Anda di halaman 1dari 4

BAB III

PEMBAHASAN
Kasus yang diperoleh adalah suatu bentuk asma intermiten serangan berat. Asma
merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang melibatkan sel
dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan
hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam
hari atau awal pagi. Episodik ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran
pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.
Pada kasus ini akan dibahas lebih lanjut mengenai asma lebih khususnya
asma intermiten serangan berat. Secara umum asma selalu dihubungkan dengan
gangguan pada mediator otot polos di saluran napas dan kelainan struktur anatomi
mukosa saluran napas. Dalam beberapa tahun terakhir, telah dikemukakan bahwa
pada sistem mediator imun, seperti halnya leukotrien, prostaglandin, faktor
pengaktivasi platelet, serta beberapa faktor seperti histamine dan bronkokonstriktor
lainnya juga mampu meningkatkan kepekaan sistem mediator imun pada saluran
napas, sehingga menimbulkan kontraksi otot polos pada bronkus. 2,10,12,14 Meskipun
begitu, penyebab-penyebab terjadinya penyakit asma dikategorikan menjadi
penyebab alergi dan non alergi, tetapi tidak menutup kemungkinan bisa disebabkan
oleh kedua faktor tersebut.11,13,14
Pada kasus ini didiagnosa dengan asma intermiten serangan berat berdasarkan
dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada kasus ini dilakukan aloanamnesa dengan orangtua penderita, didapatkan
tanda-tanda yang mengarah pada diagnosis penyakit asma. Beberapa tanda-tanda dari
hasil aloanamnesa yang mengarah ke diagnosis asma diantaranya keluhan utama
berupa sesak napas yang pada mulanya terjadi pada malam hari. Sesak napas diiringi
adanya suara napas berupa mengi (wheezing) pada saat penderita menghembuskan
napasnya (ekspirasi). Pasien memiliki riwayat asma sebelumnya namun jarang

20

mengalami serangan. Berdasarkan teori beberapa gejala asma yaitu batuk sesak
dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi
kronik dan hiperaktivitas bronkus.2
Pada anamnesis riwayat penyakit dalam keluarga didapatkan adanya penyakit
asma yang juga diderita oleh ibu penderita. Salah satu faktor resiko yang dapat
mengakibatkan asma dan memicu untuk terjadinya seranga asma diantaranya adalah
riwayat atopik keluarga. Berdasarkan studi kohort yang dilakukan oleh Steinke JW
dan Borish L, apabila seorang anak memiliki satu orang tua yang memiliki alergi,
maka anak tersebut memiliki kemungkinan menderita alergi sebesar 33 % dan
kemungkinan alergi pada anak yang kedua orangtuanya menderita alergi sebesar
70%.15
Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, dari tanda-tanda vital
didapatkan keadaan umum tampak sesak nafas, dan kesadaran irritable, nadi
100x/menit, pernafasan 52 x/menit, suhu 37,0oC. Pada pemeriksaan inspeksi thoraks
ditemukan retraksi intercostal dan subcostal, pergerakan dinding dada cepat dan
simetris, pada perkusi ditemukan suara paru hipersonor pada kedua lapang baru, dan
pada auskultasi ditemukan vesikuler menurun serta wheezing meningkat pada akhir
ekspirasi yang merupakan salah satu gejala khas penyakit asma. Berdasarkan teori
pada pemeriksaan fisik pasien asma sering ditemukan perubahan cara bernafas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi thoraks. Pada inspeksi dapat ditemukan nafas cepat,
kesulitan bernafas, menggunakan otot nafas tambahan di dada. Pada auskultasi dapat
ditemukan mengi, ekspirasi memanjang. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa diagnosis dari kasus adalah asma bronkial.3
Pemeriksaan rontgen thoraks menjadi pertimbangan untuk menentukan
adanya kelainan lain atau penyakit pada paru seperti kecurigaan pneumotoraks,
ateletaksis atau adanya aspirasi benda asing. 2 Pada pasien ini hasil foto toraks
didapatkan hasil hiperaerasi pada kedua lapang paru dan tidak terdapat gambaran
atelektasis.
Klasifikasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana.
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) membagi asma menjadi 3 yaitu asma

21

episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Dasar pembagian adalah
frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas di luar serangan, dan beberapa
pemeriksaan penunjang.14 Berdasarkan penilaian tersebut pada kasus ini penderita
mengalami sesak pertama kali pada usia 2 tahun, sesak dialami > 5x setiap tahun
sampai usia 6 tahun. Sesudah 6 tahun penderita mengalami sesak/asma kira-kira 1x
dalam 1 tahun, tidak ada gejala diantara serangan, dan pemeriksaan fisik diluar
serangan tidak ada kelainan serta selama ini penderita tidak memakai obat pengendali
asma. Setelah dilakukan penilaian menurut berdasarkan klasifikasi PNAA dan GINA
maka diagnosis pada pasien ini adalah asma intermiten serangan berat.
Pada kasus pasien ditatalaksana dengan pemberian oksigen, terapi cairan
berupa pemberian IVFD D5% + Aminofilin, pemberian kortikosteroid, nebulisasi agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pada teori tatalaksana awal terhadap
pasien adalah pemberian -agonis dengan penambahan garam fisiologis secara
nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang waktu 20 menit.
Pada pemberian ketiga, nebulisasi ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal
ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan,
karena penilaian derajat secara klinis dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.6,7
Pada penatalaksaan di ruang inap, ada beberapa hal yang dilakukan, yaitu.8,9

Pemberian oksigen diteruskan

Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena
0,5-1 mg/kg/BB/hari.

Nebulisasi -agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika
dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.

Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis :


Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis
awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam
fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.

22

Jika pasien telah mendapat amonofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan
separuhnya.
Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.

Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam
dan steroid serta aminofilin diganti pemberial peroral.

Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
obat -agonis (hirup atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam.
Steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48
jam untuk reevaluasi tatalaksana.
Beberapa studi menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak

berlanjut menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya. Proporsi kelompok
tersebut berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe
studi, dan lamanya pementauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik
pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya
asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan
menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3
keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada
keadaan bukan flu.8
Prognosis pasien pada kasus ini cukup membaik, hal ini berdasarkan pada
perkembangan oleh pasien dari hari ke hari berupa berkurangnya keluhan-keluhan
berupa wheezing dan sesak yang terjadi.

23

Anda mungkin juga menyukai