Anda di halaman 1dari 6

Undang-undang bayi tabung

Undang-undang tentang bayi tabung terdapat dalam pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang
berbunyi:
Ayat 1
Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat
keturunan
Ayat 2
Upaya kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilaksanakan oleh pasangan
suami istri yang sah, dengan ketentuan:
1.
Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri
darimana ovum itu berasal
2.
Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
3. Ada sarana kesehatan tertentu
Ayat 3
Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) ditentukan dengan P.P
Inseminasi Buatan di Pandang dari Aspek Medis, Legal,Etik dan HAM
Aspek Medis
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang menyinggung masalah ini. Dalam
Undang-Undang No. 23 /1992 tenang Kesehatan, pada pasal 16 disebutkan, hasil pembuahan sperma dan sel telur di
luar cara alami dari suami atau istri yang bersangkutan harus ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel telur itu
berasal. Hal ini menjawab pertanyaan tentang kemungkinan dilakukannya pendonoran embrio. Jika mengacu pada UU
No.23/1992 tentang Kesehatan, upaya pendonoran jelas tidak mungkin.
Aspek Legal
Jika salah satu benihnya berasal dari donor Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-invitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di
dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan
memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami
tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHPer.
Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak
sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer Permasalahan
mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang lain atau orang yang sudah meninggal dunia,
hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang
secara khusus mengatur penerapan teknologi fertilisasi-in-vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal
apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang.

Tiga Pengertian Bayi Tabung yang Berbeda


Sekarang lewat Pengertian Bayi Tabung yang benar, Anda tahu bahwa mereka yang memilih program bayi tabung
bukan berarti tidak hamil. Pengertian Bayi Tabung sendiri membagi proses nya menjadi tiga status yang berbeda.
Inseminasi buatan yang menggunakan sperma donor, sperma suami, atau model titipan. Anda mungkin bertanya-tanya
dengan legalitas bayi tabung sesuai Pengertian Bayi Tabung yang menggunakan donor selain suami sendiri. Tentu saja
ini kembali ke kebijakan negara dimana Anda tinggal. Bisa saja Anda sekarang mendapatkan anak tanpa harus

menikah bukan? Tapi apakah ini diperbolehkan? Anda sebaiknya mencari tahu lebih dalam mengenai aspek
hukumnya. Karena ini penting sekali untuk keamanan Anda dan si anak sepanjang hidupnya.
Pengertian Bayi Tabung Dari Sisi Hukum
Anak tentunya membutuhkan kejelasan status untuk kelangsungan hidupnya sampai dewasa nanti. Pengertian Bayi
Tabung pasti membuat Anda bertanya-tanya tentang status pendonor sperma misalnya. Atau apbila yang diambil
model titipan, lalu bagaimana status si anak nantinya. Pengertian Bayi Tabung dengan sperma donor berarti Anda
menggunakan sperma yang berasal dari orang lain selain suami Anda yang memang dirahasiakan identitasnya.
Untuk dasar hukum kejelasan status si anak kemudian, Anda bisa berpegang pada UU Kesehatan no.23 tahun 1992.
Segala hal yang membuat Anda bertanya-tanya tentang aspek hukum bayi tabung ini bisa Anda temukan disitu.
Bahkan apabila Anda ingin melihat dari sisi hukum Islam, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia pun sudah
menyampaikan kebijakannya. Jadi sebelum Anda memutuskan untuk mengambil program bayi tabung sebaiknya
Anda pertimbangkan dulu semua kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.
Latar Belakang Munculnya Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)
Pelayanan terhadap bayi tabung dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah Fertilisasi in Vitro yang memiliki
pengertian pembuahan sel telur oleh sel sperma di dalam tabung petri yang dilakukan oleh petugas medis. Inseminasi
buatan pada manusia sebagai suatu teknologi reproduksi berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina wanita,
pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Awal berkembangnya inseminasi buatan bermula dari
ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam Gliserol yang
dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit.
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki
keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian
mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pula pada pasangan suami istri yang memiliki
penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan. Otto
Soemarwoto dalam bukunya Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global, dengan tambahan dan keterangan
dari Drs. Muhammad Djumhana, S.H., menyatakan bahwa: Bayi Tabung pada satu pihak merupakan hikmah. Ia dapat
membantu pasangan suami istri yang subur tetapi karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat
mempunyai anak. Dalam kasus ini, sel telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot yang terjadi
ditanam dalam kandungan istri. Dalam hal ini kiranya tidak ada pendapat pro dan kontra terhadap bayi yang lahir
karena merupakan keturunan genetik suami dan istri.
Akan tetapi seiring perkembangannya, mulai timbul persoalan dimana semula program ini dapat diterima oleh semua
pihak karena tujuannya yang mulia menjadi pertentangan. Pihak yang pro dengan program ini sebagian besar
berasal dari dunia kedokteran dan mereka yang kontra berasal dari kalangan alim ulama. Tulisan ini tidak akan
membahas mengenai pro kontra yang ada tetapi akan membahas mengenai aspek hukum perdata yang menekankan
pada status hukum dari si anak dan segala akibat yang mengikutinya.
Proses Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)
Dalam melakukan Fertilisasi in Virto, transfer embrio dilakukan dalam tujuh tingkatan dasar yang dilakukan oleh
petugas medis, yaitu :
1. Istri diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang
diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
2. Pematangan sel-sel telur sipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah Istri dan pemeriksaan
Ultrasonografi.

3. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui vagina dengan tuntunan
Ultrasonografi.
4. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi dengan sel sperma suaminya
yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.
5. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian dibiakkan di dalam lemari
pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi
pembuahan sel
6. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini. Kemudian diimplantasikan ke dalam rahim istri. Pada
periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
7. Apabila dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi, dilakukan
pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan
Ultrasonografi kembali untuk melihat perkembangan janin.
Baca juga: Bagaimana cara cepat hamil yang efektif.
Permasalahan Hukum Perdata yang Timbul Dalam Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)
Inseminasi buatan menjadi permasalahan hukum dan etis moral bila sperma atau sel telur datang dari pasangan
keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah apabila yang menjadi bahan
pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia. Permasalahan yang timbul antara lain adalah :

Bagaimanakah status keperdataan (Akte Lahir) dari bayi yang dilahirkan melalui proses inseminasi buatan?
Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak
mewaris?
Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan
rahim) dan orang tua biologisnya? Dari manakah ia memiliki hak mewaris?

Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)
1. Apabila benihnya berasal dari Suami Istri

Apabila benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses Fertilisasi in Vitro transfer embrio dan
diimplantasikan ke dalam rahim istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai
satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris
dan hubungan keperdataan lainnya.
Apabila ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya
maka apabila anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan
tersebut. Namun apabila dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak tersebut bukan anak sah bekas suami
ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum ps. 255
KUHPer.
Apabila embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak
itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42
UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak
tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan
perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai
dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer.)

2. Apabila salah satu benihnya berasal dari donor

Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan Fertilisasi in Vitro transfer embrio dengan
persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri

dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status
anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak
menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHPer.
Apabila embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan
merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250
KUHPer.

3. Apabila semua benihnya dari donor

Apabila sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio
diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir
mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan
yang terikat dalam perkawinan yang sah.
Apabila diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar
kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan
pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Apabila sel telur berasal darinya maka anak
tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.

Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program
Fertilisasi in Vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat mengcover kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status
sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya.
Secara khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang yang sudah
meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundangundangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi Fertilisasi in Vitro transfer embrio ini pada manusia
mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang.
Contoh Kasus Inseminasi Buatan di Amerika Serikat, Mary Beth Whitehead sebagai ibu pengganti (surrogate mother)
yang berprofesi sebagai pekerja kehamilan dari pasangan William dan Elizabeth Stern pada akhir tugasnya
memutuskan untuk mempertahankan anak yang dilahirkannya itu. Timbul sengketa diantara mereka yang kemudian
oleh Pengadilan New Jersey, ditetapkan bahwa anak itu diserahkan dalam perlindungan ayah biologisnya, sementara
Mrs. Mary Beth Whitehead (ibu pengganti) diberi hak untuk mengunjungi anak tersebut.
Negara yang memberlakukan hukum islam sebagai hukum negaranya, tidak diperbolehkan dilakukannya inseminasi
buatan dengan donor dan dan sewa rahim. Negara Swiss yang notabennya bukan negara Islam juga melarang
melakukan inseminasi buatan dengan donor.
Sedangkan Lybia dalam perubahan hukum pidananya tanggal 7 Desember 1972 melarang semua bentuk inseminasi
buatan. Larangan terhadap inseminasi buatan dengan sperma suami di dasarkan pada premis bahwa hal itu sama
dengan usaha untuk mengubah rancangan ciptaan Tuhan
2 Hukum Dan Etika Reproduksi Buatan Di Indonesia
Di Indonesia, hukum dan perundangan mengenai teknik reproduksi buatan diatur dalam:
1. UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127 menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana
ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan,
yang berisikan: ketentuan umum, perizinan, pembinaan, dan pengawasan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan
Penutup.

Selanjutnya Keputusan MenKes RI tersebut dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat
Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang menyatakan bahwa:
1. Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami-istri
yang bersangkutan.
2. Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga sehinggan kerangka pelayannya
merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
3. Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari 3, boleh dipindahkan 4 embrio dalam
keadaan:
Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru lahir.
Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang
gagal.
Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun
5. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova atau embrio
6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian, Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio
manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas
7. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi
8. Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari (tidak
termasuk waktu impan beku)
9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel ova, spermatozoa atau embrio
tanpa seijin dari siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal.
10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi tran-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk
mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fretilisasi trans-spesies harus
diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel.
Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Tetapi dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki
Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya: menolak kloning
pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, menghimbau
ilmuwan khususnya kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia, dan mendorong agar ilmuwan
tetap menggunakan teknologi kloning pada :
1. sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan zat antigen monoclonal.
2. sel atau jaringan hewan untuk penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri
sendiri.
II.2.1 Aspek Hukum Bayi Tabung (InVitro Fertilization)
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya
bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi
teknologi ini juga rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika.
Teknologi bayi tabung merupakan upaya kehamilan di luar cara alamiah. Dalam hukum Indonesia, upaya
kehamilan di luar cara alamiah diatur dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal ini
dinyatakan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah
dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal.
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah
yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun
metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu
pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Permasalahan perdata yang timbul berkaitan dengan teknologi bayi tabung antara lain adalah:
1. Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses bayi tabung?
2. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris?
3. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim)
dan orang tua biologisnya? Darimanakah ia memiliki hak mewaris?
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap teknologi bayi tabung:
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri.

a. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke
dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah
(keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan
lainnya.
b. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika
anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika
dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan
keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
c. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah
anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974
dan pasal 250 KUH Perdata. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak
sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan
tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH
Perdata.)
d. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
1. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan
pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi
pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki
hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan
tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal 250 KUH Perdata.
2. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak
sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
3. Jika semua benihnya dari donor
1. Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio
diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai
status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam
perkawinan yang sah.
2. Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin
karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya
secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis
dan biologis sebagai anaknya.
Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program
fertilisasi-in-vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat
menutup kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status
sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya.
Berdasarkan asas leg spesialis retrograde leg generale dalam ketentuan hukum maka berdasarkan hukum yang
berlaku di Indonesia teknologi bayi tabung yang diperbolehkan adalah yang sesuai dengan ketentuan pasal 127 UU
Kesehatan No. 36 tahun 2009, dimana sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri dan ditanamkan dalam
rahim istrinya tersebut. Dengan demikian, walaupun terdapat ketentuan lain yang mengatur mengenai hubungan
perdata dalam proses inseminasi buatan dan teknologi bayi tabung selain yang diatur UU Kesehatan No. 36 tahun
2009, ketentuan tersebut akan batal dengan sendirinya demi hukum karena bertentangan dengan peraturan perundangundangan lain yang lebih spesifik mengatur masalah tersebut, dalam hal ini UU Kesehatan No. 36 tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai