Anda di halaman 1dari 8

NAMA

: MUHAMMAD TRI BAKHOIRUDDIN

NIM : S.1216182
TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN KEUANGAN INTERNASIONAL

Alasan dan Dampak Devaluasi Yuan oleh Pemerintah China


Pada tanggal 11 Agustus 2015, secara mengejutkan, People's Bank
of China (PBOC) memangkas nilai mata uangnya dengan melakukan
devaluasi atas nilai tukar harian yuan sebesar 1,9%. Ini merupakan rekor
di sepanjang sejarah China. Pemerintah China telah mendevaluasi mata
uangnya sebesar hampir 2% terhadap dolar AS untuk mendongkrak
ekspor dan menjadikan Yuan sebagai salah satu mata uang cadangan
global yang resmi.
Apa alasan dibalik penetapan kebijakan ini?
Ada beberapa alasan lain yang mendasari kebijakan ini :
1.

Meningkatkan nilai ekspor China


Pada semester I 2015 lalu tercatat nilai ekspor China anjlok 15%

dibanding periode yang sama tahun 2014, dimana ini berada di luar
perkiraan pemerintah sebelumnya. Selain itu pada periode Juni Juli lalu
indeks Shanghai Stock Exchange (SSE) jatuh hingga 30% hanya dalam
waktu 1 bulan. Pemerintah Tiongkok bersama-sama dengan PBOC
menetapkan kebijakan ekonomi untuk menanggulangi jatuhnya nilai
indeks ini dengan menurunkan nilai tukar Yuan terhadap USD. Devaluasi
yuan itu dilakukan untuk mendongkrak tingkat kompetisi barang ekspor
Tiongkok yang terus tergerus. Karena sejak tahun 2011 pertumbuhan
tahunan ekspor Tiongkok secara konsisten melambat. Disamping itu
langkah ini diambil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di China dan
pada akhirnya mendorong SSE untuk kembali naik. Dengan melemahnya
nilai tukar Yuan terhadap USD memiliki tujuan agar harga barang produksi
China dapat bersaing atau lebih competitive jika dibandingkan dengan
produk Amerika.

2.

Taktik ekonomi China untuk menarik investor berinvestasi

di China
Faktor kedua yang menjadi alasan China mendevaluasi mata
uangnya adalah untuk menjaring minat investor-investor asing agar mau
berinvestasi di negeri tirai bambu ini. Dengan murahnya nilai tukar mata
uang Yuan terhadap USD yang berdampak pada jatuhnya nilai SSE maka
investor akan cenderung berinvestasi di China. Selain itu jika jadi
diumumkan sebagaimajor currency oleh IMF di 20 Oktober nanti, investor
akan sangat tertarik untuk membeli Yuan dikala harganya yang sedang
menyentuh level yang sangat rendah seperti sekarang ini. Dengan
meningkatnya jumlah investor di China maka akan berdampak positif
secara signifikan pada tingkat pertumbuhan ekonomi di negeri Tiongkok
yang saat ini berada jauh dari target pemerintah sebesar 7%.
Taktik devaluasi mata uang yuan yang digunakan oleh Bank Sentral
China atau People Bank of China (PBOC) dapat mengakibatkan terjadinya
perang mata uang atau biasa disebut currency war. Currency War ini
biasanya terjadi ketika negara-negara bersaing untuk mempertahankan
daya saing guna meningkatkan stabilitas ekonominya. Turunnya nilai mata
uang dapat menjadi sinyal kuat bagi Amerika untuk segera menetapkan
kebiijakan ekonomi apakah akan menaikkan tingkat suku bunga dalam
negerinya atau tidak.
Lalu apa dampak kebijakan ini?
Sementara kalau ditanya apa pengaruh devaluasi Yuan ini terhadap
kinerja perusahaan-perusahaan atau pertumbuhan ekonomi negaranegara di seluruh dunia, maka sebenarnya hampir tidak ada pengaruh
apapun, yang jelas ekspor barang dan jasa dari china semakin murah.
Tidak ada perusahaan atau negara manapun yang menyimpan sebagian
besar asetnya dalam mata uang Yuan, kecuali perusahaan-perusahaan
asal Tiongkok itu sendiri, karena memang Yuan bukanlah world reserve
currency. Satu-satunya pengaruh adalah bahwa nilai impor Amerika dan

Eropa dari Tiongkok mungkin akan meningkat, dan itu bisa sedikit
mengganggu pertumbuhan ekonomi mereka.
Bank

Sentral

di

AS

dan

Inggris

mempertimbangkan

untuk

menaikkan suku bunga demi mencegah peningkatan inflasi. Barangbarang murah dari Tiongkok akan mengurangi tekanan inflasi dan
menjaga suku bunga tetap rendah dalam jangka waktu lebih lama. Namun
dampak yang tidak diinginkan adalah terjadinya "ekspor pengangguran"
(export of unemployment), karena Beijing membatasi tenaga kerja asing
untuk melindungi perekonomiannya.

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah Terhadap Ekspor dan


Impor Indonesia
Nilai tukar rupiah dalam tiga bulan terakhir ini terus mengalami
tekanan. Sampai dengan akhir September 2015, nilai tukar rupiah
melampaui Rp14.700 per dolar Amerika Serikat (US$). Pelemahan rupiah
ini
semakin
parah,
menyusul
kebijakan
pemerintah
Tiongkok
mendevaluasi nilai tukar yuan. Kebijakan ini menyebabkan melemahnya
mata uang beberapa negara Asia yang menjadi mitra bisnis Tiongkok,
seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia.
Ada dua kondisi global yang menyebabkan pelemahan kurs rupiah.
Kondisi pertama adalah pemulihan kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS)
yang dikhawatirkan menyebabkan investor memindahkan investasi
mereka ke negeri itu dari Indonesia. Kondisi kedua adalah devaluasi nilai
yuan sebagai usaha Tiongkok untuk meningkatkan daya saing produk
ekspor mereka. Pelemahan nilai tukar rupiah ini mempunyai dua implikasi
serius.
Sektor keuangan dan fiskal pemerintah mengalami dampak negatif
terkait dengan fluktuasi kurs rupiah akhir-akhir ini. Fluktuasi kurs
menyebabkan utang luar negeri berpotensi mengalami kenaikan.
Melemahnya kurs rupiah juga menimbulkan dampak positif, yaitu neraca
perdagangan Indonesia mengalami surplus. Pada Juli 2015, neraca
perdagangan Indonesia mengalami surplus US$1,33 miliar. Secara umum
transaksi berjalan pada triwulan II-2015 masih mengalami defisit
meskipun menurun menjadi sekitar US$4,5 miliar atau 2,1% dari produk
domestik bruto (PDB). Hal ini terjadi karena menurunnya impor minyak
dan gas (migas) akibat penurunan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).
Sektor riil Indonesia terkena dampak serius terkait kegiatan impor
dan ekspor. Dengan kondisi perekonomian sekarang bagaimana posisi
para pengusaha baik sebagai eksportir dan importir akan semakin tidak
menentu.
Tingkat ekspor Indonesia 2015?
Pada periode Januari-Juni 2015, berdasarkan data BPS tingkat
ekspor kumulatif kita megalami penurunan sebesar 11.78% dibandingkan
periode yang sama pada tahun lalu, demikian juga ekspor nonmigas
menurun 6,62%. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat ekspor kita
cenderung melambat, sementara itu cadangan devisa terus berkurang
karena digunakan untuk menahan nilai rupiah agar tidak semakin jatuh.
Menurut saya untuk jangka pendek hal ini masih aman, karena Indonesia
masih dalam keadaan yang kuat akan tetapi jika dibiarkan terus menerus

dalam jangka panjang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan


kestabilan ekonomi makro negara kita.
Mengapa nilai ekspor kita bisa turun?
Kinerja ekspor mengalami penurunan karena harga komoditas
primer di pasar global menurun. Kinerja ekspor pada triwulan II 2015
minus 5,3%. Kondisi nilai rupiah yang terus melemah merupakan salah
satu penyebab turunnya nilai ini. Selain itu, hal ini karena China sebagai
mitra utama dagang Indonesia mengalami perlambatan ekonomi. Di saat
rupiah melemah, kata dia, hal ini akan membuat barang ekspor jadi lebih
murah. Namun, jika negara yang tujuan ekspor kondisi ekonominya
sedang turun maka negara tersebut tidak akan meminta barang ke
Indonesia. Analoginya adalah jika kita enggak punya pendapatan, barang
dimurahin semurah apapun, kita tetap tidak beli barang. Pada saat ini
salah satu mitra dagang kita seperti China biasanya mengalami
pertumbuhan ekonomi sebesar 9-10%, tapi sekarang tumbuhnya hanya 67%.
Bagaimana dengan tingkat impor kita?
Secara kumulatif nilai impor JanuariJuni 2015 mencapai US$73,94 miliar
atau turun 17,81% dibanding periode yang sama tahun 2014 lalu. Nilai
kumulatif ini merupakan gabungan dari nilai impor migas US$13,10 miliar
(turun 39,91%) dan nonmigas US$60,84 miliar (turun 10,74 persen).
Berdasarkan data ini nilai ekspor dan impor kita mengalami penurunan
yang tajam dibandingkan tahun lalu. Hal ini disebabkan juga adanya
kebijakan subsititusi impor oleh Kemendag agar ke depan barang yang
biasa kita impor, katakan barang konsumsi maupun barang baku,
penolong dan bahan modal dapat kita produksi di dalam negeri. Selain
dapat menekan impor, program substitusi yang dilakukan Kemendag juga
dapat lebih menghemat devisa.
Apa SOLUSI-nya?
Salah satu cara untuk mengantisipasi ketidakpastian ekonomi ini adalah
dengan melakukan hedging (lindung nilai). Hedging adalah suatu kegiatan
yang dilakukan oleh seorang investor untuk mengurangi kerugian atau
mengurangi resiko dari sebuah investasi. Hedging merupakan strategi
yang diciptakan untuk mengurangi resiko bisnis yang tidak terduga sambil
memperoleh keuntungan dari investasi lain. Untuk menghindari
pergerakan nilai dollar yang tidak jelas ada baiknya eksportir atau importir
mencari sebuah investasi lain untuk mengurangi resiko bisnis yang tidak
menentu saat ini. Strategi ini dapat dilakukan dengan melakukan
pembelian atau penjualan produk-produk komoditi, option, surat-surat

berharga atau mata uang asing (forex) dalam pasar berjangka (futures
market).

Penguatan Dollar dan Defisit Neraca Perdagangan AS


Penguatan Dollar AS terhadap hamper mata uang seluruh dunia
selama kurun waktu 3 bulan terakhir ini, sangat mempengaruhi kondisi
perekonomian di Amerika Serikat. Departemen Perdagangan Amerika
Serikat menyatakan ekonomi negara tersebut berkembang lebih dari
perkiraan sebelumnya

pada

kuartal

II/2015

didorong

oleh

belanja

konsumen dan sektor konstruksi yang menguat. Produk domestic bruto


naik 3,9% year on year para kuartal II/2015 dari yang sebelumnya
diperkirakan hanya 3,7%. Data itu didukung oleh ekonomi AS yang
kemungkinan tetap menguat karena menahan kenaikan suku bunga
acuan di level terendah meskipun masih ada kekhawatiran tentang
ekonomi global.
Penguatan dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia juga
memberi dampak negative bagi perekonomian AS. Apresiasi dolar besarbesaran sudah dikeluhkan pelaku usaha sejak beberapa bulan lalu.
Pasalnya ongkos produksi dalam dolar menjadi mahal sehingga konsumen
internasional lebih memilih produk asal negara lain yang dibanderol dalam
mata uang di luar dolar AS dengan nilai lebih murah. Daya beli konsumen
Amerika Serikat melemah dari bulan Juni lalu, Penjualan ritel tanpa diduga
turun 0,3%, setelah mencapai pertumbuhan 1% selama Mei atau lebih
rendah dari perkiraan sebelumnya.
Defisit Memburuk
Di sisi lain, performa perdagangan AS pun masih rapuh. Hal itu
tercermin dalam defisit neraca yang kian melebar. Sepanjang JanuariApril,

defisit neraca perdagangan AS mencapai US$244,99

miliar,

meningkat dari periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat


senilai US$243,95 miliar. Defisit ini pun menggiring neraca transaksi
berjalan

menorehkan

defisit.

Data

Departemen

Perdagangan.

AS

menunjukkan selama kuartal I/2015 defisit melebar ke level 9,9%


terhadap produk domestik bruto (PDB) setaa dengan US$113,3 miliar.
Capaian itu adalah yang terburuk sejak 2012.

Apresiasi dolar berlebih dan gangguan di sejumlah pelabuhan


dituding menjadi biang keladi merosotnya performa dagang AS. Pasalnya,
nilai dolar yang melambung menggerus daya saing produk asal AS karena
biaya produksi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan produk dari
negara lain.
Seperti

disampaikan

dalam

Bloomberg.com,

performa

ekspor

mengalami tekanan yang diakibatkan salah satunya oleh penguatan


dolar terhadap banyak mata uang negara-negara tujuan pasar
produk mereka. Dikabarkan bahwa AS mengalami penurunan rentang
rasio neracanya dengan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa
antara 0.8 milyar-12.5 miliar dolar. Dengan Jepang juga harus menurun
1.8-5.2 miliar dolar. Sedangkan dengan Cina sudah mengalami kenaikan
4.0-30.5 miliar. Rekor baru tercetak atas hasil perdagangan dengan
Kanada semenjak 1990, yaitu dibukukannya surplus sebanyak 0.6 miliar
dolar.
Faktor lain penunjang kenaikan defisit neraca perdagangan ini
sepertinya juga datang dari sektor non migas. Terpantau impor kendaraan
bermotor naik 0.9 miliar dolar mencatatkan rekor baru dengan hampir
menyamai rekor sembilan tahun lalu. Di sisi lain, impor perlengkapan
industri menurun ke level 0.6 miliar dolar, atau terendah sejak Agustus
2009.

Anda mungkin juga menyukai