Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan senior Ilmu Kesehatan Gigi dan
Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
Kelompok 2
PPP 57 Kelompok 1
Periode 13 April-8 Mei 2015
Tri Uji Rahayu
2201011320006
2201011320166
Galih Aryyagunawan
2201011320168
Delan Astrianzah
2201011320169
2201011421094
Pembimbing :
drg. Devi Farida Utami, Sp.BM
ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2015
LEMBAR PENGESAHAN
2201011320006
2201011320166
Galih Aryyagunawan
2201011320168
Delan Astrianzah
2201011320169
2201011421094
Telah disetujui,
Semararang, April 2015
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
Rongga mulut terdiri dari bibir, lidah oral, dasar mulut, trigonum
retromolar, alveolar ridge, mukosa bukal dan palatum durum. Keganasan rongga
mulut mencapai 30% dari keganasan kepala-leher dan mencapai 3% dari seluruh
keganasan di Amerika Serikat.1 Keganasan rongga mulut memiliki angka
ketahanan hidup 5 tahun hanya 59%, dan 10 tahun 44%. Faktor prognostik utama
keganasan rongga mulut adalah keterlibatan kelenjar getah bening (KGB).
Angkanya akan menurun tajam apabila penyebaran ke KGB positif.1
Regio palatum terbagi secara anatomi menjadi palatum durum (bagian dari
kavum oris) dan palatum molle (bagian dari orofaring).2 Keganasan di palatum
durum distribusinya hanya kira-kira 7% dari kejadian keganasan di rongga
mulut.3,4 Ada juga yang mengatakan hanya sekitar 1-5%. Hampir 95% kasus
keganasan di palatum durum bertipe sel karsinoma sel skuamosa (KSS).
1,3,5
1,3
: karsinoma sel
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TUMOR PALATUM
2.1.1 ETIOLOGI
Di Amerika Serikat kasus ini lebih sering terjadi pada pria.
1,5
Walaupun ada korelasi kuat antara konsumsi tembakau dan alkohol dengan
KSS rongga mulut dan palatum mole, namun hubungannya dengan kanker
palatum durum tidak jelas. Kebiasaan mengunyah betel-nut bersama jeruk
limau dan tembakau seperti yang dilakukan masyarakat di India meningkatkan
risiko kejadian kanker rongga mulut.1
Angka kejadian pada laki-laki 3 kali lipat, angka kejadian dan
mortalitas jauh lebih tinggi pada usia tua. Reverse smoking atau merokok
terbalik merupakan faktor risiko tinggi untuk kanker palatum durum karena
ujung rokok menyala yang ditempatkan di dalam mulut akan mempengaruhi
mukosa daerah tersebut.
1,2
meliputi ill-fitting dentures, oral hygiene yang buruk, iritasi mekanik, dan
penggunaan cairan mouthwash, walaupun belum ada bukti nyata.2-4
2.1.2 ANATOMI
Palatum durum meliputi permukaan dalam alveolar ridge superior
hingga bagian posterior os palatinum.1 Palatum durum memisahkan rongga
mulut dengan rongga hidung dan dengan sinus maksila. Mukosa palatum
adalah epitel skuamosa pseudostratified berkeratin.2 Lapisan submukosa
terdiri atas kelenjar-kelenjar liur minor terutama daerah palatum durum.
Lapisan periosteal yang menutup palatum durum menjadi barier relatif untuk
penyebaran sel kanker ke os palatinum. Saraf dan pembuluh darah yang
mendarahi dan menyarafi palatum berasal dari foramina palatina di medial
molar ketiga. Foramina ini dapat menjadi jalur penyebaran tumor. Arteri
palatina yang berasal dari arteri maksilaris interna berjalan ke anterior melalui
foramen nasopalatinum ke rongga hidung menyediakan suplai darah. Jaras
sensorik dan sekretomotorik berasal dari cabang maksilaris nervus trigeminal
nervus
trigeminus
dalam
foramen
sfenopalatinum
atau
hipostasis palatal. Pada lesi yang meluas ke nasofaring, dapat muncul gejala
efusi telinga tengah. Tumor juga dapat meluas ke anterosuperior, mencapai
fosa pterigomaksilaris dan fosa infratemporalis.2
2.1.4 KLINIS
Rongga mulut adalah regio anatomik yang dapat dengan mudah
diinspeksi dan dipalpasi. Walaupun demikian, banyak penderita datang dengan
klinis sudah berat karena saat masih dini tidak terasa nyeri. Keganasan
palatum durum sering tidak nyeri dan gejala utama adalah berupa iregularitas
mukosa atau ill-fitting dentures. Gejala lain berupa ulkus yang tidak kunjung
sembuh, perdarahan hilang timbul dan nyeri (Gambar 2).1
Gambar 2. Adenoma pleomorfik yang berasal dari kelenjar liur minor palatum
durum3
2.1.5 STAGING
Tindakan operasi, radiasi, kemoterapi ataupun kombinasi modalitas
tergantung ukuran dan stadium tumor serta faktor lain seperti toksisitas, status
fungsi, penyakit komorbid dan kenyamanan pasien. Secara umum, modalitas
tunggal seperti operasi saja ataupun radiasi saja lebih diperuntukkan bagi
stadium dini, T1 atau T2
1,3,4,5
modalitas lebih baik. Pada pasien dengan hasil patologi risiko tinggi,
kemoterapi konkuren dengan radiasi pasca operasi meningkatkan kontrol.
Gambaran patologi berisiko tinggi antara lain: stadium T lanjut, klinis KGB
2.1.6 PENATALAKSAAN
Menurut Epstein (1994), pilihan perawatan tergantung pada beberapa yaitu:2,3,4
1.Tipe sel dan derajat diferensiasi
2. Bagian yang terlibat, ukuran serta lokasi dari tumor primer
3. Keterlibatan jaringan getah bening
4. Ada tidaknya keterlibatan tulang
5. Kemampuan tercapainya tepi tumor pada waktu operasi
6. Kemampuan mempertahankan fungsi komunikasi
7. Kemampuan mempertahankan fungsi menelan
8. Status fisik dan mental pasien
9. Komplikasi yang mungkin terjadi
10. Kerja sama (kooperatif ) pasien
Kontraindikasi
tindakan
operasi
adalah
berdasarkan
Secara umum, tata laksana radiasi dilakukan pada tiga keadaan: (1)
sebagai terapi primer, (2) sebagai ajuvan pasca operasi pada pasien risiko
tinggi, (3) sebagai terapi salvage pada residu tumor pasca tindakan operasi
atau pasca radiasi.7 Dua hal yang menjadi perhatian pada terapi radiasi yaitu
dosis semaksimal mungkin pada jaringan tumor namun meminimalkan efek
samping pada jaringan sehat. Radiasi pascaoperasi pada keganasan rongga
mulut diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut:
tumor,
Keterlibatan tulang dan persarafan kulit,
Derajat histologi tinggi,
Batas sayatan operasi positif,
Permeasi limfatik,
Invasi vaskular,
Penjalaran perineural,
Kelenjar getah bening leher positif,
Keterlibatan KGB tunggal pada pasien risiko tinggi atau tumor primer
unfavorable,
Keterlibatan lebih dari dua KGB, atau lebih dari satu KGB leher,
KGB lebih dari 3 cm (N2-N3),
Ada penyebaran ekstrakapsuler,
Terdapat residu di leher, baik mikroskopik ataupun klinis.4
T2 dan T1 ukuran besar (angka kontrol lokal dan survival hampir sama
tinggi, seperti keterlibatan lebih dari dua KGB, ekstensi ekstrakapsuler, dan
batas sayatan mikroskopik tidak bebas tumor, kemoradiasi memberikan
keuntungan meningkatkan disease-free survival, bahkan mungkin overall
survival.1,7
Sumber lain mengatakan bahwa kemoradiasi konkuren pada penderita
keganasan rongga mulut pascaoperasi dengan faktor risiko tinggi seperti
tersebut di atas dapat meningkatkan kontrol lokal dan disease-free survival
namun tidak signifi kan meningkatkan overall survival.1
2.1.7 FAKTOR PROGNOSTIK DAN PREDIKTIF
Faktor prognostik paling signifikan untuk outcome terapi pada
keganasan rongga mulut adalah keterlibatan KGB servikal. Pada pasien
dengan KGB servikal positif, angka kesintasan hidup 5 tahun berkurang 50%
dibandingkan dengan jika tidak ada keterlibatan KGB servikal.1
Prognosis jauh makin buruk pada pasien dengan keterlibatan KGB
multipel atau adanya ECE (extracapsular extension).1 Beberapa kondisi
histopatologik berkaitan erat dengan prognosis pasien. Ketebalan dan invasi
merupakan faktor risiko metastasis regional. Invasi perineural berkorelasi
dengan metastasis ke KGB servikal, ekstensi ekstra kapsuler dan penurunan
kesintasan hidup.1 Invasi mikrovaskuler berkaitan dengan metastasis ke KGB
servikal, namun invasi limfatik tidak signifi kan berkorelasi dengan metastasis
ke KGB sevikal.1 Risiko metastasis jauh sangat berkaitan erat dengan
keterlibatan KGB leher.1 Apabila pada pemeriksaan fisik terdapat pembesaran
KGB leher, sangat mungkin akan terjadi metastasis jauh pasca terapi. Lokasi
metastasis tersering adalah paru (66%), tulang (22%), dan hati (9,5%).1
2.1.8 REHABILITASI
Mengingat tata laksana prioritas Ca palatum adalah dengan tindakan
operasi yang akan menimbulkan defek pada palatum, diperlukan tindakan
rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Defek pada maksila
menyebabkan ketidakmampuan berbicara dan menelan dengan efektif.
Obturator dengan atau tanpa skin graft sering digunakan untuk mengatasi
masalah tersebut. Obturator biasanya terbuat dari polimer sintesis dan
memberikan hasil separasi yang baik untuk fungsi berbicara dan menelan yang
terganggu akibat defek pasca operasi. Selain obturator, flap regional, dan freetissue transfer dapat sebagai solusi alternatif. Walaupun demikian, penggunaan
flap atau implan untuk rekonstruksi defek palatum cukup kontroversial karena
menyulitkan evaluasi klinis terjadinya rekurensi lokal.
Berbeda dengan penggunaan obturator yang sangat fleksibel dan
mudah dilepas,1 penggunaan prostesis merupakan pilihan bagus untuk
pemulihan fungsional. Prostesis memberikan hasil rekonstruksi yang
memuaskan dan keberhasilannya berkaitan dengan perluasan komponen
vertikal dan horizontal reseksi yang dilakukan. Prothese diindikasikan pada
defek seluas kurang dari seperempat palatum durum, atau kurang dari
sepertiga palatum mole.6
perubahan status mental, pilihan pasien terutama mereka yang tidak mau
hidup dengan defek.12
yakni
pemeriksaan
patologi
yang
dapat
membantu.
Pada
pada membran dasar, seperti kerusakan laminin dan kolagen, terjadi dengan
invasi.13
Sel inflamatori mononuklear yang menginfiltrasi umumnya ditemukan
diantara epitelium displastik oral khususnya di area yang menunjukkan tanda
atipia epitelial. Suatu penelitian yang menggunakan antibodi monoklonal telah
menunjukkan bahwa infiltrasi biasanya didominasi oleh komposisi limfosit T dan
makrofag, khususnya sel sitotoksik/supresor (T8), mengesankan adanya reaksi
imun cell-mediated terhadap tumor.13
dengan laju pertumbuhan yang lambat, dan kebanyakan pasien telah menyadari
akan area yang bermasalah sekitar 12-16 bulan sebelum diagnosis dibuat.15
b. Intraoral
Tempat yang paling umum pada kanker intraoral yakni lidah, biasanya pada
lateral posterior dan permukaan ventral. Dua pertiga karsinoma lingual muncul
tidak disertai rasa nyeri, masa atau ulser yang lama pada tepi posterior lateral
lidah.15
c. Orofaringeal
Karsinoma pada palatum lunak dan mukosa orofaringeal pada dasarnya
mempunyai gambaran klinis seperti karsinoma anterior, kecuali lokasinya yang
berada di posterior sehingga pasien tidak waspada terhadap kehadirannya yang
menyebabkan tertundanya diagnosis. Ukuran tumor biasanya lebih besar daripada
karsinoma anterior, dan diagnosis proporsi kasus metastase servikal dan metastase
jauh lebih tinggi.15
BAB III
LAPORAN KASUS
: Tn. B
: 70 tahun
: Petani
: Laki-laki
: 21 April 2015
: C531422
: Derman, Batang
Mata
Hidung
Telinga
: Discharge (-/-)
2) Leher
Inspeksi : simetris, pembesaran tiroid (-)
Palpasi
d. Pemeriksaan intraoral
Mukosa pipi
Mukosa palatum
:
tampak
benjolan
berbenjol-benjol,
hiperemis (+)
dengan
batas
permukaan
tidak
tegas,
Mukosa faring
Kelainan periodontal
Gingiva atas
Karang gigi
: (-)
Odontogram
STATUS LOKALIS
a. Extraoral :
Regio Bucal Sinistra
I Tampak edema, hiperemis (-), pada kulit terdapat 2 buah ulkus
yang telah mengering
Pa Nyeri tekan (+)
b. Intra oral
Gigi
Inspeksi :
- Gigi rahang atas : Missing teeth
- Gigi rahang bawah : 45, 44, 32, 34 radix
Palatum
Inspeksi : tampak sebuah massa di palatum meluas ke ginggiva
rahang atas kiri dan bucal kiri, batas tidak tegas, warna kemerahan.
permukaan berbenjol-benjol
Palpasi
> 4 cm
Pembesaran Limfonodi
- nnll submandibula
- nnll preaurikular
- nnll retroaurikuler
- nnll jugularis superior
: (-/-)
: (-/-)
: (-/-)
: (-/-)
GAMBARAN KLINIS
Gambar 7. Gambaran ekstra oral, tampak asimetri muka dan ulkus pada
kulit pipi
Gambar 8. Tampak adanya massa pada palatum meluas pada ginggiva kiri
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Histopatologi : Squamous cell carcinoma (SCC) grade II
3.5 Diagnosis Kerja
Diagnosis utama
Diagnosis banding
Rencana
Terapi
Diberikan
terapi
simptomatis :
1. Paracetamol 500 mg
2. Amoxicilin 500 mg
3. Metronidazol 500 mg
Pro:
1. MSCT scan
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien di diagnosis menderita tumor palatum curiga ganas
T4aN0Mx dengan diagnosa banding Squamous Cell Carcinoma. Hasil ini
berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis
Didapatkan keluhan utama pasien adalah terdapat benjolan pada langit-langit
mulut, gusi dan pipi kiri.
Sekitar 3 bulan yang lalu terdapat benjolan di langit-langit mulut dan rahang atas
kiri. Gigi pada daerah tersebut terasa goyang dan pasien mencabut sendiri gginya.
Benjolan terasa nyeri saat makan. Sekitar 1 bulan yang lalu benjolan semakin
lama semakin membesar dan meluas sampai ke gusi atas sebelah kiri. Benjolan
menyebabkan bengkak pada pipi kiri yang semakin lama juga semakin membesar.
Benjolan terasa nyeri dan menjalar sampai sisi kiri wajah. Nyeri dirasakan
terutama saat makan dan kadang-kadang berdarah. Aktivitas sehari-hari pasien
dapat dilakukan seperti biasa, tidak ada gangguan membuka mulut. Penurunan
berat badan disangkal, sesak napas (-), suara sengau (-), tidak ada benjolan
ditempat lain. Riwayat merokok lama (+).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ekstra oral didapatkan asimetri wajah (+) karena edema buccal kiri,
terdapat 2 buah ulkus yang telah mengering pada kulit pipi. Pada palpasi terdapat
nyeri tekan (+).
Pada pemeriksaan intra oral, gigi rahang atas sudah tidak ada, gigi rahang bawah
ditemukan gigi radiks 45, 44, 32, 34.
Terdapat sebuah massa pada daerah palatum yang meluas ke ginggiva rahang atas
kiri dan buccal kiri, batas tidak tegas, warna kemerahan dan permukaan berbenjolbenjol. Pada palpasi didapatkan nyeri (+), massa terfixir dengan konsistensi keras.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan beberapa gejala dan tanda yang
mengarah ke arah keganasan yaitu:
-
Gigi goyang yang dirasakan oleh pasien kemungkinan akibat dari invasi tumor
palatum tersebut. Sayangnya, pasien malah mencabut gigi tersebut sendiri,
tindakan ini berakibat penyebaran tumor semakin cepat.
Pada pasien ini ditemukan beberapa faktor risiko tinggi untuk terjadinya kanker
palatum antara lain usia, jenis kelamin dan riwayat merokok yang lama.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosa pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan PA
dengan hasil didapatkan squamous cell carcinoma pada palatum grade II.
Penatalaksaan pada kasus ini adalah akan dilakukan pemeriksaan MSCT scan
kepala untuk melihat luasnya destruksi oleh tumor, untuk memperkirakan tumor
operable atau tidak. Bila operable dilakukan wide eksisi dilanjutkan radioterapi.
X-foto toraks untuk melihat adanya metastasis.
BAB V
KESIMPULAN
Kasus ini mengenai seorang laki-laki usia 70 tahun dengan keluhan
benjolan di langit-langit mulut, gusi dan pipi kiri. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan serta merujuk
pada tinjauan pustaka yang telah dibahas, maka didapatkan diagnosis pasien
tersebut adalah tumor palatum squamous cell carcinoma (SCC) grade II.
Tindakan yang akan dilakukan pada pasien ini adalah dilakukan MSCT
scan, X-foto toraks, cek lab (darah lengkap) dan sementara di berikan terapi
simptomatis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Manon RR, Myers JN, Skinner HD, Harari PM. Oral cavity cancer. In: Perez
and Bradys principles and practice of radiation oncology. 5thed. Ch. 41.
Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. A Wolters Kluwer; 2008. p. 891910.
2. Sadeghi N. Malignant tumors of the palate [Internet]. 2013 [cited 2013 Aug
13]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/847807-treatment.
3. Evans PH, Montgomerry PQ, Gullane PJ. Tumours of the oral cavity. In:
Principles and practice of head & neck oncology. London: Martin Dunitz.
Taylor & Francis Group; 2003. p. 278-325.
4. Terhaard CHJ. Salivary glands. In: Perez and Bradys principles and practice of
radiation oncology. 5thed. Ch. 40. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. A Wolters Kluwer; 2008. p. 874-89.
5. Hansen EK, Yom SS, Chen CP, Schechter N. Cancer of the lip and oral cavity.
In: Handbook of evidence-based radiation oncology. 2nded. Ch. 8. CaliforniaUSA: Springer Science, LLC; 2010. p. 131-44.
6. Tirelli G, Rizzo R, Biasotto M, Di Lenarda R, Argenti B, Gatto A, et al.
Obturator prostheses following palatal resection: Clinical cases. Acta
otorhinolaryngol italic. 2010;30:33-9.
7. BallonoffA, Chen C, Raben D. Current radiation therapy management issues in
oral cavity cancer. Otolaryngol Clin N Am. 2006;39:365-80.
dimensional
conformal
radiotherapy
vs.
intensity-modulated