Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. Ray Vernando

Umur

: 3 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jalan Matraman Jaya, Pegangsaan-Menteng, Jakarta Pusat

Agama
Suku
Ruang
Masuk Rumah Sakit
No.RM
Jaminan

: Protestan
: Menado
: Anggrek
: 31 Januari 2016
: 327213/09196
: BPJS-KJS

I ANAMNESIS (Allo-anamnesis dan catatan medis 01-02-2016 Pukul 12:00 WIB)


Keluhan utama:
Kejang
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RS Moh Ridwan Meuraksa diantar oleh orang tuanya dengan
keluhan kejang 4 jam SMRS. Kejang terjadi 1x, kurang dari 5 menit dan terjadi pada
seluruh tubuh pasien, kelojotan dan mata mendelik ke atas. Pasien sebelumnya mengalami
demam sejak 3 hari yang lalu, demam terjadi naik-turun tidak menentu dan sudah
diberikan obat penurun panas namun demam naik lagi beberapa jam setelah minum obat.
Keluhan lain yaitu batuk berdahak yang sulit dikeluarkan dan pilek dengan ingus berwarna
bening diakui sejak 3 hari yang lalu bersamaan dengan demam. Pasien juga mengalami
mencret sejak sehari yang lalu sebanyak 5x/hari berampas, hari ini mencret 1x, tidak ada
darah maupun lendir. BAB berbau asam. Nafsu makan turun (+), minum seperti biasa,
pusing (-) dan nyeri kepala (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam di kaki, tangan, dan
1

badan (-), menggigil (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), nyeri telan (-), nyeri ulu hati (-),
mual (-), muntah (-), kembung (-), nyeri telinga (-), cairan yang keluar dari telinga (-),
BAK normal, warna kuning, nyeri saat BAK (-). Ibu pasien mengatakan sudah pernah
berobat di klinik 24 jam dan diberi antibiotik 3x1,5 sendok obat, obat batuk pilek 3x1
sendok obat, namun tidak ada perubahan.
Riwayat penyakit dahulu:
Typhoid
: Disangkal
DBD
: Disangkal
Diare
: Diakui tapi ibu lupa kapan (tidak dirawat)
ISPA
: Disangkal
Kejang
: Diakui 1x saat berumur 2 tahun, kejang juga didahului demam
Alergi
: Disangkal
Trauma
: Trauma terutama di bagian kepala disangkal
Riwayat penyakit keluarga:
Keluhan serupa : Disangkal
Typhoid
: Disangkal
DBD
: Disangkal
Diare
: Disangkal
ISPA
: Disangkal
Kejang
: Disangkal
Alergi
: Disangkal
TBC
: Disangkal

Riwayat Pemeliharaan Perinatal :


Ibu pasien biasa memeriksakan kandungannya secara teratur ke bidan 2 kali setiap bulan
sampai usia kehamilan 9 bulan. Obatobat yang diminum selama kehamilan adalah
vitamin dan penambah darah. Dan tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan.
Kesan : riwayat pemeliharaan perinatal baik
Riwayat Persalinan Ibu :
Pasien merupakan anak laki-laki lahir dari ibu G3P2A0 dengan usia kehamilan 38
minggu, lahir secara normal dibantu oleh dokter dan bidan, anak lahir langsung menangis,
berat badan 3000 gram. Panjang badan lahir 49 cm.
2

Kesan : neonatus aterm, sesuai masa kehamilan


Riwayat Imunisasi :
BCG

: 1x (usia 1 bulan)

Hep B

: 3x (usia 0, 1, 6 bulan)

Polio

: 4x (usia 0, 2, 4, 6 bulan)

DPT

: 3x (usia 2, 4, 6 bulan)

Campak

: 1x (usia 9 bulan)

Kesan

: Imunisasi dasar lengkap sesuai dengan jadwal Imunisasi IDAI 2014

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan :
Berat badan lahir 3000 gram. Panjang badan lahir 49 cm. Berat badan saat ini 16 kg
(saat masuk berat badan 19 kg), Tinggi badan saat ini 97 cm.

Perkembangan :
Senyum

: 2 bulan

Bicara

: 12 bulan

Miring

: 3 bulan

Berjalan

: 12 bulan

Tengkurap

: 4 bulan

Gigi keluar

: 6 bulan

Duduk

: 7 bulan

Merangkak

: 8 bulan

Berdiri

: 10 bulan
3

Kesan: Pertumbuhan perkembangan anak sesuai umur.


Riwayat Asupan Nutrisi :

ASI diberikan sejak lahir sampai usia 6 bulan

Mulai usia 6 bulan, anak diberi bubur saring dan ASI

Mulai usia 10 bulan, anak diberi nasi tim, ASI masih dilanjutkan ditambah
susu formula (ASI ibu sudah sedikit)

Mulai usia 12 bulan, anak diberi makanan keluarga, nasi dengan lauk pauk dan
sayur yang bervariasi diberikan 3x/hari

Kesan

II

: Kualitas & kuantitas makanan & minuman baik, ASI eksklusif

PEMERIKSAAN FISIK (01-02-2016 Pukul 12:30)


Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Vital Sign
:
HR
: 108 x/menit (kuat, regular)
Nadi
: 120x/menit
Suhu
: 36.8 C, saat datang 38.6 C
RR
: 28x/menit (regular)
Data antropometri
:
- Berat badan : 16 kg
- Tinggi Badan : 97 cm
- Status gizi
: (gizi baik)
Pemeriksaan Sistem
Kepala

:Normocephal, UUB datar

Mata

:Pupil

bulat,

isokor, cekung

-/-,

diameter

3mm/

3mm,

konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedema palpebral


(-/-)

Hidung

:Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (+/+) serous dan
encer

Telinga

:Bentuk normal, tanda peradangan (-/-), sekret (-/-)

Mulut

:Bibir kering (-), Bibir sianosis (-), Mukosa Hiperemis (-),


lidah kotor (-)

Tenggorok

: T1-T1 mukosa hiperemis (-), mukosa faring hiperemis (+),


kripta melebar (-), detritus (-)

Leher

: Tidak teraba pembesaran KGB

Axilla

: Tidak teraba pembesaran KGB

Thorax

:Simetris kanan & kiri dalam statis dan dinamis, datar. Retraksi (-)

Jantung
o Inspeksi
o Palpasi

: Ictus cordis tidak tampak


: Ictus cordis teraba di ICS V 1 cm medial dari
midclavicula line sinistra
o Perkusi
: Batas jantung kiri ICS V MCL sinistra
Batas jantung kanan ICS VI sternal line dextra
Batas jantung atas ICS III parasternal line sinistra
o Auskultasi : BJ I - II (N), regular, murmur (-), gallop (-).
Paru paru
o Inspeksi

: Gerakan simetris dalam keadaan statis dan dinamis


simetris, retraksi suprasternal (-), epigastrium

(-),

intercostalis (-)
o Palpasi
: Fremitus taktil dan fokal dextra et sinistra sama kuat
o Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)

Abdomen
o
o
o
o

Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising Usus (+) 12 x/ menit, peristaltik normal
Perkusi : Timpani
Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-), turgor baik

Ekstremitas :
Akral hangat (+), oedema (-), CRT < 2 detik, petechie spontan (-), Rumple
leed : (-)
Kulit : turgor baik
Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran
III

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Px. Darah
Hemoglobin (g/dL)
Hematokrit (%)
Trombosit (/uL)
Leukosit (/uL)
Elektrolit (mmol/L)
Kalium
Natrium
Chlorida

31-01-2016
12.2
36
393.000
13.600

Nilai Referensi
10.7 14.7
31 43
184.000 440.000
5.000 14.500

3.9
133
100

3.5 5
135 145
98 105

Faeces Rutin
Pemeriksaan
Warna
Konsistensi
Lendir
Darah
Leukosit
Eritrosit
Entamoeba coli
Entamoeba histolitika
Telur cacing
Lemak
Amilum
Serat

Hasil
Kuning
Cair
Negatif
Negatif
01
0
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
Negatif
Negatif
Positif

Nilai Referensi
Negatif
Negatif
< 1 /LPB
< 1 /LPB
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
Negatif
Negatif
Positif
6

IV

PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri
Anak laki-laki usia 3 tahun, Berat badan 16 kg, Tinggi badan 97 cm.

Z-Score
Panjang/tinggi
Di atas 3
Di atas 2

Indikator Pertumbuhan
Berat terhadap umur

Berat terhadap

Lihat catatan 2

panjang/tinggi
Obesitas
Overweight (gizi

terhadap umur
Lihat catatan 1

lebih)
Beresiko gizi

Di atas 1

lebih (lihat
catatan 3)
0 (median)
Di bawah -1
Di bawah -2

Perawakan pendek

Gizi kurang

Kurus

Di bawah -3

(lihat catatan 4)
Perawakan sangat

Gizi buruk (lihat

Sangat kurus

pendek/kerdil (lihat

catatan 5)

catatan 4)
Catatan :
1 Anak dalam kelompok ini berperawakan tinggi. Hal ini tidak masih normal. Singkirkan
2

kelainan hormonal sebagai penyebab perawakan tinggi.


Anak dalam kelompok ini mungkin memiliki masalah pertumbuhan, tapi lebih baik
diukur menggunakan perbandingan berat badan terhadap panjang/tinggi atau IMT

terhadap umur.
Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukan beresiko gizi lebih. Jika makin

4
5

mengarah ke garis Z-scor 2 risiko gizi lebih makin meningkat.


Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat pendek memiliki gizi lebih.
Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan IMCI (Integrated
Management of Childhood Illness in-service training. WHO, Geneva 1997).
Kesan : Status gizi baik

VRESUME

10

Telah diperiksa seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, berat badan 16 Kg, dan tinggi badan
97 cm dengan keluhan kejang. Kejang terjadi 1x, kurang dari 5 menit dan terjadi pada
seluruh tubuh pasien, kelojotan dan mata mendelik ke atas. Pasien sebelumnya mengalami
demam sejak 3 hari yang lalu, demam terjadi naik-turun tidak menentu dan sudah
diberikan obat penurun panas namun demam naik lagi beberapa jam setelah minum obat.
Keluhan lain yaitu batuk berdahak yang sulit dikeluarkan dan pilek dengan ingus berwarna
bening diakui sejak 3 hari yang lalu bersamaan dengan demam. Pasien juga mengalami
mencret sejak sehari yang lalu sebanyak 5x/hari berampas, hari ini mencret 1x, BAB
berbau asam. Nafsu makan anak turun (+), dan anak minta minum terus.
VI

DIAGNOSIS BANDING
Kejang ec. epilepsi

VII

DIAGNOSIS KERJA
Kejang Demam Sederhana ec. Diare akut tanpa dehidrasi dan Rhinofaringitis

VIII

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- Infus Kaen 3B 16 tpm
- Inj. Cefotaxime 2x500 mg
- Inj. Diazepam 8 mg (bila kejang berulang)
- Paracetamol syrup 3x1 Cth dan extra proris supp bila suhu 390C
- Zinc 1x1 tab
- Lactodia 2x1 sachet

Non Medikamentosa
- Kompres lipatan badan dengan air hangat
- Banyak minum air putih, makanan bergizi dan lunak
IX

EVALUASI
-

Keadaan umum, tanda vital, dan tanda dehidrasi


Awasi timbulnya komplikasi

KOMPLIKASI

11

XI

Kejang demam kompleks


Dehidrasi berat

EDUKASI
Memberitahukan orang tua untuk mempersiapkan obat-obatan untuk kejang demam
apabila suhu badan tinggi kembali
Memberitahukan orang tua untuk mengawasi anak dari tanda-tanda dehidrasi berat
berupa penurunan kesadaran, mukosa bibir sangat kering, mata sangat cekung,
cubitan kulit perut kembalinya sangat lambat dan akral dingin
Di rumah :
Jika anak panas, kompres air hangat, beri obat penurun panas. Jika panas
tidak turun segera, segera bawa ke pelayanan kesehatan terdekat.
Meningkatkan sanitasi dan hygiene lingkungan rumah, serta kebersihan
diri

XII

PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: ad bonam
: ad bonam
: ad bonam

12

ANALISA KASUS

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

(1)

. Kejang demam ini

terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan 5 tahun (2). Anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam(4).
Pada kasus ini, seorang anak laki-laki didiagnosis dengan Kejang Demam Sederhana ec.
Diare akut tanpa dehidrasi dan Rhinofaringitis. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, berat badan 16 Kg,
dan tinggi badan 97 cm dengan keluhan kejang. Kejang terjadi 1x, kurang dari 5 menit dan
terjadi pada seluruh tubuh pasien, kelojotan dan mata mendelik ke atas. Pasien sebelumnya
mengalami demam sejak 3 hari yang lalu, demam terjadi naik-turun tidak menentu dan sudah
diberikan obat penurun panas namun demam naik lagi beberapa jam setelah minum obat.
Keluhan lain yaitu batuk berdahak yang sulit dikeluarkan dan pilek dengan ingus berwarna
bening diakui sejak 3 hari yang lalu bersamaan dengan demam. Pasien juga mengalami
mencret sejak sehari yang lalu sebanyak 5x/hari berampas, hari ini mencret 1x, BAB
berbau asam. Nafsu makan anak turun (+), anak minta minum terus.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :


- HR
: 108 x/menit (kuat, regular)
- Nadi
: 120x/menit
- Suhu
: 36.8 C, saat datang 38.6 C
- RR
: 28x/menit (regular)
- Pada hidung terlihat sekret (+/+) serous dan encer, pada tenggorok terlihat mukosa
faring hiperemis (+), namun tonsil tidak membesar. Sehingga pada pasien ini terdapat
tanda-tanda ISPA berupa rhinofaringitis, tidak didapatkan tanda nafas cepat dan retraksi
-

dada yang mengarahkan pada diagnosis bronkopneumonia ataupun pneumonia.


Tanda dehidrasi hanya berupa anak haus terus, tidak ditemukan mata cekung, tidak ada
penurunan turgor dan kesadaran tidak menurun, maka pada pasien ini menurut derajat
dehidrasinya termasuk dalam diare tanpa dehidrasi.

13

Pada

pemeriksaan

laboratorium

(darah

lengkap)

tidak

ditemukan

kelainan, pada pemeriksaan elektrolit ditemukan penurunan kadar


natrium dalam darah senilai 133 mmol/L namun penurunan ini tidak
begitu bermakna sehingga tidak memerlukan penanganan khusus untuk
koreksi kadar natrium tersebut.
Pada pemeriksaan Feses lengkap tidak ditemukan kelainan.

Penatalaksanaan medikamentosa pada pasien ini yaitu,


- Infus Kaen 3B 16 tpm
- Inj. Cefotaxime 2x500 mg
- Inj. Diazepam 8 mg (bila kejang berulang)
- Paracetamol syrup 3x1 Cth dan extra proris supp bila suhu 390C
- Zinc 1x1 tab
- Lactodia 2x1 sachet

Penatalaksanaan non-medika mentosa berupa kompres lipatan badan


dengan air hangat, banyak minum air putih, makanan bergizi dan lunak

Pasien perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital, masukan cairan, dan


tanda-tanda dehidrasi, sesak, maupun kejang yang masih mungkin
berulang. Setelah bebas demam dan kejang tanpa pemberian antipiretik
dalam 24 jam serta tidak didapatkan perburukan klinis dan tanda
dehidrasi pasien diperbolehkan pulang. Pasien dipulangkan pada hari ke-4
perawatan karena tidak adanya keluhan, bebas demam 24 jam tanpa
obat antipiretik, BAB normal baik konsistensi dan frekuensinya, tidak
didapatkan tanda sesak.

Edukasi dengan memberitahukan orang tua untuk mempersiapkan obat-obatan untuk


kejang demam apabila suhu badan tinggi kembali dan mengajari cara penggunaannya.
Memberitahukan orang tua untuk mengawasi anak dari tanda-tanda dehidrasi berat berupa
penurunan kesadaran, mukosa bibir sangat kering, mata sangat cekung, cubitan kulit perut
kembalinya sangat lambat dan akral dingin, Di rumah :
- Jika anak panas, kompres air hangat, beri obat penurun panas. Jika panas tidak turun
segera, segera bawa ke pelayanan kesehatan terdekat.

14

- Meningkatkan sanitasi dan hygiene lingkungan rumah, serta kebersihan diri sehingga
dapat menghindari dari penyebab ISPA dan mengurangi kemungkinan berulangnya
ISPA lagi di rumah.

TINJAUAN PUSTAKA
KEJANG DEMAM
I.

Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

(1)

. Kejang demam ini

terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan 5 tahun (2). Anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam(4). Kejang
demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa
demam(3). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali
tidak termasuk dalam kejang demam(1). Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1
15

bulan tidak termasuk dalam kejang demam(4). Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih
dari 5 tahun mengalami kejang didahuluidemam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam (4). Definisi ini
menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau
ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam
karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat(3).
II.

Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan

Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira kira 20 % kasus merupakan kejang demam
kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 23 bulan) kejang
demam sedikit lebih sering pada laki laki(2).
III.

Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran

pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih(2).
IV.

Faktor Risiko
Faktor risiko kejang demam pertama yang penting adalah demam(3). Ada riwayat kejang

demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan kecenderungan
genetik

(1,3)

. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus,

anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak mendapat kejang setelah
demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat
keluarga epilepsi(1,3).
Faktor

risiko terjadinya

epilepsi

di kemudian hari yaitu

adanya

gangguan

neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga, lamanya demam
saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks(1).

16

V.

Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi

yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi
paru paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler(6). Jadi sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO 2 dan air

(6)

. Sel dikelilingi oleh suatu

membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K +)
dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl -).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na + rendah, sedangkan di luar
sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na
K ATPase yang terdapat pada permukaan sel(6). Keseimbangan potensial membran ini dapat
dirubah oleh adanya :

a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.


b.Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan(6).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3
tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion
natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel
17

tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang

(6)

. Tiap

anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang
kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 o C,
sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 o C
atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang(6). Penelitian binatang menunjukkan
bahwa vasopresin arginin dapat merupakan mediator penting pada patogenesis kejang akibat
hipertermia(1).

18

Gambar Patofisiologi Demam (Atlas of Pathofisiology)

Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya
terjadihipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik,
hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran
darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul
edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak(6). Kerusakan pada daerah mesial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam
yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi(6).

19

VI.

Klasifikasi

a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)


Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang
tidak berulang dalam waktu 24 jam(7). Kejang demam sederhana merupakan 80 % diantara
seluruh kejang demam(6). Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang demam sederhana,
20

kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan suhu yang tinggi akibat
infeksi di tempat lain, misalnya pada radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Bila
dalam riwayat penderita pada umur umur sebelumnya terdapat periode - periode dimana anak
menderita suhu yangsangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang; maka pada kejang yang
terjadi kemudian harus berhati hati, mungkin kejang yang ini ada penyebabnya(2).
Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu sedang
meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui sebelumnya
bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu yang tiba tiba merupakan faktor yang
penting untuk menimbulkan kejang(2). Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk
umum, biasanya bersifat tonik klonik seperti kejang grand mal; kadang kadang hanya kaku
umum atau mata mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih
dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam
hal ini juga kejang demamsederhana masih mungkin(2).
b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang dengan salah satu ciri berikut :
1. Kejang lama lebih dari 15 menit.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam(7).
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 %
kejangn demam(4). Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial(4). Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara anak yang mengalami
kejang demam(4).
VII.

Manifestasi Klinik

21

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dengan cepat yang disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, misalnya
tonsilitis, otitis media kut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24
jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonikklonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan
terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf(6).
Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever).
Modifikasi kriteria Livingston(6):
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi
Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam(6).

22

VIII. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 %. Pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
2. Bayi antara 12 18 bulan dianjurkan.
3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu
dilakukan pungsi lumbal.
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang,
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya,
tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
23

yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang
demam fokal.
d. Pencitraan
Foto X ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi
seperti :
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
IX.

Diagnosis Banding

Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya :


1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak)

(6)

Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber infeksi seperti
otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapat antibiotik
maka perlu pertimbangan pungsi lumbal (3).
X.

Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Saat Kejang (4)


Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,3 0,5 mg/kgBB perlahan lahan dengan kecepatan 1 2 mg/menit atau
24

dalam waktu 3 5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan
oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 0,75
mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak
dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam
rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin
secara intravena dengan dosis awal 10 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit
atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 8 mg/kgBB/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien
harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya.

25

Diagram Algoritma Penanganan Kejang Demam


b. Pemberian Obat Pada Saat Demam (4)
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya
kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 10 mg/kgBB/kali, 3 4 kali sehari. Meskipun jarang,
asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan,
sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.

26

2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam menurunkan
risiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis
0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan
ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 % - 39 % kasus.
Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam.
3. Pemberian Obat Rumat (4)
a. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut
(salah satu) :
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

Kejang demam > 4 kali per tahun.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan
rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organik.
b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan
27

terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan
saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15 40
mg/kgBB/hari dalam 2 3 dosis, dan fenobarbital 3 4mg/kgBB/hari dalam 1 2 dosis.
XI.

Edukasi Pada Orang Tua (4)


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang

sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.
Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang (4)
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau
lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan
sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

28

Vaksinasi (4)
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang
mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka
kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan
setelah vaksinasi MMR 25 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral
atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter
anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian
XII.

Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan
kematian.
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil
kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang
baik umum atau fokal(4). Kejang yang lebih dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan lebih
dari 10 menit, diduga biasanya telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap(2). Apabila tidak
diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi (3,5) :
1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %. Umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama.
2. Epilepsi (Risiko untuk mendapatkan epilepsi rendah).
3. Kelainan motorik
4. Gangguan mental dan belajar
b. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan (4).
29

c. Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam (4)


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang
demam adalah :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10
% - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama. (4)
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4 % - 6 %,
kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10 % - 49 %.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang
demam.

30

DAFTAR PUSTAKA
1.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas. Standar Pelayanan Medik. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unhas Makassar.

2.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
KesehatanAnak FKUI Jakarta. 1985

3.

Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi 15.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000;

4.

Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan


Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran
No. 27.1982

5.

Pusponegoro

Hardiono

D,

Widodo

Dwi

Putro,

Ismael

Sofyan.

Konsensus

Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta. 2006.
6.

Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF Ilmu

Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006

31

Anda mungkin juga menyukai