Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TERSTRUKTUR FORTIFIKASI PANGAN

FORTIFIKASI FE PADA IBU HAMIL


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fortifikasi Pangan

Oleh :
Gilang Respati
Siva Febidamara
Erni Astutiningsih
Nurini Cahyaningtiyas
Ika Nurafni Friliyani

(A1M012055)
(A1M013020)
(A1M013038)
(A1M013041)
(A1M013050)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu masalah gizi utama di Indonesia adalah anemia gizi besi (AGB) yang
disebabkan karena kekurangan asupan zat besi dalam bahan pangan yang
dikonsumsinya. Dibanding dengan penyakit anemia yang lain, anemia gizi besi
merupakan penyakit kekurangan zat gizi yang paling lazim terjadi di dunia, termasuk
Indonesia. Menurut badan kesehatan dunia (world health organization/WHO), lebih
dari dua milyar penduduk dunia berisiko menderita anemia gizi. Populasi yang
rentan terhadap AGB adalah bayi dan balita, anak usia sekolah, remaja putri dan
wanita dewasa, serta ibu hamil dan ibu menyusui, pekerja berpenghasilan rendah
serta orang lanjut usia.
Anak-anak penderita anemia mengalami gangguan perkembangan fisik dan
mental. Wanita hamil dan bayi yang menderita anemia akan mengalami pengurangan
kemampuannya melawan infeksi secara nyata. Anemia pada orang dewasa dapat
menyebabkan kelelahan dan berdampak pada rendahnya produktivitas kerja. Lebih
jauh lagi, defisiensi besi (dalam hal simpanan zat besi dalam tubuh) dapat terjadi
tanpa munculnya gejala klinis. Anemia gizi besi adalah anemi yang timbul karena
kekurangan zat besi, sehingga pembentukan sel darah merah dan fungsi-fungsi yang
lain dalam tubuh terganggu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai
berikut: (1) makanan yang dikonsumsi tidak cukup mengandung zat besi; (2)
terdapatnya gangguan penyerapan zat gizi; (3) terjadinya peningkatan kebutuhan,
misalnya dalam kondisi hamil, menyusui, serta pertumbuhan; (4) kehilangan darah
ketika menstruasi; dan (5) menderita penyakit infeksi. Permasalahan tersebut dapat
ditanggulangi melalui kegiatan pemberian tablet zat besi, penyuluhan gizi serta
melakukan fortifikasi zat besi ke dalam bahan pangan.
Fortifikasi merupakan proses penambahan zat gizi tertentu ke dalam bahan
pangan. Dibandingkan dengan suplementasi dan penganekaragaman pangan,

fortifikasi dianggap sebagai program yang cukup efektif dalam mengatasi


permasalahan defisiensi zat gizi mikro. Meski menurut Le (2006) keefektifan
fortifikasi hanya setengah dari efektifitas program suplementasi, tetapi fortifikasi
dapat digunakan pada populasi yang lebih luas, dapat diterapkan sebagai program
jangka panjang, dan biaya yang digunakan lebih sedikit (Reddy, 2003 ; Allen et al.,
2006).
Fortifikasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi anemia defisiensi besi adalah
fortifikasi zat besi dan zink. Zat besi dan zink merupakan mikromineral yang
berperan penting dalam proses pembentukan hemoglobin dalam sel darah merah. Zat
besi merupakan komponen penting dalam hemoglobin yang berfungsi mengikat zatzat yang akan diangkut oleh hemoglobin. Zink juga sangat penting dalam proses
pembentukan hemoglobin yaitu sebagai katalis enzim ALA dehidratase yang
merupakan enzim penting saat pembentukan hemoglobin. Asupan zat besi dan zink
yang cukup dapat membantu meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah serta
mengoptimalkan fungsinya sebagai pengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh.
Di Indonesia, fortifikasi zat besi telah diberlakukan pada beberapa produk
pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Namun demikian, sampai saat ini
fortifikasi masih belum banyak berperan dalam penanggulangan anemia gizi besi
dimasyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka prevalensi anemia gizi besi. Hal
ini menunjukan bahwa tantangan yang dihadapi dalam menjalankan program
fortifikasi masih tinggi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi kecukupan zat besi pada ibu hamil di indonesia di


Indonesia?
2. Apa penyebab kekurangan zat besi pada ibu hamil?
3. Apa saja program yang sudah dilakukan untuk menanggulangi masalah
kekurangan zat besi yang terjadi pada ibu hamil?
4. Bagaimana efektifitas fortifikasi dalam menangani masalah tersebut?
C. Tujuan
1. Mengetahui kondisi kecukupan zat besi pada ibu hamil di Indonesia.
2. Mengetahui penyebab kekurangan zat besi pada ibu hamil.
3. Mengetahi program yang sudah dilakukan untuk menanggulangi masalah
kekurangan zat besi yang terjadi pada ibu hamil.
4. Mengetahui efektifitas fortifikasi dalam menangani masalah tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA


1. Fortifikasi Pangan

Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi (nutrien)
kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi
yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. Harus diperhatikan
bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan
demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan
manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga
digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan
yang diakibatkannya. Untuk menggambarkan proses penambahan zat gizi ke pangan,
istilah-istilah lain seperti enrichment (pengkayaan), nutrification (Harris, 1968).
Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-zat gizi pada taraf yang lebih
tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan sebanding.
Enrichment biasanya mengacu kepada penambahan satu atan lebih zat gizi pada
pangan asal pada taraf yang ditetapkan dalam standar intemasional (indentitas
pangan). Restoration mengacu kepada penggantian zat gizi yang hilang selama
proses pengolahan, dan nutrification berarti membuat campuran makanan atan
pangan lebih bergizi. Menurut Bauernd (1994) istilah nutrification lebih spesifik
terhadap ilmu gizi, sementara semua istilah-istilah yang lain diadopsi dari disiplin dan
aplikasi lain (Siagian, 2003).
2. Masalah Gizi Mikro
Masalah gizi utama di Indonesia hingga saat ini adalah Kurang Energi Protein
(KEP), Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A (KVA), dan
anemia gizi (Wijiastuti, 2006). Anemia merupakan keadaan dimana masa eritrosit dan
atau masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani dan Haribowo, 2008). Di Indonesia sebagian
besar anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi (fe) sehingga disebut anemia
kekurangan zat besi atau anemia gizi besi (Hardinsyah et al., 2007).
Menurut Depkes (2005), penyebab anemia gizi karena kurangnya zat besi atau
fe dalam tubuh. Karena pola konsumsi masyarakat Indonesia, terutama wanita kurang

mengkonsumsi sumber makanan hewani yang merupakan sumber heme iron yang
daya serapnya > 15%. Ada beberapa

bahan makanan nabati yang memiliki

kandungan fe tinggi (non heme iron), tetapi hanya bisa diserap oleh tubuh < 3%,
sehingga diperlukan jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan fe dalam
tubuh, jumlah tersebut tidak mungkin terkonsumsi.
Anemi Besi adalah penyakit kekurangan zat besi yang paling lazim di dunia
mencangkup setengah dari semua jenis penyakit anemia. Menurut WHO, lebih dari 2
milyar penduduk dunia beresiko anemia besi atan menderita berbagai bentuk anemia
besi. Hampir setengah dari populasi wanita dan anak-anak di negara berkembang
menderita anemia. Anak-anak penderita anemia besi menderita gangguan
perkembangan fisik dan mental. Wanita hamil dan bayi yang menderita anemia besi
akan mengalami pengurangan yang nyata akam kemampuannya melawan infeksi.
Anemia Besi pada dewasa menyebabkan kelelahan dan berdampak pada rendahnya
kapasitas Iproduktivitas kerja. Lebih jauh lagi, defisiensi besi (dalam hal simpanan
zat besi dalam tubuh) dapat terjadi tanpa anemia klinis.
3. Anemia gizi mikro pada ibu hamil
Anemia merupakan kondisi kurangnya sel darah merah (eritrosit) dalam tubuh
seseorang. Anemia dapat terjadi karena kurangnya haemoglobin yang berarti juga
minimnya oksigen ke seluruh tubuh. Apabila oksigen dalam tubuh berkurang maka
orang tersebut akan menjadi lemah, lesu dan tidak bergairah. Indikasinya penyakit ini
bisa diketahui dengan memeriksa kelopak mata bawah bagian dalam, ujung kuku,
tangan dan kaki, jari-jari tangan dan mukosa mulut. Anemia dalam kehamilan paling
sering dijumpai adalah anemia akibat kekurangan zat besi (Fe). Kekurangan ini dapat
disebabkan karena kurang intake unsur zat besi ke dalam tubuh melalui makanan,
karena gangguan absorbsi, gangguan penggunaan atau terlalu banyak zat besi yang
keluar dari badan, misalnya pada perdarahan. Keperluan zat besi akan bertambah
dalam kehamilan, terutama dalam trimester II hal ini disebabkan meningkatnya
kebutuhan janin yang dikandung oleh ibu. Program suplementasi tablet besi (Fe) pada

ibu hamil telah berlangsung 30 tahun, namun anemia gizi masih menjadi masalah
kesehatan, khususnya anemia gizi ibu hamil yaitu sebesar 24,5% (Riskesdas 2007)
Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan
defisie zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah
anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan
beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam perencanaan
program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan dapat
diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus diperhatikan bahwa wanita hamil
membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat
beberapa iortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti besi sulfat
besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain. (Siagian, 2003)

III. PEMBAHASAN
Kondisi gizi Fe Ibu hamil di Indonesia
Kondisi gizi Fe yang dialami oleh ibu hamil di Indonesia dapat dilihat dari

usia dan tempat tinggal. Dilihat dari segi usia, wanita yang berumur kurang dari 20

tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan usia yang mempunyai risiko yang tinggi
untuk hamil. Karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil
maupun janinnya, berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan ibu
mengalami anemia. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008,
prevalensi anemia pada tahun 1999-2005 di dunia masih tinggi dimana prevalensi
pada balita 47,4%, anak usia sekolah 25,4%, wanita tidak hamil 30,2%, wanita hamil
41,8%, pada lansia 23,9% dan terendah pada laki-laki 12,7%.6
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Medan
tahun 2005 di 4 kabupaten/kota di Sumatera Utara yaitu Medan, Binjai, Deli Serdang
dan Langkat prevalensi anemia pada pekerja wanita 40,5%. Hal ini di tegaskan
kembali oleh Amiruddin dkk pada tahun 2007 di Baltimurung Sulawesi Selatan
menemukan hubungan umur ibu dengan kejadian anemia dan responden yang paling
banyak menderita anemia adalah responden dengan umur < 20 tahun dan >35 tahun
sebanyak 20 (74,1%) orang dan pada umur 20-35 tahun sebanyak 51 (50.5%) orang
yang menderita anemia. 25 Hasil penelitian Hendro di Puskesmas Medan Johor
Tahun 2005 menemukan bahwa proporsi ibu hamil yang mengalami anemia adalah
pada kelompok umur 25 tahun yaitu 43,6%.
Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di Negara sedang
berkembang ketimbang Negara yang sudah maju. Prevalensi anemia ibu hamil pada
tahun 2005 di beberapa Negara terbelakang sangat tinggi seperti di Kongo adalah
67,30%, di Nigeria 65,51% dan di Eithopia 62,68%. Prevalensi ini mulai berkurang
di Negara berkembang seperti di India 44,33% dan Indonesia 44,33%. Sedangkan di
Negara maju prevalensi anemia pada ibu hamil sangat rendah yaitu 11,46% di Prancis
dan 5,7% di United States.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PT Merck Tbk di Jawa Timur,
Jawa Barat, dan Sumatera Utara prevalensi anemia cukup tinggi. Di Jawa Timur
dengan melibatkan 5.959 peserta tes darah di tiga kota, Kediri, Jombang, dan
Mojokerto, didapat 33% di antaranya anemia. Di Jawa Barat dengan peserta tes darah
sebanyak 7.439 di tiga kota, Garut, Tasikmalaya, dan Cirebon, 41% di antaranya

anemia. Sedangkan di Sumatera Utara dengan peserta tes darah sebanyak 9.377 orang
di tiga kota, Medan, Pematang Siantar, dan Kisaran, didapati 33% di antaranya
anemia.
2

Penyebab Ibu Hamil kekurangan Fe


Kekurangan zat gizi Fe dapat mengakibatkan anemia. Anemia merupakan

kondisi kurangnya sel darah merah (eritrosit) dalam tubuh seseorang. Anemia dapat
terjadi karena kurangnya haemoglobin yang berarti juga minimnya oksigen ke
seluruh tubuh. Apabila oksigen dalam tubuh berkurang maka orang tersebut akan
menjadi lemah, lesu dan tidak bergairah. Indikasinya penyakit ini bisa diketahui
dengan memeriksa kelopak mata bawah bagian dalam, ujung kuku, tangan dan kaki,
jari-jari tangan dan mukosa mulut.
Menurut WHO (1997) seseorang dinyatakan anemia bila kadar hemoglobin
pada laki-laki dewasa < 13 g/dl, pada anak umur 12-13 dan wanita dewasa tidak
hamil < 12 g/dl, pada umur 6 bulan sampai 5 tahun dan wanita hamil < 11 g/dl. Pada
anak umur 5-11 tahun dinyatakan anemia bila kadar hemoglobin < 11.5 g/dl. Anemia
dalam kehamilan paling sering dijumpai adalah anemia akibat kekurangan zat besi
(Fe). Kekurangan ini dapat disebabkan karena kurang intake unsur zat besi ke dalam
tubuh melalui makanan, karena gangguan absorbsi, gangguan penggunaan atau terlalu
banyak zat besi yang keluar dari badan, misalnya pada perdarahan. Keperluan zat besi
akan bertambah dalam kehamilan, terutama dalam trimester II hal ini disebabkan
meningkatnya kebutuhan janin yang dikandung oleh ibu.
Anemia gizi adalah keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb), hematokrit, dan
sel darah merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah
satu atau beberapa unsur makanan yang esensial. Anemia gizi disebabkan oleh
defisiensi zat besi, asam folat, dan/atau vitamin B12. Anemia defisiensi besi adalah
anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh, sehingga penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin
berkurang. Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi,

gangguan absorpsi serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Anemia jenis ini
merupakan anemia yang paling sering terjadi. Perdarahan menahun menyebabkan
kehilangan besi, sehingga cadangan besi makin menurun. Apabila cadangan kosong,
maka keadaan ini disebut iron depleted state. Jika kekurangan besi berlanjut terus
maka penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga dapat menimbulkan
anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa
enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta
berbagai gejala lainnya.
Gejala yang khas pada anemia jenis ini adalah kuku menjadi rapuh dan
menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok, gejala seperti ini disebut koilorika.
Selain itu, anemia jenis ini juga mengakibatkan permukaan lidah menjadi licin,
adanya peradangan pada sudut mulut dan nyeri pada saat menelan. Selain gejala khas
tersebut pada anemia defisiensi besi juga terjadi gejala umum anemia seperti lesu,
cepat lelah serta mata berkunang-kunang.
Penyebab anemia pada ibu hamil diantaranya:
a

Usia
Umur ideal untuk kehamilan yang risikonya rendah adalah pada kelompok

umur 20-35 tahun. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2010, perempuan yang mengalami kehamilan pada usia berisiko tinggi (35 tahun ke
atas) 4,6% tidak pernah memeriksakan kehamilan, dan yang berusia < 20 tahun 5,1%
memeriksakan kehamilan pada dukun. Kehamilan pada remaja putri sangat berisiko
terhadap dirinya karena pertumbuhan linier (tinggi badan) pada umumnya baru
selasai pada usia 16-18 tahun, dan dilanjutkan dengan pematangan rongga panggul
beberapa tahun setelah pertumbuhan linier selesai.
b

Umur Kehamilan
Kebutuhan akan berbagai zat gizi termasuk zat besi pada trimester I

meningkat secara minimal. Setelah itu sepanjang trimester II dan III, kebutuhan akan
terus membesar sampai pada akhir kehamilan. Energi tambahan selama trimester II

diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu, yaitu penambahan volume darah,


pertumbuhan uterus dan payudara.
Menurut Doloksaribu (2006) persentase responden yang menderita anemia
tertinggi dijumpai pada umur kehamilan triwulan II (50%) dan triwulan ke III
(37,50%). Hal ini disebabkan karena kebutuhan zat besi pada triwulan II dan III
meningkat dengan pesat untuk janin, plasenta dan penambahan volume darah ibu.
Jarak Kelahiran

Jarak kelahiran dapat menyebabkan hasil kehamilan yang kurang baik. Jarak
dua kehamilan yang terlalu pendek akan mempengaruhi daya tahan dan gizi ibu yang
selanjutnya akan mempengaruhi hasil produksi. Menurut Depkes RI (2004) jumlah
kelahiran yang baik agar terwujudnya keluarga sejahtera dan sehat adalah berjumlah
2 anak saja dengan jarak kelahiran sama dengan atau lebih dari 3 tahun.6 Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Hendro di medan (2006) ibu hamil yang jarak
kelahiran anaknya < 2 tahun sebagian besar menderita anemia. Seorang wanita yang
melahirkan berturut-turut dalam jangka waktu pendek tidak sempat memulihkan
kesehatannya serta harus membagi perhatian kepada kedua anak dalam waktu yang
sama.
Konsumsi Tablet Fe

Kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi zat besi dengan cara yang benar akan
memnuhi kebutuhan zat besi dalam tubuh yang bisa meningkatkan kualitas
kehamilan. Banyak hal yang membuat ibu hamil tidak patuh mengkonsumsi zat besi
yang terdapat dalam tablet tambah darah yang diprogramkan pemerintah. Salah
satunya adalah gangguan pencernaan dapat berupa mual dan muntah. Sehingga hal ini
perlu mendapat perhatian khusus terutama dari pemberian pelayanan kesehatan
misalnya bidan dan dokter. Jumlah tablet zat besi yang dikonsumsi ibu hamil adalah
minimal 90 tablet dan dianjurkan kepada ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet
tambah darah dengan dosis satu kali sehari selama masa kehamilan dan 40 hari
setelah melahirkan.
e

Penghasilan

Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang adalah


status ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk
membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan
keluarga dan harga bahan makanan itu sendiri. Keluarga dengan pendapaan terbatas
kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya, terutama
memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Sementara dari hasil penelitian
Hendro (2006) menyatakan bahwa keluarga yang pendapatnya di atas UMR dapat
memenuhi kebutuhan gizi keluarganya terutama ibu hamil sehingga diasumsikan
dapat mencegah terjadinya anemia sedangkan keluarga dengan pendapatan di bawah
UMR dapat diasumsikan belum memenuhi kebutuhan hidup keluarganya termasuk
gizi ibu hamil.
f

Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan

perilaku untuk hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang untuk menyerap informasi-informasi dan mengimplementasikannya dalam
perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khusunya tingkat pendidikan wanita sangat
mempengaruhi kesehatannya. Dari hasil penelitian Hendro (2006), menyatakan ada
hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan status anemia, karena dengan
tingkat pendidikan ibu yang rendah diasumsikan pengetahuannya tentang gizi rendah,
sehingga berpeluang untuk terjadinya anemia sebaliknya jika ibu hamil berpendidikan
tinggi maka kemungkinan besar pengetahuannya tentang gizi juga tinggi, sehingga
diasumsikan kecil peluang terjadinya anemia.
g

Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal adalah pelayanan yang diberikan terhadap ibu hamil oleh

petugas kesehatan untuk memelihara kehamilannya yang dilaksanakan sesuai standar


pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam standar pelayanan kebidanan. Tujuan
pelayanan antenatal adalah mengantarkan ibu hamil agar dapat bersalin dengan sehat
dan memperoleh bayi yang sehat, mendeteksi dan mengantisipasi dini kelainan
kehamilan dan deteksi serta antisipasi dini kelainan janin.

Pelayanan antenatal meliputi lima hal yang dikenal dengan istilah 5T yaitu
timbang berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri, nilai status
imunisasi TT dan pemberian tablet tambah darah.3 Konsumsi zat besi sangat
diperlukan oleh Ibu hamil yang ditujukan untuk mencegah ibu dan janin dari anemia,
dan faktor risiko lainnya. Diharapkan ibu hamil dapat mengonsumsi tablet Fe lebih
dari 90 tablet selama kehamilan. Berdasarkan laporan Riskesdas (2010) 80,7% ibu
hamil tablet/membeli tablet Fe, dengan jumlah hari minum 0-30 hari (36,3%), 90 hari
atau lebih (18%), 60-89 hari (8,3%), dan 31-59 hari (2,8%). Dijumpai 38% ibu hamil
di Sumatera Utara dan 3,6% di DI Yogyakarta yang tidak pernah minum tablet Fe.
K1 adalah kunjungan pertama ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan
untuk mendapat pelayanan antenatal yang dilakukan pada trimester pertama
kehamilan. Sedangkan K4 adalah kunjungan ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan
ante natal minimal 4 kali yaitu 1 kali pada trimester pertama kehamilan, 1 kali pada
trimester kedua dan 2 kali pada trimester ketiga.
3

Program yang sudah dilakukan untuk menanggulangi masalah kekurangan


Fe
Menurut UU pangan tahun 1993 Bab III tentang mutu dan gizi pangan, pasal

27 (3) berbunyi: Dalam hal terjadi kekurangan dana tau penurunan status gizi
masyarakat, pemerintah dapat menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau
pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan. Berdasarkan Undang undang
tersebut pemerintah mengeluarkan Surat Keterangan Menteri Kesehatan tanggal 16
juni 1996 tentang fortifikasi tepung terigu. Dan dikuatkan dengan dikeluarkannya
surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 153 tahun 2001 tentang
Standat Nasional Indonesia tepung terigu. Dalam SNI ini mewajibkan fortifikasi
tepung terigu dengan beberapa mikronutrien yaitu: zat besi, seng, asam folat, vitamin
B1 dan B2. Dan pada tanggal 7 Juli 2003 Menteri Kesehatan mengeluarkan surat
keterangan tentang tepung terigu. Didalam surat keterangan tersebut dijelaskan
kandungan fortifikan yang harus diberikan, yaitu sebagai berikut:

A.
B.
C.
D.
E.

Zat besi
Seng
Vitamin B1(thlamine)
Vitamin B2(riboflavin)
Asam folat

60 ppm
30 ppm
2.5 ppm
4 ppm
2 ppm

Kebutuhan zat besi pada wanita hamil yaitu rata-rata mendekati 800 mg. Kebutuhan
ini terdiri dari, sekitar 300 mg diperlukan untuk janin dan plasenta serta 500 mg lagi
digunakan untuk meningkatkan massa haemoglobin maternal. Kurang lebih 200 mg
lebih akan dieksresikan lewat usus, urin dan kulit. Makanan ibu hamil setiap 100
kalori akan menghasilkan sekitar 810 mg zat besi. Perhitungan makan 3 kali dengan
2500 kalori akan menghasilkan sekitar 2025 mg zat besi perhari. Selama kehamilan
dengan perhitungan 288 hari, ibu hamil akan menghasilkan zat besi sebanyak 100 mg
sehingga kebutuhan zat besi masih kekurangan untuk wanita hamil.
Sumber lain mengatakan, kebutuhan ibu hamil akan Fe meningkat (untuk
pembentukan plasenta dan sel darah merah) sebesar 200-300%. Perkiraan besaran zat
besi yang perlu ditimbun selama hamil ialah 1040 mg. Dari jumlah ini, 200 mg Fe
tertahan oleh tubuh ketika melahirkan dan 840 mg sisanya hilang. Sebanyak 300 mg
Fe ditransfer ke janin, dengan 50-75 mg untuk pembentukan plasenta, 450 mg untuk
menambah jumlah darah merah, dan 200 mg lenyap ketika melahirkan.
Besarnya angka kejadia anemia ibu hamil pada trimester I kehamilan adalah
20%, trimester II sebesar 70%, dan trimester III sebesar 70%. 4Hal ini disebabkan
karena pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena
tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester
kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan meningkat sampai 35%,
ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel
darah merah harus mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat
melahirkan, perlu tambahan besi 300 350 mg akibat kehilangan darah. Sampai saat

melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat
kebutuhan kondisi tidak hamil.
Selain itu, studi makanan tentang fortifikasi tepung terigu telah dilakukan
oleh PT. Indofood. Makanan yang diuji di Indonesia yaitu mie basah, roti
kukus/bakpao, roti tawar, dan martabak. Tingkat fortifikasi yang digunakan yaitu besi
NaFeEDTA sebesar 40 ppm, besi ferrous fumarate sebesar 60 ppm, asam folat sebesar
2,6 ppm, Vitamin B12 (cyanocobalamin) sebesar 0,02 ppm, seng (seng oksida)
sebesar 55 ppm, Vitamin B1 (thiamin) sebesar 4,2 ppm, dan Vitamin B2 (riboflavin)
sebesar 4 ppm. Tingkat fortifikasi berdasarkan estimasi konsumsi terigu sebesar 75150g/capita/hari.
Hasil studi menunjukkan bahwa secara keseluruhan mie basah tidak ada perubahan
secara signifikan dan untuk NaFeEDTA sedikit menjadi gelap, tidak ada perbedaan di
tekstur, rasa, dan aroma. Produk akhir roti kukus/bakpao dapat diterima dan terjadi
sedikit perubahan pada NaFeEDTA yaitu warna sedikit gelap, ferrous fumarate
warnanya menjadi lebih terang, namun tidak ada perbedaan di tekstur, rasa, dan
aroma. Produk roti tawar tidak ada perubahan rasa (sensory) dan tidak ada perubahan
warna. Dan untuk martabak, warnanya menjadi sediki gelap dengan NaFeEDTA,
namun tidak ada perbedaan di tekstur, rasa, dan aroma.

IV. PENUTUP
Dari materi yang telah disampaikan diatas maka didapatkan kesimpulan antara lain:
1. Defisiensi zat besi cenderung berlangsung di negara berkembang, prevalensi
anemia ibu hamil di Indonesia pada tahun 2005 sebesar 44,33%, sedangkan pada

negara maju memiliki prevalensi anemia pada ibu hamil yang nilainya lebih
kecil.
2. Anemia pada ibu hamil dapat disebebkan oleh banyak faktor diantaranya: usia,
umur kehamilan, jarak kelahiran, konsumsi tablet Fe, penghasilan, pendidikan
dan pelayanan antenatal.
3. Program yang sudah dilakukan untuk menanggulangi masalah kekurangan zat Fe
pada ibu hamil adalah fortifikasi pada tepung terigu dengan menggunakan besi
NaFeEDTA.
4. Program fortifikasi tepung terigu dalam menangani anemia di Indonesia dinilai
masih kurang efektif karena masih tingginya angka prevalensi anemia pada ibu
hamil di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin. 2007. Studi Kasus Kontrol Anemia Ibu Hamil. Journal Medical Unhas.
Universitas Hasanudin. Makassar.

Ballot, D. E., MacPhail, A. P., Bothwell, T. H., Gillooly, M. & Mayet, F. G. (1989)
Fortification of Curry Powder With NaFe(III)EDTA: Report of A
ControlledIron Fortification Trial. Am. J. Clin. Nutr. 49: 162169.
Bauernd, JC. 1994. Nutrification of Foods. In Shils, MD.; Olsm, JA.; Shike, M.Ed.
Modern nutrition in health an disease. Lea and Febiger, 8th Edition, Chaper
Burgi, H.; Supersaxo, Z.; Selz, B. 1990. Iodine deficiency diseases in
Switernland one hundred years after Theatre Kocher's survey: A historical
review with some new goitre prevalence data. Acta Endocrinologica.
Copenhagen
DepKes RI, 2004. Sistem Kesehatan Nasional 2004. Jakarta.
Depkes RI. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Jakarta: Depkes RI
Doloksaribu, R., 2006. Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Ditinjau Dari Sosial
Ekonomi Dan Perolehan Tablet Besi (Fe) Di Desa Malingas Tongah Kecamatan
Tanah Jawa Kabupaten Simalungun Tahun 2006. Skripsi. FKM USU. Medan.
Handayani., W., Andi Sulistyo Haribowo.,2008. Hematologi. Salemba Medika.
Jakarta.
Harris, RS. 1968. Attitudes and approaches to supplementation offoods with
nutrients. J. Agr. Food Chern. 16(2), 149-152.
Hendro, M., 2006. Hubungan Pendapatan Keluarga Dan Karakteristik Ibu Hamil
Dengan Status Anemia Di Puskesmas Medan Johor Tahun 2005. Skripsi. FKM
USU. Medan.
INNAG. 1993. Iron EDTA for food fortifikation. A report of the INAAG. Wahongton,
DC. USA.
RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Siagian, Albiner. 2003. Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah
Kekurangan Zat Gizimikro. Fakultas Kesehatan Masyarakat : Universitas
Sumatera Utara
WHO.,
2008.
Worldwide
Prevalence
of
Anemia
1993-2005.
http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596657eng.pdf.
diakses tanggal 12 Mei 2016.

Wijiastuti, H. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Remaja


Putri di Tsanawiah Negeri Cipondoh-Tangerang tahun 2005. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

Anda mungkin juga menyukai