Anda di halaman 1dari 33

1

DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Menurut Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) PPOK adalah penyakit dengan karakteristik
keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan saluran napas
tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi dikarenakan bahan
yang merugikan atau gas.
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang mempunyai
hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler genetik. Keterbatasan
aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas
hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan
aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko
penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK.
Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh diameter saluran
nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor, antara lain meningkatnya
ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya produksi sputum di saluran nafas, dan
lain sebagainya. Gangguan aliran udara di dalam saluran nafas disebabkan proses inflamasi
paru yang menyebabkan terjadinya kombinasi penyakit saluran napas kecil ([[small airway
disease]]) dan destruksi parenkim (emfisema). Kerusakan pada jaringan parenkim paru, yang
juga disebabkan proses inflamasi, menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar pada saluran
nafas kecil dan penurunan rekoil elastik paru.

ETIOLOGI
Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi PPOK. Namun,
polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi nonpulmonal, dan pneumothorax dapat
memicu eksaserbasi akut. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa setidaknya 80 % dari
PPOK eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50% disebankan oleh bakteri,
30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi bersamaan oleh lebih dari satu
patogen menular tampaknya terjadi dalam 10 sampai 20% pasien. Meskipun ada data
epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang berkaitan dengan peningkatan

2
ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit, mekanisme yang terlibat
sebagian besar tidak diketahui. Emboli pulmonal juga dapat menyebabkan eksaserbasi PPOK
akut, dan, dalam satu penelitian terbaru, Emboli Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien
rawat inap dengan eksaserbasi PPOK

EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama yang agak jarang terekpose
karena kurangnya informasi yang diberikan.
Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar
10,1% (SE 4,8) pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8).
Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per
100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun
1979 sampai 1991. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan
6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).
PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita, termasuk pasien
yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya. Padahal mereka masih
dalam kelom-pok usia produktif namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas
yang kronik. Co morbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker
bronchial, infeksi paru-paru, trombo embolik disorder, keberadaan asma, hipertensi,
osteoporosis, sakit sendi, depresi dan axiety.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok yang banyak dipastikan memiliki
prevalen-si PPOK yang tinggi. Namun sangat disayangkan data prevalensi PPOK tidak
dimiliki oleh Indonesia, oleh sebab itu perlu dilakukan kajian PPOK secara komprehensip
agar pencegahan PPOK dapat dilakukan dengan baik.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
1. Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
2. Pertambahan penduduk

3
3. Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an
4. Industrialisasi
5. Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan
Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita
yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala
sesak terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik,
klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru
menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita
tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).

FAKTOR RISIKO
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
1. Perokok aktif
2. Perokok pasif
3. Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

2.
3.
4.
5.

1. Ringan : 0-200
2. Sedang : 200-600
3. Berat
: > 600
Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
Hipereaktiviti bronkus
Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

Beberapa faktor risiko antara lain


1. Pajanan dari partikel antara lain :
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
Negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan
obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif juga menyumbang terhadap
symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru
akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya.

4
b. Polusi indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek
misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak
diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Polutan indoor yang penting
antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan
pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan
mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta
perokok pasip. WHO melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung jawab
terhadap kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunnya.
c. Polusi outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang
paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap
pem-bakaran/pabrik/tambang.
d. Polusi di tempat kerja
Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu sayuran
dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas) dan
lingkungan industry.
2. Riwayat infeksi saluran napas berulang :Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut
yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Penyakit
saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacat-an sampai
pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
3. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik

Tipe PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia)
tahun 2005 maka PPOK dikelompokkan ke dalam :
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum dan dengan sesak napas derajad nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya menunjukkan VEP1 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 %
b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau
produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya me
c. nunjukkan VEP1 70% dan VEP1/KVP < 80% prediksi

5
d. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau empat
dengan gagal napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor
pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan
VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas
kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa gas darah dengan
kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia dengan hiperkapnia.

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (GOLD, 2011) GOLD 2011
GOLD1:
PPOK Ringan

VEP1 80% prediksi


VEP1 / KVP < 70%

GOLD 2:
PPOK Sedang
GOLD 3 :
PPOK Berat
GOLD 4 :
PPOK Sangat Berat

50% < VEP1< 80% prediksi


VEP1 / KVP < 70%
30% < VEP1< 50% Prediksi
VEP1 / KVP < 70%
VEP1< 30% prediksi
VEP1/ KVP < 70%

Panduan mengenai derajat / klasifikasi PPOK telah dikeluarkan oleh beberapa institusi seperti
American Thoracic Society (ATS), European Respiratory Society(ERS), British Thoracic
Society ( BTS ), Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease ( GOLD ) dan oleh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Ke lima panduan tersebut hanya mempunyai
perbedaan yang sedikit, kesemuanya berdasarkan rasio VEP1/KVP dan nilai VEP1. BTS,
ATS, GOLD dan PDPI merekomendasikan nilai absolut dari rasio VEP1/KVP harus kurang
dari 70% sedangkan ERS merekomendasikan VEP1/KVP kurang dari 88% untuk
mendiagnosis PPOK. Derajat keparahan PPOK ditentukan oleh nilai VEP1 yang sedikit
berbeda antara panduan yang ada.

6
1. Gejala Klinis
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya, dapat dimulai
dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa kelainan fisik sampai
kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena itu dibutuhkan diagnosa yang
akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa banding untuk dapat menegakkan penyakit
PPOK.2
Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang umumnya
muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi sputum kronis, (iii)
-sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari, memburuk pada saat
melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat terpapar asap rokok (baik perokok
aktif maupun perokok pasif), polusi udara, debu dan bahan kimia di tempat kerja, ataupun
asap hasil pembakaran alat masak, misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus (setiap
hari sepanjang tahun), disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK
adalah penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan
aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok, asap atau
gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid yang
berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali terjadi pada orang
perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat badan, abnormalitas nutrisi dan
disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga akan
meningkatkan risiko terjadinya infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi pernafasan,
fraktur, depresi, diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker paru.

PATOGENESIS - PATOFISIOLOGI
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal,
perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang
kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran
nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding
luar salurannafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat
sesuai berat sakit.

7
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang.Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari
berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan,
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya
akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4,tumuor necrosis factor
(TNF),monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive oxygen species(ROS). Faktorfaktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan
ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar danhipersekresi mukus.
Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8,selanjutnya terjadi
kerusakan seperti proses inflamasi.
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim
NADPH yang ada dipermukaan makrofagdan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke
molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat
hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron
dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida
(HOCl).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk
kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan fungsi paru terjadi
sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi
alveol yangmenuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh
leukosit dan polusidan asap rokok.

-----------------------------------------------------Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:
a. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
c. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. Perubahan patologi pada
PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal.
Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu
bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai

9
dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus
terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang
persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia,
sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan
direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling
ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan

limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam
lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel
radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari
alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema
panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan skar
emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola
kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga
udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi
pada saat proses inflasi.
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan
pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan

10
anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses
inflamasi yang melibatkan

netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-

mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan
parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat
seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti

merokok.

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan


PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan
dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B, chemotactic factors seperti CXC
chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF. Selain itu
ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan
paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan
makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi
pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas
pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru.
Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi
yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.
Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas
yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia,
disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan
destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap
hipertensi pulmonal.

11

-----------------------------------------------------Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paru-paru yang
merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat pada penderita PPOK.
Respon abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim (menyebabkan emfisema)
dan mengganggu perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis
saluran nafas kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan air trapping dan keterbatasan
saluran nafas yang progresif.
PERUBAHAN PATOLOGI PADA PPOK
Saluran Nafas Proksimal (Trakea, Bronki > 2mm diameter internal)
Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T, beberapa neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktural : Sel goblet, hipertrophi kelenjar submukosal ( keduanya
menyebabkan hipersekresi mukus), squamosa metaplasia epitelium.
Saluran Nafas Periferal (Bronkiolus < 2mm)
Sel inflamasi : Makrofag, (CD8+ > CD4+) limfosit T, limfosit B, folikel limfoid,
fibroblas, beberapa neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktural : penebalan dinding saluran nafas, fibrosis peribronkial, eksudat
inflamasi luminal, penyempitan saluran nafas, peningkatan respon inflamasi dan eksudat
yang berhubungan dengan kegawatan penyakit.
Parenkim Paru (bronkioulus respirasi dan alveoli)
Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T
Perubahan struktural : kerusakan dinding alveolar, apoptosis dinding epitel dan endotel.
Emfisema sentrilobular : dilatasi dan kerusakan bronkiolus respirasi (paling banyak pada
perokok)
Emfisema parasinar : kerusakan kantung alveolar dan bronkiolus respirasi (banyak
terdapat pada defisiensi alpha-1 antitrypsin)
Vaskular Pulmonal
Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.
Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel

12

SEL-SEL INFLAMSI PADA PPOK


Neutrofil : terdapat di dalam sputum perokok normal, kemungkinan berperan penting dalam
hipersekresi mukus dan melalui pelepasan protease.
Makrofag : Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan cairan
lavage bronkoalveolar. Berasal dari monosit darah yang berdiferensiasi dalam jaringan paru.
Menghasilkan peningkatan mediator inflamasi dan protease pada pasien PPOK, sebagai
respon terhadap asap rokok dan dapat menyebabkan fagositosis defektif.
Limfosit T : Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan parenkim paru.
Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan interferon. Sel CD8+ dapat menjadi sitotoksik
terhadap sel-sel alveolar.
Limfosit B : di dalam saluran nafas perifer dan diantara folikel limfoid, kemungkinan sebagai
respon terhadap kolonisasi kronik dan infeksi saluran nafas.
Eosinofil : protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat pada dinding
saluran nafas saat eksaserbasi.
Sel-sel Epitel : kemungkinan dipicu oleh asap rokok, untuk menghasilkan mediator inflamasi

Patogenesis
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi normal terhadap
partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung lama. Selain itu faktor genetik
ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut, diperburuk oleh stress oksidatif dan kelebihan
proteinase pada paru-paru. Secara bersamaan, mekanisme ini akan menyebabkan perubahan
patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag
dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel
struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru. Berbagai mediator inflamasi itu, akan

13
menarik sel inflamasi dari darah ( faktor kemotakik), memperkuat proses inflamasi (sitokin
proinflamasi), dan menginduksi perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses terjadinya
PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi. Oksidan dihasilkan oleh
asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari sel inflamasi teraktifasi seperti
makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki konsekuensi buruk pada paru paru, yang
meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan
eksudatplasma.

Asap rokok, Partikel dan gas beracun


Faktor penjamu
Inflamasi paru
Antioksidan

Antiprotease

Stress oksidatif

Protease

Mekanisme perbaikan
Patologi PPOK

14
Patofisiologis
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan FEV1
disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal, sementara penurunan
pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan parenkim paru. Besarnya inflamasi,
fibrosis dan eksudat pada saluran nafas kecil, berhubungan dengan penurunan FEV1 dan
rasio FEV1/FVC. Cepatnya penurunan FEV1, merupakan karakteristik dari PPOK. Obstruksi
saluran nafas periferal secara progresif, menyebabkan air trapping selama ekspirasi dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi, sehingga
kapasitas residu fungsional meningkat. Diperkirakan hiperinflasi berkembang sejak awal
penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk dispnea eksersional.
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi (VA/Q) disertai gangguan fungsi otot pernafasan, terjadilah retensi CO2.
Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien dengan PPOK. Hal
ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan jumlah sel-sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi saluran nafas kronis akibat asap rokok
dan agen berbahaya lainnya.
Hipertensi ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini disebabkan vasokonstriksi
hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang akhirnya menyebabkan trejadinya hiperplasia
intima. Pada PPOK, tejadi respon inflamasi pada pembuluh darah serupa dengan yang terlihat
pada saluran nafas dan pada disfungsi sel endotel

DIAGNOSIS PPOK
Diagnosis PPOK secara teoritis ditegakkan didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan fungsi paru atau spirometri.
I. Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara bertahap
selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai dengan berkurangnya
kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat, terjadinya perubahan pada saluran nafas
kecil dan fungsi paru. Timbul batuk prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi

15
berulang saluran nafas, kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak
mampu untuk melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap penderita yang
mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum dan/ atau adanya faktor resiko
(genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan rokok dan polusi udara, oksidatif stres,
gender, usia, infeksi saluran nafas, dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok, dan
dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin berat, timbul
sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan bertambah hebat dan
berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum pasien PPOK berwarna putih atau
mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi purulen atau mukopurulen dan kental.
Keluhan sesak bertambah berat bila terdapat infeksi.
II. Pemeriksaan Fisik
Pada stadium dini tidak diketemukan kelainan. Hanya kadang kadang terdengar
ronkhi pada waktu inspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronkhi
pada waktu ekspirasi dan inspirasi disertai mengi.
Pasien biasanya tampak kurus, juga didapatkan tanda tanda overinflasi paru seperti
diameter anteroosterior dada meningkat ( barrel-shaped chest ), kifosis, jarak tulang
rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang dari 3 jari, iga lebih horisontal dan
sudut subkostal bertambah. Fremitus taktil dada berkurang bahkan tidak ada
Pada perkusi dada terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih
rendah, dan pekak jantung berkurang. Suara nafas vesikuler berkurang dengan ekspirasi
memanjang atau kadang normal. Kadang disertai kontraksi otot otot pernafasan
tambahan. Lebih sering didapatkan dengan hernia inguinalis.
III. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau tidak ada kelainan,
dapat

juga

ditemukan

gambaran

bayangan

bronkus

yang

menebal,

corakan

bronkovaskuler meningkat,bula, diapragma letak rendah dan mendatar, paru paru lebih
hiperlusen karena adanya air trapping, disertai posisi jantung yang menggantung.
IV. Pemeriksaan Fungsi Paru

16
Spirometri adalah pengukuran volume dan aliran udara yang masuk dan keluar paruparu. Spirometer dapat mengukur volume paru, seperti volume tidal dan kapasitas paru,
seperti kapasitas total.
Bila pada hasil pemeriksaan spirometri didapatkan hasil 30%<VEP1<70% dan VEP1 /
KVP < 80% maka dipastikan menderita PPOK.

DIAGNOSIS PPOK
Faktor resiko
Sesak nafas
Usia
Batuk kronik disertai dahak
Riwayat pajanan : asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja
Keterbatasan aktifiti

Pemeriksaan fisik *

Curiga PPOK **

Pemeriksaan foto torak

Fasiliti spirometri (-)

Infiltrat, massa, dll

Fasiliti spirometri (+)

Normal

30% < VEP1 < 70 % prediksi


VEP1 / KVP < 80 %

PPOK secara klinis


Beresiko PPOK derajat 0
PPOK
Derajat I/II/III/IV

KETERANGAN
* Pemeriksaan fisik :
a. Normal
b. Kelainan
Bentuk dada : Barrel chest
Penggunaan otot bantu pernapasan

Bukan PPOK

17
Pelebarab sela iga
Hipertrofi otot bantu nafas
Fremitus melemah, sela iga melebar
Hipersonor
Suara nafas vesikuler melemah atau normal
Ekspirasi memanjang
Mengi

**Foto toraks curiga PPOK


a.

Normal

b.

Kelainan
Hiperinflasi
Hiperlusen
Diafragma mendatar
Corakan bronkovaskuler meningkat
Bullae
Jantung pendulum

-----------------------------------------------------Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin

18
b. Pemeriksaan khusus
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
o
o
o
o

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),

infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
o Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
o Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
-

Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)


Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema

tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater

Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah
Auskultasi
-

suara napas vesikuler normal, atau melemah


terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
ekspirasi memanjang
bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lipsbreathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing

19
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
-

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).


Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK
dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%

Uji bronkodilator
-

Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal
dan < 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
-

Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :


Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru

20
-

Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),

VR/KRF, VR/KPT meningkat


DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner


-

Sepeda statis (ergocycle)


Jentera (treadmill)
Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus


Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
-

Gagal napas kronik stabil


Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi
-

CT - Scan resolusi tinggi


Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran

21
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

------------------------------------------------------

PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
-

Mengurangi gejala
Mencegah eksaserbasi berulang
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi
atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

22
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat
diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena
memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan
dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum
bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dgn selangwaku tertentu atau kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
-

Kapan oksigen harus digunakan


Berapa dosisnya
Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen


5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

23
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok
permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan
berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan.
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil,
karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti
merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk
obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat
berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
-

Golongan antikolinergik

24
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
-

mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).


Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk
injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan
memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda.

Disamping

itu

penggunaan

obat

kombinasi

lebih

sederhana

dan

mempermudah penderita.
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak
( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.


b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas

25
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian
rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati, Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis
Tanpa gejala Tanpa obat, Gejala intermiten ( pada waktu aktiviti )
Agonis 2 Inhalasi kerja cepat
Bila perlu
Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromida 20 gr, 2 - 4 semprot 3
4x/hari
Inhalasi Agonis 2 kerja cepat
Fenoterol 100gr/semprot 2 - 4 semprot 3 - 4 x/hari
Salbutamol 100gr/semprot 2 - 4 semprot 3 - 4 x/hari
Terbutalin 0,5gr/semprot 2 - 4 semprot 3 - 4 x/hari
Prokaterol 10gr/semprot 2 - 4 semprot 3 x/hari
Kombinasi terapi Ipratropium bromid
2 - 4 semprot 20gr+salbutamol 100gr persemprot 3 - 4 x/hari
Pasien memakai Inhalasi agonis 2 kerja Inhalasi Agonis 2 kerja lambat ( tidak
dipakai untuk eksaserbasi )
Formoterol 6gr, 12gr/semprot 1 - 2 semprot 2 x/hari tidak melebihi 2 x/hari
Atau timbul gejala pada waktu malam atau pagi hari.
Salmeterol 25gr/semprot 1 - 2 semprot 2 x/hari tidak melebihi 2 x/hari
Teofilin Teofilin lepas lambat, Teofilin/ aminofilin 150 mg x 3 - 4x/hari 400 800mg/hari 3 - 4 x/hari

26
Anti oksidan N asetil sistein 600mg/hr
Pasien tetap mempunyai gejala dan atau terbatas dalam aktiviti harian meskipun
mendapat pengobatan bronkodilator maksimal Kortikosteroid oral

(uji kortikosteroid ).

Prednison Metil prednisolon 30 - 40mg/hr selama 2mg Uji kortikosteroid memberikan


respons positif Inhalasi Kortikosteroid
Beklometason 50gr, 250gr/semprot 1 - 2 semprot 2 - 4 x/hari.
Budesonid 100gr, 250gr, 400gr/semprot 200 - 400gr 2x/hari maks 2400gr/hari.
Sebaiknya pemberian kortikosteroid inhalasi dicoba bila mungkin untuk memperkecil
efek samping Flutikason 125gr/semprot 125 - 250gr
2x/hari maks 1000gr/hari
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen
-

Mengurangi sesak
Memperbaiki aktiviti
Mengurangi hipertensi pulmonal
Mengurangi vasokonstriksi
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Meningkatkan kualiti hidup

-----------------------------------------------------Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada derajat
keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging berdasarkan
spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada implementasi praktis dan harus
digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi umum untuk dilakukan pengobatan.
Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan gejala,
mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kondisi kesehatan dan
meningkatkan toleransi olah raga.

27
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :
1.

Mencegah progresivitas penyakit

2.

Mengurangi gejala

3.

Meningkatkan toleransi latihan

4.

Mencegah dan mengobati komplikasi

5.

Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang

6.

Mencegah atau meminimalkan efek samping obat

7.

Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

8.

Meningkatkan kualitas hidup penderita

9.

Menurunkan angka kematian

Berdasarkan dari tujuan penatalaksanaan PPOK maka program berhenti merokok juga
menjadi perhatian utama, karena asap rokok merupakan penyebab terpenting bagi timbulnya
PPOK.
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui 4 komponen program
tatalaksana :
1.

Evaluasi dan monitor penyakit


Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai atau pasien yang telah
di diagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring penyakit :
a. Pajanan faktor resiko, jenis zat dan lamanya terpajan.
b. Riwayat timbulnya gejala atau penyakit
c. Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya Asma dan TB
paru.
d. Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat penyakit paru
kronik lainnya.
e. Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung, rematik atau penyakit
yang menyebabkan keterbatasan aktifitas.
f. Rencana pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK.
g. Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti keterbatasan aktifitas,
kehilangan waktu kerja dan pengaruh ekonomi, dan perasaan cemas.
h. Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko terutama berhenti merokok.

28
i. Dukungan dari keluarga.

Karakteristik gejala PPOK adalah dispnea kronik dan progresif, artinya fungsi
paru akan menurun seiring bertambahnya usia, batuk dan produksi sputum, dapat
mendahului terjadinya keterbatasan aliran nafas. Meski PPOK didefinisikan atas
dasar keterbatasan aliran nafas, pada prakteknya keputusan untuk mendapatkan
pertolongan medis umumnya ditentukan dari dampak suatu gejala terhadap kualitas
hidup pasien. Untuk itu monitor penting yang harus dilakukan adalah memperhatikan
gejala klinis dan fungsi paru penderita.

2.

Menurunkan faktor resiko


Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progesifitas penyakit.
Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak semudah membalik
telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita dan kalau perlu bisa dibantu
dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok ini bahkan bisa masuk kategori candu
karena begitu seseorang mencoba merokok maka nikotin yang terserap dalam darah
akan diteruskan ke otak dan ditangkap oleh reseptor alfa 4 beta 2 sehingga
merangsang pelepasan dopamin yang memberikan rasa nyaman. Sehingga saat
seseorang berhenti merokok, dopamin akan berkurang dan menimbulkan hilangnya
rasa nyaman selanjutnya akan timbul keinginan kembali untuk merokok, terjadilah
lingkaran setan yang akan sangat sulit diputuskan.
Untuk itu bagi kita para dokter telah dibuatkan strategi untuk membantu pasen
berhenti merokok. Dikenal dengan istilah 5 A:
a. Ask ( Tanyakan )
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Asdvise ( Nasihati )
Beri dorongan yang kuat untukberhenti merokok.
c. Assessment ( menilai )
Keinginan untuk usaha berhenti merokok.

29
d. Assist ( membantu )
Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling dan
merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur)
Buat jadwal kontak lebih lanjut.
3.

Tatalaksana PPOK stabil

Tatalaksana PPOK stabil

EDUKASI

FARMAKOLOGI

NON FARMAKOLOGI

Berhenti merokok
REGULER
Rehabilitasi
Pengetahuan dasar PPOK
Bronkodilator
Terapi oksigen
Obat-obatan
Anti kolinergik
Vaksinasi *
Pencegahan perburukan2 penyakit
Agonis
Nutrisi
Menghindari pencetus Xantin
Ventilasi non mekanik
Penyesuaian aktifitas
Kombinasi SABA + Antikolinergik
Intervensi bedah
Kombinasi LABA + Kortikosteroid
Antioksidan
Dipertimbangkan mukolitik

Keterangan :
Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid positif. Uji
steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10-14 hari atau
inhalasi selama 6 minggu 3 bulan menujukkan perbaikan gejala klinisatau
fungsi paru.
SABA : short acting 2 Agonis
LABA : long actng 2 Agonis
* Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :

30
Pasien usia diatas 60 tahun
Pasien PPOK sedang dan berat
4.

Tatalaksana PPOK eksaserbasi


Akut eksaserbasi adalah suatu kejadian yang terjadi secara alamiah, dalam
perjalanan penyakit PPOK hal itu ditandai dengan perubahan dispnea, batuk, dan atau
produksi sputum yang jauh dari normal.
Gejala eksaserbasi akut :
Batuk bertambah
Produksi sputum bertambah
Sputum berubah warna
Sesak napas bertambah
Keterbatasan aktifitas bertambah
Penurunan kesadaran

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK


1.

Optimalisasi penggunaan obat-obatan

a. Bronkodilator
Agonis beta-2 kerja cepat kombinasi dengan antikolinergik perinhalasi
(nebuliser)
Xantin intravena (bolus dan drip)
b. Kortikosteroid sistemik
c. Antibiotik
Gol. Makrolid baru
Gol. Kuinolon
Sefalosporin generasi III / IV
d. Mukolitik
e. Ekspektoran
2.

Terapi oksigen

3.

Terapi nutrisi

31
4.

Rehabilitasi fisik dan respirasi

5.

Evaluasi progesifitas penyakit

6.

Edukasi

Penatalaksanaan pasien PPOK eksaserbasi akut bisa dilakukan dengan rawat jalan atau rawat
inap bergantung pada kondisi pasien.

PENCEGAHAN
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum ada faktor
resiko PPOK, meliputi: menciptakan lingkungan yang bersih dan berperilaku hidup sehat
seperti tidak merokok.
2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Tujuan dari pencegahan primer adalah
untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab
penyakit dan faktor-faktor resikonya. Pecengahan primer meliputi:
a. Kebiasaan merokok harus dihentikan
b. Memakai alat pelindung seperti masker di tempat kerja (pabrik) yang terdapat asap mesin,
debu
c. Membuat corong asap di rumah maupun di tempat kerja (pabrik)
d. Pendidikan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan PPOK
3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk mencegah orang yang
telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan
menghindari komplikasi.27 Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk
mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari
penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.
a. Diagnosis Dini
Untuk menetapkan diagnosis dini PPOK pada pasien adalah dengan
pemeriksaan faal paru, radiologis, analisis gas darah, dan defisiensi AAT.

Pemeriksaan Faal Paru


Pemeriksaan faal paru adalah pemeriksaan untuk mengetahui
apakah seseorang mempunyai faal paru yang normal atau
mengalami gangguan. Gangguan faal paru pada PPOK adalah
obstruksi (hambatan aliran udara ekspirasi). Faal paru seseorang
meningkat mulai sejak dilahirkan sampai mencapai nilai maksimal

32
pada umur antara 19-21 tahun, kemudian menurun secara berlahan.
Penurunan faal paru juga terjadi pada orang normal sebesar 30 ml
pertahun untuk nilai Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP 1).
Pemeriksaan faal paru sangat berguna untuk menunjang diagnosa
penyakit, melihat laju perjalanan penyakit, evaluasi pengobatan, dan
menentukan prognosis penyakit. Pemeriksaan dengan menggunakan
alat spirometri sangat dianjurkan karena sederhana dan akurat.

Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan atau menyokong
diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Pada emfisema gambaran yang
paling dominana adalah radiolusen paru yang bertambah, dan pembuluh darah paru
mengalami penipisan atau menghilang. Selain itu dapat juga ditemukan pendataran
diafragma dan pembesaran rongga retrosternal. Pada bronkhitis kronik tampak adanya
penambahan bronkovaskular dan pelebaran dari arteri pulmonalis, disamping itu
ukuran jantung juga mengalami pembesaran.

Pemeriksaan Analisis Gas Darah


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien-pasien dengan nilai VEP 1 <
40 % prediksi, pasien dengan gagal jantung kanan serta pasien yang
secara klinis dicurigai adanya gagal napas. Dikatakan adanya gagal
napas apabila dari analisis gas darah didapat nilai tekanan parsial O 2
(PaO2) kurang dari 60 mmHg, dengan atau tanpa adanya
peningkatan tekanan parsial CO2 (PaCO2) lebih dari 45 mmHg

Pemeriksaan Defisiensi Alfa 1 Antitripsin (AAT)


Pemeriksaan dilakukan dengan skrining adanya defisiensi alfa 1
antitripsin pada pasien yang mengalami PPOK sebelum berusia 45
tahun atau pasien dengan riwayat keluarga PPOK. Pemeriksaan
kadar AAT di dalam darah dengan metode Imuno-turbidimetri. Nilai
normal AAT adalah 200-400 mg/100cc.7 Kadar dibawah 20% dari
normal menunjukkan bahwa pasien homozigot defisiensi AAT. Kadar
diatas 20% tidak ada pengaruhnya terhadap perkembangan PPOK

b. Pengobatan
Adapun pemberian pengobatan terhadap penderita PPOK meliputi: bronkodilator,
kortikostreroid, antibiotik, pemberian oksigen dan pembedahan.
Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat utama dalam penatalaksanaan PPOK. Bronkodilator utama
pada PPOK adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin atau kombinasi obat tersebut.
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara regular hanya boleh diberikan pada pasien
yang telah tercatat dari hasil spirometri berespon terhadap steroid, atau pada pasien
yang VEP1 < 50%.9 Dapat juga diberikan dalam bentuk oral dengan dosis tunggal
prednison 40mg/hari paling sedikit selama 2 minggu, maka pengobatan kortikosteroid
sebaiknya dihentikan. Pada pasien yang menunjukkan perbaikan, maka harus
dimonitor efek samping dari kortikosteroid pada penggunaan jangka lama.
Antibiotik
Antibiotik merupakan salah satu obat yang sering digunakan dalam penatalaksanaan
PPOK. Pemberian antibiotik dengan spektrum yang luas pada infeksi umum yang
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza dan Mycoplasma.
Pemberian Oksigen

33

Pemberian oksigen jangka panjang terhadap penderita PPOK pada analisis gas darah
didapatkan. Pemberian oksigen jangka panjang (lebih dari 15 jam/hari) pada pasien
dengan gagal nafas kronis dapat meningkatkan survival, memperbaiki kelainan
hemodinamik, hemotologis, meningkatkan kapasitas exercise dan memperbaiki status
mental.
Pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada PPOK berat dan tindakan
operasi diambil apabila diyakini dapat memperbaiki fungsi paru atau
gerakan mekanik paru. Jenis operasi pada PPOK adalah bullectomy,
Lung Volume Reduction Surgery (LVRS) dan transplantasi paru.

4. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)


Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan
rehabilitasi. Pencegahan tertier meliputi:
a. Rehabilitasi Psikis
Rehabilitasi psikis bertujuan memberikan motivasi pada penderita untuk dapat menerima
kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan bahkan akan mengalami
kecemasan, takut dan depresi terutama saat eksaserbasi. Rehabilitasi psikis juga bertujuan
mengurangi bahkan menghilangkan perasaaan tersebut.
b. Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan yang dapat dilakukan
penderita sesuai dengan gejala dan fungsi paru penderita. Diusahakan menghindari
pekerjaan yang memiliki risiko terjadi perburukan penyakit.
c. Rehabilitasi Fisik
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas fisik
serta diikuti oleh gangguan pergerakan yang mengakibatkan kondisi
inaktif dan berakhir dengan keadaan yang tidak terkondisi. Tujuan
rehabilitasi fisik yang utama adalah memutuskan rantai tersebut
sehingga penderita tetap aktif.

Anda mungkin juga menyukai