Anda di halaman 1dari 17

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindroma Koroner Akut


2.1.1 Definisi Sindroma Koroner Akut
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan kumpulan sindroma klinis
nyeri dada disebabkan oleh kerusakan miokard yang diistilahkan dengan infark
miokard. SKA terdiri dari unstable angina (UA) atau angina pektoris tidak stabil
(APTS), infark miokard dengan ST-elevasi dan tanpa ST-elevasi. Ketiga keadaan
tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam kardiovaskuler yang memerlukan
tatalaksana yang baik untuk menghindari tejadinya suddent death (Ramrakha dan
Hill, 2006).
Secara klinis, untuk mendiagnosis infark miokard menurut Supriyono
(2008) diperlukan 2 (dua) dari 3 (tiga) kriteria sebagai berikut :
1. Terdapat riwayat klinis: perasaan tertekan dan nyeri pada dada (angina), selama
30 menit atau lebih.
2. Perubahan gambaran EKG: segmen ST elevasi lebih dari 0,2 mV paling sedikit
2 (dua) precordial leads, depresi segmen ST lebih besar dari 0,1 mV paling
sedikit 2 (dua) leads, ketidaknormalan gelombang Q atau inversi gelombang T
paling sedikit 2 (dua) leads.
3. Peningkatan enzim pada jantung terutama kreatinin kinase 2 (dua) kali lebih
besar dari nilai normal pada pemeriksaan laboratorium dan peningkatan
troponin yang diakibatkan adanya kerusakan miosit pada otot jantung.
Data dari GRACE terhadap pasien yang datang ke rumah sakit dengan
keluhan nyeri dada ternyata diagnosis ST-Elevasi Miocardial Infraction (STEMI)
yang terbanyak (34%), Non ST-Elevasi Miocardial Infraction (NSTEMI) (31%)
dan Unstable Angina (UA) (29%) (Budaj dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Jumlah Kasus SKA


Pasien %
STEMI

34%

NSTEMI

31%

UAP

29%

dan lain-lain

6%

Sumber : Budaj dkk, 2003

2.2. Patofisiologi Sindroma Koroner Akut


Pada saat pembuluh darah normal mengalami kerusakan pada lapisan
endotel. Faktor yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan endotel yaitu faktor
hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat vasokonstriktor, sitokin sel darah, asap
rokok, peningkatan gula darah dan oksidasi LDL. Lapisan endotel yang rusak
menjadi terganggu dan jaringan ikat pada pembuluh darah mengalami
thrombogenik sehingga terjadi primary hemostasis. Primary hemostasis
merupakan tahap awal pertahanan terhadap pendarahan. Proses ini bermula hanya
dalam beberapa saat setelah pembuluh rusak dan dicegah oleh adanya sirkulasi
platelet. Platelet akan menempel pada kolagen subendotel pembuluh darah dan
beragregasi untuk membentuk Platelet plug (Young dan Libby, 2007).
Kerusakan lapisan endotel pembuluh darah ini juga akan mengaktifkan cell
molecule adhesion seperti sitokin, TNF-, growth factor, dan kemokin. Limfosit
T dan monosit akan teraktivasi dan masuk ke permukaan endotel lalu berpindah
ke subendotel sebagai respon inflamasi. Monosit berproliferasi menjadi makrofag
dan mengikat LDL teroksidasi sehingga makrofag membentuk sel busa. Akibat
kerusakan endotel menyebabkan respon protektif dan terbentuk lesi fibrous, plak
aterosklerotik yang dipicu oleh inflamasi. Respon tersebut mengaktifkan faktor
Va dan VIIIa yang akan membentuk klot pada pembuluh darah. Teraktivasinya
kedua faktor tersebut dapat dipicu karena tidak terbentuknya protein C oleh liver
sehingga thrombin mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin sehingga terbentuk

Universitas Sumatera Utara

klot (Young dan Libby, 2007).


Aterosklerosis berkontribusi dalam pembentukan thrombus. Hal ini
dikarenakan teraktivasinya faktor VII dan X mengakibatkan terpaparnya sirkulasi
darah oleh zat-zat thrombogenik yang akan menyebakan rupturnya plak dan
hilangnya respon protektif seperti antithrombin dan vasodilator pada pembuluh
darah. Penyebab gangguan plak ini disebabkan faktor kimiawi yang tidak stabil
pada lesi aterosklerosis dan faktor stress fisik penderita. Disebakan adanya
perkembangan klot pada pembuluh darah dan tidak terstimulusnya produksi NO
dan prostasiklin pada lapisan endotel sebagai vasodilator sehingga terjadi
disfungsi endotel. Dengan adanya ruptur plak dan disfungsi endotel,
teraktivasinya kaskade koagulasi oleh pajanan tissue faktor dan terjadi agregasi
platelet yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi
thrombosis koroner (Young dan Libby, 2007).
Infrak miokard akut dengan segmen ST elevasi (STEMI) umumnya
terjadinya jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak. Kematian sel-sel miokard yang disebakan infark miokard
dapat mengakibatkan kekurangan oksigen. Sel-sel miokard mulai mati setelah
sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen (Corwin, 2002). Akibat
thrombus tersebut, kebutuhan ATP pembuluh darah untuk berkontraksi berkurang,
hal ini disebabkan kurangnya suplai oksigen sehingga pembentukan ATP
berkurang. Keadaan ini berdampak pada metabolisme mitokondria sehingga
terjadi perubahan proses pembentukan ATP menjadi anaerob glikolisis.
Berkurangnya ATP menghambat proses, Na+ K+-ATPase, peningkatan Na+ dan
Cl- intraselular, menyebakan sel menjadi bengkak dan mati (Fuster et al, 2011).
Akibat kematian sel tercetus reaksi inflamasi yang menyebabkan terjadi
penimbunan trombosit dan pelepasan faktor-faktor pembekuan dan membentuk
plak thrombus. Jika plak aterosklerosis mengalami ruptur atau ulserasi dan terjadi
ruptur lokal yang menyebabkan oklusi arteri koroner sehingga terjadilah infrak
(Corwin, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Patofisiologi terjadi sindroma koroner akut (Fuster et al, 2010)
2.3. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut
Sindroma koroner akut (SKA) diklasifikasikan menjadi APTS, infark
miokard akut dengan ST-elevasi (STEMI) dan infark miokard akut tanpa STelevasi (NSTEMI).
2.3.1. Infark Miokard Akut dengan ST Elevasi (STEMI)
STEMI adalah sindroma klinis yang terjadi karena oklusi akut arteri
koroner akibat thrombosis intrakoroner yang berkepanjangan sebagai akibat
rupture plak aterosklerosis pada dinding koroner epikardial. Kerusakan miokard
bergantung pada ada atau tidak kolateral, luas wilayah miokard yang diperdarahi
pembuluh darah yang tersumbat, letak dan lama sumbatan aliran darah.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan American Heart Association guidelines, diagnosis ditegakkan


dengan adanya nyeri dada / perasaan tidak nyaman yang bersifat substernal,
lamanya lebih dari 20 menit, tidak hilang dengan istirahat disertai penjalaran,
mual, muntah, keringat dingin, dan pada gambaran EKG dijumpai elevasi segmen
ST > 1 mm pada 2 sadapan prekordial atau ekstremitas yang berhubungan dengan
disertai adanya peningkatan enzim jantung (CK-MB, troponin) (Cannon and
Braunwald, 2012).

Gambar 2.2. Diagram SKA Menurut ESC Guidelines (McGregor, 2007)


2.3.2. Infark Miokard Akut Tanpa Segmen ST-Elevasi (NSTEMI)
Berdasarkan American Heart Association guidelines, NSTEMI merupakan
sindroma klinis dengan nyeri dada khas tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
dengan gambaran EKG berupa depresi segmen ST persisten, gelombang T inverse
atau mendatar atau EKG normal.
Mekanisme utama pada IMA tanpa elevasi segmen ST adalah proses akut
thrombosis akibat rupturnya plak aterosklerosis, yang menyebabkan sumbatan
aliran darah koroner mendadak. Secara klinis untuk mendiagnosis SKA tanpa
elevasi segmen ST jika didapat angina saat istirahat >20 menit, peningkatan
intensitas, frekuensi, dan durasi angina (Cannon and Braunwald, 2012).

Universitas Sumatera Utara

10

2.3.3. Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS)


APTS merupakan angina yang timbul saat istirahat dan semakin lama
angina yang timbul semakin berat dengan gambaran EKG abnormal pada segmen
ST atau EKG normal dan tidak terdapat peningkatan troponin.
Secara klinis Angina pektoris tidak stabil memiliki diagnosis yang sama
dengan NSTEMI tetapi pada APTS tidak dijumpai kerusakan miokard dan
dijumpai pada gambran EKG yang abnormal atau EKG normal dan juga tidak
terjadi peningkatan troponin (Cannon and Braunwald, 2012).
2.4. Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut
Berdasarkan buku kardiologi oleh Bender (2006), diketahui bahwa faktor
risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih
faktor risiko antara lain : faktor yang tidak dapat dikendalikan (nonmodifiable
factors) dan faktor yang dapat dikendalikan (modifiable factors). Faktor yang
dapat dikendalikan, yaitu: merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus,
stress, makanan tinggi lemak, dan kurang aktivitas fisik. Sedangkan faktor yang
tidak dapat dikendalikan, yaitu: usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit
keluarga.
2.4.1. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
a.

Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang

menetap (Dorlan, 2002). Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan tekanan
darah sistolik normal dibawah 120 mmHg dan tekanan darah diastolik dibawah 80
mmHg. Hipertensi dikategorikan menjadi dua grade yaitu dengan katergori
hipertensi grade 1 dan hipertensi grade 2 (Fuster et al, 2010).

Universitas Sumatera Utara

11

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII

Kategori

Tekanan Darah

Tekanan Darah

Sistolik (mm Hg)

Diastolik (mm Hg)

Normal

<120

Dan

<80

120-139

Dan

81-89

Tingkat 1

140-159

Atau

90-99

Tingkat 2

160

Atau

100

Prehipertensi
Hipertensi

Sumber: Fuster et al, 2010


Hipertensi pada koroner jantung biasanya disebabkan meningkatnya tekanan
darah dan mempercepat timbulnya aterosklerosis. Peningkatan tekanan darah
menyebabkan beban jantung menjadi berat, sehingga menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri (faktor miokard) pada akhirnya menyebabkan angina dan infark
miokardium. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
Peningkatan tekanan darah yang menetap, menurut Anwar (2004), akan
menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria,
sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini
menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih
sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam
penggunaan oksigen oleh miokardium.
b.

Lipid
Lipid atau lemak mempunyai beberapa komponen yaitu kolesterol,

trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas. Kolesterol, trigliserida, fosfolipid


tidak larut dalam air yang terdapat di usus halus bergabung dengan apolipoprotein
diangkut dalam bentuk komponen yang disebut lipoprotein. Tubuh membentuk
empat jenis lipoprotein, yaitu kilomikron, VLDL (Very Low Density Lipoprotein),
LDL (Low Density Lipoprotein), dan HDL (High Density Lipoprotein)
(Almatsier, 2004).
Keempat lipoprotein yang dibentuk oleh tubuh mempunyai fungsi masingmasing. Kilomikron berfungsi mengemulsi lemak sebelum masuk ke dalam aliran
darah. Kilomikron akan mengemulsi trigliserida yang ada di kilomikron menjadi

Universitas Sumatera Utara

12

asam lemak yang dapat langsung digunakan sebagai zat energi. VLDL dibentuk di
hati kemudian mengikat kolesterol yang ada pada lipoprotein lain dalam sirkulasi
darah. VLDL bertambah berat dan menjadi LDL. HDL berfungsi mengambil
kolesterol dan fosfolipid yang ada di dalam aliran darah lalu menyerahkannya ke
lipoprotein lain untuk diangkut kembali ke hati guna diedarkan kembali atau
dikeluarkan dari tubuh (Almatsier, 2004).
Hiperlidemia merupakan meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah
(Dorland,

2002).

Secara

klinis,

hiperlipidemia

dinyatakan

sebagai

hiperkolesterolemia, hipertrigliserida atau keduanya yang merupakan akumulasi


berlebih salah satu lemak utama dalam darah sebagai kelainan metabolisme
ataupun kelainan transportasi lemak (Waspadji, 2003). Pada buku Hursts
dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada
jantung. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh
arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga
pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan
lemak akan mengalami aterosklerosis (Fuster et al, 2010). Hiperlipidemia juga
disebabkan karena abnormalnya lipoprotein dalam darah. Hal ini disebabkan
karena meningkatnya LDL kolesterol dan menurunnya HDL kolesterol (Kumar et
al, 2010).
Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dapat mengindikasikan adanya
faktor risiko untuk aterosklerosis. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dL pada orang
berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dL untuk berusia lebih dari 30
tahun (Corwin E. J, 2001). Bila kadar kolersterol di atas 200 mg/dL merupakan
faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia berkaitan
erat dengan proses aterosklerosis pada usia 30-49 tahun, bila kadar kolesterol
mencapai 260 mg/dL, kemungkinan terjadinya klinis aterosklerosis 3-5 kali
dibandingkan dengan kadar kolesterol 220 mg/dL. Di bawah usia 50 tahun,
hiperkolesterolemia mengungguli faktor risiko hipertensi, obesitas dan faktor
lainnya (Waspadji, 2003).

Universitas Sumatera Utara

13

Tabel 2.3. Frekuensi Hiperlipidemia Menjadi Penderita Infark Miokard


% jumlah menjadi penderitaan infrak
miokard

Kelahiran

Umur < 60 tahun

Umur > 60 tahun

20,6

7,5

a. Hiperkolesteremia

4,1

0,7

b. Hipertrigliserida

5,2

2,7

c. Campuran

11,3

4,1

2. Poligenik hiperkolesterolemia

5,5

5,5

3. Sporadik hiperkolesterolemia

5,8

6,9

1. Monogenik hiperlipidemia

Sumber : Waspadji, 2003


c.

Merokok
Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar pada

penyakit tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001, jumlah perokok di
Indonesia sebesar 31,8%. Jumlah ini meningkat menjadi 32% pada tahun 2003,
dan meningkat lagi menjadi 35% pada tahun 2004. Pada tahun 2006, The Global
Youth Survey (GYTS) melaporkan 64,2% atau 6 dari 10 anak sekolah yang
disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga
(37,3%) pelajar biasa merokok, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9%
atau 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah
10 tahun. Data Riset Riskesdas 2007 juga memperlihatkan tingginya penduduk
yang merokok. Jumlah perokok aktif penduduk umur > 15 tahun adalah 35.4%
(65.3% laki-laki dan 5.6% wanita), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok
aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama
anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan
(Depkes, 2007).
Merokok dapat merubah metabolisme, khususnya dengan meningkatnya
kadar kolersterol darah dan di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya
kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya
penyakit jantung koroner (Waspadji, 2003).

Universitas Sumatera Utara

14

Penelitian Framingham dalam Prof T.B. Anwar (2004), mendapatkan


kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x
lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih dari
pada bukan perokok. Hal ini disebabkan meningkatnya beban miokard yang
dipicu oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO
sehingga menimbulkan tahikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, merubah
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi karboksi
-Hb. Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL kolesterol
makin menurun. Penurunan kadar HDL kolesterol pada perempuan lebih besar
dibandingkan lakilaki perokok. Efek merokok ini akan berdampak langsung pada
peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang
merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang
bukan perokok.
Tabel 2.4. Tingkat Morbiditas Penyakit Koroner yang Berhubungan
dengan Merokok
Pola Merokok

Rasio Insiden

Bukan perokok

58

Hanya perokok cerutu dan pipa

71

Perokok sigaret
Sekitar bungkus per hari

104

Sekitar 1 bungkus per hari

120

Lebih dari 1 bungkus per hari

183

Sumber : Waspadji, 2003


Merokok juga dapat mengubah konsentrasi serum lemak, terjadi
peningkatan peroksidasi LDL lalu dimetabolisme oleh makrofag, gangguan
intoleransi glukosa dan resistensi insulin sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah (Frati et al, 1996). Jika frekuensi dan intensitas merokok meningkat, maka
kecendrungan terjadi kerusakan pembuluh darah lebih tinggi sehingga lebih
mudah terjadi aterosklerosis.

Universitas Sumatera Utara

15

d.

Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik,

ditandai oleh adanya hiperglikemia dan hiperlipidemia yang disebabkan oleh


defek sekresi insulin atau keduanya (Waspadji, 2003). Dalam penelitian Suyono
(2003), diabetes melitus merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan
perbandingan dua kali lebih tinggi dibanding non diabetes melitus. Diabetes
melitus bukan merupakan faktor tunggal risiko penyakit jantung koroner namun
obesitas, hipertensi, dan hiperlipidemia juga sering menggambarkan gangguan
karbohidrat. Dengan tingginya kadar insulin pada penderita DM dalam sirkulasi
darah menjadi salah satu faktor meningkatnya aterosklerosis.
Menurut Supriyono (2008), yang dimaksud dengan penderita DM dengan
kadar gula darah puasa >120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl akan
cenderung mengalami aterosklerosis pada usia yang lebih dini dan penyakit yang
ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes dari pada nondiabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak penting dalam metabolisme lipid
dan kelainan-kelainan lipid pada penderita diabetes. Selain meupakan faktor risiko
penyakit jantung koroner, diabetes berkaitan dengan adanya abnormalitas
metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis
(peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen).
Penelitian Prof T. B. Anwar (2004) menunjukkan laki-laki yang
menderita DM risiko penyakit jantung koroner 50% lebih tinggi daripada orang
normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian
Waspadji (2003) menunjukkan adanya hubungan penderita DM dengan penyakit
jantung koroner.

Universitas Sumatera Utara

16

Tabel 2.5. Distribusi Penderita Infark Miokard Akut dengan DM yang


Meninggal Menurut Kelompok Umur.
Kelompok

Infrak Miokard Akut +

Infrak Miokard Akut Non

Umur

DM

DM

Jumlah Kematian

Jumlah Kematian

20 29 tahun

0,0

0,0

30 39 tahun

0,0

12,5

40 49 tahun

0,0

16

25,0

50 59 tahun

17

17,6

45

17,8

60 69 tahun

33,3

31

19,3

14

42,8

29

6,9

40

11

70 tahun

131

21 P<0,01

Sumber: Waspadji, 2003


e.

Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan

metabolisme energi yang dikendalikan dengan mengakumulasi lemak yang tidak


normal atau berlebihan di jaringan adiposa. Akibat akumulasi lemak tersebut
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan
sindrom

metabolik

atau

sindrom

resistensi

insulin

yang

terdiri

dari

hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/diabetes melitus, hiperlipidemia, gangguan


fibrinolisis, dan hipertensi (Sugondo, 2002).
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator untuk menentukan berat
badan lebih yang praktis dan obesitas pada orang dewasa dengan perhitungan
berat badan dalam kg dibagi tinggi dalam meter kuadrat (Sugondo, 2002).

Universitas Sumatera Utara

17

Tabel 2.6. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT
Menurut WHO
Klasifikasi

IMT (kg/m)

Berat Badan Kurang

<18,5

Kisaran Normal

18,5 24,9

Berat Badan Lebih

>25

Pra-Obes

25,0 29,9

Obes Tingkat I

30,0 34,9

Obes Tingkat II

35,0 39,9

Obes Tingkat III

>40

Sumber : Sugondo, 2006


Menurut Waspadji (2003), obesitas merupakan faktor independen terhadap
penyakit jantung koroner. Obesitas berhubungan erat dengan kadar kolesterol
serum, tekanan darah, dan toleransi glukosa. Dan obesitas tidak berdiri sendiri
sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner, obesitas akan berpengaruh
terhadap aterosklerosis melalui hubungannya dengan hipertensi, hiperlipidemia
dan DM. Pada penelitiannya menunjukkan penderita yang BMI atau IMT >25
lebih banyak yang menderita PJK daripada kontrol.
Tabel 2.7. Body Mass Index pada Penderita PJK dan Kontrol
BMI

PJK

Kontrol

< 25

24

51,1

34

72,3

25 30

23

48,9

13

27,7

47

100,0

47

100,0

> 30
Jumlah
Sumber : Waspadji, 2003

f.

Stres
Stres, baik fisik maupun mental merupakan faktor risiko untuk penyakit

jantung koroner. Pada masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab
utama stres dan terdapat hubungan yang saling berkaitan antara stres dan

Universitas Sumatera Utara

18

abnormalitas metabolisme lipid. Stres juga merangsang sistem kardiovaskuler


dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut jantung
dan menimbulkan vasokonstriksi (Supriyono, 2008).

g.

Kurangnya Aktivitas Fisik


Pada penelitian observasional dalam buku Cardiology (Bender et al, 2011),

menunjukkan ada hubungan kuat antara aktivitas fisik dengan penyakit koroner.
Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkatan aktivitas fisik seseorang, semakin
banyak seseorang melakukan aktivitas fisik semakin rendah risiko terjadinya
penyakit jantung koroner.
Menurut penelitian Supriyono (2008), latihan fisik dapat meningkatan
curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ
yang aktif. Olahraga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik,
menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan
lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, dan memperbaiki sirkulasi
koroner. Akibat kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan kegemukan maka
akan menyebabkan orang yang kurang aktivitas menjadi gemuk. Pada umumnya
seseorang yang gemuk kurang aktif daripada seseorang dengan berat badan
normal (Waspadji, 2003).

2.4.2. Faktor Risiko yang tidak dapat dimodifikasi


a.

Usia
Pada penelitian Hanafiah (1993) terjadi peningkatan pasien infrak miokard

akut (IMA) di bawah usia 45 tahum dari 7% (1985) menjadi 18% (1991) dan
mayoritas penderita IMA adalah pria dibawah usia 45 tahun. Laki-laki ( 30 45
tahun) mengalami SKA lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause,
insidennya meningkat pada perempuan) (Russ dan Fagan, 2002). Hal ini
dikarenakan kadar kolesterol perempuan sebelum menopause (45-60 tahun) lebih
rendah daripada laki-laki dengan usia yang sama.
Dari survei Waspadji (2003), memperlihatkan bahwa penderita penyakit
jantung koroner banyak diderita pada usia antara 50-59 tahun. Pada usia 30-39

Universitas Sumatera Utara

19

tahun telah dijumpai penderita penyakit jantung koroner. Pada umur tersebut telah
terjadi komplikasi plak-plak dalam pembuluh darah dan dapat mengalami
perkapuran. Plak-plak ini terus meningkat dengan bertambahnya umur.
Tabel 2.8. Golongan Usia pada Penderita Penyakit Jantung Koroner dan
Kontrol
Golongan Umur

PJK

Kontrol

30 39

12,8

12,8

40 49

17,0

17,0

50 59

20

42,5

20

42,5

60 69

12,8

12,8

70

14,9

14,9

Jumlah

47

100,0

47

100,0

Sumber : Waspadji, 2003


Menurut Prof. T. B. Anwar (2004), risiko penyakit jantung koroner pada
penurunkan kadar kolesterol pada usia tua sangat bermanfaat. Hal tersebut
dibuktikan dengan penurunkan kadar kolesterol total 1% pada penderita, maka
terjadi penurunan 2% serangan jantung sehingga bila kadar kolesterol dapat
diturunkan 15% maka risiko penyakit jantung koroner akan berkurang 30%.
b.

Jenis Kelamin
Laki-laki mengalami sindrom koroner akut lebih banyak daripada

perempuan (setelah menopause, insidennya meningkat pada perempuan) (Russ


dan Fagan, 2002). Hal ini dikarenakan kadar kolesterol perempuan sebelum
menopause (45-60 tahun) lebih rendah daripada laki-laki dengan umur yang sama.
Setelah menopause kadar kolesterol perempuan biasanya akan meningkat menjadi
lebih tinggi daripada laki-laki. Hal tersebut terjadi karena pada perempuan
menopause mengalami penurunan produksi hormon estrogen dimana fungsi
hormon estrogen dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Anwar, 2004).

Universitas Sumatera Utara

20

c.

Suku / Ras.
Pada kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki

mendominasi kematian akibat penyakit jantung koroner, tetapi lebih nyata pada
kulit putih dan lebih serinditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua.
Onset penyakit jantung koroner pada wanita kulit putih umumnya 10 tahun lebih
lambat dibanding pria, dan pada wanita kulit berwarna lebih lambat sekitar 7
(tujuh) tahun. Insidensi kematian dini akibat penyakit jantung koroner pada orang
Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan
juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibia (Supriyono, 2008).
d.

Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi, hiperkolesterolemia, dan diabetes melitus dipengaruhi oleh

faktor genetik. Kedua hal tersebut berhubungan dengan mekanisme terjadinya


aterosklerosis (Bahri, 2004). Penyakit jantung koroner juga merupakan
manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme
terjadinya aterosklerosis (Supriyono, 2008).

2.5.

Pencegahan
Pencegahan merupakan salah satu upaya menurunkan angka kejadian

suatu penyakit. Pencegahan penyakit jantung koroner meliputi atas pencegahan


primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya proses patologis yang mendasari penyakit jantung koroner, mencegah
timbulnya aterosklerosis, dengan cara memberantas faktor-faktor risiko, dan
mencegah timbulnya hipertensi dengan membatasi konsumsi garam. Pencegahan
sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya serangan ulang atau progresifitas
penyakit jantung koroner (Bagindo, 1992). Menurut Majid (2008), pencegahan
penyakit kardiovaskuler harus dimulai sejak umur 20 tahun. Riwayat keluarga
dengan penyakit jantung koroner, merokok, diet, dan aktivitas fisik harus secara
rutin dipantau. Tekanan darah, kadar kolesterol, kadar gula darah (KGD puasa
<110 mg/dL), dan indeks masa tubuh harus diperiksa 2 tahun.
Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan untuk pencegahan primer, antara
lain adalah :

Universitas Sumatera Utara

21

1. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat luas mengenai


faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner (Bagindo, 1992).
2. Meningkatkan pembinaan pola hidup sehat, termasuk di dalamnya kebersihan
perorangan dan lingkungan, tidak merokok, memeriksakan tekanan darah
(<140/90 mmHg) secara teratur, makanan seimbang, menjaga berat badan
ideal, mengendalikan stres dan olahraga teratur (Bagindo, 1992).
3. Meningkatkan konsumsi makanan yang bervariasi seperti buah, sayur, sereal,
roti, ikan, dan makanan rendah lemak (Graham, 2007).
4. Berjalan sepanjang 3 km setiap hari atau melakukan aktivitas sedang selama 30
menit (Graham, 2007).
Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan untuk pencegahan sekunder
(Bagindo, 1992), antara lain adalah :
1. Penggunaan aspirin dan meneruskan penanggulangan faktor risiko.
2. Menyebarluaskan informasi tentang tanda-tanda serangan jantung.
3. Menyebarluaskan informasi faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai