Anda di halaman 1dari 2

Berita tentang musibah yang dialami oleh ratusan siswa di SMA 3 Semarang

masih hangat diperbincangkan oleh berbagai media. Kasus yang merugikan 380 siswa
di SMA 3 Semarang masih bergulir hingga hari ini. Aksi saling tuding pun masih
digelar oleh berbagai pihak yang bersangkutan atas kasus tidak diterimanya 380 siswa
dari SMA 3 Semarang di SNMPTN tahun 2016 ini. Tudingan awal sistem SKS yang
diterapkan SMAN 3 Semarang menjadi pemicu musibah ini muncul.
Sebagaimana telah diketahui bahwa di SMAN 3 Semarang telah menerapkan
sistem pendidikan regular dan SKS. Khusus untuk siswa kelas IPA yang terdiri dari 380
anak, menggunakan sistem SKS dan yang menerapkan sistem satuan kredit semester
(SKS), tak ada satupun yang lolos seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri
(SNMPTN) 2016. Namun setelah dicek lebih lanjut, kejadian seperti ini hanya terjadi di
SMAN 3 Semarang. Padahal di seluruh Indonesia, ada 50 sekolah yang menerapkan
sistem SKS dan siswanya lulus SNMPTN. Jadi memang seharusnya tidak ada masalah
dengan SKS-nya.
Berita di media massa terbaru muncul dengan memberitakan bahwa titik
kesalahan ada pada pengisian data saat pendaftaran SNMPTN. Setelah hasil investigasi
panitia SNMPTN keluar, ternyata nilai yang diinput sekolah ke website pangkalan data
sekolah dan siswa (PDSS) tidak komplit. Nilai-nilai yang tidak komplit itu hanya untuk
siswa kelompok IPA yang menerapkan SKS. Padahal syarat seleksi adalah siswa harus
komplit nilai mata pelajarannya mulai semester 1 sampai semester 5. Dari pihak panitia
tidak bisa mentoleransi jika ada nilai mata pelajaran yang bolong. Sebab yang
melakukan seleksi adalah sistem yang bekerja secara otomatis.
Pupus sudah harapan siswa-siswi di SMAN 3 Semarang untuk meraih Perguruan
Tinggi sesuai apa yang diinginkan lewat jalur SNMPTN. Sebelumnya, siswa-siswi di
SMAN 3 Semarang sangat optimis akan diterima di Perguruan tinggi pada jalaur
SNMPTN. Karena menurut siswa-siswi di SMA 3 Semarang mereka mempunyai
segudang prestasi termasuk meraih medali emas olimpiade nasional dan sangat yakin
bahwa mereka layak masuk di Perguruan Tinggi yang mereka pilih. Namun, kenyataan
karena adanya kesalahan dalam penginputan data dan ini murni bukan kesalahan dari

siswa, mereka para siswa jurusan IPA Reguler dinyatakan tidak ada yang lolos pada
jalur SNMPTN.
Pihak sekolah mengklaim mengenai kegagalan diterimanya siswa SMA 3
Semarang akibat dari fasilitas SNMPTN yang tidak memadai. SMAN 3 Semarang telah
menerapkan SKS + menu. Hal ini yang menjadi pembeda dari SMA-SMA lainnya yang
hanya menerapkan SKS biasa. SKS + menu yang dimaksudkan adalah siswa bebas
memilih mata pelajaran sesuai dengan apa yang ia inginkan dan apa yang ia butuhkan
pada waktu yang juga bebas ditentukan oleh siswa tersebut. Berbeda halnya pada
Sekolah Menengah Atas (SMA) lainnya, pihak sekolah telah membuat semacam jadwal
runtut apa saja mata pelajaran yang harus diambil siswa pada semester ini dan apa saja
yang belum boleh diambil siswa pada semester ini. Misalnya siswa di SMAN 3
Semarang hanya mengambil 8 sks dalam satu semester namun pada SMA lainnya wajib
mengambil 10 sks dalam satu semester.
Namun dari pihak panitia SNMPTN tidak melihat adanya perbedaan sistem SKS
tersebut. Dalam sistem PDSS SNMPTN hanya memfasilitasi sistem SKS biasa.
Sebenarnya pihak sekolah sudah menghubungi panitia SNMPTN untuk menanyakan
prmasalahan tersebut namun tidak segera ditangani oleh pihak panitia SNMPTN.
Hasilnya justru mengagetkan, penilaian pada SNMPTN semua disamaratakan dan
dibagi dengan jumlah yang sama. Misalnya siswa pada SMAN 3 Semarang dalam satu
semester hanya mengambil 8 sks saja, namun cara penilaiannya disamakan dengan
siswa SMA lainnya yang menerapkan SKS biasa (contoh mengambil 10 sks dalam satu
semester) yaitu dengan menjumlahkan dan membagi dengan 10 sks, tentu nilainya akan
jauh lebih sedikit. Ironisnya tidak ada kebijakan dari pemerintah untuk membedakan
atau mengkhususkan sendiri dalam melihat hasil akhir pada nilai siswa di SMAN 3
Semarang. SKS + menu di SMAN 3 Semarang berbeda dengan SKS pada SMA-SMA
lainnya, namun hal ini tidak melanggar UUD jadi seharusnya boleh-boleh saja
menggunakan sistem SKS + menu ini. Dari pemerintah seharusnya dapat menyesuaikan
atau membuat kebijakan sendiri terkait pada SKS + menu ini, jangan disamaratakan
dengan sistem SKS biasa pada SMA lainnya. Jika dari pihak pemerintah tidak bisa
membuat kebijakan sendiri mengenai adanya SKS + menu seharusnya tidak usah ada
UU yang memperbolehkan diselenggarakannya pendidikan dengan sistem yang kreatif.

Anda mungkin juga menyukai