Anda di halaman 1dari 8

REFERAT

Pengaruh Stres Oksidatif terhadap Penyembuhan Luka

BAB I PENDAHULUAN
Masih banyak tanda tanya yang muncul dalam pembahasan stres oksidatif dan
penyembuhan luka. Majunya penelitian biologi molekuler telah meningkatkan
pemahaman kita mengenai mekanisme penyembuhan luka dan bagaimana stres
oksidatif dapat mempengaruhinya. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana stres
oksidatif dapat berpengaruh pada penyembuhan luka dan apa saja penelitian yang telah
dilakukan untuk mengatasinya.

BAB II PEMBAHASAN
II.1 Stres Oksidatif
Istilah stres oksidatif atau oxidative stress pertama kali dikemukakan oleh
Helmut Sies dan secara umum diartikan sebagai gangguan keseimbangan prooksidan
dan antioksidan sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan (Wlaschek & ScharffetterKochanek 2005). Stres oksidatif diperantarai oleh spesies oksigen reaktif atau reactive
oxygen species (ROS) yang walaupun secara fisiologis terlibat dalam pengaturan ini,
dapat menyebabkan kerusakan serius pada komponen seluler.
Kerusakan serius ini diperantarai ROS baik radikal maupun non radikal seperti
anion superoksida dan radikal hidroksil. Hidrogen peroksida mudah melintasi membran
sel dan bersama ion logam transisional seperti besi atau tembaga dapat menghasilkan
radikal hidroksil yang sangat toksik dan dapat menginisiasi peroksidasi lipid di
membran sel.
Stres oksidatif telah terbukti berperan pada gagal ginjal kronis, penyakit paru
obstruktif kronis dan fibrosis idiopatik pada paru, dan berbagai penyakit
neurodegeneratif (Robbins & Zhao 2004). Pengaruh stres oksidatif pada penyembuhan
luka, khususnya luka kronis akan dijelaskan di bawah.
II.2 Spesies Oksigen dan Nitrogen Oksida Reaktif
Setiap organisme aerobik memproduksi ROS sementara ada juga perkembangan
perhatian lain terhadap spesies nitrogen oksida reaktif atau reactive nitrogen oxide
species (RNOS) (Robbins & Zhao 2004). Metabolit oksigen (O 2) yang secara parsial
direduksi membentuk ROS. Dibentuk dari satu- atau dua- reduksi elektron dari O2 dan
radikal hidroksil (*OH), ROS yang terbentuk adalah anion superoksida (O 2*-) dan
hidrogen peroksida (H2O2).
Superoksida adalah radikal bebas, yaitu atom atau kelompok atom yang
memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Walaupun merupakan radikal
bebas, O2*- tidak dapat memasuki membran lipid dan dengan demikian terbatas pada
kompartemen intraseluler di mana molekul tersebut dibuat. Utamanya, O2*- diproduksi
di mitokondria akibat kebocoran elektron dari rantai transpor elektron.

Enzim antioksidan dismutase superoksida atau superoxide dismutase (SOD)


secara cepat mengubah O2*- menjadi H2O2. Pada sel eukaryota, terdapat tiga isoform
SOD, yaitu SOD mangaan (MnSOD), SOD tembaga-seng (CuZnSOD), dan SOD
ekstraseluler (EC-SOD) (Robbins & Zhao 2004).
Sementara itu, H2O2 bukanlah radikal bebas. Walaupun merupakan agen oksidan
yang lebih lemah daripada O2*-, H2O2 penting dibahas karena kemampuannya dalam
menerobos membran biologis. Senyawa hidrogen peroksida berperan sebagai senyawa
antara pada pembentukan ROS yang lebih reaktif seperti misalnya asam hipoklor
melalui myeloperoksidase di fagosom neutrofil (Robbins & Zhao 2004). Seperti telah
disebut di atas, dengan adanya ion logam transisional, hidrogen peroksida dapat
membentuk ROS yang paling reaktif dan toksik yaitu *OH melalui reaksi Fenton.
Pada konsentrasi yang sangat tinggi, hidrogen peroksida dikonversi menjadi air
dan oksigen melalui enzim katalase yang terutama berada di peroksisom sel mamalia.
Di konsentrasi yang rendah, hidrogen peroksida diubah menjadi air oleh glutation
peroksidase yang mengandung selenium (GPx) (Robbins & Zhao 2004).
Timbul perhatian yang lebih terhadap peran penting radikal bebas diatomik
nitrat oksida (*NO) dan RNOS, yang terbentuk dari reaksi *NO dengan oksigen
molekuler atau O2*-. Peran tersebut ada dalam mekanisme fisiologis maupun
patofisiologis. Pada konsentrasi fisiologis, *NO berfungsi sebagai pembawa pesan
intraseluler, dapat menerobos membran sel dan mentransmisikan sinyal ke sel yang lain.
Selain itu, *NO juga berfungsi sebagai antioksidan yang baik. Sebagai contoh adalah
inhibisi reaksi oksidasi yang diperantarai katalis besi.
Pada sel normal, ROS/RNOS dipercaya memainkan peran penting dalam sinyal
intraseluler, ekspresi gen, dan berbagai fungsi fisiologis. Di bawah kondisi normal,
pembentukan

ROS/RNOS

diseimbangkan

oleh

pertahanan

antioksidan

sel.

Ketidakseimbangan antara pembentukan dan destruksi ROS/RNOS akan menimbulkan


stres oksidatif (Robbins & Zhao 2004).
II.3 Stres Oksidatif pada Penyembuhan Luka Kronis
Dalam proses penyembuhan luka, ROS terlibat dalam setiap tahapnya yaitu
migrasi, adesi, proliferasi, neovaskularisasi, remodelling, dan apoptosis (Wlaschek &
Scharffetter-Kochanek 2005). Stres oksidatif, di pihak lain, dapat menyebabkan

gangguan penyembuhan luka. Konsentrasi ROS yang meningkat pada luka kronis dapat
menimbulkan efek yang merugikan melalui berbagai tahap yang berakhir pada keadaan
luka yang tidak kunjung menyembuh.
Sebagian besar ROS dikeluarkan oleh neutrofil dan makrofag, dan sampai batas
tertentu oleh fibroblas dan sel endotel. Pada luka kronis, terdapat berbagai sumber ROS.
Inflamasi yang memanjang dengan migrasi neutrofil ke jaringan yang rusak
menimbulkan anion superoksida radikal pada reaksi ledakan oksidatif, hipoksia, dan
reperfusi iskemia merupakan mekanisme-mekanisme penting yang mengakibatkan stres
oksidatif. Karena fase inflamasi yang tidak selesai pada luka kronis, timbulnya ROS
yang terus menerus menyebabkan kerusakan berlanjut dan inflamasi yang timbul terus
menerus (Wlaschek & Scharffetter-Kochanek 2005).
II.4 Menekan Stres Oksidatif Mendukung Penyembuhan Luka Kronis
Menggunakan pemodelan luka kronis pada diabetes, penelitian-penelitian
mengenai penekanan stres oksidatif dengan faktor-faktor seperti ekspresi berlebihan
endothelium-specific GTP cyclohydrolase I (GTPCH I), polisakarida Ganoderma
lucidum, caffeic acid phenethyl ester (CAPE), dan heme oxygenase-1 (HO-1) dapat
mempercepat penyembuhan luka (Tie et al. 2009; Tie et al. 2012; Serarslan et al. 2007;
Chen et al. 2016).
Sebuah penelitian menemukan bahwa overekspresi GTPCH I yang diarahkan
pada endotelium mempercepat penyembuhan luka pada diabetes tipe I dengan cara
menekan stres oksidatif dan meningkatkan kadar BH4 pada kulit. Penemuan ini dapat
menjadi dasar untuk strategi potensial dalam memerangi disfungsi endotelial dan
penyembuhan luka yang terhambat pada diabetes (Tie et al. 2009).
Penelitian menggunakan polisakarida yang ditemukan pada jamur ling zhi atau
Ganoderma lucidum dalam penyembuhan luka kronis pada diabetes pernah dilakukan.
Hasilnya, polisakarida yang diekstrak dari jamur ini dapat menekan stres oksidatif
mitokondrial dan dengan demikian mempercepat penyembuhan luka kronis pada
diabetes tipe I (Tie et al. 2012).
Banyak antioksidan seperti vitamin E dan ekstrak tanaman digunakan untuk
mengeliminasi efek negatif ROS pada penyembukan luka. Ini termasuk penggunaan
caffeic acid phenethyl ester atau CAPE yang merupakan komponen aktif pada propolis

lebah madu. Dikatakan bahwa CAPE memiliki efek antiinflamasi, imunomodulasi,


antioksidan, dan juga menekan peroksidasi lipid. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa CAPE dapat mempercepat penyembuhan luka dengan efek antioksidan yang
dimilikinya dan efek menghilangkan ROS (Serarslan et al. 2007).
Hiperglikemia meningkatkan produksi ROS dan tentu meningkatkan stres
oksidatif. Hal ini adalah salah satu yang mendasari mengapa terjadi penundaan
penyembuhan luka pada diabetes. Induksi HO-1 dapat mempercepat penutupan luka
kronis pada diabetes dengan cara mengurangi sitokin inflamasi seperti TNF-,
interleukin-6, meningkatkan antioksidan, dan memperbaiki angiogenesis (Chen et al.
2016).

BAB III PENUTUP


Studi pustaka yang telah dilakukan membawa pada dua kesimpulan. Kesimpulan
pertama, stres oksidatif dapat menyebabkan luka tidak kunjung menyembuh dan
menjadi luka kronis. Kesimpulan kedua, penekanan stres oksidatif dengan berbagai
mekanisme yang saat ini tengah banyak diteliti berpotensi mempersingkat waktu
penyembuhan luka kronis.

DAFTAR PUSTAKA
Chen, Q.-Y. et al., 2016. Heme Oxygenase-1 Promotes Delayed Wound Healing in
Diabetic Rats. Journal of Diabetes Research, 2016, pp.110. Available at:
http://www.hindawi.com/journals/jdr/2016/9726503/.
Robbins, M.E.C. & Zhao, W., 2004. Chronic oxidative stress and radiation-induced late
normal tissue injury: a review. International journal of radiation biology, 80(4),
pp.2519. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15204702.
Serarslan, G. et al., 2007. Caffeic acid phenetyl ester accelerates cutaneous wound
healing in a rat model and decreases oxidative stress. Clinical and Experimental
Dermatology, 32(6), pp.709715.
Tie, L. et al., 2009. Endothelium-specific GTP cyclohydrolase I overexpression
accelerates refractory wound healing by suppressing oxidative stress in diabetes.
American journal of physiology. Endocrinology and metabolism, 296(13),
pp.E1423E1429.
Tie, L. et al., 2012. Ganoderma Lucidum Polysaccharide Accelerates Refractory Wound
Healing by Inhibition of Mitochondrial Oxidative Stress in Type 1 Diabetes.
Cellular Physiology and Biochemistry, 29, pp.583594.
Wlaschek, M. & Scharffetter-Kochanek, K., 2005. Oxidative stress in chronic venous
leg ulcers. Wound Repair and Regeneration, 13(5), pp.452461.

Anda mungkin juga menyukai