Bab 2 Tinjauan Pustaka: Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Bab 2 Tinjauan Pustaka: Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
34%
NSTEMI
31%
UAP
29%
dan lain-lain
6%
Gambar 2.1. Patofisiologi terjadi sindroma koroner akut (Fuster et al, 2010)
2.3. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut
Sindroma koroner akut (SKA) diklasifikasikan menjadi APTS, infark
miokard akut dengan ST-elevasi (STEMI) dan infark miokard akut tanpa STelevasi (NSTEMI).
2.3.1. Infark Miokard Akut dengan ST Elevasi (STEMI)
STEMI adalah sindroma klinis yang terjadi karena oklusi akut arteri
koroner akibat thrombosis intrakoroner yang berkepanjangan sebagai akibat
rupture plak aterosklerosis pada dinding koroner epikardial. Kerusakan miokard
bergantung pada ada atau tidak kolateral, luas wilayah miokard yang diperdarahi
pembuluh darah yang tersumbat, letak dan lama sumbatan aliran darah.
10
Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang
menetap (Dorlan, 2002). Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan tekanan
darah sistolik normal dibawah 120 mmHg dan tekanan darah diastolik dibawah 80
mmHg. Hipertensi dikategorikan menjadi dua grade yaitu dengan katergori
hipertensi grade 1 dan hipertensi grade 2 (Fuster et al, 2010).
11
Kategori
Tekanan Darah
Tekanan Darah
Normal
<120
Dan
<80
120-139
Dan
81-89
Tingkat 1
140-159
Atau
90-99
Tingkat 2
160
Atau
100
Prehipertensi
Hipertensi
Lipid
Lipid atau lemak mempunyai beberapa komponen yaitu kolesterol,
12
asam lemak yang dapat langsung digunakan sebagai zat energi. VLDL dibentuk di
hati kemudian mengikat kolesterol yang ada pada lipoprotein lain dalam sirkulasi
darah. VLDL bertambah berat dan menjadi LDL. HDL berfungsi mengambil
kolesterol dan fosfolipid yang ada di dalam aliran darah lalu menyerahkannya ke
lipoprotein lain untuk diangkut kembali ke hati guna diedarkan kembali atau
dikeluarkan dari tubuh (Almatsier, 2004).
Hiperlidemia merupakan meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah
(Dorland,
2002).
Secara
klinis,
hiperlipidemia
dinyatakan
sebagai
13
Kelahiran
20,6
7,5
a. Hiperkolesteremia
4,1
0,7
b. Hipertrigliserida
5,2
2,7
c. Campuran
11,3
4,1
2. Poligenik hiperkolesterolemia
5,5
5,5
3. Sporadik hiperkolesterolemia
5,8
6,9
1. Monogenik hiperlipidemia
Merokok
Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar pada
penyakit tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001, jumlah perokok di
Indonesia sebesar 31,8%. Jumlah ini meningkat menjadi 32% pada tahun 2003,
dan meningkat lagi menjadi 35% pada tahun 2004. Pada tahun 2006, The Global
Youth Survey (GYTS) melaporkan 64,2% atau 6 dari 10 anak sekolah yang
disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga
(37,3%) pelajar biasa merokok, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9%
atau 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah
10 tahun. Data Riset Riskesdas 2007 juga memperlihatkan tingginya penduduk
yang merokok. Jumlah perokok aktif penduduk umur > 15 tahun adalah 35.4%
(65.3% laki-laki dan 5.6% wanita), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok
aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama
anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan
(Depkes, 2007).
Merokok dapat merubah metabolisme, khususnya dengan meningkatnya
kadar kolersterol darah dan di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya
kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya
penyakit jantung koroner (Waspadji, 2003).
14
Rasio Insiden
Bukan perokok
58
71
Perokok sigaret
Sekitar bungkus per hari
104
120
183
15
d.
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik,
16
Umur
DM
DM
Jumlah Kematian
Jumlah Kematian
20 29 tahun
0,0
0,0
30 39 tahun
0,0
12,5
40 49 tahun
0,0
16
25,0
50 59 tahun
17
17,6
45
17,8
60 69 tahun
33,3
31
19,3
14
42,8
29
6,9
40
11
70 tahun
131
21 P<0,01
Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolik
atau
sindrom
resistensi
insulin
yang
terdiri
dari
17
Tabel 2.6. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT
Menurut WHO
Klasifikasi
IMT (kg/m)
<18,5
Kisaran Normal
18,5 24,9
>25
Pra-Obes
25,0 29,9
Obes Tingkat I
30,0 34,9
Obes Tingkat II
35,0 39,9
>40
PJK
Kontrol
< 25
24
51,1
34
72,3
25 30
23
48,9
13
27,7
47
100,0
47
100,0
> 30
Jumlah
Sumber : Waspadji, 2003
f.
Stres
Stres, baik fisik maupun mental merupakan faktor risiko untuk penyakit
jantung koroner. Pada masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab
utama stres dan terdapat hubungan yang saling berkaitan antara stres dan
18
g.
menunjukkan ada hubungan kuat antara aktivitas fisik dengan penyakit koroner.
Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkatan aktivitas fisik seseorang, semakin
banyak seseorang melakukan aktivitas fisik semakin rendah risiko terjadinya
penyakit jantung koroner.
Menurut penelitian Supriyono (2008), latihan fisik dapat meningkatan
curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ
yang aktif. Olahraga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik,
menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan
lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, dan memperbaiki sirkulasi
koroner. Akibat kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan kegemukan maka
akan menyebabkan orang yang kurang aktivitas menjadi gemuk. Pada umumnya
seseorang yang gemuk kurang aktif daripada seseorang dengan berat badan
normal (Waspadji, 2003).
Usia
Pada penelitian Hanafiah (1993) terjadi peningkatan pasien infrak miokard
akut (IMA) di bawah usia 45 tahum dari 7% (1985) menjadi 18% (1991) dan
mayoritas penderita IMA adalah pria dibawah usia 45 tahun. Laki-laki ( 30 45
tahun) mengalami SKA lebih banyak daripada perempuan (setelah menopause,
insidennya meningkat pada perempuan) (Russ dan Fagan, 2002). Hal ini
dikarenakan kadar kolesterol perempuan sebelum menopause (45-60 tahun) lebih
rendah daripada laki-laki dengan usia yang sama.
Dari survei Waspadji (2003), memperlihatkan bahwa penderita penyakit
jantung koroner banyak diderita pada usia antara 50-59 tahun. Pada usia 30-39
19
tahun telah dijumpai penderita penyakit jantung koroner. Pada umur tersebut telah
terjadi komplikasi plak-plak dalam pembuluh darah dan dapat mengalami
perkapuran. Plak-plak ini terus meningkat dengan bertambahnya umur.
Tabel 2.8. Golongan Usia pada Penderita Penyakit Jantung Koroner dan
Kontrol
Golongan Umur
PJK
Kontrol
30 39
12,8
12,8
40 49
17,0
17,0
50 59
20
42,5
20
42,5
60 69
12,8
12,8
70
14,9
14,9
Jumlah
47
100,0
47
100,0
Jenis Kelamin
Laki-laki mengalami sindrom koroner akut lebih banyak daripada
20
c.
Suku / Ras.
Pada kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki
mendominasi kematian akibat penyakit jantung koroner, tetapi lebih nyata pada
kulit putih dan lebih serinditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua.
Onset penyakit jantung koroner pada wanita kulit putih umumnya 10 tahun lebih
lambat dibanding pria, dan pada wanita kulit berwarna lebih lambat sekitar 7
(tujuh) tahun. Insidensi kematian dini akibat penyakit jantung koroner pada orang
Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan
juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibia (Supriyono, 2008).
d.
2.5.
Pencegahan
Pencegahan merupakan salah satu upaya menurunkan angka kejadian
21