Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan berkembangnya teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil
muncul masalah yang pekik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran
yang sangat maju, diagnose mengenai suatu penyakit dan pengobatannya dapat dilakukan
secara sempurna dan lebih efektif. Hidup seseorang pun dapat diperpanjang untuk jangka
waktu tertentu. Bahkan perhitungan saat kematian seseorang dapat dilakukan secara lebih
tepat. Di samping itu, beberapa negara maju bahakn sudah mampu melakukan birth
technologi dan biological engineering. Dengan demikian masalah cepat atau lambatnya
proses kematian seseorang penderita sesuatu penyakit, seolah-olah dapat diatur oleh
teknologi yang modern tersebut.
Menyinggung masalah kematian, menurut terjadinya, maka ilmu pengetahuan
membedakannnya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter.
Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan untuk
menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan tertentu.
Di jaman modern seperti saat ini, tercatat telah banyak sekali kasus-kasus eutanasia, baik
yang ter-ekspose maupun yang tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang
menjadikan eutanasia menjadi bahan perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan
bahkan masyarakat umum. Yang pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan
sengaja menghilangkan nyawa orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya
eutanasia adalah untuk menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang
dianggap terlalu menyiksa.
Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan,
sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur eutanasia,
namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat
ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena
dianggap melakukan tindakan yang melanggar
1

hukum.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa itu Euthanasia ?
2) Bagaimana sejarah euthanasia ?
3) Apa saja macam macam euthanasia ?
4) Apa saja alasan alasan dilakukan euthanasia ?
5) Bagaimana praktik euthanasia berdasarkan hukum di Indonesia ?
6) Bagaimana euthanasia menurut prespektif Agama Islam ?
7) Bagaimana argumentasi pendapat tentang euthanasia ?
1.3 Tujuan
1) Untuk menjelaskan euthanasia agar dapat dipahami.
2) Untuk mengetahui sejarah euthanasia.
3) Untuk mengetahui macam macam euthanasia.
4) Untuk mengetahui alasan alasan dilakukan euthanasia.
5) Untuk mengetahui bagaimana euthanasia menurut hukum di Indonesia.
6) Untuk mengetahui pandangan islam terhadap euthanasia.
7) Untuk mengetahui argumentasi pendapat tentang euthanasia.
1.4 Manfaat Penulisan
1) Menambah pengetahuan atau wawasan semua mahasiswa terutama mahasiswa
keperawatan
2) Menerapkan prinsip legal, etis dalam penganbilan keputusan
3) Mengerti atau mengaplikasikannya dengan baik

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa yunani eu yang berarti baik, dan thanatos
yang berarti kematian (Utomo, 2003:177).. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah qatlu
ar-rahma atau tasyir al-maut.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. (Hasan,
1995: 145).
Dilihat dari segi orang yang berkehendak, euthanasia bisa muncul dari keinginan
pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar),
atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar). Tetapi tidak pernah ditemukan
tindakan euthanasia yang dikehendaki oleh dokter tanpa persetujuan pasien maupun pihak
keluarga, karena hal ini berkait dengan kode etik kedokteran.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, eutanasia berarti tindakan mengakhiri dengan
sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yg sakit berat atau luka parah
dengan kematian yg tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. Sedangkan Wikipedia
menyebutkan bahwa eutanasia berarti praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan
melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang
minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
B. Sejarah Euthanasia
Kata eutanasia pertama sekali disebutkan oleh Hippocrates, seorang filsuf yang juga dikenal
sebagai tabib. Hippocrates menjumpai beberapa pasiennya yang meminta untuk dibuatkan
ramuan mematikan dengan tujuan mempercepat proses kematian pada diri pasein yang
sekarat. Hal ini membuat Hippocrates bersumpah tidak akan membuat ramuan tersebut
sampai kapanpun. Sumpah Hippocrates yang ditulis pada masa 400-300 SM berbunyi: Saya
tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun

meskipun telah dimintakan untuk itu. Namun demikian, kenyataannya praktek euthanasia
telah dimulai pada tahun yang sama (kira-kira abad 4 SM).
C. Macam macam euthanasia
Ditinjau dari cara pelaksanaannya euthanasia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Euthanasia agresif (euthanasia aktif)
Euthanasia agresif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat
keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama.
Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan
hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang
memang sudah parah (Utomo, 2003:176). Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan
pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan.
Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
2. Euthanasia non agresif (eutanasia otomatis (autoeuthanasia))
Euthanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak
secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui
bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut
diajukan secara resmi dengan membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan
pasien yang bersangkutan.
3. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang
tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan
seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan
medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja.
Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien
yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada
penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
4

memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti
morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif
seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit (Wikipedia,2010).
Ditinjau dari pemberian izin euthanasia dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Ethanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan ethanasia yang bertentangan
dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan ethanasia semacam ini dapat
disamakan dengan pembunuhan.
2) Ethanasia secara tidak sukarela: Ethanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi
bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun
juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk
mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien
(seperti pada kasus Terry schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab
beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
3) Ethanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini
juga masih merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk
eutanasia tipe yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain
menganggapnya sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar
hukum.
Ditinjau dari permintaan euthanasia dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Euthanasia Volunter : Euthanasia atas permintaan pasien sendiri.
2) Euthanasia Involunter : Euthanasia atas permintaan keluarga pasien.

Ditinjau dari segi tujuannya, eutanasia juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010), yaitu:
a. Euthanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien,
umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang
amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi
tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.
b. Euthanasia hewan

Eutanasia jenis ini, khusus dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan
peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si pemilik tidak
tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada kasus yang 11 lain, beberapa
kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang
kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk hewan-hewan kesayangannya,
sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih
dahulu.
c. Euthanasia berdasarkan bantuan dokter
Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif
secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri.
D. Alasan-Alasan Dilakukan Euthanasia
1) Sakit berkepanjangan
Alasan yang paling mendasar dalam melakukan euthanasia adalah sakit yang
berkepanjangan. Berbagai alasan seperti itu banyak ditolak oleh pengadilan, karena saat
ini telah banyak ditemukan obat-obatan yang dapat mengurangi rasa sakit sehingga rasa
sakit itu bisa dikontrol.
2) Keinginan dari pasein secara berulang kali
Adanya keinginan dari diri pasein secara pribadi dengan secara lisan maupun ekspresi
yang menunjukkan bahwa dirinya ingin segera mengakhiri hidupnya. Hal ini biasa
ditemukan pada pasein yang mempunyai jiwa spiritual rendah, sehingga mudah putus
asa.
3) Manusia tidak boleh dan tidak diharuskan untuk tetap hidup
Ketika beranggapan bahwa usaha untuk melakukan pengobatan dan menyembuhkan
seseorang bukan hal yang bijak dilakukan. Memaksa agar tetap hidup dengan bantuan
alat, seperti alat pernafasan adalah hal yang tidak manusiawi.
4) Ketidakmampuan untuk membayar biaya kesehatan
Seperti yang kita ketahui dalam melakukan pengobatan dibutuhkan biaya, dan biaya
kesehatan tidaklah murah. Sehingga hal ini menjadi pertimbangan bagi pasien, keluarga,
dan dokter.
E. Praktik euthanasia di Indonesia
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: Meninggal dunia adalah keadaan
insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, &
atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Definisi mati ini merupakan definisi yang
berlaku di Indonesia.

Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal
344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun".
Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa
permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan
biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
duapuluh tahun.
Pasal 344: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selamalamanya duabelas tahun.
Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi
bunuh diri.
Pasal 359: Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selamalamanya satu tahun.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada
gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi
dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan
medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan
perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan,yang
berbunyi:
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
7

2. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.


F. Euthanasia menurut Agama Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati. (QS
al-Hajj).
Menurut Pandangan Syariah Islam Euthanasia diharamkan, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu meringankan
penderitaan pasien, hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.
Tindakan seseorang yang memberikan suntikan obat berdosis tinggi dengan tujuan untuk
mempercepat kematian pasiennya adalah termasuk tindakan pembunuhan yang terlarang.
Karena yang berhak menentukan cepat atau lambatnya ajal merupakan kehendak Allah,
seperti diungkapkan dalam firman Allah yang berbunyi:

Artinya : Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu,
maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (Q.S. Yunus : 107)
Ayat diatas jelas mengatakan kepada kita bahwa segala sesuatu yang bersifat sulit
hanya Allah yang dapat menghilangkannya termasuk seorang pasien dalam keadaan terminal.
Islam memandang tindakan yang bermanfaat adalah caranya benar secara syara dan niatnya
pun benar secara syara pula.
Niat baik dalam Euthanasia pada hakekatnya termasuk dalam kategori pemberian
bantuan dalam perbuatan yang dilarang Tuhan, sebab menginginkan kematian lantaran suatu
8

penderitaan hidup termasuk penyakit yang tidak kunjung sembuh adalah dilarang oleh Allah.
Nabi SAW bersabda :
Janganlah seorang kamu mengharapkan kematian karena sesuatu musibah yang
menimpanya, tetapi jika terpaksa ia harus berbuat begitu maka katakanlah: Ya Allah
biarkanlah aku hidup jika hidup ini lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika mati itu lebih
baik bagiku. (HR. Bukhari dari Anas)
Hadits di atas jelas menerangkan bahwa mengharapkan kematian adalah dilarang baik
karena musibah yang didapatnya maupun karena harta yang tidak dimilikinya. Dikecualikan
mengharapkan mati karena rindu kepada Allah karena ingin syahid atau karena takut fitnah
dengan satu keyakinan, bahwa kematian itu lebih baik.
Tindakan Euthanasia berbeda dengan berdoa memohon tunjukan kepada Allah agar
dipilihkan yang terbaik antara hidup dengan mati karena tindakan ini merupakan cerminan
sikap hidup yang optimis dan bukan keputusasaan. Sedangkan mengharapkan kematian yang
diwujudkan melalui Euthanasia merupakan sikap keputusan yang dibenci oleh Tuhan, sesuai
Q.S. Yusuf (12) ayat 87 :

Artinya : Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus
asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (Q.S. Yusuf : 87)
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa sikap putus asa dikategorikan sebagai sikap
kekufuran apalagi keputusasaan yang menjurus kepada kematian melalui Euthanasia. Bahkan
tindakan Euthanasia dalam hal ini mengakibatkan dosa yang berlipat ganda yaitu dosa karena
putus asa dari rahmat Allah dan dosa karena membunuh diri sendiri baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan

penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya
firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-Anaam : 151).
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92)
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia
aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad)
yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan
mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (QS
Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan
memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Euthanasia Pasif
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat
itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan
berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal
ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk
10

berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan
yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam
hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah,
apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan
bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan
pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada
dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital
lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada
pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada
pasien setelah matinya/rusaknya organ otakhukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat
dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu
(Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus
pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).

G. Argumentasi pendapat
Dalam argumentasi pendapat dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
yang pro dan kontra terhadap euthanasia. Argument mereka yang pro secara garis besar yaitu:
euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang
menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah
melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertma, dokter terikat dengan kode etik
kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankn penderitaan pasien tapi di sisi lain,
11

dokter menghilangkan nyawa orang lain yangg berarti melanggar kode etik kedokteran itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di
negara manapun.
Sedangkan dari argumen mereka yang kontra yaitu : Euthanasia Aktif diharamkan,
karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya
baik yaitu meringankan penderitaan pasien, hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar. (Q.S Al-anam: 151).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Adapun hukum Euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh
kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, mislnya dengan
cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasieen.
Bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri.
Yakni apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh. Dalam masakah ini ada
perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub
(sunnah), tidak wajib. Namun sebagan ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan
ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti di kemukkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

12

Euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang


dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga berarti mempercepat kematian seseoran
yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat menjelang kematiannya.
Ditinjau dari cara perawatannya, euthanasia dibagi menjadi:
1. Euthanasia agresif atau aktif
2. Euthanasia non agresif
3. Euthanasi pasif
Ditinjau dari permintaan izinnya, euthanasia dibagi menjadi:
1. Euthanasia dilur kemampuan pasien
2. Euthanasia tidak sukarela
3. Euthanasia sukarela
Di Indonesia sendiri Euthanasia masih menimbulkan pro dan kontra.
Dalam pandangan berbagai agama pun, menghilangkan nyawa seseorang secara
sengaja adalah perbuatan dosa, perbuatan yang melanggar.
Menurut pandangan agama islam perbuatan Euthanasia haram dilakukan. Karena, mengakhiri
hidup seseorang itu sama saja dengan pembunuhan. Dan Allah swt melarang tindakan
pembunuhan.

B. Saran
Sebaiknya kita sebagai perawat jangan sampai melakukan tindakan Euthanasia. Kita harus
berusaha maksimal untuk kesembuhan pasien. Selama masih ada kemungkinan untuk sembuh
dan masih ada jalan untuk sembuh diharapkan untuk tidak melakukan tindakan Euthanasia.

13

Anda mungkin juga menyukai