Anda di halaman 1dari 16

3

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Pembentukan Batubara
Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk dari
endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan
oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara
strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan
panas selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batubara.
2.1.1. Teori Pembentukan Batubara
Ada 2 teori yang menerangkan terjadinya batubara yaitu :
- Teori In-situ
Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori in-situ biasanya terjadi
di hutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut pada
saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut, dan sisa
tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan secara sempurna, dan
akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen organik.
Batubara yang dihasilkan dari proses ini memiliki kualitas yang baik.
Penyebaran batubara jenis ini sifatnya merata dan luas, bisa dijumpai di
wilayah Muara Enim, Sumatera Selatan.
- Teori Drift
Berdasarkan teori ini, batubara terbentuk bukan di tempat asal
tumbuhan itu berada. Tumbuhan yang telah mati akan terangkut air hingga
terkumpul di suatu tempat dan mengalami proses sedimentasi dan
pembatubaraan. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori drift biasanya
terjadi di delta-delta, mempunyai ciri-ciri lapisan batubara tipis, tidak
menerus (splitting), banyak lapisannya (multiple seam), banyak pengotor
(kandungan abu cenderung tinggi).
2.1.2. Tahap Pembentukan Batubara
Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap
biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Berikut
penjelasan lebih lanjut mengenai tahapan pembentukan batubara :

- Tahap Biokimia
Tahap biokimia (atau biogenetik) daripada metamorfisme organik
adalah aksi organisme hidup, khususnya dominan bakteri. Bakteri yang
berperan yaitu bakteri aerob dan bakteri anaerob serta jamur, bakteri aerob
menguraikan unsur karbon (C), Nitrogen (N), dan Karbon Dioksida (CO 2)
pada material tumbuhan, sedangkan bakteri anaerob menguraikan unsur
Hidrokarbon (CH), Asam (acid) serta alkohol (C 2H5OH) pada material
tumbuhan, proses ini berlangsung dibawah permukaan.
Dalam pembentukan batubara, material tanaman mengalami proses
penggambutan dan proses pembentukan humin terhadap humic matter.
Komposisi microbiologi tidak dapat terjadi diatas temperatur tertentu (>
80 oC). Proses ini berlangsung pada kedalaman satu sampai sepuluh meter
dibawah permukaan.
- Tahap Geokimia
Tahap geokimia, fase ini tidak ada lagi aktivitas organisme seperti
bakteri, tetapi didominasi oleh pengaruh peningkatan temperatur dan
tekanan, disebabkan oleh peningkatan kedalaman penimbunan unsur
organik dibawah tutupan sedimen (sedimentary overburden). Batas dari
fase tersebut yaitu pada kedalaman lebih dari sepuluh meter, tetapi bisa
dikatakan reaksi berakhir pada tingkat gambut dan aksi geokimia menjadi
agen utama pada tingkat brown-coal dan hard-coal.
Pada tahapan geokimia, terjadi peningkatan rank pada batubara
mulai dari lignite sampai pada tahap antrasit, seiiring dengan kenaikan
rank, maka terjadi pula kenaikan unsur karbon, nilai reflectan (Rmax)
dan CV (Calorivic Value) atau nilai kalori, serta terjadi penurunan
kandungan air (H2O), Vollatile Matter (VM), Hidrogen (H) dan Oksigen
(O). Nilai kalori batuabara bergantung pada peringkat batubara. Semakin
tinggi peringkat batuabara, semakin tinggi nilai kalorinya. Pada batubara
yang sama, nilai kalori dapat dipengaruhi oleh moisture dan juga abu.
Semakin tinggi moisture atau abu, semakin kecil nilai kalorinya.
Kandungan karbon secara sesuai pada rank batubara yaitu : Gambut

(55% C), Lignit (60% C), Sub-bituminus (70% C), Bituminus (80% C)
dan Antrasit (95% C).
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam Pembentukkan Batubara
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam Proses Pembentukkan
Batubara, yaitu :
1. Posisi Geoteknik
Posisi geoteknik adalah letak suatu tempat yang merupakan
cekungan sedimentasi yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya
tektonik lempeng. Proses tektonik yang terjadi akan berpengaruh pada
penyebaran batubara yang terbentuk. Makin dekat cekungan sedimentasi
batubara yang terbentuk atau terakumulasi dengan posisi kegiatan
tektonik, maka kualitas batubara yang dihasilkan akan semakin baik.
2. Keadaan Topografi Daerah
Daerah tempat tumbuhan berkembang, merupakan daerah yang
relatif mempunyai ketersediaan air. Tempat tersebut mempuyai topografi
yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang ada
disekelilingnya. Makin luas daerah dengan topografi rendah, maka makin
banyak pula tanaman yang tumbuh, sehingga makin banyak pula bahan
pembentuk batubara.
3. Iklim Daerah
Iklim sangatlah berperan penting dalam pertumbuhan tanaman.
Didaerah yang berilklim tropis, hampir semua tanaman dapat hidup yang
dikarenakan tingkat curah hujan dan ketersediaan matahari sepanjang
waktu yang memungkin tanaman tumbuh dengan cukup baik. Oleh karena
itu, didaerah yang beriklim tropis pada masa lampau sangatlah
memungkinkan didapatkan endapan batubara dalam jumlah banyak,
sebaliknya pada daerah yang beriklim subtropis mempunyai endapan
batubara yang relatif lebih sedikit.
4. Proses Dekomposisi
Proses dekomposisi tumbuhan merupakan bagian dari transformasi
biokimia pada bahan organik. Selama porses pembentukkan batubara, sisa
tumbuhan akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimia.
Setelah tumbuhan mati, proses degredasi biokimia lebih berperan. Proses

pembusukan (decay) akan terjadi sebagai akibat kinerja dari mikrobiologi


dalam bentuk bakteri anaerobic. Bakteri ini bekerja dalam keadaan tanpa
oksigen, menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti
selulosa, protoplasma, dan karbohidrat. Proses ini membuat kayu dapat
berubah menjadi lignit.
Selama poses biokimia berlangsung, dalam keadaan kurang oksigen
mengakibatkan keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon (C) yang
akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO)
dan metana (CH4). Akibat lepasnya unsur atau senyawa ini maka jumlah
unsur karbon (C) akan relatif bertambah.
5. Material dasar
Jenis dari tumbuhan yang menjadi material dasar pembentuk
batubara ini, sangat berpengaruh terhadap tipe dari batubara yang
terbentuk.
2. 2. Klasifikasi Batubara
Berdasarkan tinjauan beberapa senyawa dan unsur yang terbentuk
pada saat proses coalification (proses pembatubaraan) yang dikontrol oleh
tekanan, panas dan waktu, maka dapat dikenal beberapa jenis batubara
yaitu:
1. Antrasit
Antrasit merupakan kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam
mengkilat (luster) metalik, mengandung antara 86-98% unsur karbon (C)
dari beratnya, kadar air kurang dari 8%, terbakarnya lambat, nyala api biru
(pale blue flame) dengan sedikit sekali asap. Nilai panas yang dihasilkan
hampir 15.000 BTU per pon. Peringkat teratas batubara, biasanya dipakai
untuk bahan pemanas ruangan di rumah dan perkantoran.

Gambar 1. Batubara Antrasit

2. Bituminus
Bituminus mengandung 68 86 % unsur karbon (C) serta berkadar air
8 10 % dari beratnya. Nilai panas yang dihasilkan antara 10.500 sampai
15.500 BTU per pon. Batubaranya tebal, biasanya berwarna hitam
mengkilat, terkadang cokelat tua. Bituminous coal mengandung 86%
karbon dari beratnya dengan kandungan abu dan sulfur yang sedikit.
Umumnya dipakai untuk PLTU, tapi dalam jumlah besar juga dipakai untuk
pemanas dan aplikasi sumber tenaga dalam industri dengan membentuknya
menjadi kokas-residu karbon berbentuk padat.

Gambar 2. Batubara Bituminus


3. Sub bituminus
Sub bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, oleh
karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan
bituminus, dengan kandungan karbon 35-45% dan menghasilkan nilai panas
antara 8.300 hingga 13.000 BTU per pon. Meskipun nilai panasnya rendah,
batubara ini umumnya memiliki kandungan belerang yang lebih rendah
daripada jenis lainnya, yang membuatnya disukai untuk dipakai karena hasil
pembakarannya yang lebih bersih.
Karakteristiknya berada di antara batubara lignit dan bituminus,
terutama digunakan sebagai bahan bakar untuk PLTU. Batubara
subbituminus mengandung sedikit carbon dan banyak air, dan oleh
karenanya menjadi sumber panas yang tidak efisien.

Gambar 3. Batubara Subbituminus


4. Lignit atau Batubara Coklat
Lignit atau biasa dikenal dengan brown coal adalah batubara yang
sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya. Lignit merupakan
batubara geologis muda yang memiliki kandungan karbon terendah, 2535%. Nilai panas yang dihasilkan berkisar antara 4.000 hingga 8.300 BTU
per pon. Disebut juga batubara muda. Merupakan tingkat terendah dari
batubara, berupa batu bara yang sangat lunak dan mengandung air 70% dari
beratnya. Batu bara ini berwarna hitam, sangat rapuh, nilai kalor rendah
dengan kandungan karbon yang sangat sedikit, kandungan abu dan sulfur
yang banyak. Batu bara jenis ini dijual secara eksklusif sebagai bahan bakar
untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Gambar 4. Batubara Lignit


5. Gambut (C60H6O34)
Gambut berpori dan memiliki kadar air diatas 75% serta nilai kalori
yang paling rendah.

Dari penjelasan diatas, kita dapat mengetahui bahwa tingkat


pembatubaraan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan mutu
batubara, maka batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah disebut pula
batubara bermutu rendah seperti lignit dan sub-bituminus biasanya lebih
lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah,
memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang
rendah, sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu
batubara, umumnya akan semakin keras serta warnanya akan semakin hitam
mengkilat. Selain itu tingkat kelembabannya lebih rendah dan kadar
karbonnya tinggi, sehingga kandungan energinya juga semakin besar.
2. 3. Penambangan Batubara
Tahap Penambangan Batubara yaitu sebagai berikut ini :
1. Pengupasan Tanah Penutup
Pengertian kegiatan pengupasan lapisan tanah penutup yaitu
pemindahan suatu lapisan tanah atau batuan yang berada diatas tempat
galian, agar tempat galian tersebut menjadi terbuka. Untuk mewujudkan
kondisi kegiatan pengupasan lapisan tanah penutup yang baik diperlukan
alat yang mendukung dan sistimatika pengupasan yang baik.
Pekerjaan pengupasan lapisan tanah penutup merupakan kegiatan
yang mutlak harus dikerjakan pada pertambangan terutama pada kegiatan
penambangan yang menggunakan sistem tambang terbuka. Kegiatan
pengupasan lapisan tanah penutup ditentukan oleh rencana target produksi,
semakin baik rancangan pada pengupasan lapisan tanah penutup maka
rencana target produksi semakin baik. Untuk mewujudkan kondisi tersebut
diperlukan metode dan alat yang mendukung pengupasan lapisan tanah
penutup.
2. Pemboran
Pemboran dapat dilakukan untuk bermacam-macam tujuan, antara lain
adalah untuk penempatan bahan peledak, pemercontohan (merupakan
metoda sampling utama dalam eksplorasi), dalam tahap development seperti

10

penirisan dan tes pondasi, serta dalam tahap eksploitasi untuk penempatan
baut batuan & kabel batuan. Jika dihubungkan dengan operasi peledakan,
penggunaan terbesar adalah pemboran produksi (Nurhakim, 2004).
Prinsip pemboran adalah mendapatkan kualitas lubang ledak yang
tinggi dengan pemboran yang cepat dan dalam posisi yang tepat. Guna
mendapatkan hasil peledakan yang baik, yaitu volume bongkaran lapisan
batuan yang besar dengan fragmentasi yang sesuai untuk dimanfaatkan serta
biaya yang seminimal mungkin (Kartodharmo, 1989).
Pada dasarnya terdapat dua cara untuk membuat lubang ledak, yaitu
membor dengan lubang miring dan membor dengan lubang tegak.
3. Peledakan
Peledakan merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemboran yang
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk melepas batuan dari
batuan induknya dengan harapan menghasilkan bongkaran batuan yang
berukuran lebih kecil sesuai dengan yang diharapkan sehingga memudahkan
dalam proses pendorongan, pemuatan, pengangkutan, dan konsumsi
material (Kartodharmo, 1989).
Urutan pekerjaan peledakan adalah pemboran, pemuatan bahan
peledak dan penyambungan rangkaian peledakan.
Sebelum operasi peledakan dimulai, penentuan letak lubang ledak
harus dievaluasi dengan hati-hati untuk mendapatkan hasil yang
optimum dari bahan peledak yang dipilih. Lebih dari pada itu, penyediaan
lubang ledak yang tepat tentu saja untuk pembongkaran dengan biaya yang
rendah. karakteristik massa batuan dan kemampuan pembuatan lubang ledak
harus diidentifikasi.
Bahan peledak adalah suatu bahan kimia senyawa tunggal atau
campuran berbentuk padat, cair, gas atau campurannya yang apabila dikenai
suatu aksi panas, benturan, gesekan atau ledakan awal akan mengalami
suatu reaksi kimia eksotermis sangat cepat yang hasil reaksinya sebagian

11

atau seluruhnya berbentuk gas dan disertai panas dan tekanan sangat tinggi
yang secara kimia lebih stabil.
4. Penggalian dan Pemuatan
Semua satuan operasi yang terlihat dalam penggalian atau pemindah
tanah/batuan selama penambangan disebut penangan material (material
handling).Pada siklus operasi, dua operasi utama pemuatan dan transportasi
dengan kerekan sebagai operasi optimal ketiga, jika transportasi vertikal
diperlukan.
Pola pemuatan yang digunakan tergantung pada kondisi lapangan
operasi pengupasan serta alat mekanis yang digunakan dengan asumsi
bahwa setiap alat angkut yang datang, mangkuk (bucket) alat gali muat
sudah terisi penuh dan siap ditumpahkan. Setelah alat angkut terisi penuh
segera keluar dan dilanjutkan dengan alat angkut lainnya sehingga tidak
terjadi waktu tunggu pada alat angkut maupun alat gali-muatnya.
Pola pemuatan pada operasi pengangkutan di tambang terbuka
dikelompokkan berdasarkan posisi back hoe terhadap front penggalian dan
posisi dump truck terhadap back hoe. Proses pemuatan pada operasi
penambangan dapat dibagi tiga macam yaitu frontal cut, parallel cut with
drive-by, dan parallel cut with turn and back.
5. Pengangkutan (Hauling)
Material dalam jumlah besar dalam industri pertambangan di transport
dengan haulage (pemindahan tanah ke arah horisontal) dan hoisting
(pemindahan tanah ke arah vertikal).
Beberapa bagian dari pengangkutan ini meliputi :
1. Pengangkutan batubara dari daerah penambangan ke tempat penumpukan
(ROM Stockpile/Temporary Stockpile).
2. Pengangkutan waste/overburden ke lokasi waste dump/dump area (baik
berupa tanah pucuk/humus ataupun lapisan penutup)

12

2.4. Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara


Ditinjau dari segi pemanfaatannya, batubara dapat dibagi menjadi 3
(tiga) golongan, yaitu:
2.4.1. Batubara untuk Bahan Bakar
Sebagai bahan bakar, batubara dapat dimanfaatkan untuk mengubah
air menjadi uap didalam suatu ketel uap atau boiler PLTU, untuk
membakar bahan pembuat klinker dipabrik semen, dan sebagai bahan
bakar di industri-industri kecil. Pada kenyataanya, semua batubara dapat
dibakar, tetapi pemanfaatannya sebagai bahan bakar tertentu perlu
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu pula. Misalnya, sebagai bahan
bakar di PLTU diperlukan batubara yang mempunyai kandungan ash
<30%. Ketel yang memanfaatkan batubara halus dapat didesain agar bisa
membakar batubara dengan kandungan ash lebih tinggi lagi, katakanlah
50%. Akan tetapi, dengan kandungan ash yang demikian besar dapat
menimbulkan banyak masalah dalam pengoperasiannya. Bahkan pada
pembakaran batubara yang mengandung ash <30% pun masih banyak
menimbulkan masalah pada ketel karena dapat menyebabkan erosi dan
kerak pada tabung uap.
Umumnya, pembuatan sebuah ketel suatu PLTU dirancang untuk
membakar batubara dengan spesifikasi yang telah ditentukan, sesuai
dengan sifat batubara yang akan menjadi makanannya. Spesifikasi ini
kadang-kadang mempunyai nilai rentang yang agak panjang sehingga
dapat menampung batubara lebih dari satu sumber. Itulah sebabnya
mengapa sewaktu masih dalam tahapan eksplorasi dan studi kelayakan
tambang, berbagai parameter penting sebagai penentu tersebut dalam
sampel inti bor sudah mulai ditentukan. Jadi, suatu PLTU dibangun
menurut spesifikasi batubara yang akan membakarnya, bukan sebaliknya
(kecuali jika PLTU sudah ada dan perlu tambahan pasokan, harus dicari
batubara yang mempunyai spesifikasi sama dengan spesifikasi batubara
yang digunakan dalam perancangan ketel tersebut). Umumnya, batubara
harus cukup untuk memasok PLTU selama 30 tahun, karena umur PLTU
sekitar tiga puluh tahunan. Bila batubara pasokan tersebut masih kurang,

13

maka harus dicari batubara yang sifatnya sama dengan spesifikasi ketel
PLTU tersebut. Semua PLTU yang direncanakan dibangun di Indonesia,
satu unitnya berkapasitas 50 400 MW. Untuk yang berkapasitas >200
MW, umumnya dipakai cara pulverised fuel, sedangkan untuk yang
kapasitasnya lebih kecil digunakan cara fluidised bed combustion
ataupun pembakaran pada panggangan (grate firing).
Demikian pula dengan pabrik semen dewasa ini. Semuanya harus
menggunakan bahan bakar batubara, dan yang telah dibangun sebelum
Peraturan Presiden ditetapkan, harus mengganti bahan bakar minyaknya
dengan batubara. Untuk keperluan tersebut harus dibangun kiln untuk
membakar batubara yang didesain dengan spesifikasi tertentu, seperti
halnya PLTU. Hanya untuk pabrik semen, persyaratan yang diminta lebih
ringan bila dibandingkan dengan yang diminta untuk PLTU.
Pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar telah mulai dirintis
dalam industri kecil, seperti pabrik kertas, pabrik gula, pabrik bata,
pabrik genteng, dan pabrik kapur. Hal ini terutama untuk memanfaatkan
batubara dengan cadangan kecil.
Pada saat ini, Indonesia telah mencoba memanfaatkan batubara
untuk menggantikan minyak tanah sebagai bahan bakar tidak berasap
(smokeless fuel) di rumah tangga. Untuk keperluan tersebut, batubara
dikarbonisasikan pada suhu rendah, digerus dan diberi bahan perekat,
kemudian dicetak dan dibentuk menjadi briket batubara. Di VictoriaAustralia, bahan untuk briket batubara berasal dari batubara peringkat
(rank) rendah yang mengandung moisture tinggi, misalnya lignit yang
mengandung mositure >60%.
2.4.2. Batubara untuk Kokas
Kokas ialah residu padat yang tertinggal bila batubara dipanaskan
tanpa udara sampai sebagian zat yang mudah menguapnya hilang.
Batubara kokas adalah batubara yang bila dipanaskan tanpa udara sampai
suhu tinggi akan menjadi lunak, terdevolatilasasi, mengembang, dan

14

memadat kembali membentuk material yang porous. Material ini


merupakan padatan kaya karbon yang disebut kokas.
Kebanyakan kokas digunakan dalam pembuatan besi dan baja karena
memberikan energi panas dan sekaligus bertindak sebagai zat pereduksi
(reduktor) terhadap bijih besi yang dikerjakan didalam tanur suhu tinggi
atau tungku pembakaran (blast furnace). Kokas untuk keperluan tersebut,
umumnya padat dan relatif kuat, dihasilkan dari batubara tertentu., baik
tunggal maupun campuran, dalam oven kokas (coke oven). Residu hasil
karbonisasi yang merupakan material serbuk yang tidak berlubang atau
massanya menggumpal disebut char. Bahan ini dapat dibuat briket dan
digunakan sama seperti kokas (kokas jenis ini disebut sebagai formed
coke) atau langsung dipakai sebagai elektroda karbon.
Umumnya, ada dua istilah yang dapat membingungkan kita, yaitu
istilah caking dan coking. Caking ialah kemampuan batubara untuk
meleleh ketika dipanaskan dan kembali membentuk residu yang koheren
ketika didinginkan. Syarat mutlak untuk batubara kokas ialah batubara itu
harus meleleh membentuk cake jika dipanaskan. Tidak semua caking coal
adalah cooking coal. Coking digunakan untuk menerangkan bahwa
batubara tersebut cocok untuk dibuat kokas. Walaupun begitu, keterangan
ini berlawanan dengan definisi klasifikasi batubara hard coal menurut ISO
yang mendefinisikan caking kebalikan dari coking. Caking menunjukkan
penggumpalan (agglomeration) dan pengembangan (swelling). Selama
dipanaskan (index crucible swelling number dan Roga), sedangkan coking
menunjukkan penggumpalan dan pengembangan selama pemanasan
lambat (dilatation atau Gray-King coke type). Hal ini menimbulkan
kerancuan dalam pemakaian kedua istilah tersebut.
Batubara yang dapat dibuat kokas harus mempunyai peringkat dan
tipe tertentu. Sebagian zat organik dalam batubara mempunyai peranan
dalam sifat-sifat pelelehan tadi. Dalam batubara kokas yang prima, yaitu
yang membentuk kokas metalurgi yang sangat baik, harus dicapai suatu
perbandingan yang optimal antara zat yang reaktif dan zat yang inert (tidak
meleleh).

15

Berbagai parameter yang menentukan batubara kokas (peringkat dan


jenisnya telah memenuhi syarat), termasuk kokas metalurgi, ialah
kandungan ash tidak terlalu tinggi, hampir tidak mengandung sulfur dan
fosfor, serta zat yang mudah menguapnya dalam kokas harus kecil. Untuk
menentukan sifat-sifat batubara kokas digunakan crucible swelling
number, Gray King coke type, plastisitas dan fluiditas.
2.4.3. Batubara Konversi
Batubara konversi ialah batubara yang dimanfaatkan tidak sebagai
bahan bakar padat, tetapi energi yang dikandungnya, disimpan dalam
bentuk lain, yakni gas dan cairan. Pengubahan batubara dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu melalui pembuatan gas atau gasifikasi
(gasification) dan pencairan batubara atau likuifaksi (coal liquefaction).
1. Gasifikasi (Coal Gasification)
Secara sederhana, gasifikasi adalah proses konversi materi organik
(batubara, biomass atau natural gas) biasanya padat menjadi CO dan H 2
(synthesis gases) dengan bantuan uap air dan oksigen pada tekanan
atmosfer atau tekanan tinggi. Saat bahan bakar dibakar, energi kimia akan
dilepaskan dalam bentuk panas. Pembakaran terjadi saat Oksigen yang
terkandung dalam udara bereaksi dengan karbon dan hidrogen yang
terkandung dalam batubara dan menghasilkan CO2 dan air serta energi
panas. Dalam kondisi normal, dengan

udara yang tepat akan

mengkonversi semua energi kimia menjadi energi panas.


Namun , jika udara dikurangi maka pelepasan energi kimia dari
batubara akan berkurang, dan kemudian senyawa gas baru akan terbentuk
dari proses pembakaran yang tidak sempurna ini .Senyawa gas yang
terbentuk ini terdiri atas H2, CO, dan CH4 (methana), yang masih memiliki
potensi energi kimia yang belum dilepaskan. Dalam bentuk gas, potensi
energi ini akan lebih mudah dialirkan dan digunakan untuk sumber energi
pada proses lainnya, misalnya dibakar dalam boiler, mesin diesel, gas
turbine, atau diproses untuk menjadi bahan sintetis lainnya (menggantikan
bahan baku gas alam). Dengan fungsinya yang bisa menggantikan gas

16

alam, maka gas hasil gasifikasi batubara disebut juga dengan syngas
(syntetic gas). Syngas hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut
atau dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dan keperluan di industri
kimia untuk pembuatan pupuk dan metanol.

Gambar 5. Proses Gasifikasi


Sumber : adiimrf.wordpress.com
2. Pencairan Batubara (Coal Liquefaction)
Coal liquefaction adalah terminologi yang dipakai secara umum
mencakup pemrosesan batubara menjadi BBM sintetik (synthetic fuel).
Proses liquefaction bertujuan mengubah batubara menjadi minyak.
Penelitian yang dilakukan SASOL di Afrika Selatan yang telah berhasil
mengubah batubara menjadi minyak (gasolin, diesel, jet fuel), gas maupun
bahan kimia lain melalui pembuatan gas. Cara langsung ialah dengan
menghidrogenasikan batubara (rasio atom hidrogen/karbon = 0,7)
sehingga menjadi minyak (rasio atom hidrogen hidrogen/karbon >1.2).
Berikut adalah proses pengolahan batubara menjadi minyak :
Direct Coal Liquefaction-DCL
DCL adalah proses hydro-craacking dengan bantuan katalisator.
Prinsip dasar dari DCL adalah mengintroduksikan gas hydrogen kedalam
struktur batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil
sehingga

terbentuk

senyawa-senyawa

hidrokarbon

rantai

pendek

17

berbentuk cair. Proses ini telah mencapai rasio konversi 70% batubara
(berat kering) menjadi sintetik cair.
Faktor yang menjadikan proses DCL sangat bervariasi yaitu :
a. Spesifikasi batubara yang dipergunakan, sehingga tidak ada sebuah
sistem yang bisa optimal untuk digunakan bagi segala jenis batubara.
b. Jenis batubara tertentu yang mempunyai kecenderungan membentuk
lelehan (caking perform), sehingga menjadi bongkahan besar yang
dapat membuat reaktor kehilangan tekanan dan gradient panas
terlokalisasi (hotspot). Hal ini biasanya diatasi dengan mencampur
komposisi batubara, sehingga pembentukan lelehan dapat dihindari.
Batubara dengan kadar ash yang tinggi lebih cocok untuk proses
gasifikasi

terlebih

dahulu,

sehingga

tidak

terlalu

mempengaruhi

berjalannya proses.
Brown Coal Liquefaction Technology (BCL)
Teknologi yang mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi
produk yang berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan
bakar berkualitas serta ramah lingkungan.
Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara
yang berkualitas rendah. Langkah kedua melakukan proses pencairan di
mana hasil produksi minyak yang dicairkan ditingkatkan dengan
menggunakan katalisator, kemudian dilanjutkan dengan proses hidrogenasi
di mana heteroatom (campuran sulfur-laden, campuran nitrogen-laden, dan
lain lain) pada minyak batubara cair dipisahkan untuk memperoleh bahan
bakar bermutu tinggi, kerosin, dan bahan bakar lainnya. Kemudian sisa
dari proses tersebut (debu dan unsur sisa produksi lainnya) dikeluarkan.

18

Gambar 6. Proses Pencairan Batubara (Coal Liquefaction)


Sumber : adiimrf.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai