Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
Sebagian wanita setelah melahirkan tidak menginginkan adanya kehamilan
atau menunda kehamilan sampai 2 tahun setelah persalinan. Akan tetapi masih
sangat sedikit wanita yang meninggalkan rumah sakit dengan mendapat konseling
mengenai metoda kontrasepsi.1
Konsep mengenai kontrasepsi pasca persalinan bukanlah hal yang baru,
akan tetapi tidak banyak perhatian yang diberikan pada masa yang penting dari
kehidupan wanita ini. Pada saat sekarang ini perhatian dari pengelola program
kesehatan, penyedia jasa pelayanan kesehatan dan pembuat kebijakan semakin
meningkat , karena menyadari akan tingginya efektifitas dan keberhasilan
program keluarga berencana jika pengenalan kontrasepsi dilakukan pada saat
pasca persalinan.1
Meningkatnya

perhatian

pemerintah

mengenai

kontrasepsi

pasca

persalinan juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan rekomendasi dari the National


Meeting on Family Planning Programs pada tahun 2008 , KB pasca persalinan
dan pasca keguguran ( KB PP & PK) , merupakan salah satu program utama yang
harus tersedia di seluruh propinsi. Tujuan dari program ini sendiri adalah untuk
meningkatkan tingkat kesehatan ibu dan anak disamping untuk meningkatkan
angka penggunaan kontrasepsi (JNPK, 2008) . Namun, studi tentang penggunaan
kontrasepsi di kalangan perempuan pasca persalinan di Indonesia sangat terbatas,
kecuali beberapa studi banding yang dilakukan oleh Thapa et.al(1992), Ross
dan Winfrey (2001), dan Becker dan Ahmed (2001) menggunakan data DHS dari
berbagai Negara.1
Jumlah kelahiran di Indonesia diperkirakan sekitar 4.2-4.5 juta ( BPS
2009) dan 19.7 % merupakan kehamilan yang tidak diinginkan dari jumlah
kelahiran . mengingat tingginya jumlah kelahiran dan keguguran maka diperlukan

suatu perencanaan kehamilan sehingga kehamilan yang terjadi merupakan


kehamilan yang diinginkan. Salah satu program strategis untuk menurunkan
kehamilan yang tidak diinginkan menjadi 15% pada tahun 2014 adalah melalui
KB pasca persalinan dan pasca keguguran.1

BAB II
KONTRASEPSI PASCA PERSALINAN
A. Definisi

Kontrasepsi

adalah

cara

untuk

menghindari/mencegah

terjadinya

kehamilan akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma
sehingga dapat mencegah terjadinya kehamilan.1,2
B. Arti penting KB pasca persalinan
Alasan pelaksanaan KB pasca persalinan antara lain termasuk kembalinya
fertilitas dan resiko terjadinya kehamilan, jarak kehamilan yang dekat , resiko
terhadap bayi dan ibu serta ketidaktersediaan kontrasepsi.1
1. Ovulasi pertama pasca persalinan terjadi < 6 minggu pada wanita yang
tidak menyusui ( rata-rata 45 hari ), dan bisa berlangsung lebih lama pada
wanita yang menyusui.1
2. Masa anovulasi pasca persalinan mempunyai hubungan yang erat dengan
lama menyusui. Kajian yang dilakukan pada 29 wanita menyusui dan 10
wanita yang tidak menyusui menunjukkan semua wanita yang menyusui
tetap menjadi anovulasi sampai 3 bulan pasca persalinan dan 96 %
diantaranya berlanjut sampai 6 bulan pasca persalinan. Pada penelitian
yang dilakukan di Skotlandia, tidak menemukan adanya ovulasi pada
wanita yang menyusui secara ekslusif.1
3. Pelaksanaan kontrasepsi pasca persalinan mempunyai pengaruh besar
dalam mengatur waktu kehamilan dan memberikan jarak yang optimal
untuk persalinan selanjutnya Dalam rangka menurunkan resiko terhadap
ibu dan luaran bayi, WHO pada tahun 2006 merekomendasikan jarak
kehamilan yang optilmal untuk kehamilan selanjutnya adalah 24 bulan.
Beberapa penelitian menunjukkan pendeknya interval antara persalinan
dan kehamilan selanjutnya memberikan sumbangan terhadap angka
kematian janin dan anak. Analisa dari survey demografi dan kesehatan
3

pada 17 negara berkembang menunjukkan angka kematian anak dan janin


menurun pada jarak interval kehamilan > 36 bulan. (Rustein 2005).
Sebagai tambahan jarak kehamilan yang < 24 bulan juga meningkatkan
angka kematian ibu dan kejadian komplikasi pada kehamilan.2
4. Komplikasi yang serius dan lebih dari setengah kematian ibu terjadi pada
masa

pasca

persalinan,

terutama

di

Negara-negara

berkembang

Penggunaan kontrasepsi pasca persalinan bisa menurunkan angka


kesakitan dan kematian ibu dan anak.1,2
5. Penelitian yang dilakukan oleh Ross dan Frankenberg (1993) mendapatkan
wanita pada periode pasca persalinan memiliki kebutuhan yang tidak
terpenuhi untuk kontrasepsi. Penelitian ini juga memperlihatkan sebagian
besar wanita pasca persalinan menyatakan keinginan untuk mencegah
kehamilan selama 2 tahun pertama setelah melahirkan tetapi tidak
mendapat pelayanan kontrasepsi. Selain itu menurut itu survey yang
dilakukan DHS di 27 negara menunjukkan hanya 3-8 % wanita di subSahara Afrika, Asia dan Amerika latin menginginkan kehamilan lagi dalam
2 tahun setelah melahirkan (Ross & Winfrey 2001). Sisanya 92-97 % dari
wanita tersebut , tidak menginginkan anak lagi dalam waktu 2 tahun
setelah melahirkan.2

C. Metoda kontrasepi pasca persalinan


Semua metoda kontrasepsi bisa diberikan pada ibu pada masa
pascapersalinan. Waktu untuk memulai suatu kontrasepsi tergantung dari status
menyusui ibu. Metoda yang bisa digunakan jika pasangan melakukan hubungan

seksual meskipun segera setelah melahirkan adalah :3


Spermisida
Kondom
Koitus interuptus
Diafragma tidak bisa digunakan hingga setelah 6 minggu pasca persalinan
karena tidak akan menempel dengan sempurna, jika dilakukan pemasangan segera

akan menimbulkan ketidaknyamanan, terutama pada wanita yang dengan


episiotomi.3
1. Wanita menyusui
Wanita yang menyusui tidak perlu menggunakan kontrasepsi untuk
minimal 6 minggu pasca persalinan dan

6 bulan jika mereka menggunakan

metoda amenore laktasi. ( gambar 1) menunjukkan waktu yang direkomendasikan


untuk memulai kontrasepsi pada wanita menyusui.4

Gambar 1. Metoda kontrasepsi pada wanita menyusui

Jika wanita yang menyusui memutuskan untuk menggunakan


kontrasepsi selain metode amenorea laktasi (MAL), harus melakukan
konsultasi terlebih dahulu mengenai efek yang mungkin ditimbulkan oleh
kontrasepsi terhadap laktasi dan bayi. Sebagai contoh kontrasepsi
hormonal merupakan pilihan terakhir kontrasepsi pada wanita yang
menyusui. Semua pil oral kombinasi, meskipun dengan dosis rendah ( 3035 g EE) menurunkan produksi ASI, dan dari berbagai penelitian yang
menunjukkan efek pertumbuhan bayi pada minggu 6-8 pasca persalinan.
Disarankan untuk menunda pemakaian kontrasepsi pil setelah kehamilan
8-12 minggu.4
5

2. Wanita tidak menyusui


Meskipun sebagian besar wanita yang tidak menyusui akan
mendapat haid dalam 4-6 minggu pascapersalinan, hanya 1/3 dari
menstruasi pertama yang terjadi ovulasi dan hanya sebagian kecil yang
terjadi kehamilan. Jika pasangan menginginkan untuk menghindari
terjadinya kehamilan , kontrasepsi harus dimulai sebelum

( dengan

menggunakan KB hormonal, IUD)atau saat ( barrier, spermisida, koitus


interuptus) melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya . Karena
gangguan pembekuan darah yang dipicu oleh kehamilan ( peningkatan
faktor koagulasi) masih terdapat sampai 2-3 minggu pascapersalinan, pil
kontrasepsi kombinasi oral dan injeksi sebaiknya dimulai setelah saat itu.
Sementara itu pil progesteron bisa dimulai segera pasca persalinan karena
tidak meningkatkan terjadinya resiko gangguan pembekuan darah. Gambar
2 menunjukkan waktu yang direkomendasikan untuk memulai kontrasepsi
pada wanita yang tidak menyusui. .4

Gambar 2. Metoda kontrasepsi pada wanita yang tidak menyusui


a

jika persalinan dilakukan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnnya , insersi IUD
pascapersalinan segera ( 48 jam) bisa dilakukan dengan pertimbangan ( konseling dan tenaga
yang terlatih
b
Vasectomy bisa dilakukan kapan saja
c
NFP mungkin sulit dilakukan pada wanita yang menyusui karena fungsi ovarium berkuran
membuat tanda-tanda kesuburan ( perubahan mucus, suhu tubuh basal ) lebih sulit
diinterpretasikan , sehingga NFP membutuhkan jangka waktu yang lebih lama.
d
Selama 6 bulan pertama postpartum , COCs dan CICS mempengaruhi jumlah air susu dan
pertumbuhan bayi. Jika wanita menyusui tetai tidak LAM , bisa menggunakan COCs dan CiCs
segera setelah 6 minggu post partum jika metoda lain tiidak bisa digunakan

D. Metode Amenore Laktasi ( MAL)


Metoda amenore laktasi adalah metode kontrasepsi sementara yang bisa
dimulai sejak bayi lahir sampai 6 bulan pasca persalinan jika pasien memenuhi 3
kriteria yang telah ditetapkan.4
3 kriteria itu adalah
a. Pasien belum menstruasi ( lochia pada 8 minggu awal masa pasca
persalinan tidak dianggap sebagai perdarahan menstruasi. Setelah perode
ini 2 hari perdarahan atau bercak pada pasien dianggap sebagai menstruasi
pasien sudah kembali )

b. Bayi menyusui secara penuh atau hampir penuh, didefinisikan sebagai


a. Bayi disusui pada saat siang dan malam,
b. Bayi disusui dengan jarak tidak boleh lebih dari 4 jam
c. Bayi tidak mendapat makanan atau minuman tambahan lainnya
c. Umur bayi kurang dari 6 bulan.

1. Mekanisme kontrasepsi
Mekanisme metoda amenore laktasi adalah stimulasi yang dihasilkan dari
proses penghisapan yang dilakukan oleh bayi akan diubah menjadi sinyal yang
akan diteruskan ke hipotalamus dan hipofisis anterior. Sinyal yang dikirim akan
menyebabkan perubahan kadar FSH dan LH yang mencegah terjadinya ovulasi .
Kadar hormon tinggi ini dipertahankan oleh proses penghisapan puting susu yang
sering oleh bayi, dengan jarak antar menyusui tidak lebih dari 4-6 jam .
keberhasilan metoda amenora laktasi sangat dipengaruhi oleh frekuensi menyusui,
hal ini dipengaruhi oleh , penggunaan dot, botol untuk menyusui, pemberian
makanan selain asi, jarak yang panjang diantara menyusui, stress dan penyakit
pada ibu atau anak.3

2. Efektifitas
Penelitian yang dilakukan menunjukkan wanita yang memenuhi 3 kriteria
metoda amenore laktasi ( amenore, menyusui secara penuh dan

< 6 bulan

pascapersalinan) memiliki angka keberhasilan 98% atau lebih sebagai metoda


kontrasepsi.5

Gambar 3. Kriteria Metoda Amenore Laktasi

3. Keuntungan
a. Bisa dimulai segera setelah persalinan
b. Sangat efektif
c. Sangat ekonomis dan mudah
d. Tidak mempunyai efek samping hormonal
e. Tidak mempengaruhi hubungan sexual
f. Meningkatkan proses menyusui
4. Kerugian
a. Metoda jangka pendek ( hingga 6 bulan )

b. Membutuhkan proses menyusui yang mungkin tidak nyaman bagi


sebagian wanita
c. Tidak melindungi wanita dari penyakit menular sexual atau HIV
5. Keuntungan proses menyusui (LINKAGES, 2004; ABM, 2005)

a. Bagi ibu
1. Proses menyusui yang dimulai segera pasca persalinan ,
mengurangi resiko perdarahan pasca persalinan. Penghisapan
yang dilakukan oleh bayi menyebabkan pelepasan oksitosin
yang menyebabkan kontraksi pada uterus
2. Mengurangi resiko kanker payudara dan kanker ovarium
3. Melindungi wanita dari anemia dan osteoporosis
4. Bisa menjadikan waktu istirahat untuk ibu , karena ibu tidak
bisa melakukan aktifitas lain selama menyusui
b. Bagi bayi

1. Bayi mendapat imunitas dari colostrums dan air susu ibu


2. Proses menyusui memenuhi kebutuhan bayi dengan nutrisi
yang lengap, disamping pertubuhan gigi dan rahang
3. Merangsang pertumbuhan otak
Disamping itu proses menyusui meningkatkan ikatan antara ibu dan anak.
Selain itu ASI merupakan sumber makanan yang bisa diberikan kapan saja, bersih
dan mudah diberikan pada saat kapanpun.4

E. AKDR ( Alat Kontrasepsi Dalam Rahim )


1. Definisi
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim ( AKDR ) atau yang lebih dikenal dengan
IUD ( Intra Uterine Devices ) adalah bahan inert sintetik ( dengan atau tanpa

10

unsur

tambahan untuk sinergi efektifitas) dengan berbagai bentuk yang

dipasangkan de dalam rahim untuk menghasilkan efek kontraseptif.6


2. Mekanisme kerja
.

Intra uterine devices (IUD) merupakan benda asing yang dimasukkan ke

dalam rahim. Keberadannya dapat merangsang timbulnya reaksi tubuh terhadap


benda asing berupa fagositosis oleh leukosit, makrofag dan limfosit. Pemadatan
endometrium akibat reaksi fagositosis menyebabkan blastokis rusak sehingga
nidasi terhalangi. Selain itu IUD juga menimbulkan terjadinya perubahan
pengeluaran cairan dan prostaglandin yang dapat menghalangi kapasitasi
spermatozoa. Pada IUD yang mengandung logam , misalnya tembaga, ion yang
dilepaskan oleh logam akan menganggu gerakan spermatozoa dan mengurangi
kemampuan melakukan konsepsi.6
3. Jenis-jenis IUD
Pada saat ini IUD telah memasuki generasi ke-4. karena itu
berpuluh-puluh macam IUD telah dikembangkan. Mulai dari genersi
pertama yang terbuat dari benang sutra dan logam sampai generasi
plastik(polietilen) baik yang ditambah obat maupun tidak.6
Menurut bentuknya IUD dibagi menjadi :
1. Bentuk terbuka (oven device)
Misalnya: LippesLoop, CUT, Cu-7.

Marguiles,

Spring

Coil,

Multiload,Nova-T
2. Bentuk tertutup(closed device)
Misalnya: Ota-Ring, Atigon, dan Graten Berg Ring.
Menurut Tambahan atau Metal
1. Medicated IUD
Misalnya: Cu T 200, Cu T 220, Cu T 300, Cu T 380 A, Cu-7, Nova T,
ML-Cu 375
2. Un Medicated IUD
Misalnya: Lippes Loop, Marguiles, Saf-T Coil, Antigon.

11

Gambar 4a. Berbagai macam IUD

Gambar 4b. Berbagai macam IUD

12

Gambar 4c. Berbagai macam IUD

4. Jenis Pemasangan IUD pasca persalinan


IUD merupakan pilihan kontrasepsi yang tepat digunakan pada masa pasca
persalinan tanpa melihat status menyusui ibu, karena tidak mempengaruhi kadar
hormonal.6
Pemasangan IUD pasca persalinan bisa dibagi menjadi 3 macam (USAID, 2008)

a. Pemasangan post plasenta


Pemasangan IUD dalam 10 menit setelah lahirnya plasenta pada persalinan
pervaginam. Pemasangan bisa dilakukan dengan menggunakan ringed
forceps atau secara manual. Pada saat ini serviks masih berdilatasi
sehingga

memungkinkan

untuk

penggunaan

tangan

atau

forsep.

Penggunaan inserter IUD interval tidak bisa digunakan pada pemasangan


post plasenta , karena ukuran inserter yang pendek sehingga tidak bisa
mencapai fundus selain itu , karena uterus yang masih lunak sehingga
memungkinkan terjadinya perforasi lebih besar dibandingkan dengan
menggunakan ringed forceps atau secara manual.6

13

b. Pemasangan segera pasca persalinan


Pemasangan IUD pada masa ini dilakukan setelah periode post plasenta
sampai 48 jam pasca persalinan. Teknik pemasangan IUD pada saat ini
masih bisa dengan menggunakan ringed forsep , karena serviks masih
berdilatasi, tetapi tidak bisa dilakukan secara manual. Penggunaan inserter
IUD interval sebaiknya tidak digunakan, karena kemungkinan terjadinya
perforasi yang lebih tinggi.6
c. Pemasangan IUD transcesarian
Pemasangan pada transcesarian dilakukan sebelum penjahitan insisi
uterus. Bisa dilakukan dengan meletakkan IUD pada fundus uteri secara
manual atau dengan menggunakan alat.6
Pemasangan IUD setelah 48 jam sampai 4 minggu pasca persalinan tidak
dianjurkan karena angka kejadian ekspulsi yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pemasangan segera pasca persalinan dan pemasangan IUD interval.
d. Pemasangan IUD pasca abortus
Merupakan pemasangan IUD setelah terjadinya abortus.6
o Trimester 1 : bisa dilakukan dengan teknik pemasangan IUD
interval karena serviks berdilatasi minimal dan hanya inserter IUD
yang bisa masuk kedalam kavum uteri. Selain itu ukuran uterus
relatif tidak mengalami perbesaran dan lebih kaku sehingga
mempunyai angka resiko perforasi yang kecil .
o Trimester 2 : bisa dilakukan dengan menggunakan teknik interval
atau dengan menggunakan teknik forsep . forsep digunakan jika
serviks cukup berdilatasi.
e. Pemasangan IUD interval
Merupakan pemasangan IUD yang dilakukan lebih dari 4 minggu pasca
persalinan. Pemasangan IUD dilakukan dengan menggunakan inserter
IUD.6
5. Persiapan alat
Alat yang dibutuhkan untuk pemasangan IUD :6
14

Tabel 1 . Alat-alat yang dibutuhkan untuk pemasangan IUD

6. Teknik pemasangan
a. Pemasangan dengan menggunakan ringed forsceps

Pada teknik pemasangan ini dibutuhkan seorang asisten untuk memastikan


tindakan aspesis dan pemasangan IUD yang aman. Tahap tahap pemasangan
IUD.6

Palpasi uterus untuk menentukan tinggi fundus dan kuatnya kontraksi


Lakukan cuci tangan
Gunakan sarung tangan steril
Letakkan duk steril pada abdomen bagian bawah dan di bawah bokong
Susun semua instrumen yang dibutuhkan pada tempat steril
Pastikan bokong pasien pada ujung meja tindakan , hal ini akan

memudahkan dalam pemasangan spekulum


Pada kasus pemasangan post plasenta, masukan spekulum ke dalam vagina
untuk eksplorasi apakan terdapat laserasi , jika ada dilakukan penjahitan

sebelum pemasangan IUD


Pada pemasangan pasca persalinan , masukkan spekulum ke dalam vagina

untuk menampakkan serviks


Dengan menggunakan tangan yang lain bersihkan serviks dan dinding

vagina dengan menggunakan cairan antiseptik


Jepit serviks anterior dengan menggunakan ring forceps

15

Asisten membuka IUD dari kemasannya , dan jepit IUD dengan


menggunakan forseps Kelly atau dengan menggunakan penster yang
panjang.

Gambar 5. Cara menjepit IUD

IUD harus dijepit pada lengan vertikal , dan lengan horizontal dari
IUD diluar dari cincin penjepit. Hal ini akan memudahkan pelepasan
IUD pada fundus dan mengurangi resiko tertariknya IUD ketika forsep
dilepaskan

16

Gambar 6a. Posisi ringed forsep pada IUD

Letakkan IUD menghadap lingkar dalam forsep kelly dengan benang


menjauhi forsep. Setelah itu setelah forsep dilepaskanaka n lebih
mudah untuk mengeluarkan forsep secara menyamping dan benang
IUD tidak akan tertarik keluar .( asisten menahan spekulum ketika
operator memasang IUD dengan forsep kedalam uterus.

Gambar 6b. Posisi ringed forsep pada IUD

17

Setelah itu , tarik keluar forsep yang memegang servik sampai servik

terlihat
Masukkan forsep yang sedah menjepit IUD kedalam vagina searah
dengan lengkungan tubuh wanita

Gambar 7a. Posisi ringed forsep saat masuk ke dalam vagina

Setelah forsep yang berisi IUD melewati serviks, asisten melepaskan


spekulum dari vagina

Gambar
7b. Posisi ringed forsep saat masuk ke dalam vagina

18

Gambar 7c. Posisi ringed forsep saat masuk ke dalam vagina

Lepaskan forsep yang memegang serviks dan tangan operator

dipindahkan ke abdomen untuk meraba fundus.


Dengan posisi tangan di abdomen, fiksasi uterus dengan melakukan
tekanan pada dinding abdomen, hal ini akan mencegah uterus bergerak
pada saat pemasangan IUD

Gambar 8. Posisi tangan kiri pada fundus

Arahkan forsep yang berisi IUD ke arah fundus

19

Gambar 9. Mengarahkan ringed forceps ke arah fundus

Pada pasien dengan bekas sectio sesaria , arahkan forsep ke posterior

untuk mencegah ruptur pada bekas insisi pada SBR


Setelah forsep mencapai fundus, putar forsep 45 derajat sehingga IUD

akan berada pada posisi horizontal


Buka forsep untuk melepaskan IUD , dan lepaskan secara perlahan
forsep dalam keadaan sedikit terbuka.

Setelah forsep dikeluarkan, tekan introitus vagina dengan menggunakan 2


jari untuk melihat benang IUD, pada uterus yang berkontraksi dengan baik ,
benang IUD mungkin terlihat, pada kasus ini tidak perlu dilakukan tindakan
apapun. Pada uterus yang besar sesuai pada pemeriksaan awal, jika benang IUD
terlihat dari serviks , hal ini menandakan IUD belum mencapai fundus. Dan harus
dilakukan pemasangan ulang IUD dengan menggunakan IUD baru.6
b. Pemasangan IUD post plasenta secara manual
Teknik ini hanya bisa dilakukan dalam 10 menit setelah lahirnya plasenta
Perbedaan mendasar teknik ini jika dibandingkan dengan teknik yang
menggunakan alat adalah :6

Fungsi forsep digantikan oleh tangan


IUD dijepit diantara jari telunjuk dan jari tengah pada lengan vertikal

20

Gambar 10. Posisi tangan menjepit IUD

Dengan bantuan spekulum , serviks diidentifikasi dan jepit dengan


menggunakan forsep

21

Gambar 11a. Posisi tangan yang menjepit IUD saat masuk vagina

Lepaskan spekulum dan masukkan tangan yang sudah menjepit IUD,


searah dengan lengkung panggul ke dalam vagina sampai kedalam

uterus.
Lepaskan forsep yang menjepit serviks dan letakkan tangan pada
abdomen untuk memfiksasi uterus

22

Gambar 11b. Posisi tangan yang menjepit IUD saat masuk vagina

Setelah tangan jari yang memegang IUD mencapai fundus, putar 45


derajat ke kanan untuk memposisikan IUD pada posisi horizondal pada

fundus uteri
Lepaskan jari yang menjepit IUD dan keluarkan secara perlahan dan
hati-hati untuk mencegah terlepasnya IUD

23

Gambar 12. Posisi tangan di dalam uterus

c. Pemasangan IUD pada sectio sesaria

Lakukan masase pada uterus sehingga perdarahan berkurang, pastikan

tidak terdapat sisa jaringan plasenta didalam cavum uteri


Pasang IUD pada fundus secara manual atau dengan menggunakan alat
Sebelum melakukan penutupan sayatan , letakkan benang IUD pada
segmen bawah rahim, dekat ke OUI . jangan sampai benang melewati
servik karena akan meningkatkan resiko infeksi.6

F. Hormonal

24

1. Kontrasepsi hormonal kombinasi

Rekomendasi dari Centers for disease control ( CDC) Amerika Serikat


menganjurkan wanita pasca persalinan untuk tidak menggunakan kontrasepsi
hormonal kombinasi pada 21 hari pertama pasca persalinan karena tingginya
angka kejadian trombo emboli vena. Pada hari ke 21 sampai 42 pasca persalinan ,
kontrasepsi hormonal kombinasi bisa diberikan pada wanita yang tidak memiliki
resiko tromboemboli vena. Dan setelah 42 hari pasca persalinan kontrasepsi
hormonal kombinasi bisa digunakan.6
Perubahan hematologi selama kehamilan , termasuk peningkatan faktor
koagulasi dan fibrinogen dan penurunan antokoagulan menyebabkan resiko
terjadinya tromboemboli vena menigkat. Disamping itu beberapa faktor yang
terdapat pada ibu , juga meningkatkan resiko ini seperti

umur >35 tahun ,

merokok, persalinan dengan sectio sesaria . Hal ini juga mejadi pertimbangan
dalam pemilihan kontrasepsi hormonal kombinasi pada wanita pasca persalinan ,
karenaberhubungan dengan peningkatan resiko Trombemboli vena.7
Dari tinjauan yang dilakukan oleh WHO dan CDC terhadap 13 studi yang
dilakukan menunjukkan resiko tromboemboli vena pada wanita dalam 42 hari
pasca persalinan adalah 22 sampa 84 kali lebih besar dibandingkan pada wanita
yang tidak hamil pada usia reproduksi. Resiko tertinggi adalah segera setelah
persalinan dan menurun secara cepat pada 21 hari pertama pasca persalinan tetapi
menetap sampai 42 hari pasca persalinan pada sebagian besar studi yang
dilakukan. Penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi yang bisa meningkatkan
resiko tromboemboli vena pada wanita sehat pada usia reproduksi , resikonya
akan lebih meningkat jika digunakan pada wanita pasca persalinan.7

Rekomendasi dari CDC mengenai penggunaan kontrasepsi hormonal


kombinasi pada perode pasca persalinan pada wanita yang tidak menyusui
seperti pada table. 7
Kondisi

Kategori*

Klarifikasi / evidence

25

Pasca persalinan ( tidak menyusui )


a. <21 hari

b. 21-42 hari
a. Dengan resiko lain VTE( >35 th,
VTE
sebelumnya,
trombofilia,
immobilitas, riwayat tranfusi, BMI> 3
30, HHP, post SC, preeklampsi, atau
merokok
b. Tanpa resiko VTE
2
c. > 42 hari

Bukti: tidak ada bukti langsung


kontrasepsi hormonal kontrasepsi .
dan pascapersalinan, resiko ini palin
menurun ke normal pada 42 hari pas

Klarifikasi: untuk wanita dengan


( merokok, DVT/ emboli paru, PPCM

Bukti: tidak ada bukti langsung


kontrasepsi hormonal kontrasepsi. R
pascapersalinan, resiko ini paling
menurun ke normal pada 42 hari pas

VTE: venous tromboembolism, KHK: kontrasepsi hormonal kombinasi; DVT: deep vein
thrombosis;
Kategori : 1:= tidak ada kontraindikasi penggunaan kontrasepsi; 2= keuntungan penggunaan
kontrasepsi lebih besar dari resiko yang ditimbulkan; 3= resiko lebih besar jika dibandingkan
dengan penggunaan kontrasepsi ; 4= resiko yang tidak bisa diterima jika kontrasepsi digunakan
Tabel 2. Rekomendasi penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi pada wanita yang
tidak menyusui

26

Pada wanita yang kurang dari 21 hari pasca persalinan penggunaan


kontasepsi hormonal kombinasi menunjukkan resiko yang tinggi dan sebaiknya
tidak digunakan ( kategori 4 ). Pada wanita pada 21 hari sampai 42 hari pasca
persalinan dan mempunyai resiko lain trombo emboli vena resiko penggunaan
kontrasepsi hormonal kombinasi lebih tinggi , oleh karena itu sebaiknya tidak
digunakan ( kategori 3), sedangkan pada wanita yang tidak memiliki faktor resiko
tromboemboli vena yang lain , penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi bisa
digunakan ( kategori 2 ) . Pada wanita > 42 hari pasca persalinan tidak ada
halangan untuk penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi (kategori 1).7,8
Rekomendasi terpisah oleh US MEC pada tahun 2010 pada wanita < 1
bulan pasca persalinan ,pada wanita menyusui penggunaan kontrasepsi hormonal
pasca persalinan termasuk kategori 3. Setelah 1 bulan pasca persalinan
penggunaan kontrasepsi hormonal termasuk kategori 2 pada wanita menyusui.2,7

27

Kondisi

Kategori*

Klarifikasi / evidence
Klarifikasi : kementerian kesehatan AS merekomendasikan bayi
seharusnya mendapatkan ASI secara eksklusif selama 4-6 bulan pertama,
dan dianjurkan selama 6 bulan dan idealnya dilanjutkan sampai 1 tahun.

Pasca persalinan ( menyusui )

Bukti: uji klinik yang dilakukan menunjukkan hasil yang berbeda


mengenai efek pada produksi ASI pada wanita yang menggunaka KOK ;
dan tidak terdapat bukti yang cukup mengenai efek pada berat bayi. Efek
samping pada kesehatan bayi karena paparan estrogen tidak bisa
dibuktikan. Secara umum uji klinik yang dilakukan memiliki kualitas
yang rendah, tidak memiliki standar mengenai defenisi dan luaran
mengenai proses menyusui, dan tidak memasukkan bayi premature dan
sakit. Kajian ilmiah menunjukkan efek dari KHK pda produksi ASI lebih
besar pada awal masa pasca persalinan
a. <21 hari

Bukti: tidak ada bukti langsung mengenai resiko VTE pada penggunaan
kontrasepsi hormonal kontrasepsi . Resiko VTE meningkat selama
kehamilan dan pascapersalinan, resiko ini paling tinggi pada minggu 1
pasca persalinan dan menurun ke normal pada 42 hari pasca persalinan.

28

b. 21-30 hari
1. Dengan resiko lain VTE( >35 th,
VTE sebelumnya, trombofilia, 3
immobilitas, riwayat tranfusi,
BMI> 30, HHP, post SC,
preeklampsi, atau merokok
2. Tanpa resiko VTE
3
c. 30- 42 hari
1. Dengan resiko lain VTE( >35 th,
VTE sebelumnya, trombofilia, 3
immobilitas, riwayat tranfusi,
BMI> 30, HHP, post SC,
preeklampsi, atau merokok
2. Tanpa resiko VTE
2
d. > 42 hari

Klarifikasi: untuk wanita dengan resiko lain VTE, kategori bisa menjadi
4 ( merokok, DVT/ emboli paru, PPCM)
Bukti: tidak ada bukti langsung mengenai resiko VTE pada penggunaan
kontrasepsi hormonal kontrasepsi. Resiko VTE meningkat selama
kehamilan dan pascapersalinan, resiko ini paling tinggi pada minggu 1
pasca persalinan dan menurun ke normal pada 42 hari pasca persalinan.

Klarifikasi: untuk wanita dengan resiko lain VTE, kategori bisa menjadi
4 ( merokok, DVT/ emboli paru, PPCM)
Bukti: tidak ada bukti langsung mengenai resiko VTE pada penggunaan
kontrasepsi hormonal kontrasepsi. Resiko VTE meningkat selama
kehamilan dan pascapersalinan, resiko ini paling tinggi pada minggu 1
pasca persalinan dan menurun ke normal pada 42 hari pasca persalinan.

VTE: venous tromboembolism, KHK: kontrasepsi hormonal kombinasi; DVT: deep vein thrombosis;
Kategori : 1:= tidak ada kontraindikasi penggunaan kontrasepsi; 2= keuntungan penggunaan kontrasepsi lebih besar dari resiko yang ditimbulkan; 3= resiko
lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan kontrasepsi ; 4= resiko yang tidak bisa diterima jika kontrasepsi digunakan

Tabel 3. Rekomendasi penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi pada wanita yang menyusui

29

2. Kontrasepsi hormon progesteron


Penggunaan kontrasepsi yang mengandung hormone progesteron tidak
menekan proses laktasi dan bisa digunakan pada wanita pasca persalinan.
Meskipun hormon progesteron

bisa melewati air susu

akan tetapi tidak

menunjukkan efek pada pertumbuhan bayi. Penggunaan kontrasepsi yang hanya


mengandung hormon progesteron termasuk pil progesterone, injeksi depot
medroxyprogesterone acetate, dan implant aman digunakan pada wanita pasca
melahirkan termasuk wanita yang menyusui dan bisa diberikan segera pada pasca
persalinan (kategori 1 dan 2 ). Penggunaan IUD termasuk yang mengandung
levonorgestrel dan Cu-IUD bisa di pasang pada periode pasca persalinan ,
termasuk segera setelah pasca persalian ( kategori 1 dan 2 ). Penggunaan kondom
bisa dilakukan kapan saja ( kategori 1 ) , penggunaan diafragma sebaiknya pada 6
minggu pasca persalinan ( kategori 1 setelah 6 minggu ).

30

BAB III
KESIMPULAN

1. Penggunaan kontrasepsi pasca persalinan perlu mempertimbangkan status


menyusui ibu.
2. Metode amenore laktasi sangat efektif pada ibu yang menyusui secara
eksklusif.
3. Efektifitas IUD pasca persalinan sama dengan pemakaian IUD interval
jika dilakukan dengan benar.
4. Penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi paling cepat diberikan pada
hari 21 pasca persalinan pada wanita yang tidak menyusui
5. Kontrasepsi yang mengandung progesteron bisa diberikan segera pasca
persalinan tanpa melihat status menyusui dari ibu .

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Widyastuti L , Saikia US, Postpartum Contraceptive Use in Indonesia : Recent


Patterns and Determinants BKKBN
2. Sumadikarya IK, Nugroho AW , Rekomendasi Praktik Pilihan untuk Penggunaan
Kontrasepsi ( Selected Practice Recommendation for Contraceptive Use ) Penerbit
Buku Kedokteran EGC , Jakarta , 2009
3. The LINKAGES Project , LAM ( Lactational Amenorrhea Method ) : A Modern
Postpartum Contraceptive Method for Women who Breastfeed , Training Module for
Health and Family Service Providers , Washington , 2004
4. The Academy of Breastfeeding Medicine , Clinical Protocol Number #13 ;
Contraception during Breastfeeding 2005
5. USAID- Engender Health / The ACQUIRE Project ., The Postpartum Intrautrine
Device, A Training Course for Service Providers , Participant Handbook, 2008
6. Update to CDCs U.S. Medical Eligibility Criteria for Contraceptive Use, 2010:
Revised Recommendations for the Use of Contraceptive Methods During the
Postpartum Period MMWR / July 8, 2011 / Vol. 60 / No. 26
7. World Health Organization , Department of Reproductive Health and Research,
Combined hormonal contraceptive use during the postpartum period, Geneva, 2010
8. Workshop on Comprehensive Postpartum Family Planning Care, Jhpiego Baltimore
2008

32

Anda mungkin juga menyukai