Anda di halaman 1dari 2

Nama : Aenny Marroh Ukhti NF

NIM

: 3401413032

Antropologi Gender

Saya sangat setuju sekali dengan apa yang ditulis oleh Prof. Tri Marhaeni PA
dalam bukunya yang berjudul Konstruksi Gender dalam Realitas sosial, terlebih
tentang konten yang ada dalam BAB I tentang konsep gender dan jenis kelamin dan
pada BAB VIII tentang ketidakadilan gender. Seperti yang dijelaskan pada BAB I yaitu
untuk memahami konsep gender harus mampu membedakan konsep jenis kelamin dan
seks. Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 1996).
Misalnya seorang perempuan memiliki Rahim, indung telur, payudara dan vagina
sedangkan laki-laki memiliki jakun, penis dan memproduksi sperma. Alat-alat tersebut
secara biologis melekat pada laki-laki dan perempuan secara permanen dan tidak dapat
dipertukarkan atau yang sering dikatakan kodrat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan konsep gender adalah suatu sifat yang
melekat pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural.
Karena kontruksi tersebut berlangsung secara terus-menerus maka seolah-olah sifat
tersebut sangat melekat pada laki-laki dan perempuan. Misalnya seorang laki-laki
diidentikan dengan sifat yang kuat, rasional, dan perkasa. Jadi jika ada masalah laki-laki
dilarang untuk menangis, karena menangis adalah milik perempuan. Seorang laki-laki
juga tidak boleh memiliki sifat yang lemah lembut karena jika sifat tersebut terdapat
dalam diri laki-laki biasanya diidentikan dengan banci. Sedangkan seorang perempuan
harusnya mempunyai sifat lemah lembut, irasional, nurut dan tidak boleh neko-neko.
Sebenarnya hal tersebut bisa dipertukarkan dan bisa dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan. Perbedaan gender sebenarnya tidaklah menjadi masalah selagi tidak
melahirkan ketidakadilan gender. Namun kenyataannya banyak persoalan perbedaan
gender yang melahirkan ketidakadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan.
Sejalan dengan apa yang telah dijelaskan pada BAB VIII , ketidakadilan gender
adalah segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan laki-laki yang bersumber

pada keyakinan gender. Model sosial ketidaksetaraan perempuan telah digarisbawahi


oleh Michelle Rosaldo, dia mendefinisikan ketidaksetaraan sebagai sebuah kondisi
dimana perempuan secara universal dibawah laki-laki, dan laki-laki menjadi dominan
karena partisipasi mereka dalam kehidupan publik dan merendahkan perempuan ke
lingkup domestik. Partisipasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan ke dalam
kehidupan publik tidak hanya memberikan kenaikan otoritas laki-laki atas perempuan
secara universal, namun juga penilaian yang lebih tinggi terhadap peran laki-laki
dibandingkan perempuan (Rosaldo dan Lamphere, 1974).
Ketidakadilan gender dialami oleh perepuan diberbagai bidang seperti
kesehatan, ekonomi, pendidikan, politik dan lain sebagainya. Contoh ketidakadilan
gender ini seperti Beban Ganda atau Double Burden, yaitu pembagian tugas atau
tanggung jawab yang selalu memberatkan pihak perempuan. Adanya anggapan dari
masyarakat bahwa perempuan harus memiliki sifat merawat, memelihara, mengasuh
dan rajin mengakibatkan semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung
jawab kaum perempuan. Jadi, perempuan harus bekerja keras dalam menjaga
kebersihan dan kerapihan rumah tangganya muali dari menyapu, mencuci, memasa,
memelihara anak dan lain sebagainya. Apalagi jika selain menjadi ibu rumah tangga,
perempuan tersebut juga bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda. Semua urusan
yang menyangkut rumah tangga semua menjadi milik perempuan dan ia masih juga
bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Keyakinan gender bahwa hanya perempuan lah yang harus mengelola rumah
tangga telah memperkuat keyakinan masyarakat bahwa seorang perempuan harus
bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan rumah tangga atau
domestik. Sosialisasi peran gender seperti ini sangat menyebabkan rasa bersalah bagi
perempuan apabila ia tidak melakukan peran gender-nya dengan baik yaitu pekerjaan
rumah tangganya. Sementara seorang laki-laki tidak merasa bahwa pekerjaan tersebut
merupakan tanggung jawabnya, bahkan di beberapa tradisi suatu masyarakat laki-laki
dilarang melakukan pekerjaan yang dianggap sebagai peran gender perempuan.

Anda mungkin juga menyukai