Anda di halaman 1dari 45

TUGAS RESPONSI ORTHOPEDI

CLOSE FRACTURE COLLUM FEMUR DEXTRA

Pembimbing :
dr. Bambang Sentanu, Sp.OT FICS

Oleh :
Made Surya Listyarini / 10700064

KEPANITERAAN KLINIK SMF BEDAH


BAGIAN ORTHOPEDI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD NGANJUK
2016

BAB I
RESPONSI KASUS

A. DATA DASAR PASIEN


I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. Wasis Sugondo

Alamat

: Sumber Windu, Kecamatan Berbek, Nganjuk

Umur

: 44 Tahun

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Wiraswasta

MRS

: 8 Mei 2016 pukul: 15.30 WIB

Tanggal Pemeriksaan : 8 Mei 2016


KRS

II.

: 12 Mei 2016

ANAMNESIS
Keluhan Utama

Nyeri pada paha kanan atas


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada bagian paha kanan atas setelah
jatuh dari tangga saat pasien membenarkan kabel listrik. ketinggian saat jatuh 2 meter,

saat jatuh posisi paha kanan atas membentur tangga. Kaki kanan pasien tidak bisa
diluruskan, apabila dicoba untuk diluruskan terasa nyeri sekali.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pada Tahun 2002 pasien mengalami patah tulang di paha kanan dengan kejadian
yang sama yaitu jatuh dari tangga dan sudah di operasi di RSUD nganjuk. Tahun 2006
pasien mengalami patah tulang pada bagian paha kiri bagian atas dan sudah dilakukan
operasi di RSUD nganjuk.
Riwayat Obat :
Pasien mengatakan tidak ada alergi obat.

III.

PEMERIKSAAN FISIK
a. Primary Survey
Airway

: Paten (tidak ada hambatan jalan nafas), pasien berbicara


dengan lancar.

Breathing

: Pergerakan dinding dada simetris, suara nafas vesikuler,


rhonki -/-, wheezing -/-, RR 20 x/menit

Circulation

: Akral hangat dan kering, TD : 130/80 mmHg, N : 84x/mnt,


capillary refill < 2 detik

Diasability

: Alert, KU : cukup, Kesadaran : Compos mentis, GCS


4-5-6

b. Secondary survey
Jejas (-), Hematome (-)
Kepala leher
Kepala

: a-/i-/c-/d-

Pupil isokor 3mm /3mm, reflek cahaya +/+


Dagu tampak simetris, edema (-)
Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran vena


Jugularis (-)

Thorax
I

: Pergerakan dinding dada simetris, jejas (-)

: Pergerakan nafas simetris, nyeri tekan (-)

: Sonor

: Cor
Pulmo

: S1S2 Tunggal regular, murmur (-), Gallop (-)


: Suara nafas vesikuler, Rhonki -/-. Wheezing -/-

Abdomen
I

: ekskoriasi (-), jejas (-), distended (-)

: soefel (+), Nyeri tekan (-), massa (-)

: tympani, nyeri ketuk (-)

: BU(+) N, Meteorismus (-)

Ekstremitas
Akral hangat
Edema : Ekstremitas atas (-), ekstermitas bawah (-)
Status Lokalis

Regio Femur Dextra :


L
: Deformitas (+), oedem (+)
F
: Nyeri (+), krepitasi (-)
M
: ROM terbatas

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 8 Mei 2016
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hasil
Leukosit

17.44

Normal Range
H

10^3/uL

3.80 - 10.60

Jumlah Eritrosit

5.28

106/uL

4.40 6.00

Hemoglobin

15.0

g/dL

13.2 17.3

Hematokrit

43.1

40.0 6.00

MCV

81.6

fL

80.0 100.0

MCH

28.4

pg

26.0 34.0

MCHC

34.8

g/L

32.0 -36.0

Trombosit

215

RDW-SD

40.4

fL

37 - 54

RDW-CV

13.7

11.0 15.00

RDW

12.0

fL

MPV

10.0

fL

P-LCR

24.5

PCT

0.21

KOAGULASI

10^3/uL

150 - 400

PT

9,8

(detik)

10,2 - 12,1

APPT

23,9

(detik)

24,9 - 34,42

PEMERIKSAAN KIMIA DARAH tanggal 9 Mei 2016

SGOT

29.3

U/L

<34

SGPT

51.1

U/L

<55

Glukosa Sewaktu

89

mg/dL

70 - 120

Ureum

19.3

mg/dL

15.0 43.0

Kreatinin

1.23

mg/dL

0.57 1.11

Asam Urat

6.0

mg/dL

2.6 6.0

B. PEMERIKSAAN FOTO RONTGEN

1. Foto Pelvis dan Femur D/S (Pre operasi), 8 Mei 2016

V. PENATALAKSANAAN IGD
1. Pasang bidai
2. Infus RL 14tpm
3. Injeksi Ketorolac 30 mg 3x1 Ampul
4. Cek DL,PT,APTT
5. Foto Pelvis dan Femur D/S

VI. RESUME
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada bagian paha kanan atas setelah
jatuh dari tangga saat pasien membenarkan kabel listrik. ketinggian saat jatuh 2 meter, saat
jatuh posisi paha kanan atas membentur tangga. Kaki kanan pasien tidak bisa diluruskan,
apabila dicoba untuk diluruskan terasa nyeri sekali.

Pada Tahun 2002 pasien mengalami patah tulang di paha kanan dengan kejadian yang
sama yaitu jatuh dari tangga dan sudah di operasi di RSUD nganjuk. Tahun 2006 pasien
mengalami patah tulang pada bagian paha kiri bagian atas dan sudah dilakukan operasi di
RSUD nganjuk.
Pada status lokalis didapatkan :
Regio Femur Dextra :
L
: Deformitas (+), oedem (-)
F
: Nyeri (+)
M
: ROM terbatas
Pada pemeriksaan hematologi didapatkan :
Leukosit

17.44

PT

9,8

APPT

23,9

10^3/uL

3.80 - 10.60

(detik)

10,2 - 12,1

(detik)

24,9 - 34,42

Pada pemeriksaan Foto Rontgen di dapatkan fraktur pada Collum Femur Dextra
Fraktur lama 1/3 medial femur dextra
Terpasang AMP pada collum femur sinistra
VII. DIAGNOSA
Close Fracture Collum Femur Dextra
Union 1/3 Medial Femur Dextra

VIII. PENATALAKSANAAN
Pro Operasi AMP (Austin More Hip Protese) / THR

IX. LAPORAN OPERASI

Diagnosa pra bedah

: Close fracture collum femur dextra

Diagnosa pasca bedah

: Close fracture collum femur dextra

Jenis Anaesthesi

: SAB (spinal arachnoid block)

Tindakan

: AMP (Austin More Hip Protese) / THR

Klasifikasi

: Elektif Khusus

PENATALAKSANAAN POST OPERASI


Post operasi dengan anaestesi oleh dr.Bambang,Sp.An:

O2 nasal 3 lpm

Kesadaran baik, mual muntah (-)


Minum sedikit-sedikit

Terapi post operasi dr.Bambang Sentanu,Sp.OT :

Infus RL/D5 2: 2

Inj.Dexketoprofen 3x1 ampul

Inj. Ceftizoxime 3x1 g

Observasi tanda - tanda vital

Observasi drain

Makan minum bebas

Foto Pelvis dan Femur D/S (Post operasi), 11 Mei 2016

X. RIWAYAT PERKEMBANGAN PASIEN

9 Mei 2016

S : nyeri pada paha kanan atas, post jatuh dari


tangga dan paha kanan terbentur tangga.

O : Kesadaran : Compos Mentis

GCS : 456

TD : 130/80 mmHg

N
: 92 x/mnt

RR

: 20 x/mnt

: 36,5oC

Konsul dr.Bambang Sentanu, SpOT


Pro operasi AMP
Inf. RL/D5 2 : 1
Inj. Dexketoprofen
3x1 ampul
Cek lab lengkap
Makan minum bebas
Konsul Anastesi :
Puasa 6 jam pre op
Inf. RL 80 CC/jam mulai puasa.

K/L : A-/I-/C-/DThorax : Cor : S1S2 Tunggal regular


Pulmo : Vesikuler, Rh-/-,Wh-/Abd

: soefel, BU (+) N, meteorismus (-)

Ekst

: akral hangat-kering

Status lokalis :
Regio Femur Dextra :
L
: Terpasang bidai
F
: Nyeri tekan(+)
M
: ROM terbatas
A : Close fraktur collum femur dextra
Union 1/3 Medial Femur Dextra
10 Mei 2016

S : nyeri pada paha kanan atas (+)

O : Kesadaran : Compos Mentis


GCS : 456

Terapi post op :

Infus RL/D5 2: 2

Inj.Dexketoprofen 3x1 ampul

Inj. Ceftizoxime 3x1 g

TD

: 160/80 mmHg

: 84 x/mnt

Observasi tanda - tanda vital

RR

: 20 x/mnt

Observasi drain

: 36oC

Makan minum bebas

K/L : A-/I-/C-/D-

Terapi post op anastesi

Thorax : Cor : S1S2 Tunggal regular


Pulmo : Vesikuler, Rh-/-,Wh-/Abd

: BU (+) N, meteorismus (-)

Ekst

: akral hangat-kering

O2 Masker
Sadar baik, mual muntah tidak
ada
Minum sedikit-sedikit

Status lokalis :
Regio femur dextra :
L
: Terpasang perban
F
: Nyeri (+)
M
: ROM terbatas
A: Close fraktur collum femur dextra
Union 1/3 Medial Femur Dextra
11 Mei 2016

S : Nyeri pada paha kanan atas berkurang

Infus RL/D5 2: 2

Inj.Dexketoprofen 3x1 ampul

GCS : 456

Inj. Ceftizoxime 3x1 g

TD

: 150/80 mmHg

Observasi tanda - tanda vital

: 84 x/mnt

Observasi drain

RR

: 20 x/mnt

Makan minum bebas

O : Kesadaran : Compos Mentis

: 36 C

K/L : A-/I-/C-/DThorax : Cor : S1S2 Tunggal regular


Pulmo : Vesikuler, Rh-/-,Wh-/Abd

: BU (+) N, meteorismus (-)

Ekst

: akral hangat-kering

Status lokalis :
Regio femur dextra :
L
: Terpasang tensocrepe, drain 30 cc

F
M

: Nyeri (+)
: ROM Terbatas

A: Post AMP Hari 1 collum femur dextra


Union 1/3 Medial Femur Dextra
12 mei 2016
S : Nyeri paha kanan atas berkurang.
O : Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 456
TD

: 150/80 mmHg

: 82 x/mnt

RR

: 20x/mnt

: 36,3oC

K/L : A-/I-/C-/DThorax : Cor : S1S2 Tunggal regular


Pulmo : Vesikuler, Rh-/-,Wh-/Abd

: soefel,BU (+) meningkat

Ekst

: akral hangat-kering

Status lokalis :
Regio Femur dextra :
L
: Terpasang tensocrepe, drain 18 cc
F
: Nyeri (+)
M
: ROM terbatas
A : Post AMP Hari 2 collum femur dextra
Union 1/3 Medial Femur Dextra

Aff Drain
KRS
Ciprofloxacin 2x1 tab
Asam Mefenamat 3x1 tab
kontrol ke poli orthopaedi
pada hari yang ditentukan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Fraktur Collum Femur


Fraktur colum femur adalah fraktur yang terjadi pada colum tulang femur. Rusaknya
kontinuitas tulang pangkal yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, trauma tidak langsung,
kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis.
2.2 Etiologi Fraktur Collum Femur
a. Trauma langsung

: benturan pada tulang mengakibatkan fraktur ditempat tersebut,


misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah
trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras.

b. Trauma tidak langsung

: tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari area
benturan, misalnya disebabkan oleh gerakan eksorotasi yang
mendadak dari tungkai bawah.Karena kepala femur terikat kuat
dengan ligamen didalam asetabulum oleh ligamen iliofemoral dan
kapsul sendi,mengakibatkan fraktur di daerah kolum femur.

c. Fraktur patologis

: fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa trauma.


Contoh fraktur patologis: Osteoporosis, infeksi tulang dan tumor
tulang. Fraktur kolum femur sering tejadi pada wanita yang
disebabkan oleh kerapuhan tulangakibat kombinasi proses penuaan
dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur dapat berupa fraktur
subkapital, transervikal dan basal, yang kesemuannya terletak
didalam

simpai

sendi panggul

atau

intrakapsular,

intertrochanter dan sub trochanter terletak ekstra kapsuler.


d. Adanya tekanan varus atau valgus

fraktur

2.3 Klasifikasi Fraktur Collum Femur


Klasifikasi fraktur kolum femur berdasarkan:
Lokasi anatomi,dibagi menjadi:

Fraktur intrakapsular, fraktur ini terjadi di kapsul sendi pinggul


a. Fraktur kapital : fraktur pada kaput femur
b. Fraktur subkapital : fraktur yang terletak di bawah kaput femur
c. Fraktur transervikal : fraktur pada kolum femur

Fraktur ekstrakapsular, fraktur yang terjadi di luar kapsul sendi pinggul


a. Fraktur sepanjang trokanter mayor dan minor
b. Fraktur intertrokanter
c. Fraktur subtrokanter

Fraktur kolum femur termasuk fraktur intrakapsular yang terjadi pada bagian proksimal
femur, yang termasuk kolum femur adalah mulai dari bagian distal permukaan kaput femoris
sampai dengan bagian proksimal dari intertrokanter.
Pada pemeriksaan fisik, fraktur kolum femur dengan pergeseran akan menyebabkan
deformitas yaitu terjadi pemendekan serta rotasi eksternal sedangkan pada fraktur tanpa
pergeseran deformitas tidak jelas terlihat. Tanpa memperhatikan jumlah pergeseran fraktur yang
terjadi, kebanyakan pasien akan mengeluhkan nyeri bila mendapat pembebanan, nyeri tekan di
inguinal dan nyeri bila pinggul digerakkan.
Standar pemeriksaan radiologi untuk fraktur kolum femur adalah rontgen pinggul dan
pelvis anteroposterior dan cross-table lateral. Klasifikasi fraktur kolum femur menurut Gardens
adalah sebagai berikut :
a. Grade I : Fraktur inkomplit ( abduksi dan terimpaksi)
b. Grade II : Fraktur lengkap tanpa pergeseran

c. Grade III : Fraktur lengkap dengan pergeseran sebagian (varus


malaligment)
d. Grade IV : Fraktur dengan pergeseran seluruh fragmen tanpa ada bagian
segmen yang bersinggungan

Gambar 1. Grade Fraktur Kolum Femur


Klasifikasi Pauwels untuk fraktur kolum femur juga sering digunakan. Klasifikasi ini
berdasarkan atas sudut yang dibentuk oleh garis fraktur dan bidang horizontal pada posisi tegak.
a. Tipe I : garis fraktur membentuk sudut 30 dengan bidang horizontal
pada posisi tegak
b. Tipe II : garis fraktur membentuk sudut 30-50 dengan bidang horizontal pada
posisi tegak
c. Tipe III: garis fraktur membentuk sudut >50 dengan bidang horizontal
pada posisi tegak

Gambar 2. Klasifikasi Pauwels

2.4 Patofisiologi Fraktur Collum Femur


Ketika sebuah tekanan mengenai tulang dan kekuatan tersebut tidak dapat
diabsorbsi oleh tulang, tendon dan otot maka terjadi fraktur. Pada saat tulang fraktur
periosteum dan pembuluh darah di kortex, sumsum tulang dan jaringan lunak sekitar menjadi
rusak.Perdarahan terjadi dari ujung yang rusak dan dari jaringan lunak sekitar
(otot).Kemudian hematom terbentuk dalam medullary canal, antara ujung daerah fraktur dan
dibawah periosteum.Jaringan tulang dengan segera mendekatkan kepada daerah tulang
yang mati. Jaringan nekrotik ini menstimulasi respon imflmasi ditandai dengan vaso
dilatasi, eksudasi plasma, lekositosis dan infiltrasi dari sel darah putih kemudian
mengakibatkan penekanan saraf dan otot yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman, nyeri
pada seseorang dan juga terjadinya spasme otot yang dapat menimbulkan kontraktur sehingga
akan menimbulkan gangguan mobilitas fisik dan gangguan integritas pada kulit.

Gambar 3. Tabel Patofisiologi Fraktur Kolum Femur

2.5 Manifestasi Klinis Fraktur Collum Femur


a. Tampak pembengkakan di femur
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma
danperdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam
ataubeberapa hari setelah cedera
b. Nyeri tekan dan sakit ketika digerakkan
Nyeri

terus

menerus dan

bertambah

beratnya

sampai

fragmen tulang diimobilisasi.Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancanguntuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

c. Deformitas
Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas.Deformitas dapatdi
ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya obat.
d. Krepitasi
Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang.
Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
e. Fungsileosa (gangguan fungsi)
f. Spasme otot
g. Tanda dan gejala lain:

Kehilangan sensori
Mobilitas yang abnormal
Hypovolemik shock

2.6 Diagnosis Fraktur Collum Femur


1. Anamnesis
Data biografi, Riwayat kesehatan masa lalu, Riwayat kesehatan

sekarang, Riwayat

kesehatan keluarga, Riwayat psikososial (interaksi dengan keluarga), Pola kebersihan


sehari- hari, Aktifitas, Sirkulasi darah, Neurosensori (kebas, kesemuran, tegang), Rasa
Nyeri/ kenyamanan
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi

: Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang


abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas,
tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit
robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka.
Pemeriksaan gerak persendian secara aktif termasuk dalam
pemeriksaan rutin patah tulang.

Raba

: Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa


bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji
sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang
memerlukan pembedahan

Gerak

: Aktif atau pasif. Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan,


tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat
menggerakan sendi- sendi dibagian distal cedera.

2.7 Diagnosis Banding Fraktur Collum Femur


a. Osteitis Pubis
Peradangan dari simfisis pubis - sendi dari dua tulang

panggul besar di bagian

depan panggul.

Gambar 4. Osteitis Pubis

b. Slipped Capital Femoral Epiphysis


Patah tulang yang melewati fisis (plat tembat tumbuh pada tulang), yang
menyebabkan selipan terjadi diatas epifisis.

Gambar 5. Slipped Capital Femoral Epiphysis


c. Snapping Hip Syndrome
Kondisi medis yang ditandai oleh sensasi gertakan terasa saat pinggul yang
tertekuk dan diperpanjang. Hal ini dapat disertai oleh gertakan terdengar atau muncul
kebisingan dan rasa sakit atau ketidaknyamanan.Dinamakan demikian karena suara
retak yang berbeda yang berasal dari seluruh daerah pinggul ketika sendi melewati
dari yang tertekuk untuk menjadi diperpanjang. Secara medis dikenal sebagai
iliopsoas tendinitis, mereka sering terkena adalah atlet, seperti angkat besi, pesenam,
pelari dan penari balet, yang secara rutin menerapkan kekuatan yang berlebihan atau
melakukan gerakan sulit yang melibatkan sendi panggul.

2.8 Pemeriksaan Penunjang Fraktur Collum Femur


Pemeriksaan Penunjang :

1. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan
role of two, yang terdiri dari :

Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.

Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.

Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak
terkena cedera (untuk membandingkan dengan yang normal)

Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.

Foto Rontgen
Pada proyeksi AP kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus yang
impacted, untuk ini diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial. Pergeseran dinilai melalui
bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat ketidakcocokan garis trabekular pada kaput
femoris dan ujung leher femur. Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak
bergeser (stadium I dan II Garden ) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur
yang bergeser sering mengalami non union dan nekrosis avaskular.
Radiografi foto polos secara tradisional telah digunakan sebagai langkah pertama dalam
pemeriksaan pada fraktur tulang pinggul. Tujuan utama dari film x-ray untuk menyingkirkan
setiap patah tulang yang jelas dan untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur. Adanya
pembentukan tulang periosteal, sclerosis, kalus, atau garis fraktur dapat menunjukkan tegangan
fraktur.Radiografi mungkin menunjukkan garis fraktur pada bagian leher femur, yang merupakan
lokasi untuk jenis fraktur.Fraktur harus dibedakan dari patah tulang kompresi, yang menurut
Devas dan Fullerton dan Snowdy, biasanya terletak pada bagian inferior leher femoralis. Jika
tidak terlihat di film x-ray standar, bone scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus
dilakukan.

Gambar 6. Gambaran Foto Rontgen Fraktur Kolum Femur


Bone Scanning
Bone scanning dapat membantu menentukan adanya fraktur, tumor, atau infeksi.Bone
scan adalah indikator yang paling sensitif dari trauma tulang, tetapi mereka memiliki kekhususan
yang sedikit. Shin dkk. melaporkan bahwa bone scanning memiliki prediksi nilai positif 68%.
Bone scanning dibatasi oleh resolusi spasial relatif dari anatomi pinggul. Di masa lalu,
bone scanning dianggap dapat diandalkan sebelum 48-72 jam setelah patah tulang, tetapi sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Hold dkk menemukan sensitivitas 93%, terlepas dari saat cedera.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI telah terbukti akurat dalam penilaian fraktur dan andal dilakukan dalam waktu 24
jam dari cedera, namun pemeriksaan ini mahal. Dengan MRI, fraktur biasanya muncul sebagai
garis fraktur di korteks dikelilingi oleh zona edema intens dalam rongga meduler. Dalam sebuah
studi oleh Quinn dan McCarthy, temuan pada MRI 100% sensitif pada pasien dengan hasil foto
rontgen yang kurang terlihat.MRI dapat menunjukkan hasil yang 100% sensitif, spesifik dan
akurat dalam mengidentifikasi fraktur collum femur.
2. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:

Darah rutin,

Faktor pembekuan darah,

Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),

Urinalisa,

Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).

3. Pemeriksaan arteriografi
Dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat fraktur tersebut.

2.9 Penatalaksanaan Fraktur Collum Femur


A. Tata Laksana Non-Medikamentosa
Penatalaksanaan fracture collum femur harus dimulai secepat mungkin setelah terjadinya
trauma. Cegah semua pergerakan tungkai dan lakukan imobilisasi. Hal ini sangat penting karena
apabila kita mengangkat pasien dalam posisi yang tidak tepat, makadapat mengubah fracture
simpel undisplaced menjadi fracture complete dan displaced.
Segera lakukan foto x-ray dengan posisi antero-posterior (AP) dan lateral. Ketika hal ini
dilakukan, asisten membuat traksi pada tungkai untuk mencegah trauma yang lebih jauh pada sisi
fracture. Hasil x-rayakan dijadikan sebagai patokan atau acuan untuk menentukan kualitas dan
menentukan apa yang akan dilakukan terhadap fracture yang terjadi.Bila memungkinkan,
lakukan reduksi dan fiksasi pada fracture pada 12 jam pertama dan tidak melebihi 24 jam; perlu
diingat bahwa insidensi nonunion akan lebih rendah jika pasien dioperasi dalam 12 jam pertama
daripada yang dioperasi setelah 48 jam.
Terapi operatif lebih disukai dan dipilih pada penangananfracturecollum femur. Tipe
sfesifik dari terapi operatif yang akan digunakan tergantung dari usia pasien dan karakteristik
dari fracture, seperti lokasi, displaced atau nondisplaced, dan derajat comminution.
Pilihan terapi antara internal fixation dan arthroplasty setelah fracture collum femur harus
berdasarkan atas perfusi dan viabilitas dari caput femoris. Saat ini, hal ini biasanya ditentukan
berdasarkan klasifikasi Garden atau menurut usia pasien.

Venografi, pengukuran tekanan sumsum tulang, skintigrafi dengan radionuklir, dan


angiografi disarakan untuk memprediksi viabilitas dan suplai darah ke caput femur pada
fracturecollum femur.Prosedur ini efektif dan sering digunakan.
Pada pasien usia muda, diperlukan reduksi dari fracture collum femur secepat mungkin
untuk menurunkan resiko terjadinya nekrosis avaskular. Reduksi anatomik dan fiksasi adalah
tujuan utama dari dilakukannya tindakan operatif. Pasien usia muda biasanya dilakukan dengan
reduksi tertutup atau terbuka, dengan peletakan percutaneus 3 canul paralel dari lag
screw.Prosedur ini dilakukan dalam posisi supine di meja fracture. Canulasi paralel lag screw
membuat kompresi ada lokasi fracture dan mempertahankan reduksi ketika fracture menyembuh.

Gambar 7. Tata Laksana Fracture Collum Femur dengan Internal Fixation


Pada pasien lanjut usia dengan klasifikasi fracture Garden I atau II juga dapat dilakukan
parallel cannulated screw fixation, walaupun hal ini biasanya dilakukan secara in situ.
Hemiarthroplasty merupakan prosedur yang dipilih pada pasien usia lanjut dengan
displacedfracturecollum femur. Level aktivitas pasien sebelumnya juga sangat penting dalam
menentukan tipe hemiarthroplasty yang akan dilakukan.

Independent ambulator berguna pada cemented hemiarthroplasty, karena nyeri setelah


operasi dan hilangnya komponen sangat minimal pada pendekatan ini. Hemiarthroplasty
merupakan pendekatan yang paling sering dilakukan pada pasien dengan posisi lateral
dekubitus.Setelah insisi dibuat dan terlihat otot, caput femorus diekstrasi dan collum femur
dipotong untuk penempatan protesisnya.
Ada berbagai macam prostetik yang dapat digunakan, dari alat yang unipolar (AustinMoore Protesis) sampai bipolar. Kebanyakan dari protesis ini disemen; walupun demikian, pada
pasien lanjut usia, yang biasanya mempunyai penyakit kardiopulmonal, penekanan yang
berlebihan dari semen haruslah dihindari untuk mencegah komplikasi metabolik dan mekanik
lebih lanjut.Gambar 4.19 menunjukkan foto x-ray dari fracture collum femur displaced yang
ditangani dengan pemasangan protesis.

Gambar 8. Tata Laksana Fracture Collum Femur dengan Protesis


Weight bearing setelah operasi untuk pasien semua umur tergantung pada tipe fracture,
permintaan pasiennya sendiri, dan pilihan ahli bedahnya. Pada umumnya, pasien yang
menjalanin reduksi dan fiksasi dengan cannulated lag screw biasanya dibatasi dalam menjalani
weight-bearing setelah prosedur tersebut. Bedanya, pasien yang menjalani hemiarthroplasty
diperbolehkan melakukan weight-bearing; tentunya dengan pembatasan posisi tertentu untuk
mencegah timbulnya dislokasi sendi panggul.

Fracture yang bergeser tidak akan menyatu tanpa fiksasi internal, dan bagaimanapun juga
manula harus bangun dan aktif tanpa ditunda lagi kalau ingin mencegah komplikasi paru-paru
dan ulkus dekubitus. Fracture yang terimpaksi dapat dibiarkan menyatu, tetapi selalu terdapat
risiko pergeseran pada fracture-fracture itu, sekalipun berada di tempat tidur; jadi fiksasi akan
lebih aman.
Bagaimana bila operasi dianggap berbahaya? Berada ditempat tidur dengan traksi
mungkin lebih berbahaya, dan membiarkan fracture tanpa diterapi akan terlalu nyeri; pasien yang
paling tidak cocok untuk operasi kadang-kadang justru sangat membutuhkan operasi.
Prinsip terapi adalah reduksi yang tepat, fiksasi secara erat dan aktivitas dini.Bila pasien
dibawah anestesi, panggul dan lutut diflexikan dan paha yang mengalami fracture ditarik keatas,
kemudian

dirotasikan

secara

internal,

lalu

diektensikan;

akhirnya

diikatkan

pada

footpiece.Pengawasan dengan sinar-X (sebaiknya dengan penguat) digunakan untuk memastikan


reduksi pada foto antero-posterior dan lateral.
Diperlukan reposisi yang tepat pada fracture stadium III dan IV; fiksasi pada fracture
yang tereduksi hanya mengandung kegagalan. Bila fracture stadium III dan IV tidak dapat
direduksi secara tertutup, dan pasien berumur dibawah 60 tahun, dianjurkan untuk melakukan
reduksi terbuka melalui pendekatan anterolateral. Tetapi pada pasien usia diatas 70 tahun cara ini
jarang diperbolehkan, kalau dua usaha yang cermat untuk melakukan reduksi tertutup gagal,
lebih baik dilakukan penggantian prostetik.
Sekali direduksi, fracture dipertahankan dengan pen atau canulated screw atau kadangkadang dengan screw kompresi geser (screwpanggul yang dinamis) yang ditempelkan pada
corpus femur. Insisi lateral digunakan untuk membuka femur bagian atas. Wire pemandu, yang
disiapkan dibawah kendali fluoroskopik, digunakan untuk memastikan bahwa penempatan alat
pengikat tepat. Dua screw berkanula sudah mencukupi; keduanya harus terletak sejajar dan
memanjang sampai plate tulang subkondral; pada foto lateral keduanya berada ditengah-tengah
pada caput dan Collum, tetapi pada foto anteroposterior screw distal terletak pada korteks
inferior Collum femur.

Sejak hari pertama pasien harus duduk di tempat tidur atau kursi.Dia dilatih untuk
melakukan latihan pernapasan, dianjurkan berusaha berdiri sendiri dan mulai berjalan (dengan
alat penopang) secepat mungkin.Secara teoritis, idealnya adalah menunda penahanan beban,
tetapi ini jarang dapat dipraktekan.
Penggantian Prostetik
Beberapa ahli menyampaikan bahwa prognosis untuk fracture stadium III dan IV tidak
dapat diramalkan sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Pandangan ini meremehkan
morbiditas yang menyertai penggantian. Karena itu, kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi
dan fiksasi pada semua pasien yang berumur di bawah 75 tahun dan mempersiapkan penggantian
atau replacement bagi pasien-pasien berikut ini:
1

Pasien yang sangat tua dan sangat lemah

Pasien yang gagal menjalani reduksi tertutup. Penggantian yang paling rendah resiko
traumanya adalah prostesis femur atau prostesis bipolar tanpa semen yang dimasukkan
dengan pendektatan posterior.

Total hip replacement mungkin lebih baik pada pasien dengan:


a.

Terapi telah tertunda selama beberapa minggu dan dicurigai ada kerusakan acetabulum

b.

Pada pasien dengan penyakit metastatik atau penyakit Paget

Total Hip Replacement (THR)


Total Hip Replacement adalah prosedur operasi dimana tulang dan kartilago persendian
panggul yang rusak diganti dengan sendi artifisal.Sendi artifisial ini disebut sebagai prostesis dan
difiksasi dengan semen tulang yang dikenal sebagai methylmethacrilate. Jenis prostesis yang lain
tidak memerlukan semen tapi memiliki pori-pori mikroskopis yang memungkinkan pertumbuhan
tulang normal ke dalam prostesis.Gambar 4.20 menunjukkan bagian-bagian prosthesis yang
digunakan.

Gambar 9. Total Hip Replacement (THR)

Desain Implan
Sendi panggul disebut sebagai juga sebagai sendi ball and socket karena caput femoris
yang berbentuk sferis bergerak di dalam rongga berbentuk mangkok yaitu acetabulum. Untuk
meniru gerakan ini implan yang digunakan dalam THR memiliki tiga bagian, yaitu corpus atau
stem yang akan dimasukkan ke dalam femur untuk memberikan stabilitas, head implant yang
akan menggantikan caput femoris, dan cup implant yang akan menggantikan permukaan
acetabulum.
Konstruksi Implan
Bagian corpus implan terbuat dari titanium atau campuran cobalt/chromium. Bagian head
terbuat dari keramik atau campuran cobalt/chromium yang dibuat selicin mungkin untuk
memudahkan pergerakan dalam rongga cup implant.Cup implant sendiri terbuat dari logam,
ultrahigh molecular weigth polyethylene, atau gabungan logam dan polyethylene.
Pemasangan Implan

Terdapat tiga cara pemasangan implan yang biasa digunakan dalam prosedurTotal Hip
Replacement, yaitu:
1. Cemented Hip Implant
Dengan cara ini implan yang sudah terpasang difiksasi dengan menggunakan semen
tulang yang disebut methylmethacrilate. Cara ini direkomendasikan bagi mereka yang berusia
diatas 60 tahun, dan bagi pasien usiamuda dengan kualitas dan densitas tulang yang kurang baik.
Gambar 4.22 menunjukkan cemented hip impant.

Gambar 10. Cemented HipImplant

2. Porous Hip Implant


Cara ini dirancang agar implan dapat langsung terpasang pada tulang tanpa perlu
menggunakan semen. Implan yang digunakan dengan cara ini memiliki topografi permukaan
yang kondusif bagi pertumbuhan tulang baru. Permukaan implan dibuat dengan tekstur khusus
sehingga tulang yang baru tumbuh ke dalam permukaan implan.Karena implan jenis ini
mengandalakan pembentukan tulang baru untuk stabilitasnya, maka memerlukan waktu
penyembuhan yang lebih lama.Cara ini direkomendasikan untuk mereka yang berusia di bawah
50 tahun, bagi pasien yang aktif, dan bagi pasien dengan kualitas tulang yang baik.

Gambar 11. Porous Hip Implant

3. Hybrid Hip Implant


Cara ini merupakan gabungan dari cemented hip implant dan porous hip implant. Bagian
cup biasanya dipasang tanpa semen sedangkan bagian corpus dipasang dengan semen.

Prosedur Operasi
Terdapat tiga prosedur operasi THR, yaitu Traditional hip replacement surgery, minimally
invasive hip replacement surgery, dan computed assisted hip replacement surgery.
1. Traditional Hip-replacement Surgery
Berikut adalah langkah-langkah operasi pada THR:

Pasien di anestesi, setelah itu dilakukan asepsis antisepsis.

Dibuat insisi sengan ukuran yang sesuai di atas sendi panggul.

Kaki pasien digerak-gerakkan sehingga caput femoris mengalami dislokasi. Sebuah


reamer khusus kemudian digunakan untuk mengangkat kartilago dan tulang di
permukaan acetabulum serta membentuk mangkok sehingga pas dengan bentuk implan
yang akan dipasang.

Bagian cup implant dilekatkan di tempatnya menggunakan semen atau deangn penekanan
ke dalam permukaan acetabulum. Setelah bagian cup implant terpasang dilakukan
pemasangan lapisan plastik untuk melapisi permukaan dalamnya.

Sebuah gergaji khusus kemudian digunakan untuk memotong caput femoris. Dengan
instrumen khusus, bagian tengah tulang femur dikuretase dan dibentuk sehingga
membentuk kanal yang pas dengan bentuk corpus implan.

Setelah kanal femur terbentuk, bagian corpus dan head implant dipasang. Jika digunakan
semen, maka semen di injeksikan terlebih dahulu. Jika tidak digunakan semen, maka
implan dimasukkan begitu saja ke dalam kanal.

Setelah semua implan terpasang, head implant diletakkan di dalam cup implant.
Ligamen-ligamen disesuaikan untuk mendapatkan fungsi panggul yang maksimal.
Kemudian lapis demi lapis jaringan dikembalikan di tempatnya semula. Pemasangan
drain dilakukan untuk memungkinkan pengaliran cairan selama beberapa jam setelah
operasi. Sesudah semua lapisan dijahit dan drain dipasang, panggul ditutup dengan
perban elastis.

Gambar 12. Post Operasi THR


2. Minimally Invasive Hip Replacement Surgery
Yang dimaksud dengan Minimally-Invasive Hip Replacement Surgery adalah operasi
THR dengan insisi yang lebih kecil dibanding operasi tradisional. Pada operasi ini digunakan
jenis implan yang sama dengan operasi tradisional, hanya saja operator memerlukan instrumen
khusus supaya implan dapat terpasang dengan baik.
Ada dua metode yang dapat dipakai.Metode yang pertama menggunakan insisi tunggal
selebar 3 hingga 6 inci dan dengan prosedur operasi yang mirip dengan operasi tradisional.
Metode yang kedua menggunakan insisi selebar 2 hingga 3 inci di atas inguinal untuk
memasukkan cup implan, dan insisi selebar 1 hingga 2 inci di atas pantat untuk memasukkan
stem dan headimplant.Keuntungan dari minimally-invasive hip replacement surgery adalah:

Jumlah anestesi yang dibutuhkan lebih sedikit

Kurangnya nyeri yang diakibatkan oleh insisi dan bekas luka

Kurangnya kerusakan otot akibat insisi yang lebar

Kurangnya kehilangan darah

Lama perawatan di rumah sakit lebih pendek

Pasien lebih cepat kembali ke aktivitas normal

3.Computer Assisted Hip Replacement Surgery


Computer Assisted Hip Replacment Surgery membantu operator untuk menempatkan
implan setepat mungkin dengan bantuan komputer. Selama operasi berlangsung komputer akan
memberi informasi letak tungkai dan pelvis pasien, letak implan serta instrumen yang digunakan
operator.
Prosedur ini memberikan hasil operasi yang relatif lebih baik dibandingkan prosedur
operasi yang lain. Dan dengan adanya visualisasi yang lebih baik berkat bantuan komputer, maka
operator dapat menjalankan prosedur yang kurang invasif dibanding prosedur lain.
Keuntungan dan Kerugian Total Hip Replacement

Keuntungan THR
Keuntungan THR adalah berkurangnya nyeri dan kembalinya fungsi normal sendi. Terapi

operatif akan menghilangkan nyeri yang sudah tidak memberikan respon terhadap terapi nonoperatif. Selain itu, operasi akan mengembalikan stabilitas sendi sehingga memungkinkan
penderita berdiri dan berjalan secara lebih mudah. Dengan THR, deformitas sendi juga diperbaiki
sehingga fungsi sendi dapat diperbaiki.

Kerugian THR
Kerugian THR adalah lamanya waktu pemulihan dan mahalnya biaya yang harus

dikeluarkan.Setelah operasi terdapat berbagai latihan yang harus diikuti.Untuk itu diperlukan
komitmen dan kemauan yang keras dari penderita.Selain itu biaya juga harus menjadi
pertimbangan.Besarnya biaya bervariasi tergantung pada jenis pembedahan, terapi dan medikasi
lain, pemeriksaan penunjang yang dilakukan, dan dukungan asuransi.
Komplikasi Total Hip Replacement
Komplikasi THR tersebut dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :

Komplikasi

Persentase

Dislokasi

2-5 %

Infeksi

1-2 %

Leg Length Discrepancy

4 % (> 2 cm)

Deep Vein Thrombosis (DVT)

3%
1-8 %

Emboli Pulmonal
Angka kematian : 0.3 - 3.4 %
Skiatik dan Femoral Nerve Palsy

1%

Fracture atau penetrasi tulang

1-2 %

Kematian

0.3 %
Tabel 1. Komplikasi THR

Revisi dari Hip Replacement


Meskipun THR memberikan hasil yang memuaskan pada sebagian besar pasien, namun
seiring berjalannya waktu sendi artifisial akan menjadi aus. Proses ini berjalan pelan tapi pasti.
Sepuluh tahun setelah THR 90% implan akan berfungsi dengan baik. Setelah 20 tahun persentase
menurun menjadi 80% dan setelah 25 30 tahun hanya 50% implan yang dapat berfungsi.
Pasien yang sendi artifisialnya aus memerlukan hip replacement revision.

Penyebab tersering sendi artifisial menjadi aus adalah aseptic loosening dimana implan
menjadi longgar di dalam tulang.Sebab lainnya adalah osteolisis atau resorbsi tulang, infeksi,
patahnya implan, dislokasi komponen implan, dan patah tulang di sekitar implan.
Pasien yang mengalami hal-hal di atas akan mengeluhkan nyeri di daerah panggul yang
seringkali menjalar ke tungkai. Mereka juga cenderung mengeluhkan rasa sakit yang terasa di
bagian dalam, berlangsung terus-menerus, dan memburuk pada malam hari atau saat hendak
memulai gerakan. Pasien juga akan mengalami penurunan kemampuan fungsional, dan sering
kali juga mengalami pemendekan tungkai satu sisi. Pada pasien-pasien ini, pemeriksaan
radiologis akan membantu menegakkan diagnosis.
Operasi revisi tidaklah mudah dan membutuhkan keterampilan khusus, peralatan khusus
serta fasilitas untuk melakukan bone-grafting. Operasi ini juga akan membutuhkan waktu yang
lebih lama, perawatan yang lebih lama, waktu pemulihan yang lebih lama, dan memberikan
resiko komplikasi yang besar.

B. Tata Laksana Medikamentosa


Pada semua kasus fracture, penatalaksanaan nyeri harus diutamakan.Analgetik seperti
acetaminophen atau NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drugs)dapat diberikan pada fase
akut dari fracture.Walupun demikian, penambahan penghilang nyeri mungkin diperlukan bila
nyeri pasien tidak hilang hanya dengan pemberian acetaminophen atau NSAID. Pada kasus
seperti ini, golongan opiate mungkin dapat digunakan, khususnya untuk mengatasi rasa nyeri
yang hebat. Penyesuaian terhadap rasa nyeri harus dilakukan, terutama pada fase akut.
Analgetik
Kontrol terhadap rasa nyeri sangat penting pada pasien. Analgetik akan membuat pasien nyaman,
napas yang tenang, dan mempunyai efek sedatif, yang bermanfaat bagi pasien dengan nyeri yang
terus-menerus. Beberapa jenis analgetik yang dapat digunakan, antara lain:
a. Acetaminophen

Diindikasikan untuk nyeri ringan sampai sedang. Merupakan obat pilihan untuk nyeri
pasien yang hipersensitif terhadap aspirin atau NSAID, dengan gangguan gastrointestinal
atas, atau pasien yang mengkonsumsi antikoagulan oral.

Dosis yang digunakan adalah 325-650 mg Per Oral setiap 4-6 jam atau 1000 mg 3 sampai
4x sehari; dosis tidak lebih dari 4 gram per hari.

Untuk pasien anak12 tahun: 325-650 mg per oral setiap 4 jam; tidak lebih dari 5x dalam
24 jam.

Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif; defisiensi G6PD (Glucose-6-Phosphate


Dehydrogenase)

Interaksi obat. Rifampin dapat mengurani efek analgetik; digunakan bersama barbiturate,
carbamazepine, hydantoins, dan isoniazid akan meningkatkan hepatotoksisitas.

Efek samping bersifat hepatotoksik terutama bila pasien alkoholism; nyeri hebat atau
nyeri terus-terusan atau demam tinggi merupakan efek samping yang serius;
acetaminophen terdapat pada beberapa produk OTC dan biasanya dikombinasikan
sehingga dosis acetaminophen menjadi berlebihan atau bahkan dapat melebihi dosis
maksimal.

b. Ibuprofen

Obat pilihan untuk pasien dengan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi
inflamasi dengan menurunkan sintesis prostaglandin.

Dosis dewasa 400-600 mg per oral setiap 4-6 jam selama gejala masih ada; tidak
melebihi 3.2 gram/hari.

Dosis anak12 tahun: mengikuti dosis dewasa.

Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif; ulkus peptik, perdarahan dan perforasi
saluran cerna, insufisiensi renal, atau resiko perdarahan.

Bila digunakan bersama aspirin akan meningkatkan efek kebalikan dari NSAID; dengan
probenecid akan meningkatkan konsentrasi obat dan mungkin menjadi toksik; dapat
menurunkan efek hidralazine, captopril, dan beta bloker; dapat menurunkan efek diuretik
furosemide dan tiazid; dapat meningkatan PT (Protrombin Time) bila digunakan bersama
antikoagulan (peringatkan pasien untuk mendeteksi gejala perdarahan); meningkatan efek
toksik metrotrexate; level phenytoin akan meningkat bila digunakan terus-menerus.

Efek samping. Kategori D pada trisemester III kehamilan; Kategori B pada trisemester I
dan II kehamilan; menyebabkan CHF, Hipertensi, dan menurunkan fungsi ginjal dan hati;
menyebabkan abnormalitas antikoagulan atau selama terapi antikoagulan.

c. Oxycodone
Analgesik dengan multipel aksi yang mirip morphine; dengan konstipasi minimal,
spasme otot polos, dan depresi refleks batuk yang lebih ringan dibandingkan dengan pemberian
morphine pada dosis yang sama.

Dosis dewasa: 5-30 mg per oral setiap 4 jam.

Dosis anak: 0.05-0.15 mg/kg per oral; Tidak melebihi 5 mg setiap 4-6 jam per oral.

Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif.

Interaksi obat. Phenothiazine menurunkan efek analgesik; toksisitas meningkat dengan


pemberian bersama obat-obat depresi SSP.

Keamanan penggunaan selama kehamilan tidak tercatat.

Efek samping. Masa aktif meningkat pada pasien lansia; hati-hati pada penggunaan
acetaminophen dan jangan melebihi 4000 mg dalam 24 jam karena dapat mengakibatkan
hepatotoksik.

2.10 Komplikasi
A. Komplikasi Umum
Pasien yang mengalami fracture collum femur, yang sebagian besar merupakan orang
lanjut usia, beresiko untuk mengalami komplikasi yang umum terjadi pada semua penderita
fracture, di mana mereka mengalami proses imobilisasi yang cukup lama. Komplikasi umum
tersebut ialah terjadinya deep vein thrombosis, emboli pulmonal, pneumonia, dan ulkus
dekubitus akibat berbaring dalam jangka waktu yang lama secara terus menerus.
Walaupun saat ini penangan paska operasi sudah sangat berkembang, angka mortalitas
pada orang lanjut usia masih mencapai 20%, yang terjadi dalam 4 bulan pertama setelah trauma.
Pada pasien-pasien berusia lebih dari 80 tahun yang dapat bertahan hidup, hampir setengahnya
tidak dapat berjalan seperti saat sebelum trauma.

Nekrosis Avaskular
Nekrosis caput femur akibat proses iskemik terjadi pada 30% pasien yang mengalami

fracturedisplaced dan pada 10% pasien dengan fractureundisplaced. Komplikasi ini belum dapat
didiagnosis atau diketahui pada saat awal terjadinya fracture.Setelah beberapa minggu setelah
terjadinya fracture, melalui pemeriksaan bone scan, baru mulai tampak dan ditemukan adanya
gangguan vaskularisasi tersebut.Pada pemeriksaan X-ray, perubahan vaskularisasi ini bahkan
baru dapat terdeteksi beberapa bulan atau beberapa tahun setelah diagnosis fracture.
Nekrosis caput femur ini akan menimbulkan keluhan rasa nyeri dan hilangnya fungsi
struktur tersebut yang bersifat progresif, yang semakin lama akan semakin memburuk jika tidak
segera ditangani. Metode tata laksana yang dipilih pada pasien berusia lebih dari 45 tahun untuk
mengatasi komplikasi ini ialah dengan total joint replacement. Sedangkan pada pasien dengan
usia yang lebih muda, tata laksana yang akan digunakan masih menjadi kontroversi. Terapi core

decompression tidak dapat digunakan pada kasus osteonekrosis traumatik ini, sedangkan terapi
realignment atau rotational osteotomy dapat dilakukan pada pasien dengan segmen nekrosis yang
relatif tidak terlalu luas.Terapi arthrodesis juga banyak dikemukakan sebagai salah satu pilihan
terapi, tetapi pada prakteknya sangat jarang dilakukan.

Non-Union
Lebih dari 30% kasus fracture collum femur mengalami kegagalan untuk menyatu

kembali dan resiko ini akan semakin meningkat pada fracture-fracture dengan displaced yang
parah. Ada beberapa penyebab terjadinya komplikasi ini, antara lain karena suplai darah yang
kurang baik, reduksi yang tidak sempurna, fiksasi yang tidak adekuat, dan adanya tardy healing
yang merupakan ciri khas fracture intra-articular. Pada komplikasi non-union, pasien akan
mengeluhkan rasa nyeri, tungkai yang mengalami fracture tampak lebih pendek dari tungkai
yang sehat, dan mengalami kesulitan untuk berjalan. Hal ini dikonfirmasi melalui pemeriksaan
X-ray yang juga menunjukkan hasil penyatuan tulang yang kurang baik atau tidak berhasil.
Metode terapi yang digunakan untuk mengatasi komplikasi ini sangat bergantung pada
penyebab non-union ini terjadi dan dengan mempertimbangkan usia pasien. Pada pasien dengan
usia yang relatif masih muda, ada tiga pilihan metode terapi yang dapat digunakan, antara lain:
1. Jika garis fracture hampir vertikal dengan caput femur yang masih baik, dapat dilakukan
subtrochanteric osteotomy dengan fiksasi internal untuk mengubah garis fracture agar
sudutnya menjadi lebih horizontal.
2. Jika terdapat masalah pada teknik reduksi atau fiksasi, tanpa adanya tanda-tanda nekrosis,
dapat dilakukan pencabutan screw, reduksi fracture, memasang screw yang baru dengan
cara yang tepat, dan memasang bone graft di sepanjang garis fracture. Bone graft dapat
diambil misalnya dari segmen tulang fibula.
3. Jika terjadi nekrosis pada caput femur tanpa adanya gangguan pada persendian, metode
yang dapat dilakukan ialah dengan prosthetic replacement. Namun, jika disertai dengan
gangguan pada persendian, makan harus dilakukan total replacement.

Sedangkan pada pasien lanjut usia, ada dua prosedur yang mungkin dapat dilakukan, yaitu:
1. Jika nyeri yang timbul sangat berat dan mengganggu, maka caput femur, baik mengalami
nekrosis avaskular ataupun tidak, harus segera diangkat dan diganti melalui prosedur
total joint replacement.
2. Jika pasien berusia sangat tua, tidak lagi menjalani aktivitas fisik secara aktif, dan nyeri
yang timbul tidak terlalu berat, maka hanya dengan penggunaan raised heel dan stout
stick atau elbow crutch biasanya sudah dapat mengatasi komplikasi ini.

Osteoartritis
Nekrosis avaskular yang terjadi pada caput femur, setelah beberapa tahun kemudian,

dapat menyebabkan timbulnya osteoartritis sekunder pada panggul.Jika terdapat gangguan berat
pada pergerakan sendi dan kerusakan telah meluas hingga permukaan articular, maka perlu
dilakukan total joint replacement.
2.11 Pencegahan
Collum femur merupakan lokasi fracture tersering yang banyak terjadi pada orang lanjut
usia. Fracture ini banyak terjadi pada orang ras Kaukasia, wanita lebih sering dari pada pria, usia
dekade ketujuh dan kedelapan, dan pada orang yang menderita osteoporosis. Oleh karena itu,
tingkat insidensi fracture collum femur dapat dijadikan sebagai salah satu parameter tingkat
insidensi osteoporosis di suatu negara.
Adanya hubungan antara fracture collum femur dengan hilangnya massa tulang akibat
osteoporosis post menopause meningkatkan usaha screening untuk osteoporosis sebagai salah
satu bentuk pencegahan terjadinya fracture tersebut. Sebaliknya, trauma ini sangat jarang
ditemukan pada orang-orang dengan massa tulang yang tinggi, seperti pada orang yang
menderita osteoartritis.
Faktor resiko lainnya ialah adanya penyakit yang mengakibatkan kelemahan atau
penurunan kekuatan pada tulang, seperti osteomalasia, diabetes mellitus, stroke, dan konsumsi
alkohol. Selain itu, orang lanjut usia sering kali memiliki otot-otot yang lebih lemah dan

keseimbangan yang kurang baik sehingga memiliki tendensi yang lebih tinggi untuk jatuh yang
mungkin mengakibatkan fracture collum femur ini.
Pada orang dengan usia muda, fracture biasanya terjadi akibat jatuh dari ketinggian atau
akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan hingga terlempar ke jalan. Pada pasien ini sering
kali mengalami jejas multipel dan 20% di antaranya juga mengalami fracturecorpus femur.
Berdasarkan pengetahuan mengenai mekanisme terjadinya fracture collum femur tersebut, ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya fracture ini, antara lain:

Screening dan terapi osteoporosis secara berkala.


Menurut WHO (1991), osteoporosis adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya massa

tulang dan disertai kerusakan mikroarsitektur jaringan. Kelainan ini menyebabkan kerapuhan
tulang sehingga terjadi peningkatan resiko fracture.
Kekuatan tulang sangat ditentukan oleh densitas tulang dan kualitas tulang.Densitas
tulang dinyatakan dalam satuan gram mineral per area atau volume, sedangkan kualitas tulang
dipengaruhi oleh struktur atau arsitektur tulang, proses turnover, akumulasi kerusakan (misalnya
akibat mikrofracture), dan proses mineralisasi. Saat ini, tingkat densitas tulang telah dapat diukur
secara kuantitatif melalui berbagai macam metode, tetapi untuk kualitas tulang belum dapat
dinyatakan secara kuantitatif.
Densitas tulang sangat perlu untuk diukur secara berkala dan merupakan salah satu cara
untuk mencegah terjadinya fracture yang mungkin dapat berakibat fatal. Cara pencegahan ini
sangat penting untuk orang-orang lanjut usia, khususnya bagi para perempuan yang sudah
memasuki fase post-menopause. Seiring bertambahnya usia, proses kehilangan massa tulang juga
akan semakin meningkat.
Densitas tulang atau Bone Mineral Density (BMD) dapat diukur menggunakan suatu alat,
yaitu Bone Densitometry.Berdasarkan nilai BMD tersebut, WHO mengklasifikasikan tingkat
massa tulang sebagai berikut:

Kriteria
Normal

Nilai BMD < -1 SD di bawah nilai rata-rata

Osteopenia

Nilai BMD -1 s/d -2,5 SD di bawah nilai rata-rata

Osteoporosis

Nilai BMD > -2,5 SD di bawah nilai rata-rata

Osteoporosis

Nilai BMD > -2,5 SD di bawah nilai rata-rata, disertai adanya 1 fracture

Berat

karena osteoporosis
Tabel 2. Tingkat massa tulang menurut WHO
Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi resiko terjadinya

fracture akibat osteoporosis ialah dengan cara biochemical melalui pemeriksaan laboratorium
darah lengkap, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, kadar albumin, kadar fosfor, kadar hormone
paratiroid, kadar 25-hidroksi vitamin D, pemeriksaan urin, dan sebagainya.
Membuat dan mengkonsultasikan rencana dan target latihan dengan dokter yang ahli di
bidang tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah dan mengurangi resiko terjadinya
fracture akibat latihan yang berlebihan dan tidak sesuai.

Diet tinggi kalsium dan mengkonsumsi suplemen kalsium.

Jika seseorang memiliki tingkat keseimbangan yang kurang baik, dapat dilakukan hal-hal
berikut ini:
o Menggunakan walker atau berjalan dengan bantuan tongkat untuk memperbaiki
keseimbangan, sehingga megurangi resiko jatuh yang dapat menyebabkan
fracture.

o Menggunakan padded underwear untuk melindungi tulang panggul, sehingga


mengurangi resiko terjadinya fracture jika mengalami kecelakaan kecil atau jatuh.
o Meminimalkan resiko terjatuh di rumah, yaitu dengan cara:

Menggunakan karpet atau keset karet pada lantai agar tidak terlalu licin

Memasang handrails di kamar mandi, lorong, dan tempat-tempat lainnya


sebagai pegangan saat berjalan.

Menyingkirkan barang-barang yang menghalangi jalan yang mungkin


menyebabkan tersandung, seperti kabel-kabel yang melintas di lantai.

Menggunakan sepatu atau sandal dengan alas karet atau alas non-slip

2.12 Prognosis
Tergantung pada sifat fracturenya, seorang atlet dapat kembali ke keadaan sebelum
terjadinya fracture tersebut.Displacedstress fracture pada fracturecollum femur dapat
mengakibatkan kelumpuhan walaupun diterapi dengan baik. Diagnosis dan penatalaksanaan awal
dapat mencegah terjadinya displaced pada fracture dan memperbaiki prognosis yang akan
terjadi.
2.13 Edukasi
Pasien harus mendapatkan pengertian yang baik tentang diagnosis dan keuntungan serta
kerugian dari pengobatan yang diterima. Melengkapi edukasi selama proses program rehabilitasi
sangat penting bagi pasien untuk mendapatkan hasil yang optimal dan memungkinkan pasien
kembali ke kondisi sebelum mereka mendapat cedera. Pasien harus peduli aktif terhadap diri
mereka dan mengerti bahwa pentingnya kesembuhan diri mereka, dan diberikan instruksi
terhadap program aktivitas di rumah mereka sesuai dengan porsi mereka. Edukasi terhadap
pasien merupakan hal yang penting untuk mencegah rekurensi terhadap fracturecollum femur.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Faiz, O. (2004). At A Glance Series Anatomy. Jakarta: Erlangga.


Long, C. Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah.
Mithcell, R. N. (2008). Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta: EGC.
Patel, P. R. (2006). Lecture Notes Radiologi. Jakarta: EMS.
Price, Slyvia A Dan Laraine M. Wilson.1995. Patofisiologi.Buku I .Edisi 4.Jakarta : EGC.
Rasjad C. 1992. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Bintang Lamumpatue, Ujung Pandang.
Sjamsuhidajat R dan de Jong, Wim (Editor).2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3.

Jakarta: EGC
8. Syamsir, HM. 2011. Kinesiologi Gerak Tubuh Manusia. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Yarsi Bagian Anatomi.
9. Tambayong, J. (2000). Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
10. http://medicastore.com.htm
11. http://etd.eprints.ums.ac.id/16548/

Anda mungkin juga menyukai