Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai
adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran
nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. Global Initiative
for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.1-3
World Health Organization (WHO) tahun 2011, 235 juta orang di seluruh dunia
menderita asma dengan angka kematian lebih dari 8 % di negara-negara berkembang yang
sebenarnya dapat dicegah. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga

mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma
sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun
belakangan ini. Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur adalah 4,5%
dengan prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%) .1,4,5

Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering menyebabkan


anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta aktifitas seluruh
keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat, menurunkan kualitas hidup
penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan. Selain itu, mortalitas asma
relatif tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat asma.6
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan
tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan
frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah
menghindari faktor penyebab.6
Adapun beberapa hal yang diduga menjadi penyebab meningkatnya
prevalensi asma maupun meningkatnya penyakit alergi diantaranya yaitu tingginya
tingkat polusi udara, baik di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan
(outdoor).4,5,6 Polusi udara yang terjadi di dalam ruangan seperti debu ruangan yang
jarang dibersihkan dan juga kadang-kadang asap rokok. Sedangkan polusi yang

terjadi di luar ruangan seperti asap yang disebabkan oleh kendaraan bermotor, pabrik
maupun

rokok.

Polutan-polutan

tersebut

akan

berefek

pada

peningkatan

hiperesponsifitas bronkus yang akan menimbulkan gejala klinis berupa sesak napas.
Oleh sebab itulah, faktor lingkungan sangat memegang peranan penting dalam
menentukan manifestasi penyakit ini.2,5
Patogenesis

asma

berkembang

dengan

pesat.

Pada

awal

60-an,

bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an


berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi
juga disertai adanya remodelling.5,6 Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak
pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan
untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi
bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan
antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga
harus dapat mencegah terjadinya remodelling.7 Namun pada dasarnya, tujuan
tatalaksana serangan asma untuk melebarkan jalan nafas secepat mungkin,
mengurangi hipoksemia, dan mengembalikan fungsi paru ke keadaaan normal
secepatnya, serta mencegah kekambuhan.8
Berikut ini akan di bahas laporan kasus mengenai asma intermiten serangan
berat.

Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering dijumpai


pada anak. Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai
gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini
menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk,
khususnya pada malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.1,2
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2011, 235 juta orang di
seluruh dunia menderita asma dengan angka kematian lebih dari 8 % di negaranegara berkembang yang sebenarnya dapat dicegah.3 National Center for Health
Statistic (NCHS) pada tahun 2011, menyatakan prevalensi asma menurut usia sebesar
9,5 % pada anak dan 8,2 % pada dewasa sedangkan menurut jenis kelamin 7,2% lakilaki dan 9,7% perempuan.4 Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma
pada semua umur adalah 4,5% dengan prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi
Tengah (7,8%).5
Adapun beberapa hal yang diduga menjadi penyebab meningkatnya
prevalensi asma maupun meningkatnya penyakit alergi diantaranya yaitu tingginya
tingkat polusi udara, baik di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan
(outdoor).4,5,6 Polusi udara yang terjadi di dalam ruangan seperti debu ruangan yang
jarang dibersihkan dan juga kadang-kadang asap rokok. Sedangkan polusi yang
terjadi di luar ruangan seperti asap yang disebabkan oleh kendaraan bermotor, pabrik
maupun

rokok.

Polutan-polutan

tersebut

akan

berefek

pada

peningkatan

hiperesponsifitas bronkus yang akan menimbulkan gejala klinis berupa sesak napas.
Oleh sebab itulah, faktor lingkungan sangat memegang peranan penting dalam
menentukan manifestasi penyakit ini.2,5
Patogenesis

asma

berkembang

dengan

pesat.

Pada

awal

60-an,

bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an


berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi

juga disertai adanya remodelling.5,6 Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak


pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan
untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi
bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan
antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga
harus dapat mencegah terjadinya remodelling.7 Namun pada dasarnya, tujuan
tatalaksana serangan asma untuk melebarkan jalan nafas secepat mungkin,
mengurangi hipoksemia, dan mengembalikan fungsi paru ke keadaaan normal
secepatnya, serta mencegah kekambuhan.8
Berikut ini akan di bahas laporan kasus mengenai asma bronkial episodik
jarang serangan berat.

Anda mungkin juga menyukai