerintah: Lemahnya Koordinasi dan Perencanaan Kebijakan dalam
pengendalian pernikahan dini.
Peran Pemerintah
pernikahan dini

Kalsel
(Banjar)

(Bangka Selatan)

Bangka

Sulteng
(Donggala)

Jabar
(Cianjur)

Pemahaman Aparat

Cukup

Kurang

Cukup

Cukup

Perencanaan
Kebijakan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak Ada

Ada, lemah

Koordinasi
Kebijakan

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada, Lemah

Ada, Lemah

Ada, Lemah

Ada, Lemah

Ada, Kuat

(sinergi lintas sektor)

Sosialisasi,
Advokasi

Dari sisi peran pemerintah, keempat wilayah pada umumnya telah


melakukan sosialisasi ataupun advokasi ke masyarakat. Namun pada
umumnya upaya ini masih sangat terbatas tanpa dibarengi dengan
perencanaan kebijakan yang memadai sehingga pada akhirnya upaya
sosialisasi dan advokasi seringkali terhenti dan tidak berkelanjutan.
Advokasi terhadap lembaga pendidikan seperti SMP, SMA dan pesantren
oleh pemerintah pun masih minim terjadi padahal peran lembaga
pendidikan baru dapat berjalan baik bila terdapat koordinasi langsung
dari pemerintah. Selain itu hampir seluruh Provinsi masih sangat lemah
dalam hal koordinasi kebijakan khususnya secara lintas sektor, hal ini
menyebabkan sinergi sulit tercapai karena ego sektoral yang tinggi di
masing-masing sektor.
Selaku penentu dan pelaksana kebijakan pada dasarnya di Kabupaten
Banjar, Donggala dan Cianjur, aparat sudah memiliki pemahaman yang
cukup mengenai isu pernikahan dini. Namun hal tersebut tidak tampak
dalam perencanaan kebijakan dimana isu pernikahan dini dimana isu ini
belum menjadi prioritas perhatian baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten.
104

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Upaya koordinasi kebijakan untuk isu pernikahan dini, stakeholders di


tingkat provinsi telah melakukan upaya-upaya advokasi lintas sektor
khususnya melalui upaya fasilitasi Kantor Perwakilan BKKBN Provinsi.
Namun hal serupa tidak terjadi di tingkat Kabupaten. Stakeholders di
tingkat Kabupaten mengakui bahwa koordinasi lintas sektor belum
dilakukan secara khusus untuk isu ini. Lemahnya kelembagaan di daerah
memang sangat tampak dan tidak diimbangi dengan upaya koordinasi
sinergis antar sektor. Nuansa ego sektoral sangat terasa terjadi ditingkat
kabupaten. Dampak nyata yang terjadi dari lemahnya kelembagaan ini
adalah hampir tidak berjalannya sosialisasi di masyarakat termasuk pada
tokoh agama.
Di Kabupaten Bangka Selatan, dari sisi pemerintah, pada dasarnya isu
pernikahan dini sama sekali belum menjadi perhatian, SKPD Provinsi
yang sangat terkait pun sama sekali belum memiliki kegiatan dan
gambaran terkait isu. Belum ada upaya perencanaan maupun koordinasi
yang melibatkan lintas sektor secara spesifik untuk pengendalian
pernikahan dini sehingga sinergi belum sama sekali tercipta. Di tingkat
Kabupaten, beberapa Dinas setempat pada dasarnya telah memulai
kegiatan namun koordinasi belum dilakukan. Masalah penganggaran dan
regulasi pun menjadi kendala besar di tingkat Kabupaten. Hal ini
berdampak pada fungsi penyuluhan yang masih dilakukan secara sangat
terbatas. Koordinasi secara sinergis menjadi sangat urgen untuk
dilakukan mengingat cepatnya terjadi pergeseran nilai melalui
modernisasi dimana pengaruhnya sudah masuk hingga ke pelosok
wilayah pedesaan.
Dari sisi peran kelembagaan pemerintah, hal yang paling tampak terlihat
di kab. Donggala adalah tidak pernah adanya koordinasi maupun sinergi.
Disisi lain masing-masing lembaga memiliki keterbatasan dalam hal
infrastruktur, SDM maupun anggaran. Pemerintah setempat pada
dasarnya telah menyadari isu pernikahan dini ini memang terjadi di
wilayah Sulawesi Tengah khususnya Donggala serta telah dilakukan
upaya-upaya meskipun belum signifikan. Upaya untuk mengatasi
pernikahan dini menjadi terhambat akibat koordinasi yang tidak terjadi,
isu ini pun belum masuk dalam rencana pembangunan setempat.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

105

Koordinasi pada dasarnya telah dilakukan hingga ke tingkat kecamatan


dan desa, namun faktor ego sektoral yang masih terasa sangat tinggi
khususnya terkait perencanaan baik dalam hal anggaran, prioritas
pembangunan, maupun keberlanjutan program. Kesadaran tinggi
stakeholders pada umumnya sangat tinggi dan mereka sudah memiliki
komitmen dengan isu pernikahan usia dini. Persoalannya terletak pada
bagaimana memprioritaskan isu ini secara berkelanjutan dan menjadi
prioritas lintas sektor sehingga dapat dilakukan koordinasi secara
sinergis.

106

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KESIMPULAN
Akar masalah utama pernikahan dini di beberapa Provinsi di Indonesia
pada umumnya adalah disebabkan beberapa dimensi antara lain:
modernisasi, pendidikan, tekanan ekonomi maupun sosial budaya. Secara
rinci dapat disimpulkan sebagai berikut:

Gejala Modernisasi dan Perubahan Perilaku masyarakat.


Pada dasarnya saat ini keempat Provinsi memiliki kesamaan latar
masalah yang dihadapi dalam mengatasi pernikahan dini yakni
modernisasi dan tingkat pendidikan yang rendah. Arus modernisasi
dalam masyarakat ditunjukkan oleh pola konsumsi dan pola
pemakaian jasa anggota masyarakat secara tinggi, salah satunya oleh
pemanfaatan jasa arus informasi yang masuk dengan sangat pesat.
Fenomena modernisasi telah semakin meluas dan berdampak pada
perubahan perilaku penduduk di seluruh Provinsi yang dikaji dan
mendorong kebiasaan hidup konsumtif khususnya dalam satu
dasawarsa terahir. Dorongan globalisasi informasi maupun otonomi
daerah yang begitu pesat dapat dijadikan salah satu penyebab
timbulnya fenomena modernisasi secara cepat hingga di daerah
bahkan menyebabkan terjadinya culture shock pada masyarakat.

Rendahnya minat masyarakat atas pendidikan.


Peningkatan kesejahteraan akibat pertumbuhan ekonomi yang
terjadi di beberapa Provinsi yang diamati ternyata tidak dibarengi
dengan peningkatan kualitas hidup penduduk di bidang pendidikan.
Gaya hidup modernisasi lebih menjadi pusat perhatian masyarakat.
pesatnya arus modernisasi ini tidak dibarengi dengan minat
masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, banyak
pelaku pernikahan dini yang keluar sekolah justru masih di usia SMP.
Rendahnya perhatian masyarakat pada pendidikan sangat kentara
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

107

terjadi di seluruh Provinsi yang diamati khususnya di Kalimantan


Selatan dan Bangka-Belitung yang mengalami booming
perekonomian paling pesat dalam satu dasawarsa akibat
pertambangan.

Tekanan Ekonomi dan Kemiskinan di Tingkat Keluarga.


Peningkatan kebutuhan konsumsi yang semakin tinggi satu
dasawarsa terakhir malah mendorong tekanan ekonomi yang
semakin tinggi pada keluarga. Hal ini pada akhirnya menyebabkan
keluarga baik orang tua maupun anak lebih memilih bekerja untuk
segera memperoleh pendapatan dan memenuhi kebutuhannya
ataupun menikahkan segera anak untuk mengurangi beban keluarga
(tekanan ekonomi) ketimbang berpikir kesejahteraan jangka
panjang melalui kualitas pendidikan yang baik. Dimensi tekanan
ekonomi inilah yang sangat mewarnai pengambilan keputusan orang
tua dalam menikahkan anaknya, hal ini terjadi di seluruh provinsi
kecuali di Kalimantan Selatan.

Budaya sebagai alasan dasar pernikahan dini.


Dimensi budaya memang masih kuat terjadi sejak dulu hingga saat
ini, namun yang menarik, dimensi budaya semakin memupus
pengaruhnya pada beberapa Provinsi dan bahkan menghilang di
Provinsi Bangka Belitung, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir.
Seringkali dimensi budaya hanya dijadikan alasan menutupi alasan
tekanan ekonomi.
Dari sisi peran kelembagaan yang berpengaruh dalam pengendalian
pernikahan dini, terdapat perbedaan mendasar antar provinsi. Secara
rinci, dari sisi peran kelembagaan dapat disimpulkan sebagai berikut:

Peran Adat dan Agama sebagai Kontrol Sosial.


Peran tokoh adat dan agama di beberapa Provinsi masih sangat kuat
khususnya di Sulteng, Kalsel dan Jawa Barat. Sementara di Bangka
Belitung peran tokoh adat dan agama sudah tidak lagi berdampak
banyak pada masyarakat. Dengan adanya peran tokoh adat dan
agama pada dasarnya dapat menjadi pintu masuk bagi upaya
pengendalian pernikahan dini. Namun akan menjadi tantangan besar
108

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

bila dilakukan di Sulawesi Tengah yang multikultur dan cenderung


resesif. Hal ini akan mudah dilakukan melalui tokoh adat dan agama
jika dilakukan di Kalsel maupun Jawa Barat yang cenderung lebih
terbuka, sementara di Ba-Bel khususnya di Bangka Selatan, peran
tokoh adat dan agama umumnya sudah memudar sehingga perlu
dilakukan terobosan lain ataupun upaya untuk merubah mindset
para tokoh adat yang berbeda-beda. Perlu diakui bahwa peran tokoh
adat dan agama akan sangat penting khususnya sebagai alat kontrol
sosial terutama bagi generasi muda.

Peran orang tua dalam keluarga sangat dominan.


Dalam kelembagaan keluarga, peran orang tua masih sangat
dominan pada pengambilan keputusan dalam pernikahan dini. Disisi
lain pada umumnya orang tua masih memegang adat tradisi dan
agama. Dampak modernisasi menjadi ketakutan tersendiri dalam
benak orang tua setidaknya di provinsi Kalsel, Sulteng maupun Jabar
sehingga mereka ingin segera menikahkan anaknya. Sementara di
Bangka, keluarga cenderung lebih permisif dalam mengontrol anakanaknya. Di seluruh Provinsi yang diamati, orang tua dan keluarga
masih memegang berperan penting dalam pengendalian pernikahan
dini namun hal ini harus diiringi tingkat pendidikan yang baik. Orang
tua cenderung kurang memperhatikan tingkat pendidikan sang anak
dan tidak memahami secara jelas maksud pencegahan pernikahan
usia dini.

Lemahnya Koordinasi dan Perencanaan Kebijakan Pemerintah


dalam pengendalian pernikahan dini.
Dari sisi peran pemerintah, keempat wilayah pada umumnya telah
melakukan sosialisasi ataupun advokasi secara terbatas kepada
masyarakat. Namun pada umumnya upaya ini masih sangat terbatas
tanpa dibarengi dengan perencanaan kebijakan yang memadai,
anggaran yang mencukupi dan pemahaman aparat yang masih
terbatas sehingga pada akhirnya upaya sosialisasi dan advokasi
seringkali terhenti dan tidak berkelanjutan. Selain itu hampir seluruh
Provinsi masih sangat lemah dalam hal koordinasi kebijakan
khususnya secara lintas sektor termasuk di tingkat lapangan (KUA,
PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:
AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

109

Sekolah, Desa) hal ini menyebabkan sinergi sulit tercapai karena ego
sektoral yang tinggi di masing-masing sektor.

REKOMENDASI
Atas dasar kesimpulan diatas maka perlu direkomendasikan Pendekatan
kebijakan pengendalian pernikahan dini sebagai berikut :

Penentu kebijakan harus segera melakukan perencanaan


kebijakan menyangkut sosialisasi, KIE dan advokasi secara
langsung dan intensif di masyarakat khususnya di daerah untuk
mengantisipasi gejala perubahan sosial dan perilaku
masyarakat yang berdampak arus modernisasi. Hal ini harus
dilakukan sebagai antisipasi terhadap pesatnya gejala Modernisasi
dan perubahan perilaku masyarakat. Sosialisasi tidak lagi hanya bisa
sebatas promosi media, namun perlu diberikan penjelasan secara
lebih rinci pada masyarakat.

Penentu kebijakan harus mampu mengembangkan pelibatan


tokoh Adat dan Tokoh Agama agar berperan secara aktif sebagai
bentuk kontrol sosial di masyarakat. Hal ini mengingat seringkali
budaya dan agama dijadikan alasan dasar pernikahan dini. Peran
tokoh agama pada umumnya responsif terhadap berbagai isu, namun
justru pendekatan terhadap para tokoh adat dan agama masih
terbatas dilakukan di daerah.

Penentu kebijakan harus segera melakukan upaya peningkatan


kapasitas orang tua secara akurat khususnya untuk
meningkatkan minat atas pendidikan dan mengurangi tekanan
e ko n o m i d i T i n gk a t Ke l u a rga m e l a l u i m e k a n i s m e
pemberdayaan keluarga. Orang tua menjadi sasaran penting
karena orang tua masih memiliki peran yang sangat kuat dan
dominan dalam keluarga khususnya dalam pengambilan keputusan
pernikahan dini.

110

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional


Penentu kebijakan harus memprioritaskan sasaran
pengendalian pernikahan dini pada usia SMP melalui
peningkatan peran aktif lembaga sekolah maupun lembaga
pendidikan non formal lainnya. Banyak pasangan pernikahan dini
yang menikah memiliki tingkat pendidikan sebatas drop out sekolah
menengah pertama sehingga pencegahan pada lembaga pendidikan
menjadi penting dilakukan.

Penentu kebijakan di tingkat pusat harus mendorong terjadinya


penguatan peran Pemerintah Daerah dalam hal pengendalian
pernikahan dini melalui perencanaan kebijakan dan koordinasi
lintas sektor secara lebih intensif. Kelemahan terbesar di daerah
adalah hampir tidak adanya koordinasi dalam pengendalian
pernikahan dini dan lemahnya perencanaan kebijakan sehingga
berdampak pada tidak adanya anggaran dan regulasi yang
diperlukan.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

111

112

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

DAFTAR PUSTAKA
Act of The Parliament of The Republic of Ghana Entitled The Children's Act,
1998, diakses melalui pada 30 Mei 2012.
Balitbang Kesehatan Kemkes RI, (2011) Riset Kesehatan Dasar,
Kementerian Kesehatan.
Boserup, Ester (1990), Population, the Status of Women, and Rural
Development in McNicoll, G. and Mead Cain (1990), Rural
Development and Population: Institutions and Policy, New York:
Oxford University Press.
Choe, Kim; Thapa; dan Achmad (2001), Early Marriage and Childbearing
in Indonesia and Nepal in East-West Center Working Papers:
Population Series No. 108-15, November 2001. East West Center (2001)
Convention on the Elimination on All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW) tahun 1979.
Daulay, Harmona (2001), Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga
Migran: Studi Kasus TKIW di Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang
Jawa Barat, Yogyakarta: Galang Press dan Ford Foundation.
Elizabeth Warner, Behind the Wedding Veil: Child Marriage as a form of
Trafficking in Girls, 12 AM, U.J. Gender Social Policy & L.
European Union, Parliamentary Assembly Resolution 1468 (2005) Forced
Marriages and Child Marriages, diakses melalui
http://assembly.coe.int/Main.asp?link=/Documents/AdoptedText/ta05/ERES14
68.htm pada 31 Mei 2012

Field, Erica (2004), Consequences of Early Marriage for Women in


Bangladesh, Harvard University.
Goonesekere, Savitri & De Silva de-Alwis, Rangita, Women's and Children's
Rights in a Human Rights Based Approach to Development, Working
Paper, Division of Policy Planning UNICEF, 2005.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

113

Goonesekere, Savitri (1997), Children, Law, and Justice: A South Asian


Perspective, 1997.
IPPF (2006), Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action,
International Planned Parenthood Federation and the Forum on
Marriage and the Rights of Women and Girls.
Jones & Gubhaju, (2008), Trends in Age at Marriage in Provinces of
Indonesia, in Asia Research Institute Working Paper no 105: 2008, Asia
Research Institute NUS - Singapore
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI (2002), Analisis dan
Pengkajian Penjabaran Kebijakan Perencanaan Pembangunan
Daerah yang Berperspektif Gender, Jakarta: Kementerian
Pemberdayaan Perempuan RI.
Klasen, S., Wink, C. A Turning Point in Gender Bias in Mortality? An
Update on the Number of Missing Women in Population and
Development Review 28 (2) : 285-312 (June 2002).
McDonald, Peter (2000), Gender Equity in Theories of Fertility
Transition in Population and Development Review 26 (3) : 427-439
(September 2000).
Moeljarto, Vidhyandika (1997), Gender dan Kemiskinan : menelaah
posisi perempuan dalam pembangunan pertanian, dalam Analisa
CSIS XXVI (4) : 372-385.
Plan-UK (2012), Early and Forced Marriage facts, figures, and what you
can do, diakses melalui http://www.plan-uk.org/early-and-forced-marriage/
pada 28 Mei 2012.
Rahman, Lupin, Rao, V. (2004), The Determinants of Gender Equity in
India: Examining Dyson and Moore's Thesis with New Data in
Population and Development Review 30 (2) : 239-268 (June 2004).
Sen, Amartya (1990), Cooperation, Inequality, and the Family in
McNicoll, G. and Mead Cain (1990), Rural Development and
Population: Institutions and Policy, New York: Oxford University
Press.

114

Direktorat Analisis Dampak Kependudukan


Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Sentika, Tb. Rachmat, Dr. (2003), Gender dan Pengentasan Kemiskinan,


dipresentasikan dalam Rakornas Pemberdayaan Perempuan 2003,
Jakarta
Spicker, Paul, (2002), Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths, A
Catalyst Working Paper, London: Catalyst.
The Inter-African Committee, Traditional Practices Affecting the Health of
Women and Children (1993), Newsletter, Desember 1993.
Toffler, Alvin, (1971), Future Shock, Bantam Books, New York .
United Nations, (1994) General Recommendations Made by the Committee
on the Elimination of Discrimination Against Women, General
Recommendation No. 21, sesi ke-tiga belas.
Convention on the Right of a Child (CRC), (1989).
UNICEF, (2006), Child Marriage in Child Protection information Sheet,
The Unicef
UNICEF (2008), Child Marriage and the Law, Working Document of
UNICEF.

PERNIKAHAN DINI PADA BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA:


AKAR MASALAH & PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH

115

Anda mungkin juga menyukai