Anda di halaman 1dari 22

SISTEM ENDOKRIN

(ENDOCRINE SYSTEM)
REVIEW
Organisme tingkat tinggi (multicellular) dengan unit
fungsional yang terdiri dari kumpulan sel dan organ akan
merespons berbagai perubahan lingkungan luar
(extrinsic stimuli) maupun lingkungan dalam tubuhnya
(intrinsic stimuli) dengan melakukan proses
homeostasis.
Selain itu, untuk menjaga keberlangsungan hidup dan
eksistensinya organisme juga melakukan fungsi vegetatif
seperti proses metabolisme, regulasi nutrisi, kembang
dan tumbuh, serta reproduksi.
Keseluruhan proses tersebut di atas akan mempengaruhi
pemunculan perilaku organisma hewan yang terjadi
dengan melibatkan interaksi antara sistim saraf dan
sistim endokrin.

Sistem saraf memiliki karakteristik mampu


menghantarkan transmisi sinyal secara cepat (rapid
transmission; finely graded signals), sedangkan pada
sistem endokrin transmisi sinyal akan dihantarkan secara
lambat dan terus menerus (slow and chronic
transmission signals) serta melibatkan sistem peredaran
yang mencakup daerah tubuh yang luas.

Pembawa pesan utama (first messenger) dari sistem


saraf neurotransmitter yang diproduksi oleh sel saraf
(neuron) yang mampu membawa informasi dari saraf
sensoris berupa impuls menuju sistim saraf pusat untuk
diolah lebih lanjut yang pada akhirnya akan menuju
sel/organ target.
Pada sistm endokrin pembawa pesan utamanya adalah
hormone; hormon merupakan senyawa organik yang
diproduksi oleh kelenjar/sel-sel sekretoris tertentu dalam
jumlah sedikit dan mampu mempengaruhi aktivitas selsel lain.

Setiap hormon memiliki fungsi spesifik dan


mempengaruhi organ target yang specifik pula. Dalam
sistem regulasinya, kelenjar hormon mampu mengatur
sekresi hormon pada saat yang tepat.

Kontrol sekresi hormon dipengaruhi a.l. oleh :


- aksi saraf (neural stimuli)
- aksi hormon lainnya (hormonal stimuli)
- aksi senyawa kimia (humoral stimuli).
Hormon yang disintesis dan disekresi oleh kelenjar/selsel sekresi didistribusikan melalui sirkulasi darah menuju
sel target a.l.:
- menuju sel yang memproduksi hormon itu sendiri
(sel autokrin)
- menuju sel tetangga (sel parakrin)

Namun ada pula hormon yang didistribusikan menuju sel


target secara:
- langsung melalui akson (sel neurokrin)
- tidak langsung melalui akson terlebih dahulu dan
dilanjutkan melalui sirkulasi darah (sel neuroendokrin)

Hypothalamus merupakan pusat pengatur proses


homeostatis, fungsi vegetatif tubuh, dan fungsi
hormonal. Kerja hypothalamus berada di bawah
pengaruh kontrol otak.

Kelenjar hipofise (hypophysis/pituitary gland)


merupakan bagian dari hypothalamus dan disebut
sebagai Gland Master karena mengontrol kelenjar
endokrin lainnya.

KONTROL HORMON
TERHADAP PERILAKU
Sistem saraf berperan penting dalam hal inisiasi,
koordinasi dan eksekusi terjadinya perilaku.
Sistem endokrin berperan penting dalam pengontrolan
saat pemunculan perilaku khas muncul dalam
kehidupan hewan, seperti:
- kontrol terhadap perkembangan dan ekspresi
perilaku seksual hewan (melibatkan hormon seks
testosterone, oestrogen, progesterone)
- kontrol terhadap pematangan organ-organ seks
hewan betina dan jantan (melibatkan FSH/ folliclestimulating hormone)
- kontrol pematangan sel-sel saraf di bagian tertentu
pada otak yang memungkinkan hewan belajar (a.l.
pada burung dan mamalia yang melibatkan hormonhormon seks)
- regulasi proses menyusui (pada
(melibatkan hormon PRL/prolactin)

mamalia)

- regulasi tubuh terhadap tekana atau stress


melibatkan hormon ACTH (adrenocorticotropic
hormone) (lihat Gambar 1)
- regulasi tubuh terhadap perubahan suhu lingkungan
(melibatkan
hormon TSH/thyroid-stimulating
hormone)

- regulasi pemasukan beberapa senyawa makanan


untuk proses metabolisme tubuh (melibatkan
hormon GH/growth hormone)
Namun demikian agar pemunculan perilaku dapat
berlangsung dengan baik, maka diperlukan sistem
regulasi melalui mekanisme umpan balik (feedback
mechanisms) yang terintegrasi dan terkoordinasi antara
sistem saraf dan sistem endokrin (Gambar 1)
Pengaruh hormon terhadap perilaku dipelajari pertama
kali oleh Berthold, seorang ilmuwan Perancis, yang
melakukan kastrasi pada ayam jantan dapat menunda
pertumbuhan jengger dan pial serta menghilangkan
sifat perilaku ayam jantan tersebut (Gambar 2)
Hormon steroid tidak hanya mengontrol ekspresi
seksual primer dan sekunder pada individu jantan
burung kenari (Serinus canaria), namun juga berperan
penting dalam proses belajar dan perkembangan
kemampuan bersuara (Gambar 3).
Pada hewan mamalia, induksi hormon seks pada tikus
yang baru lahir akan menentukan perkembangan pola
perilaku seksual pada tahap dewasa (Gambar 4).
Perbedaan perilaku seksual individu dan suatu
organisma tingkat tinggi diatur oleh hormon steroid
yang mempengaruhi pula fungsi otak dan organ target.
Hal tsb merupakan contoh nyata hubungan antara
pengaruh perkembangan secara genetis saat neonatal
dan ekspresi perilaku saat dewasa.
5

Gambar 1. Interaksi antara hormon, sistim saraf pusat dan perilaku melalui
mekanisme umpan balik (feedback mechanism). Stimulus lingkungan
yang ditangkap oleh saraf sensoris akan mempengaruhi sistem saraf pusat
sehingga otak akan meregulasi sekresi hormon dan pemunculan perilaku.
Sekresi homon oleh sistem endokrin (yang diproduksi melalui
hipotalamus hipofise kelenjar endokrin) akan secara aktiv
menstimulasi:
(1) respons fisiologis pada sel-sel target di otak dan tubuh
(2) regulasi umpan balik terhadap hipotalamus dan hipofise untuk
memproduksi lebih banyak hormon
(3) respons perilaku melalui aksi neurotransmitter yang dilepaskan oleh
sel target di otak
Contoh di atas merupakan respons dari hipotalamus yang memproduksi
CRH (corticotropin releasing hormone), selanjutnya mempengaruhi
kelenjar
hipofise
anterior
untuk
memproduksi
ACTH
(adrenocorticotropic hormone) dan akhirnya mempengaruhi kelenjar
endokrin pada korteks adrenal yang melepaskan hormon kortikosteron
terhadap munculnya sebuah tekanan (stressor).

Gambar 2. Percobaan endokrin I oleh Berthold.


Jika testis individu ayam jantan dikastrasi maka menyebabkan
individu tidak memiliki pertumbuhan asesoris seksual primer
(testis) dan sekunder (jengger dan pial) yang normal,
menunjukkan perilaku bersuara dan agresiv yang lemah serta
tidak dapat berkopulasi dengan individu ayam betina.
Perbaikan dengan cara mentransplantasi testis (yang salah
satunya telah dikastrasi sebelumnya) pada individu yang sama
atau individu lainnya akan memperbesar testis hasil
transplantansi sehingga individu jantan reseptiv terhadap betina,
mampu bersuara nyaring dan berperilaku lebih agresiv terhadap
individu jantan lainnya.

Gambar 3. Pengaruh testosterone terhadap otak burung kenari

(Serinus canaria). Pada musim semi banyak jenis


burung bernyanyi akan mempertahankan daerah
teritori, berkompetisi dan menunjukkan dominansinya
terhadap individu jantan lainnya yang bertujuan untuk
menarik perhatian individu betina untuk berpasangan
dan bereproduksi. Hormon steroid (testosteron)
ternyata terlibat dalam ekspresi perilaku tsb di atas.
Selain itu peningkatan hormon testosteron akan
mempengaruhi volume perkembangan area sel-sel
otak yang bertanggung jawab terhadap produksi suara
mapun proses belajar yang memungkinkan terjadinya
penambahan silabel/note baru. Ukuran setiap area
yang berkembang proporsional terhadap volume otak
yang menempati area tersebut.
Saat musim dingin ukuran area otak tsb pada individu
jantan hampir sama besar dengan ukuran area otak
individu betina sehingga produksi suara individu
jantan dan betina tidak berbeda jauh. Namun bila
kedua individu diinduksi kemabli oleh testosteron,
maka kemampuan produksi suara akan meningkat
kembali seperti semula.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 4. Apakah pendedahan testosteron di saat lahir dapat


mempengaruhi perilaku seksual anak tikus?

10

(a)
tikus dewasa yang mengalami pemandulan
jika diberi perlakuan estradiol akan memperlihatkan
postur lordosis yang menunjukkan tikus reseptiv
dan siap untuk dibuahi, namun setelah diberi
perlakuan testosteron tikus menjadi tidak
menunjukkan postur lordosis (reseptiv).
(b)
tikus neonatal yang mengalami pemandulan
dibiarkan hidup hingga mencapai usia dewasa dan
menerima perlakuan estradiol akan memperlihatkan
postur lordosis, namun saat diberi perlakuan
testosteron postur lordosis menghilang
(c)
saat tikus neonatal yang mengalami
pemandulan dan diberi perlakuan testosteron dan
ketika mencapai saat dewasa diberi perlakuan
estradiol tidak akan memperlihatkan postur lordosis,
namun setelah diberi perlakuan testosteron postur
lordosis muncul dan reseptiv terhadap tikus
(d)
tikus dewasa yang mengalami pemandulan
jika diberi perlakuan estradiol tidak akan
memperlihatkan postur lordosis, namun setelah
diberi perlakuan testosteron tikus mampu
berkopulasi dengan individu
(e)
tikus neonatal yang mengalami pemandulan
dibiarkan hidup hingga mencapai usia dewasa dan
menerima perlakuan estradiol akan memperlihatkan
postur lordosis, namun saat diberi perlakuan
testosteron postur lordosis menghilang dan tidak
mampu berkopulasi dengan reseptiv.
11

(f)

saat tikus neonatal yang mengalami


pemandulan dan diberi perlakuan testosteron dan
ketika mencapai saat dewasa diberi perlakuan
estradiol tidak akan memperlihatkan postur lordosis,
namun setelah diberi perlakuan testosteron tikus
memperlihatkan perilaku seksual normal dan
mampu berkopulasi dengan tikus yang reseptiv.

Kesimpulan:
(i)

Perkembangan perilaku seksual dewasa


dipengaruhi oleh pendedahan hormon seks
(testosteron) di otak pada tikus neonatal,
sedangkan perkembangan perilaku seksual tikus
tidak membutuhkan pendedahan hormon seks
(estradiol) di otak saat neonatal.

(ii) Pemberian testosteron pada tikus neonatal akan


mempengaruhi maskulinisasi otak tikus dan
yang menyebabkan kedua individu dan tsb
akan mengekspresikan perilaku saat dewasa
(iii)

Saat dewasa hormon testosteron berpengaruh


terhadap ekspresi perilaku seksual , sedangkan
hormone estrogen (estradiol) berpengaruh terhadap
ekspresi seksual

12

Hormon mampu menstimulasi perubahan pada neuron


motoris dan otot tubuh sehingga mempengaruhi
pemunculan perilaku yang spesifik, seperti yang
terlihat pada katak Xenopus laevis (Gambar 5)
Individu katak yang mengeluarkan suara nyaring
(call) saat musim kawin akan menarik perhatian
lawan jenisnya sehingga memungkinkan terjadinya
kopulasi antara individu dan .
Jenis suara trill (pengulangan not suara yang sama
dalam tempo yang sangat cepat) yang dihasilkan
individu mampu membangkitkan gairah seksual
katak .
Kemampuan menghasilkan mating call tsb
merupakan produksi dari otot-otot larynx yang
tereksitasi oleh saraf di pertemuan saraf-otot
(neuromuscular junction).
Karakteristik larynx dan neuromuscular junction
ternyata berbeda di antara individu dan . Saat
menghasilkan mating call otot pada laryinx katak
secara bergantian mampu berkontraksi dan beristirahat
secara cepat 71 kali/detik lebih banyak jika
dibandingkan dengan individu yang hanya mampu
melakukan kontraksi otot larynx 6 kali/detik saat
bersuara.

13

Mengapa kemampuan otot larynx pada katak dan


berbeda? Diketahui bahwa pada fase metamorfosis,
jumlah otot larynx pada kedua jenis seks ( dan )
adalah sama/identik. Sejalan dengan pendewasaan
individu dan pematangan gonad, peningkatan kadar
hormon androgen mempengaruhi penambahan jumlah
dan tipe otot larynx yang akhirnya mempengaruhi pula
pemunculan trill pada mating call katak .

Gambar 5. Katak akan reseptiv terhadap katak saat setelah mendengar


suara mating call berupa trill dalam tempo yag sangat cepat
(gambar atas), sedangkan saat mendengar suara clicks dalam
tempo lambat betina tidak akan responsiv. Kedua efek suara tsb
dipengaruhi oleh hormone androgen pada otot larynx.

14

Pada hewan invertebrata hormon juga mengatur


berbagai aspek fisiologi dan perilaku reproduksi,
seperti proses regenerasi (e.g. cacing pipih dan
annelida), perubahan warna (e.g. crustaceae),
pergantian kulit dan metamorfosis (e.g. insekta).
Insekta / serangga merupakan organisme hewan yang
memiliki jenis terbanyak di dunia (> 750.000 spesies).
Perkembangan
insekta
melibatkan
proses
metamorfosis yang melibatkan suatu seri perubahan
dari fase juvenil yang membutuhkan pembentukan
eksoskeleton baru dan berakhir pada proses pergantian
kulit tubuh (moulting) hingga fase dewasa sempurna
terbentuk.
Beberapa serangga seperti belalang berkembang
melalui metamorfosis tidak sempurna (incomplete
metamorphosis) karena organ tubuhnya terbentuk
secara bertahap, sedangkan insekta lain seperti lalat,
kumbang,
kupu-kupu
berkembang
melalui
metamorfosis sempurna (complete metamorphosis)
yaitu mengalami perubahan langsung dari larva hingga
stadium dewasa (Gambar 6).

15

(A)

(B)

Gambar 6. Metamorphosis pada insekta


(A) metamorphosis tidak sempurna
(B) metamorphosis sempurna

16

Hormon dan neurosekresi meregulasi proses


pertumbuhan, perkembangan, dan perilaku serangga
yang diketahui terdapat di lima lokasi tubuhnya
(Gambar 7), yaitu:

Gambar 7. Kelenjar endokrin dan sel-sel neurosekretoris


insekta

1. sel-sel neurosekresi yang berlokasi di otak


2. sepasang kelenjar corpora cardiaca yang terletak tepat di belakang
otak
3. sepasang kelenjar corpora allata yang berada di sepanjang
esofagus
4. sebuah kelenjar protorakik (prothoracic gland) yang terletak di
belakang kepala
5. gonad dan yang terletak di bagian ujung tubuh posterior.

17

Pergantian kulit (moulting) dan metamorfosis serangga


dikontrol oleh interaksi antara dua hormon yaitu:
(1) MH (moulting homone) yang mengendalikan
proses tumbuh dan diferensiasi struktur tubuh
hewan dewasa. MH disekresi oleh kelenjar
protorakik.
(2) JH (juvenile hormone) yang mengendalikan
retensi/mempertahankan karakteristik juvenil. JH
disekresi oleh corpora allata.
Saat serangga mencapai pertumbuhan menjelang dewasa
(immature), kelenjar endokrin corpora allata akan
mensekresi JH dan ketika setiap larva mengalami
pergantian kulit, JH akan menekan metamorfosis dan
mempertahankan karakteristik juvenil. Namun sejalan
dengan perjalanan waktu, konsentrasi JH menurun
sehingga metamorfosis terjadi dan serangga berubah
bentuk dari larva menjadi pupa.
Saat pergantian kulit serangga, beberapa faktor
lingkungan (e.g. perubahan suhu) akan mengaktivasi
pula sel-sel neurosekretori yang berada di otak untuk
mensekresi hormon otak (BH : brain hormone) yang
akan disimpan di corpora cardiaca.
Ketika dilepaskan dari corpora cardiaca, BH
selanjutnya akan menstimulasi sekresi MH dari kelenjar
protorakik sehingga terjadilah proses tumbuh dan
pergantian kulit. Perubahan bentuk dari pupa hingga
menjadi individu dewasa terjadi ketika sekresi JH
terhenti dan aktivitas MH meningkat (Gambar 8).
18

Gambar 8. Kontrol hormonal untuk proses molting dan metamorphosis


pada insekta (kupu-kupu)

19

Pada serangga yang hidup dalam koloni (eusocial


insect) seperti lebah madu, rayap dan semut, JH
berperan dalam diferensiasi perbedaan kasta.
Beberapa karakteristik serangga eusosial adalah:
1. individu spesies yang sama bekerjasama dalam hal
pemeliharaan anak
2. terjadi pembagian kerja; individu pekerja adalah
steril dan berfungsi membantu pasangan individu
yang fertil
3. terdapat dua generasi berbeda (induk dan anak)
yang berkontribusi dalam pembagian kerja dalam
koloni
Dalam sebuah koloni lebah madu terdapat seekor
lebah ratu dan lebah pekerja (dapat mencapai 80.000
ekor). Penampilan morfologi lebah ratu dan pekerja
sangat berbeda.
Lebah ratu memiliki tubuh sangat besar, abdomen
besar karena banyak mengandung ovarium, bagian
mulut dan alat penyengat tereduksi, tidak memiliki
struktur anggota tubuh yang dapat berfungsi untuk
mengumpulkan madu. Lebah ratu berfungsi untuk
memproduksi telur dalam jumlah banyak (reproduksi).
Lebah pekerja adalah lebah betina yang tidak
mengalami pembuahan/fertilisasi dan menjalankan
semua tugas yang berhubungan dengan koloni, kecuali
bereproduksi (mempertahankan koloni, memelihara
anak/individu muda, dan mencari makan).

20

Lebah pekerja memiliki morfologi yang sesuai dengan


tugasnya (tubuh ramping, bagian mulut dan alat
penyengat tumbuh sempurna, memiliki anggota tubuh
yang dapat berfungsi untuk mengumpulkan madu).
Pembagian kerja antar lebah ratu dan lebah pekerja
berdasarkan perbedaan umur pada lebah pekerja.
Perilaku lebah pekerja berubah secara dramatis sesuai
dengan pertambahan umur (age polyethism)
(Gambar 9).
Lebah pekerja muncul setelah berubah dari pupa
menjadi lebah dewasa serta hidup selama + 6 minggu;
pada masa tsb terjadi perubahan yang mendasar dari
tugas lebah pekerja yang spesifik, yaitu:
(1)
(2)

(3)

dewasa muda (umur 1-12 hari), fungsi lebah


terspesialisasi untuk membersihkan sel-sel
sarang
usia tengah baya (umur 13-20 hari), memiliki
tugas yang berhubungan dengan pemeliharaan
anak dan lebah ratu, pemeliharaan sarang,
penyimpan makanan
usia dewasa dan tua (umur > 20 hari), bertugas
untuk mencari makan di lingkungan alaminya.

Fenomena age polyethism dipengaruhi oleh JH.

21

Gambar 9. Peningkatan titer hormone mempengaruhi pembagian


Tugas lebah pekerja

22

Anda mungkin juga menyukai