Anda di halaman 1dari 13

1

SINDROMA ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID


Romi Ermawan
Joewono Soeroso
PENDAHULUAN
Sindroma antibodi antifosfolipid adalah sekumpulan gejala klinis yang ditandai
dengan terdapatnya antibodi antifosfolipid di dalam plasma disertai dengan riwayat kejadian
trombosis dan/atau morbiditas kehamilan (Austin et al 2006, Pasquali et al 2008, Urbanus et
al 2008, George et al 2009).
Sindroma antibodi antifosfolipid merupakan penyebab utama terjadinya trombofilia
yang berhubungan dengan trombosis pada arteri dan/atau vena, seperti deep vein
thrombosis (DVT), emboli paru, trombosis arteri koroner, trombosis serebrovaskuler,
transient ischemic attack (TIA) dan trombosis vaskuler plasenta (Gezer 2003).
Angka prevalensi sindroma antibodi antifosfolipid terutama pada individu yang
asimtomatik sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti. Montpellier Antiphospholipid
Study merupakan penelitian pertama yang menyatakan bahwa diantara para responden yang
telah dinyatakan positif memiliki antibodi antifosfolipid, hanya 28% diantaranya yang
memiliki manifestasi klinis sindroma antibodi antifosfolipid. Namun para responden
selanjutnya tidak dilakukan pengamatan lebih lanjut (Gezer 2003). Pada penelitian yang lain,
dari sebuah survei terhadap 100 orang penderita emboli paru dan deep vein thrombosis
(DVT), 24 % diantaranya didapatkan antibodi antikardiolipin. Ini menyimpulkan bahwa
antibodi antikardiolipin cukup banyak dijumpai, sehingga jika ditemukan kasus emboli paru
dan deep vein thrombosis (DVT) yang tidak jelas etiologinya maka antibodi
antifosfolipid seharusnya diperiksa (Gezer 2003).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap penderita lupus eritematosus sistemik,
prevalensi antibodi antifosfolipid lebih tinggi, berkisar 12%-30% untuk antibodi
antikardiolipin dan 15%-34% untuk antibodi antikoagulan lupus. Antibodi antifosfolipid dapat
meningkat prevalensinya menjadi 15%-86% jika penderita lupus eritematosus sistemik yang
memiliki antibodi antifosfolipid dilakukan pengamatan lebih lanjut selama 20 tahun (Gezer
2003, Austin 2006).
PATOGENESIS
Patogenesis sindroma antibodi antifosfolipid sampai dengan saat ini belum diketahui
dengan pasti. Sejauh ini mekanisme terjadinya sindroma antibodi antifosfolipid berhubungan
erat dengan mekanisme sistem koagulasi seperti yang tertera pada Gambar-1.
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR-RSUD Dr.Soetomo
Surabaya, 23 Maret 2010

Gambar-1. Mekanisme sistem koagulasi (Konkle et al 2008)


Fosfolipid merupakan komponen utama pembentuk membran sel yaitu sekitar 50%
(Soebandiri 2003). Fosfolipid mempengaruhi mekanisme sistem koagulasi pada 2 tempat,
yaitu pada jalur intrinsik dan jalur utama. Fosfolipid ikut memegang peranan dalam
meneruskan ataupun menghambat reaksi koagulasi. Keadaan patologis tertentu yang
mengganggu fungsi fosfolipid dapat mencetuskan reaksi koagulasi yang berlebihan dan
mendasari terjadinya mekanisme trombosis yang patologis (Gezer 2003, Meroni 2008).
Teori terakhir yang berusaha menjelaskan patogenesis sindroma antibodi antifosfolipid
adalah teori ikatan antara antibodi antifosfolipid dengan protein plasma terikat fosfolipid.
Dengan kata lain, antibodi antifosfolipid sebenarnya tidak bereaksi secara langsung dengan
fosfolipid itu sendiri (Austin et al 2006, Robertson et al 2006, Koike et al 2007). Protein
plasma terikat fosfolipid tersebut diantaranya adalah 2 glycoptrotein 1 (2GP1),
prothrombin, protein C, protein S, annexin V dan faktor koagulasi XII. Dari
protein-protein plasma tersebut, 2GP1 adalah protein plasma yang terpenting (Robertson et al
2006, Pasquali et al 2008).
Pada keadaan fisiologis, 2GP1 dalam bentuk yang tidak aktif beredar bebas di dalam
sirkulasi dan bentuk tidak aktif ini tidak diketahui fungsinya. Ketika 2GP1 membentuk ikatan
dengan fosfolipid maka protein plasma tersebut akan berubah menjadi bentuk yang aktif.
Ikatan antara 2GP1 bentuk aktif dengan fosfolipid ini memberikan efek proteksi dan

antikoagulan yang alami pada endotel pembuluh darah (Koike et al 2007). Namun pada
keadaan patologis, antibodi antifosfolipid membentuk ikatan dengan 2GP1 bentuk aktif
menjadi suatu kompleks antibodi-2GP1 dan mengaktifkan sel-sel endotel untuk meneruskan
reaksi koagulasi (Urbanus et al 2008). Terbentuknya kompleks antibodi-2GP1 juga
mengurangi efek proteksi terhadap membran sel, sehingga ikatan tersebut mengakibatkan
rusaknya membran-membran sel seperti sel endotel pembuluh darah dan sel-sel darah di
sekitarnya yang pada akhirnya mengakibatkan keluarnya bahan-bahan yang dapat
meningkatkan proses trombosis, yaitu (Soebandiri 2003):
1. Pemaparan faktor von Willebrand yang memudahkan proses adhesi sel trombosit.
2. Gangguan metabolisme asam arakidonat sel endotel yang mengakibatkan prostasiklin
menurun dan tromboksan 2 meningkat.
3. Menurunnya produksi trombomodulin dan berkurangnya aktivasi protein C.
4. Menurunnya produksi glycose aminoglycan (GAG) yang mengakibatkan penurunan
kofaktor antithrombin III (AT III) yang pada akhirnya menurunkan aktivitas AT III.
5. Menurunnya produksi tissue plasminogen activator (t-PA) yang mengakibatkan
fibrinolisis menurun.
6. Meningkatnya produksi

plasminogen

activator

inhibitor

(PAI

1)

yang

mengakibatkan fibrinolisis menurun.


7. Meningkatnya tissue factor yang dilepas sehingga aktivasi jalur ekstrinsik mekanisme
sistem koagulasi meningkat.
Kompleks antibodi-2GP1 dapat melepaskan diri dari ikatannya dengan fosfolipid,
kemudian beredar bebas di dalam sirkulasi darah dan mampu berikatan dengan berbagai
macam reseptor sel, diantaranya adalah sel monosit, sel trombosit dan sel endotel yang lain
(Austin et al 2006, Koike et al 2007, Meroni 2008, Urbanus et al 2008, George et al 2009).
Ikatan kompleks antibodi-2GP1 dengan reseptor sel trombosit selain meningkatkan agregasi
trombosit yang pada akhirnya juga akan meningkatkan proses trombosis, juga mengakibatkan
rusaknya sel trombosit yang menyebabkan terjadinya trombositopenia yang pada akhirnya
dapat memberikan manifestasi perdarahan (Soebandiri 2003). Mekanisme pengikatan antibodi
antifosfolipid dan 2GP1 dijelaskan dalam Gambar-2.
Berdasarkan etiologi, sindroma antibodi antifosfolipid dibagi atas dua jenis, yaitu
sindroma antibodi antifosfolipid primer jika tidak didapatkan penyakit lain yang mendasari,
dan sindroma antibodi antifosfolipid sekunder jika didapatkan penyakit autoimun, keganasan,
infeksi, inflamasi dan penggunaan obat-obatan yang mendasari (Gezer 2003, Kalim 2003,
Austin et al 2006, Pasquali et al 2008, George et al 2009). Sedangkan berdasarkan manifestasi
klinisnya, sindroma ini dibagi atas 6 tipe (Soebandiri 2003), yaitu:

Tipe I: Sindroma antibodi antifosfolipid primer yang disertai trombosis pembuluh


darah perifer seperti deep vein thrombosis (DVT) dengan/tanpa emboli paru.

Tipe II: Sindroma antibodi antifosfolipid primer yang disertai trombosis di pembuluh
darah retina dan/atau otak, seperti gangguan visus, cerebro vascular attack (CVA)

trombosis pada usia muda, transient ischemic attack (TIA) dan sebagainya.
Tipe III: Sindroma antibodi antifosfolipid primer yang disertai trombosis pembuluh
darah jantung dan/atau arteri besar, seperti infark miokard usia muda, trombosis arteri

karotis dan sebagainya.


Tipe IV: Sindroma antibodi antifosfolipid primer yang disertai gejala kombinasi

antara tipe I, tipe II dan tipe III.


Tipe V: Sindroma antibodi antifosfolipid primer yang disertai trombosis di plasenta,
yang mengakibatkan timbulnya morbiditas kehamilan seperti eklamsia dini, intra

uterine growth restriction (IUGR), intra uterine fetal death (IUFD) dan sebagainya.
Tipe VI: Sindroma antibodi antifosfolipid primer dengan/tanpa trombosis di tempat
lain selain yang disebut diatas.

Gambar-2. Patofisiologi sindroma antibodi antifosfolipid (Urbanus et al 2008)


Sampai dengan saat ini, cukup banyak antibodi yang dicurigai ikut berperan sebagai
antibodi antifosfolipid namun hanya 3 diantaranya yang sudah dipastikan memiliki hubungan
yang erat dengan patogenesis sindroma ini. Tiga antibodi tersebut adalah antikoagulan lupus,
antibodi antikardiolipin, dan antibodi anti-2GP1 (Austin et al 2006, Roldan et al 2008,
Urbanus et al 2008, George et al 2009).

Beberapa penelirian juga menyimpulkan bahwa keberadaan antibodi antifosfolipid


tertentu sangat erat kaitannya dengan faktor resiko tertentu. Keberadaan antikoagulan lupus
merupakan faktor resiko yang kuat untuk terjadinya trombosis. Antibodi kardiolipin
menunjukkan kecenderungan terjadinya trombosis lebih mengarah kepada arteri, sedangkan
antibodi anti-2GP1 lebih mengarah kepada vena (Austin et al 2006, Robertson et al 2006).
MANIFESTASI KLINIS
Trombosis Vaskuler Sistemik
Tromboemboli pada arteri dan vena dapat terjadi secara spontan. Pada sebuah
penelitian secara radiologik didapatkan 59% trombosis terjadi di vena, 28% trombosis terjadi
di arteri, dan 13% trombosis melibatkan baik arteri dan vena. Sedangkan manifestasi klinis
terbanyak adalah deep vein thrombosis (DVT) pada extrimitas bawah, dengan
prevalensi 29%-55% pada penderita dengan pengamatan setidaknya selama 6 tahun.
Trombosis dapat meningkat secara spontan jika disertai faktor predisposisi seperti stasis
vaskuler, tindakan pembedahan dan penggunaan obat kontrasepsi oral (Gezer 2003, Austin et
al 2006, Robertson et al 2006, George et al 2009).
Stroke dan Gejala Neurologis Lainnya
Otak adalah salah satu organ yang paling banyak terkena dampak sindroma antibodi
antifosfolipid dengan serangan stroke dan transient ischemic attack (TIA) dengan
prevalensi sekitar 50% untuk trombosis arteri (Robertson et al 2006, George et al 2009).
Sindroma ini sebaiknya harus dicari pada penderita serangan stroke dan transient
ischemic attack (TIA) yang tidak memiliki faktor resiko dan pada penderita usia muda.
Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa sekitar 44% pasien iskemia otak yang berusia
dibawah 51 tahun positif memiliki titer antibodi antifosfolipid yang signifikan. Meskipun
demikian, tidak semua manifestasi neurologis ini disebabkan oleh trombosis, tetapi dapat juga
merupakan proses emboli sekunder akibat kelainan katub jantung yang disebabkan oleh
sindroma antibodi antifosfolipid (Gezer 2003, Austin et al 2006). Beberapa manifestasi
neurologis yang jarang terjadi adalah gangguan kognitif, demensia, korea, myelopathy dan
migrain dengan mekanisme yang belum dipahami dengan pasti (Pasquali et al 2008).
Manifestasi Kardiovaskuler
Manifestasi yang paling sering terjadi pada sistem kardiovaskuler adalah penyakit
katub jantung, infark miokard, trombus intrakardiak dan mikrotrombosis miokard (George et
al 2009). Antibodi kardiolipin dapat menyebabkan terjadinya infark miokard pada penderita
muda melalui proses trombosis arteri koroner. Keberadaan antibodi antifosfolipid harus
dipertimbangkan pada penderita penyakit jantung koroner yang sedikit sekali memiliki faktor

resiko. Sindroma antibodi antifosfolipid juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya stenosis
berulang pada tindakan percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA).
Kelainan katub jantung yang sering ditemui berupa vegetasi katub jantung yang kaya akan
fibrin dan trombosit yang umumnya mengenai katub mitral dan katub aorta. Kelainan katub
yang lain berupa penebalan katub dengan manifestasi regurgitasi dan stenosis (Gezer 2003,
Mandell et al 2008, Roldan et al 2008). Sedangkan mikrotrombus miokard lebih jarang terjadi
dan disebabkan oleh sindroma antifosfolipid katastropik (George et al 2009).
Manifestasi Ginjal
Sindroma renal akhir-akhir ini banyak dilaporkan berhubungan dengan sindroma
antibodi antifosfolipid, meliputi mikroangiopati trombotik, trombosis vena renalis, infark
renal, stenosis arteri renalis disertai hipertensi, meningkatnya trombosis vaskuler dan
menurunnya keberhasilan alograf renal (Gezer 2003).
Manifestasi Paru
Trombosis spontan pada pembuluh darah paru dapat terjadi dan menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal dan vaskulopati pulmonal non inflamasi. Manifestasi paru
yang lain seperti sesak napas dan sindroma distres napas juga sering dijumpai pada sindroma
antifosfolipid katastropik (Gezer 2003).
Manifestasi Kulit
Manifestasi yang utama adalah livedo retikularis, yaitu erupsi yang terjadi biasanya di
kulit lengan, kaki dan badan, umumnya berbentuk retikuler, berwarna merah dan menetap.
Jika dilakukan biopsi akan menunjukkan oklusi dari arteri kecil dan sedang tetapi tidak
didapatkan tanda-tanda inflamasi (Pasquali et al 2008).
Manifestasi Gastrointestinal
Gejala terbanyak disebabkan oleh trombosis arteri atau vena, meliputi sindroma BuddChiari, iskemia dan infark intestinal, ulserasi kolon, nekrosis dan perforasi esofagus, infark
hepar, kolesistitis akalkulosa disertai nekrosis kandung empedu, dan trombosis vena porta dan
vena mesenterika (Gezer 2003).
Manifestasi Obstetrik
Sindroma antibodi antifosfolipid berhubungan dengan morbiditas pada kehamilan,
meliputi abortus, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, preeklamsia, eklamsia,
hemolytic anemia, elevated liver enzymes and low platelet counts
syndrome (HELLP syndrome) dan lahir mati (George et al 2009). Setidaknya 15% wanita
dengan riwayat gangguan kehamilan berulang ternyata didapatkan antibodi antifosfolipid
yang positif pada plasmanya. Sindroma antibodi antifosfolipid memiliki prevalensi yang sama

besar sebagai penyebab abortus jika dibandingkan dengan kejadian trombosis. Wanita dengan
sindroma antibodi antifosfolipid

memiliki insiden keguguran yang tinggi, biasanya

ditemukan pada usia kehamilan diatas 10 minggu. Abortus pada trimester pertama dan
kematian janin di trimester kedua dan ketiga disebabkan oleh trombosis plasenta (Gezer 2003,
Austin et al 2006).
Sindroma Antifosfolipid Katastropik
Sindroma antifosfolipid katastropik merupakan manifestasi klinis dari sindroma
antibodi antifosfolipid yang melibatkan setidaknya 3 sistem organ yang berbeda dalam satu
periode hari atau minggu (Roldan et al 2008). Hal ini disebabkan karena mikrotrombus yang
menyebar secara luas di vascular bed yang multipel. Penderita dengan sindroma
antifosfolipid katastropik dapat mengalami tromboemboli vena yang masif disertai gagal
napas, stroke, kadar enzim liver yang abnormal, gangguan fungsi ginjal, insufisiensi adrenal,
dan infark kulit. Ginjal adalah organ yang paling sering terlibat sekitar 70%, diikuti paru 66%,
sistem saraf pusat 60%, jantung 52% dan kulit 47%. Sindroma antifosfolipid katastropik
merupakan manifestasi yang sangat jarang terjadi (Gezer 2003, Austin et al 2006, Robertson
et al 2006, George et al 2009).
KRITERIA DIAGNOSTIK
Berdasarkan Kongres Internasional Antibodi Antifosfolipid yang ke 11 di Sidney
tahun 2006, diagnosis sindroma antibodi antifosfolipid dapat ditegakkan dengan memenuhi
setidaknya 1 dari 2 kriteria klinis dan 1 dari 3 kriteria laboratoris, melalui kriteria sebagai
berikut (Pasquali et al 2008, George et al 2009):
A.

Kriteria Klinis
1. Trombosis vaskuler

Didapatkan satu atau lebih episode trombosis arteri, vena, atau arteriol, pada
jaringan atau organ. Trombosis harus dibuktikan dengan kriteria obyektif yang
tervalidasi seperti pemeriksaan radiologi atau histopatologi. Untuk pemeriksaan
histopatologi harus disingkirkan adanya inflamasi dinding pembuluh darah.
2. Morbiditas kehamilan
a. Didapatkan satu atau lebih kematian janin yang secara morfologi dinyatakan

normal pada saat atau menjelang usia kehamilan 10 minggu, dimana janin
yang secara morfologi dinyatakan normal tersebut dibuktikan dengan
pemeriksaan ultrasound atau melalui pemeriksaan langsung terhadap janin.
atau
b. Didapatkan satu atau lebih kelahiran prematur yang secara morfologi

dinyatakan sebagai neonatus normal sebelum usia kehamilan 34 minggu, yang

dapat disebabkan oleh: (i) eklamsia atau pre-eklamsia berat yang ditegakkan
melalui prosedur yang standar, atau (ii) insufisiensi plasenta.
atau
c. Didapatkan tiga atau lebih

abortus spontan sebelum usia kehamilan 10

minggu, dimana abnormalitas anatomi maternal dan hormonal serta kelainan


kromosom maternal dan paternal sudah dapat disingkirkan.
B.

Kriteria Laboratoris
1. Didapatkan antikoagulan lupus di dalam plasma, pada dua kali atau lebih

pemeriksaan dalam periode 12 minggu, dengan menggunakan metode yang sesuai


dengan The Guidelines of International Society on Thrombosis and
Haemostasis.
2. Didapatkan IgM dan/atau IgG antikardiolipin di dalam plasma, dengan hasil titer

sedang atau tinggi, pada dua kali atau lebih pemeriksaan yang terstandar ELISA
dalam periode 12 minggu.
3. Didapatkan IgM dan/atau IgG anti-2GP1 di dalam plasma, pada dua kali atau

lebih pemeriksaan yang terstandar ELISA dalam periode 12 minggu, sesuai dengan
prosedur yang direkomendasikan.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Untuk menegakkan diagnosis sindroma antibodi antifosfolipid setidaknya satu dari
tiga kriteria laboratoris harus terpenuhi, yaitu pemeriksaan antikoagulan lupus, antibodi
antikardiolipin dan antibodi anti-2GP1. Untuk pemeriksaan antibodi antikardiolipin dan
antibodi anti-2GP1 sudah bisa dilakukan pemeriksaan secara langsung dengan mengukur
kadar IgM dan IgG di dalam plasma, akan tetapi untuk mengukur antikoagulan lupus
dilakukan dengan cara yang tidak langsung (Gezer 2003).
Fosfolipid memberi pengaruh dalam meneruskan atau menghambat reaksi koagulasi
pada jalur intrinsik dan jalur utama. Untuk mengukur antikoagulan lupus maka dilakukan
pengukuran terhadap abnormalitas yang terjadi pada jalur intrinsik dan jalur utama tersebut
(Gezer 2003, Austin et al 2006). Pemeriksaan untuk mengukur antikoagulan lupus adalah
(Kalim 2002, Gezer 2003, Robertson et al 2006):
1. Pemeriksaan activated partial thromboplastin time (aPTT)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui gangguan jalur intrinsik.


2. Pemeriksaan kaolin clotting time (KCT)

Pemeriksaan ini serupa dengan aPTT yaitu untuk mengetahui gangguan jalur intrinsik.
3. Pemeriksaan diluted Russell viper venom time (dRVVT)

Pemeriksaan ini memanfaatkan bisa ular untuk mengaktifkan faktor pembekuan X


pada jalur utama.
PENATALAKSANAAN
Sejauh

ini

penatalaksanaan

sindroma

antibodi

antifosfolipid

dibagi

atas

penatalaksanaan profilaksis, penatalaksanaan setelah kejadian trombosis dan penatalaksanaan


pada komplikasi kehamilan (Gezer 2003).
Penatalaksanaan Profilaksis
1. ASA

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dosis ASA reguler 325 mg sehari tidak
memberikan

perlindungan yang

bermakna

Deep

terhadap kejadian

Vein

Thrombosis (DVT) dan emboli paru pada penderita laki-laki dengan antibodi
antikardiolipin yang positif, namun ASA mampu memberikan perlindungan yang
bermakna pada penderita wanita yang mengalami keguguran (Gezer 2003, Tuthill et al
2009).
2. Hidroksiklorokuin

Hidroksiklorokuin memberikan manfaat perlindungan terhadap serangan trombosis


pada penderita lupus eritemaosus dan sindroma antibodi antifosfolipid (Gezer 2003).
Hidroksiklorokuin memiliki efek anti inflamasi dan efek antitrombotik dengan cara
menghambat agregasi trombosit dan menghambat pelepasan asam arakidonat yang
merangsang aktivasi trombosit (Ruiz-Irastora et al 2007, George et al 2009).
3. Statin

Statin terbukti memberikan perlindungan terhadap serangan trombosis melalui


mekanisme penghambatan interleukin-6 dan proses adhesi molekul-molekul, yang
pada akhirnya mencegah aktivasi sel-sel endotel. Statin juga memiliki efek pleotropik
dan anti inflamasi (George et al 2009).
4. Mengurangi faktor resiko kardiovaskuler

Mencari dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler merupakan hal yang sangat
penting dalam mencegah serangan trombosis dan menekan morbiditas kehamilan.
Penanganan dalam menekan faktor resiko tersebut meliputi menghentikan kebiasaan
merokok,

menghindari

penggunaan

kontrasepsi

oral

dan

terapi

hormon,

mengendalikan diabetes melitus, hipertensi dan dislipidemia, penanganan paska


operasi, serta penanganan paska imobilisasi lama seperti penderita yang baru melalui
perjalanan udara yang panjang (Tuthill et al 2009).
Algoritma penatalaksanaan profilaksis dapat dilihat pada Gambar-3.
Penatalaksanaan Setelah Kejadian Trombosis

10

Sejauh ini penatalaksanaan kejadian trombosis pada sindroma antibodi antifosfolipid


tidak berbeda dengan penatalaksanaan kejadian trombosis pada umumnya (Gezer 2003,
Pasquali et al 2008). Oleh karena itu, penatalaksanaan harus segera dimulai tanpa menunggu
pemeriksaan laboratoris antibodi antifosfolipid (Austin et al 2006).
1. Terapi antikoagulan

Injeksi low molecular weight heparin (LMWH) diberikan sebagai penanganan


awal serangan tromboemboli, dilanjutkan dengan pemberian warfarin secara oral.
Lama pemberian LMWH bergantung kepada adanya faktor resiko tambahan, lokasi
serangan, tingkat keparahan dan komplikasi dari serangan sebelumnya, usia, dan
resiko perdarahan yang ditimbulkan akibat terapi. Penggunaan warfarin oral
merupakan terapi profilaksis yang efektif dalam mencegah terjadinya serangan
trombosis berulang (Gezer 2003, Austin et al 2006). Untuk memantau intensitas terapi
warfarin, pemeriksaan International Normalized Ratio (INR) perlu dilakukan
secara berkala dan dipertahankan sesuai dengan tingkat resiko serangan yang dimiliki
oleh penderita. Untuk tingkat resiko rendah INR dipertahankan 2.0 3.0, sedangkan
untuk tingkat resiko tinggi INR dipertahankan 3.0 4.0 Penggunaan warfarin oral ini
merupakan terapi jangka panjang atau lebih tepatnya seumur hidup (Robertson et al
2006, Ruiz-Irastora et al 2007, Tuthill et al 2009).
2. Terapi kombinasi

Pada sindroma antifosfolipid katastropik, penggunaan terapi tunggal antikoagulan


seringkali mengalami kegagalan dalam mencegah serangan trombosis multipel
berulang. Oleh karena itu terapi kombinasi antara antikoagulan, steroid, plasmaferesis
dan injeksi gamaglobulin intravena memberikan perlindungan yang paling baik bagi
penderita dengan sindroma antifosfolipid katastropik (Gezer 2003).
3. Terapi fibrinolitik

Penggunaan terapi fibrinolitik diperlukan untuk kondisi-kondisi tertentu diantaranya


adalah trombosis yang ekstensif di vena iliaka yang menyebar ke vena cava, stroke
iskemia akut ataupun infark miokard (Gezer 2003).
Algoritma penatalaksanaan setelah kejadian trombosis dapat dilihat pada Gambar-4.
Penatalaksanaan pada Komplikasi Kehamilan
Pemberian injeksi low molecular weight heparin (LMWH) dan ASA oral secara
signifikan dapat membawa kepada angka kelahiran hidup yang lebih tinggi pada penderita
dengan komplikasi kehamilan berulang. ASA oral segera dimulai pemberiannya setelah
penderita dinyatakan positif hamil sedangkan heparin diberikan setelah jantung janin
dipastikan sudah berfungsi (Austin et al 2006, Robertson et al 2006, Ruiz-Irastora et al 2007,

11

Pasquali et al 2008, George et al 2009). Pada wanita hamil yang secara tidak disengaja
ditemukan antibodi antifosfolipid namun tidak memiliki riwayat kelainan secara klinis, tidak
memerlukan terapi (Gezer 2003). Algoritma penatalaksanaan pada komplikasi kehamilan
dapat dilihat pada Gambar-5.

Gambar-3. Algoritma penatalaksanaan profilaksis (Tuthill et al 2009)

12

Gambar-4. Algoritma penatalaksanaan setelah kejadian trombosis (Tuthill et al 2009)


Gambar-5. Algoritma penatalaksanaan pada komplikasi kehamilan (Tuthill et al 2009)
RINGKASAN
Sindroma antibodi antifosfolipid adalah sekumpulan gejala klinis yang ditandai
dengan terdapatnya antibodi antifosfolipid di dalam plasma, yaitu antikoagulan lupus,
antibodi antikardiolipin, dan antibodi anti-2GP1, disertai dengan riwayat kejadian trombosis
dan/atau gangguan kehamilan. Diagnosis sindroma antibodi antifosfolipid dapat ditegakkan
dengan memenuhi setidaknya 1 dari 2 gejala klinis yaitu trombosis vaskuler dan morbiditas
kehamilan, dan didapatkan setidaknya 1 dari 3 antibodi antifosfolipid.
Penatalaksanaan sindroma antibodi antifosfolipid dibagi atas penatalaksanaan
profilaksis dengan menggunakan ASA, hidroksiklorokuin dan statin, penatalaksanaan setelah
kejadian trombosis dengan menggunakan antikoagulan dan fibrinolitik, dan penatalaksanaan

13

pada kehamilan berupa kombinasi LMWH-ASA. Adapun sifat pengobatannya adalah seumur
hidup.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.
11.

12.

13.

14.
15.

Austin, S., Cohen, H. 2006, Antiphospholipid syndrome, Medicine, volume 34,


issue 11, pages 472-475.
George, D., Erkan, D. 2009, Antiphospholipid syndrome, Progress in
Cardiovascular Diseases, volume 52, issue 2, pages 115-125.
Gezer, S. 2003, Antiphospholipid syndrome, Disease-a-month, volume 49, issue
12, pages 696-741.
Kalim, H. 2002, Sindrom Antibodi Antifosfolipid, In: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 3rd ed, Editors: Noer, M.S., Waspadji, S., Rachman, A.M., Lesmana,
L.A., Widodo, D., Isbagio, H., et al., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pages 162-171.
Koike, T., Bohgaki, M., Amengual, O., Atsumi, T. 2007, Antiphospholipid antibodies:
Lessons from the bench, Journal of Autoimmunity, volume 28, issues 2-3, pages
129-133.
Konkle, B.A., Simon, D., Schafer., A.I., 2008, Hemostasis, Thrombosis,
Fibrinolysis and Cardiovascular Disease, In: Braunwalds Heart Disease:
A Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed, Editors: Libby, P., Bonow, R.O.,
Mann, D.L., Zipes, D.P., Saunders Elsevier, Philadelphia, pages 2049-2054.
Mandell, B.F., Hoffman, G.S. 2008, Rheumatic Disease and The
Cardiovascular System, In: Braunwalds Heart Disease: A Textbook of
Cardiovascular Medicine, 8th ed, Editors: Libby, P., Bonow, R.O., Mann, D.L.,
Zipes, D.P., Saunders Elsevier, Philadelphia, pages 2098-2099.
Meroni, P.L. 2008, Pathogenesis of the antiphospholipid syndrome: An additional
example of the mosaic of autoimmunity, Journal of Autoimmunity, volume 30,
issues 1-2, pages 99-103.
Pasquali, J.L., Poindron, V., Korganow, A.S., Martin, T. 2008, The antiphospholipid
syndrome, Best Practice & Research Clinical Rheumatology, volume 22, issue
5, pages 831-845.
Robertson, B., Greaves, M. 2006, Antiphospholipid syndrome: An evolving story,
Blood Reviews, volume 20, issue 4, pages 201-212.
Roldan, J.F., O'Rouke, R.A., Roberts, W.C. 2008, The Connective Tissue
Diseases and The Cardiovascular System, In: Hursts the Heart, vol 2, 12th
ed, Editors: Fuster, V., ORouke, R.A., Walsh, R.A., Poole-Wilson, P., et al., McGrawHill, page 2050.
Ruiz-Irastorza, G., Khamashta, M.A. 2007, The treatment of antiphospholipid
syndrome: A harmonic contrast, Best Practice & Research Clinical Rheumatology,
volume 21, issue 6, pages 1079-1092.
Soebandiri. 2003, Penatalaksanaan Sindroma Anti-Phospholipid, in: Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XVIII Ilmu Penyakit Dalam 2003, Editors: Adi, S.,
Sutjahjo, A., Tjokroprawiro, A., Yogiantoro, M., Setiawan, P.B., Surabaya, pages 68-75.
Tuthill, J.I., Khamashta, M.A. 2009, Management of antiphospholipid syndrome,
Journal of Autoimmunity, volume 33, issue 2, pages 92-98.
Urbanus, R.T., Derksen, R.H.M.W., de Groot, P.G. 2008, Current insight into
diagnostic and pathophysiology of the antiphospholipid syndrome, Blood Reviews,
volume 22, issue 2, pages 93-105.
----------oooO ooo----------

Anda mungkin juga menyukai