Anda di halaman 1dari 5

Halal Haram Dalam Produk Makanan*

Prof. Dr. H. Aziz Fachrurrozi, MA**

DALAM salah satu hadis nabi dinyatakan bahwa yang haram itu jelas dan yang halal juga jelas,
namun di antara yang halal dan yang haram itu ada samar-samar yang disebut subhat.
Penjelasan hadis di atas baru bicara norma, baru bicara batasan tetapi belum referensial merujuk
pada benda yang mana halal dan benda mana haram.
Apalagi bila dikaitkan dengan produk makanan yang kini beredar di Indonesia dan sudah pasti
dikonsumsi oleh masyarakat mayoritas yang penduduknya beragama Islam.
Ada khabar dari negara jiran kita, Malaysia, yang dilansir kantor berita ANTARA mengutip AFP
Prancis, yang isinya memberitakan bahwa Malaysia telah membuka supermarket halal
terlengkap pertama di dunia pada Januari 2007.
Supermarket bernilai miliaran dolar itu dibuka di Johor Baharu, kemudian di Singapura dan
berikutnya direncanakan di Indonesia.
Kita tunggu realisasi kabar baik yang bermakna merawat keimanan masyarakat mayoritas ini.
Konon nama supermaket itu adalah HalMart yang memberi peluang kepada para pengusaha
bumiputra (etnis Melayu) yang sangat menjanjikan. Perdagangan produk halal di dunia ini
diperkirakan tumbuh 10-20 persen per tahun dari perkiraan 2,1 trilun dolar AS.
Ini kabar dunia bisnis yang sangat menarik, terutama bagi umat Islam di Indonesia, yang
muslimnya jauh lebih banyak dari Malaysia. Walaupun kita baru bangga dengan jumlah dan
belum diikuti dengan gebragan praktik keberagamaan yang memadai.
HalMart tidak hanya melindungi umat Islam dari produk tidak halal, sebagaimana diisyaratkan
Alqur`an, tetapi juga memberi peluang bisnis kapada bumiputra dengan cara dan prinsip yang
diajarkan agama.
Memang Perdana Mentri Malaysia telah merancang rakyatnya agar menjadi masyarakat

"hadhory", berperadaban maju dalam segala bidang.


Ini tentu bukan sekedar slogan, melainkan juga aksi yang perwujudannya harus mendapat
dukungan semua pihak dan diperkokoh oleh program negara dan pemerintah, karena memang
masyarakat "khadhary" adalah keinginan dan kebutuhan semua warga negara apapun agama dan
latar belakang budayanya.
Dari sisi bisnis, ini peluang dibuka semakin lebar untuk pertumbuhan produk halal.
Tetapi persoalannya mengapa di Malaysia yang berpenduduk muslim hanya kurang lebih 35
persen, dan bukan di Indonesia yang lagi-lagi katanya berpenduduk muslim hampir 90 persen.
Apakah produk halal hanya dibutuhkan orang muslim dan dikonsumsi mereka, dan apakah
produk non muslim juga hanya dikonsumsi orang-orang non muslim?
Kenyataannya tidak. Kita justru paling getol mengkonsumsi produk-produk non muslim.
Konsumen Indonesia
Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan supermarket di negeri ini terus
berkembang.
Konsumennya sebahagian besar adalah juga umat Islam. Tetapi dimana keberpihakan kita dan
dimana pula kepedulian kita untuk memberi perlindungan agar yang dikonsumsi masyarakat
terjamin kehalalannya dan makanan adakah persoalan serius.
Sebab belum ada orang antimakanan, kecuali yang jelas-jelas haram.
Kita tahu bertebaran produk yang diragukan kehalalannya. Memang ada produk yang bertuliskan
label halal, tetapi bukan atas sertifikasi LPOM dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai
otoritas pemberi label halal itu.
Bahkan jangan-jangan label itu beredar tanpa kontrol yang kemudian mengkelabui hal yang
sesungguhnya.
Ada ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu, produk makanan, minuman dan obat-obatan yang
beredar di Indonesia.
Namun, lihatlah data Badan Pengawas Obat dan Makanan/Minuman (BPOM) pada 2005, hanya
2000-an produk yang telah meminta pencantuman tanda halal.
Data MUI menunjukkkan bahwa dalam 11 tahun terakhir ini hanya 8.000 produk dari 870
produsen yang meminta sertifikasi halal.
Ternyata pengetahuan umat Islam tentang halal haram sebagaimana dikemukakan di dalam
pernyataan hadis tidaklah cukup menjamin umat Islam terhindar dari mengkonsumsi produk

yang tidak jelas halalnya.


Bagaimana pula dengan konsumen yang tidak paham? Mereka yang paham pun belum tentu
mampu mengamati dan mewaspadai apa yang dikonsumsi.
Mereka yang paham bisa memilih makanan mana yang telah mendapat sertifikasi MUI, tapi bagi
masyarakat umum pedulikah mereka?
Padahal produk makanan dan minuman begitu pesat berkembang. Sementara pengawasan dan
mungkin pola sertifikasi telah tidak terjangkau atau kalah cepat dengan lajunya produk atau
memang rasa yang dikejar masyarakat dan bukan soal halal/haramnya.
Pada kondisi seperti ini di mana perlindungan hak-hak konsumen untuk memelihara agamanya
dan kesehatan jasmani maupun rohaninya?
Belum terlalu lama menjelang lebaran yang lalu ramai daging sapi oplosan, dicampur dengan
yang bangkai dan daging babi.
Naudzubillah, begitu kejamnya masyarakat kita terhadap masyarakat konsumen demi suatu
keuntungan sesaat.
Mengertikah semua orang bahwa daging itu ada campurannya? Bahwa daging itu bukan daging
sapi yang patut dikonsumsi? Dan seandainya pun daging sapi, kerbau atau kambing bahkan ayam
apakah telah dipotong dengan benar atau masih perlu kita sangsikan.
Sekali lagi teks Al Qur`an maupun hadis nabi pada tataran implementasi membutuhkan
pengalaman empirik, dan butuh pengawalan hukum negara agar orang-orang yang sengaja hanya
mencari keuntungan dihukum berat bila melanggar etik bertransaksi atau berjual-beli.
Kasihan umat Islam sering menjadi target sasaran keberuntungan (tapi dengan dholim luar biasa)
melalui produk yang diperjualbelikan.
Belum lagi kecurangan dalam menimbang yang kadang-kadang juga penjualnya muslim, tapi
tega mencurangi timbangan.
Inilah kesesatan-kesesatan umat beragama yang perlu ditingkatkan kewaspadaannya dan
keberpihakannya terhadap kebenaran.
Anak-anak sekolah juga perlu pengetahuan dan pengalaman empirik agar mereka menjaga
keimanan dan keagamaannya.
Warung Muslin
Sekarang mari kita lihat di warung-warung tempat anak-anak muslim membeli jajanan, termasuk
jajanan di sekolah-sekolah muslim, apalagi yang umum.

Siapa yang memberi perlindungan bahwa makanan yang dikonsumsinya adalah sesuai ajaran
agamanya?
Adakah para produsen (penjual) mempertimbangkan kehalalan produk demi layanan pada para
konsumen mayoritas muslim yang interaksinya perlu dijaga kelestariannya sambil mendorong
agar penganut agama menjalankan ajarannya yang prinsip itu dengan penuh konsisten.
Atau justru memanfaatkan kelengahan umat demi keuntungan? Oh, jangankan
memertimbangkan kehalalan, bahkan sebahagian mereka tidak peduli akibat-akibat buruk dari
makanan yang mereka produksi.
Kita pernah juga dihebohkan oleh bahan pengawet yang membahayakan bagi kehidupan umat
manusia.
Tetapi apakah kemudian kontrol kita berlanjut. Kita memang masyarakat kadarkum (kadang
sadar kadang kumat).
Itu sebabnya kita tidak pernah kokoh dan siap dengan terjangan gelombang besar, atau
gelombang kecil yang sengaja sembunyi-sembunyi mencari dan mencuri kelengahan masyarakat.
Sekali lagi ini pada posisi yang memprihatinkan. Jadi persoalan kita bukan sekedar kehalalan
makanan yang melalui proses pemotongan sesuai ajaran agama atau tidak, melainkan demikian
luas bicara produk makanan.
Halal haram tidak hanya pada substansi tetapi juga pada akibat-akibat buruk karena proses
seperti zat pewarna yang dicampurkan yang membahayakan kesehatan, formalin, boraks, baso
tikus, dengan mudah dikonsumsi secara lahap oleh anak-anak sekolah tanpa mengerti apa yang
sebenarnya ia makan, bahkan dikonsumsi oleh ibu-ibu yang sedang mengandung bayinya.
Siapa yang peduli? Razia terhadap makanan dan minuman yang amat membahayakan kesehatan,
terhadap "daging oplosan" .
Pola kerja kita pola kerja kagetan ada persoalan, baru dilakukan penanganan, tidak ada pola
pencegahan yang intens padahal kita juga paham sekali lagi masyarakat kita adalah masyarakat
kadarkum.
Sama dengan penanganan persoalan sosial lainnya yang tingkat pelanggarannya tidak pernah
makin mengecil, melainkan makin meluas menembus segala lapisan dan masuk melewati
dinding-dinding rumah dan tiap celah kelengahan.
Maka dengan bahasa yang pesimis dan mengerikan sekarang ini, siapa lengah dimakan.
Sekarang, yang lalu dan yang akan datang, selama pemerintah tidak memberi perlindungan
konsumen yang kuat, dan mengawasi produsen yang nakal tidak dilakukan, maka di meja makan,
di warung yang terang mapun yang remang-remang, saat anak melahap makanan-minuman, saat

ibu-ibu hamil memberi makan bayi yang dikandungnya sesungguhnya mereka sedang melahap
makanan-minuman yang tidak halal.
Darah yang mengalir di tubuh kita bertahun-tahun jangan-jangan juga dari makanan-minuman
yang tidak halal. Siapa dipersalahkan? Siapa pula mau peduli, lalu apa jadinya pedoman ajaran
agama realisasinya nabrak-nabrak koridor?
Mari kita peduli dengan belajar mengkonsumsi, memakan dan minum yang halal agar darah
yang mengalir memberi kekuatan pencerahan iman yang kokoh, berhati-hati dan konsisten.
Bergeraklah semua untuk memikirkan bangsa yang cerdas tapi juga sholeh yang mampu
mengemban amanat kekhalifahan Allah di bumi sehingga terwujud cita-cita lahirnya masyarakat
madani yang disiplin, bertanggungjawab (amanah) dan humanis.
Lebih jauh kita bisa pertanyakan ada tidak proses pembelajaran yang bersifat antisipatif yang
mengantar para siswa atau mahasiswa dan bahkan masyarakat umum berpengetahuan tentang
produk halal dari makanan maupun minuman.
Sehingga dengan pengetahuannya itu konsumen dari lapis masyarakat manapun bisa selektif
sendiri tidak harus menunggu sertifikasi MUI atau BPOM.
Semoga menjadi bahan renungan bersama!
*Sumber antara news (14/6)
** Ketua Program Pasca Sarjana Program Pemikiran Islam, Universitas Islam Jakarta.
Diupload oleh Sudirman

Anda mungkin juga menyukai