Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Dalam menjalankan kehidupannya, manusia tidak terlepas dari agen

kontaminasi dimanapun dan kapanpun. Bila terus-menerus terpapar oleh agen


kontaminasi tanpa didukung oleh sistem tubuh yang kuat, maka dapat
menimbulkan penyakit. Ada dua hal yang menjadi kontaminan, yang paling
berpengaruh pada kehidupan sehari-hari manusia, yaitu radikal bebas dan
mikroba. Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai keterbatasan dalam
penanggulangan masalah kesehatan, yaitu penyakit infeksi masih tinggi, tetapi
prevalensi penyakit degeneratif makin meningkat (Werdhasari, 2014). Menurut
hasil riset kesehatan dasar, penyebab kematian utama adalah stroke (15,4%),
diikuti tuberkulosis, hipertensi, dan cidera (6,5-7,5%), serta diabetes melitus dan
tumor (masing-masing 5,7%) (Badan Litbangkes Depkes RI, 2007). Semua
penyakit tersebut ialah hasil dari radikal bebas sehingga radikal bebas masih
menjadi kontaminan utama penyebab kematian di Indonesia.
Radikal bebas merupakan hasil atau produk dari berbagai polutan, seperti
asap rokok, radiasi, pestisida, asap kendaraan, bahan-bahan kimia, dan makanan
yang beracun atau makanan cepat saji yang sarat bahan pengawet (Setiati, 2003;
Sibuea, 2004). Radikal bebas ini sangat berbahaya terutama terhadap kesehatan,
karena sifatnya yang sangat tidak stabil. Ketidakstabilan disebabkan oleh adanya
atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Elektron
tunggal ini selalu berusaha untuk mencari pasangan elektron dari molekul lain

sehingga sifatnya sangat reaktif. Dalam keadaan normal terdapat kesetimbangan


antara produk radikal bebas dengan netralisasi oleh suatu sistem antioksidan tubuh
(Karyadi, 1997). Jika jumlah radikal bebas melebihi kemampuan tubuh
menetralisirnya maka dapat menyebabkan stress oksidatif (Sitompul, 2003) yang
dapat memicu kerusakan molekul makro pembentuk sel, seperti protein,
karbohidrat, lemak, dan deoxyribose nucleic acid (DNA), akhirnya sel menjadi
rusak dan menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker (Karyadi, 1997;
Suryohudoyo, 2000).
Pencegahan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas ini
harus diperhatikan. Dengan kata lain, asupan antioksidan dari luar sangat
dibutuhkan. Antioksidan adalah zat yang dapat menetralisir radikal bebas
sehingga elektron yang tidak berpasangan mendapat pasangan elektron dari
antioksidan sehingga radikal menjadi stabil (MHA, 2005).
Selain radikal bebas, maka tak kalah halnya mikroba ikut berperan
menjadi sumber yang sangat potensial penyebab penyakit pada manusia. Hal ini
dikarenakan mikroba berada dimanapun. Ada yang hidup di dalam tanah,
lingkungan akuatik, berkisar dari aliran air sampai pada lautan, atmosfir, kulit
manusia, hingga menjadi flora usus normal di dalam tubuh manusia, seperti hanya
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Mikroba merupakan jasad hidup
yang ukurannya kecil. Dikatakan mikroba karena bukan hanya karena ukurannya
yang kecil, sehingga sukar dilihat dengan mata biasa, tetapi juga pengaturan
kehidupannya yang lebih sederhana dibandingkan dengan makhluk tingkat tinggi.
(Sumarsih, 2003).

Pada saat sekarang ini, studi tentang mikroba lebih berfokus kepada
masalah resistensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
jumlah kasus bakteri patogen resisten antibiotik. Tahun 2005 lebih 19.000 kasus
kematian di Amerika dan Inggris disebabkan Methicillin resistant staphylococcus
aureus (MRSA) (Kennedy, dkk., 2009). Kasus kematian yang disebabkan MRSA
meningkat tajam dari 51 kasus pada tahun 1993 sampai 1652 tahun 2006 di
Inggris. Strain Aeromonas hydrophyla dan Aeromonas veronii yang diisolasi dari
air minum, pasien rumah sakit, dan daging menunjukkan resisten terhadap
ampisilin, amoksilin, sefasetril, klokasilin, linkomisin, spiramisin, dan penisilin G
(Orozova, dkk., 2008). Untuk itu, sangatlah dibutuhkan pencarian sumber bahan
obat baru sebagai antimikroba.
Garcinia cowa Roxb. (Guttiferae, Cluciaceae), secara umum dikenal
dengan nama kandis di Indonesia atau asam kandih (Sumatera Barat) dan cha
muang (Thailand). Tanaman asam kandis telah banyak digunakan oleh masyarakat
pada hampir seluruh bagiannya, seperti batang, kulit batang, daun, bunga, buah,
akar, dan getah. Di Indonesia, buah kering asam kandis umumnya digunakan
sebagai bumbu masak, sedangkan di Thailand air seduhan dari kulit batang asam
kandis telah digunakan untuk menurunkan panas (antipiretik) (Darwati, dkk.,
2009). Daun dan buah telah digunakan untuk memperlancar peredaran darah dan
pengencer dahak pada batuk pilek (Panthong, dkk., 2006).
Tumbuhan Garcinia ini kaya dengan metabolit sekunder, terutama
triterpenoid, flavonoid, xanton, dan florogusinol. Xanton dan florogusinol
merupakan penanda kemotaksonomi untuk genus ini. (Wahyuni, dkk., 2015).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa tanaman asam kandis

mengadung xanton, xanton terpenilasi, maupun xanton tetraoksigenasi pada


hampir semua bagiannya seperti pada akar, batang, kulit batang, daun, buah, dan
getahnya (Wahyuni, dkk., 2004; Mahabusarakam, dkk., 2005; Shen dan Yang.,
2005; Panthong, dkk., 2006; Darwati, dkk., 2009).
Dari kulit batang asam kandis berhasil diisolasi senyawa xanton
tetraoksigenasi ditetapkan sebagai kowanin yang mempunyai aktivitas antikanker
payudara T47D (Dachriyanus, dkk., 2009), dan telah diisolasi juga senyawa
rubraxanthone (Lee, dkk., 1997; Mahabusarakam, dkk., 1983) yang memiliki
aktivitas antimikroba dan antioksidan (Dachriyanus dkk., 2003) dan juga sebagai
antikanker terhadap sel kanker CEM-SS (Izzaddin, dkk., 2006).
Telah dilaporkan ekstrak heksana dan ekstrak kloroform kulit buah asam
kandis memiliki daya hambat potensial terhadap Aspergillus flavus ATCC 46283
(Jena, dkk., 2005). Ekstrak daun dan ranting asam kandis memiliki aktivitas
antikolesterol, sedangkan rantingnya memiliki potensi sebagai antiplatelet (Jantan,
dkk., 2002).
Hingga saat ini, tumbuhan G. cowa masih terus diteliti karena tidak
hanya banyak digunakan secara tradisional tetapi juga menjadi sumber bahan obat
yang potensial. Hampir pada semua bagian tanaman ini sudah diteliti.
Berdasarkan penelusuran data-data hasil penelitian, didapatkan bahwa pada
bagian kulit batang dan kulit buah yang banyak memberikan informasi terkait
kandungan sumber senyawa kimia aktif dan bioaktivitasnya, sehingga masih
sedikit pula informasi yang didapatkan pada bagian tumbuhan lainnya. Untuk itu,
peneliti ingin mengembangkan sumber senyawa kimia aktif pada salah satu
bagian tumbuhan lainnya yaitu daun. Hal ini dikarenakan ketersediaan daun di

alam sangatlah banyak dan jarang digunakan bila dibandingkan bagian tumbuhan
lainnya sehingga perlu dieksplorasi lebih lanjut. Hasil peneltian sebelumnya, telah
dilaporkan beberapa senyawa potensial dari fraksi diklorometana dari daun G.
cowa,

yakni

garcinisidone-A;

methyl
dan

2.4.6-trihydroxy-3-(3-methylbut-2-enyl)benzoate;

3-(1-methyl-2-butenyl)-1,4-benzoquinone.

Senyawa-

senyawa ini memiliki aktivitas sebagai agen sitotoksik terhadap sel kanker
payudara (MCF-7) dan paru-paru (H-460) (Wahyuni, dkk., 2015). Namun, sejauh
ini belum ada penelitian tentang uji antioksidan dan antimikroba dari daun G.
cowa Roxb. Dengan demikian, peneliti tertarik untuk menguji antioksidan dan
antimikroba sumber kandungan senyawa kimia aktif dari daun G. cowa namun
dari fraksi yang berbeda yaitu fraksi heksana. Hal ini dapat dilakukan karena
diklorometana dan heksana memiliki tingkat kepolaran yang berbeda.
Metode yang digunakan untuk penelitian ini meliputi ekstraksi dengan
cara sokletasi menggunakan pelarut heksana. Alasan pemilihan ekstraksi dengan
cara sokletasi ialah agar tercapainya ekstraksi senyawa secara sempurna dengan
pelarut yang sesuai sehingga akan didapatkan lebih banyak ekstrak bila
dibandingkan dengan cara ekstraksi lainnya. Ekstrak dari fraksi heksana yang
diperoleh diuapkan secara in vacuo hingga didapatkan ekstrak kental fraksi
heksana.
Fraksi yang didapatkan diuji aktivitas antioksidan dan antimikrobanya.
Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode pengukuran serapan
radikal 1,1 difenil-2-pikrihidrazil (DPPH) (Elsyeida, 2005). Pengujan aktivitas
antimikroba dilakukan dengan metode difusi agar melalui pengamatan terhadap
besar diameter daerah hambatan.

1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian

adalah :
1. Bagaimana aktivitas antioksidan dari fraksi heksana daun Garcinia
cowa Roxb.?
2. Bagaimana aktivitas antimikroba dari fraksi heksana daun Garcinia
cowa Roxb.?
1.3.

Tujuan Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian

adalah:
1. Mengetahui aktivitas antioksidan dari fraksi heksana daun Garcinia
cowa Roxb.
2. Mengetahui aktivitas antimikroba dari fraksi heksana daun Garcinia
cowa Roxb.
1.4.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan informasi ilmiah

tentang aktivitas antioksidan dan antimikroba dari fraksi heksana daun Garcinia
cowa Roxb. sebagai sumber bahan obat baru yang potensial.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tinjauan Botani Garcinia cowa Roxb.

2.1.1 Klasifikasi
Tumbuhan Garcinia cowa Roxb. dikategorikan sebagai berikut
(Tjitrosoemo, 1993) :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Guttiferales

Famili

: Guttiferae

Genus

: Garcinia

Spesies

: Garcinia cowa Roxb.

2.1.2 Sinonim dan Nama Daerah


Cuithekera, Kangach, Kujithekera, Kau, Cowa (India), Yun Nan Shan
Zhu Zi, Yun Shu (Cina), Kowa Ganboji (Jepang), Kandis (Malaysia), Kaphal
(Nepal), Pildis, Paninginen, Bilukau (Filipina), Doc, Tai Chua (Vietnam) (Lim,
2012).

2.1.3

Morfologi Tumbuhan
Garcinia cowa Roxb. merupakan tumbuhan khas Asia yang banyak

tersebar di Asia Tenggara dan Cina Tenggara (Song, dkk., 2013). Tumbuhan ini
termasuk pohon kecil hingga menengah, bercabang, hijau, tinggi batang 8-20 m
dengan diameter 15-30 cm, dan kadang-kadang 90 cm. Kulit batang berwarna
gelap-coklat dengan getah berwarna kuning lemon. Daun sederhana berukuran 615 x 2,5-6,0 cm, hijau mengkilap, tebal, meruncing pada kedua ujung daun,
dengan 12-18 pasang tulang daun. Daun muda lembut dan berwarna kemerahan
hingga perunggu (Lim, 2012). Bunga uniseksual dan buah bulat berukuran 2,5-6,0
cm, hijau ketika muda, dan kusam, dan kuning ketika masak (Ritthiwigrom, dkk.,
2013). Morfologi tumbuhan G.cowa secara umum dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Bagian tumbuhan Garcinia cowa: (a) dahan, (b) kulit kayu dan
getah, (c) susunan bunga ditangkai, (d) daun, (e) buah muda
(Laphookhieo, 2011)
2.2.

Kandungan Kimia
Garcinia cowa Roxb. (Guttiferae) di Sumatera Barat dikenal dengan

nama asam kandis. Garcinia kaya dengan metabolit sekunder, terutama


triterpenoid, flavonoid, xanton dan florogusinol. Xanton dan florogusinol

merupakan penanda kemotaksonomi untuk genus ini. Studi aktivitas biologis pada
spesies ini menunjukkan bahwa daun memiliki aktivitas antitumor sementara kulit
kering memiliki aktivitas antimalaria (Wahyuni, dkk., 2015).
Komposisi kimia dan aktivitas biologis dari berbagai bagian dari G.
cowa telah dilaporkan. Laporan sebelumnya pada daun segar, buah, dan kulit buah
kering dari G. cowa telah dilaporkan dan ditemukan bahwa (-)-hidroxycitric acid
dan konstituen laktonnya merupakan komponen utama (Jena, dkk., 2002).
Pada kulit batang terdapat [2E,6E,10E]-(+)4a-hydroxy-3-methyl-5a(3,7,11,15-tetramethyl-2,6,10,14-hexadecatetraenyl-2

cyclohexen-1-one;

2-(3-

methyl-2-butenyl)-1,5,6-trihydroxy-3-methoxy-4-1 (1,1-dimethyl-2-propenyl)-9Hxanthen-9one; dan rubraxanthone (Wahyuni, dkk., 2004), kowanin (Darwati,


dkk., 2009), kowanol, kowasanton, dan norkowanin (Na Pattalung, dkk., 1994).
Di samping itu juga terdapat 2-(-methyl-2-butenyl)-1,5,6-trihydroxy-3-methoxy-4(1,1-dimethyl-2-propenyl)-9H-xanthen-9-one:

1,3,6-trihidroxy-7-methoxy-4-

(acetoxy-3-methyl-2-butenyl)-8-(3,7-dimethyl-2,6-octadienyl) xanthone (Wahyuni,


2009).
Pada kulit buah terdapat senyawa xanton tetraoksigenasi, yaitu
kowaxanton A-E (Panthong, dkk., 2006). Pada getah berhasil diisolasi lima
senyawa xanton, yaitu cowagarcinone A-E (Mahabusarakam, dkk., 2005),
senyawa

xanton

terpenilasi,

yaitu

1.6-dihydroxy-3,7-dimethoxy-2-(3,7-

dimethyloct-2,6-dienyl) xanthone (3-O-methylcowaxanthone) (Na, dkk., 2013).


Pada bunga mengandung senyawa cowanone, -mangostin, -mangostin,
cowanin, fuscaxanthone A, 9-hydroxycalabaxanthone, garcinianone A, dan
cowanol (Trisuwan, 2012).
Potensial daun G. cowa dari daerah Sumatera Barat, Indonesia telah
dilaporkan. Tiga senyawa, yaitu methyl 2.4.6-trihydroxy-3-(3-methylbut-2-

10

enyl)benzoate

(1),

garcinisidone-A

(2),

dan

3-(1-methyl-2-butenyl)-1,4-

benzoquinone (3) telah berhasil diisolasi (Wahyuni, dkk., 2015).


2.3

Khasiat dan Kegunaan


Banyak dari bagian G. cowa telah dimanfaatkan pada obat tradisional.

Pada kulit, getah, dan akar telah digunakan sebagai agen antipiretik
(Mahabusarakam, dkk., 2005; Pathong, dkk., 2009), sedangkan buah dan daundaun digunakan pada gangguan pencernaan, meningkatkan sirkulasi darah, dan
sebagai ekspektoran (Pathong, dkk., 2006). Beberapa senyawa farmakologis
seperti promosi antitumor (Murakami, dkk., 1995), penghambatan peroksidasi
Low Density Lipoprotein (LDL) manusia dan aktivitas antiplatelet telah
dilaporkan dari ekstrak mentah daun (Jantan, dkk., 2011).
Di Indonesia, buah kering asam kandis umumnya digunakan sebagai
bumbu masak. Di Thailand, air seduhan dari kulit batang asam kandis telah
digunakan untuk menurunkan panas. Tanaman asam kandis ini telah digunakan
oleh masyarakat baik berupa kulit batang, batang, buah daun, getah, bunga, dan
akar dalam berbagai bidang. Buahnya dapat dimakan sebagai manisan atau
penyedap masakan atau rempah-rempah. Daun dan buah juga telah digunakan
untuk memperlancar perederan darah dan pengencer dahak pada batuk pilek.
Berdasarkan penelurusan literatur, ekstrak tumbuhan G. cowa Roxb.
memiliki banyak khasiat baik pada kulit batang, batang, buah, akar, daun, bunga,
dan getah. Kulit batang diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologis
seperti antipiretik (Darwati, dkk., 2009), antioksidan (Rullah, dkk.), antimalaria
(Likhitwitayawuid, dkk., 1998), dan antikanker terhadap sel kanker payudara
(T47D dan MCF-7) dan sel kanker paru-paru (H-460) (Darwati, dkk., 2009;
Wahyuni, dkk., 2015). Getah tumbuhan ini memiliki aktivitas sebagai antimalaria

11

(Likhitwitayawuid, dkk., 1998), sitotoksik terhadap sel kanker HL-60, SMMC7721, A-549, MCF-7, dan SW480 (Na, dkk., 2013).
Bunga G. cowa Roxb. aktif menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus (SA) dan Methicillin resistant staphylococcus aureus
(MRSA) (Trisuwan, 2012). Buah segar tumbuhan ini memiliki aktivitas
antibakteri terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dsn MRSA SK1
(Panthong, dkk., 2006). Kulit buah G. cowa Roxb. memiliki efek sitotoksik
terhadap sel kanker payudara T47D, menghambat pertumbuhan bakteri gram
positif, seperti Bacillus cereus, Bacillus coagulans, Bacillus subtilis, dan
Staphylococcus aureus, dan bakteri gram negatif, seperti Escherichia coli (Negi,
dkk., 2008) dan dapat menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus flavus ATCC
46283 (Joseph, dkk., 2005).

2.4

Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan

menggunakan pelarut. Untuk melakukan ekstraksi bahan tanaman secara


sempurna sebaiknya dipilih pelarut ideal dalam ekstraksi. Pelarut ideal adalah
pelarut yang menunjukkan selektivitas maksimal, dan kompatibel dengan sifatsifat bahan yang diekstraksi. Pelarut ekstraksi yang bersifat toksik memang harus
dihindari, namun pelarut yang akan digunakan dapat ditentukan berdasarkan
pertimbangan suhu didih agar mudah diuapkan di antaranya etil asetat dapat
digunakan dengan pertimbangan suhu didih 77,14OC, selain itu metode
pengeringan ekstrak yang semakin baik seperti dengan menggunakan vaccum
freeze dryers dan atomizer berpengaruh dalam memperoleh ekstrak yang sesuai
untuk pembuatan sediaan farmasi (Agoes, 2007).

12

Teknik ekstraksi senyawa organik bahan alam yang biasa digunakan


antara lain maserasi, perkolasi, infudasi, dan sokhletasi. Pemilihan jenis metode
biasanya dilakukan berdasarkan pengalaman peneliti maupun hasil penelitian
yang telah dilaporkan sebelumnya (Hoestettman, K., dkk., 1986; Harborne, J.B.,
2006)
2.4.1. Ekstraksi Dingin
2.4.1.1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar) (Departemen Kesehatan RI, 2000). Keuntungan dari proses
maserasi adalah pengerjaannya mudah dan peralatannya mudah dan sederhana
sedangkan kekurangannya adalah waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi
bahan cukup lama, penyarian kurang sempurna, dan pelarut yang digunakan
jumlahnya banyak (BPOM, 2013).
2.4.1.2 Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna
(Exhaustiva extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana
silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses terdiri dari tahap
pengembangan bahan, maserasi antara, perkolasi sebenarnya (penetesan/
penampungan ekstrak), dan terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat)
yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000). Perkolasi umumnya digunakan
untuk mengekstraksi serbuk kering terutama simplisia yang keras seperti kulit
batang, kulit buah, biji, kayu, dan akar. Penyari yang digunakan umunya adalah
etanol atau campuran etanol-air. Dibandingkan dengan metode maserasi, metode

13

ini tidak memerlukan tahapan penyarian perkolat, namun kerugiannya adalah


waktu yang dibutuhkan lebih lama dan jumlah penyari yang digunakan lebih
banyak (BPOM, 2013).
2.4.2 Ekstraksi Panas
2.4.2.1 Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna
(Depkes RI, 2000).
2.4.2.2 Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Biomassa
ditempatkan dalam dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas saring, melalui
alat ini pelarut akan terus direfluks. Alat soklet akan mengosongkan isinya ke
dalam labu dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Setelah pelarut
segar melawati alat ini melalui pendingin refluks, ekstraksi berlangsung sangat
efisien dan senyawa dari biomasa secara efektif ditarik ke dalam pelarut karena
konsentrasi awalnya rendah dalam pelarut (Depkes RI, 2000).
2.4.2.3 Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40500C (Depkes RI, 2000). Metode ini digunakan untuk simplisia yang zat aktifnya
tahan terhadap pemanasan. Keuntungan dari metode ini adalah zat aktif yang
tersari lebih banyak dan waktu ekstraksinya lebih singkat dibandingkan dengan
metode maserasi (BPOM, 2013).

14

2.4.2.4 Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperature terukur 96-98OC
selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000). Metode ini digunakan
untuk menyari kandungan aktif dari simplisia yang larut dalam air panas.
Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil, mudah tercemar
oleh bakteri dan jamur sehingga sari yang diperoleh harus segera diproses
sebelum 24 jam. Biasanya cara ini banyak digunakan oleh perusahaan obat
tradisional (BPOM, 2013).
2.4.2.5 Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (suhu lebih dari 30 OC)
dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000). Dekok adalah sediaan
cair yang dibuat dengan mengekstraksi sediaan herbal dengan air pada suhu 90OC
selama 30 menit (BPOM, 2008).

2.5.

Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan seperti hidroksil dan superoksida. Sifat dari
molekul ini sangat reaktif dalam mecari pasangan elektron sehingga radikal bebas
sulit untuk dideteksi (Fessenden, 1997), sedangkan radikal bebas dapat memicu
kerusakan sel karena ia mampu menarik elektron dari sel lain, dan akibatnya akan
menimbulkan radikal baru pada molekul elektron yang diambil dan dapat

15

menimbulkan senyawa yang tidak normal serta dapat merusak sel-sel penting
dalam tubuh (Supari, 1994).
Radikal bebas dibentuk melalui dua cara, yaitu (Setiati, 2003; Santoso,
2001):
1. Secara endogen sebagai respon normal dari rantai peristiwa kimia
dalam tubuh berupa hasil sampingan dari proses metabolisme tubuh.
2. Secara eksogen radikal bebas didapat dari polusi udara, asap rokok,

radiasi sinar matahari, dan obat-obatan.


Pada kondisi normal radikal bebas dan antioksidan yang diproduksi oleh
tubuh berada dalam keadaan setimbang, akan tetapi pada keadaan tertentu
keseimbangan ini akan terganggu bila jumlah radikal bebas lebih banyak dari
antioksidan. Kondisi ini disebut stress oksidatif. Gagalnya antioksidan
mengendalikan keadaan ini diperkirakan akan mencederai membran sel dan inti
sel sehingga akan mengakibatkan cacatnya DNA yang ditandai dengan
dipercepatnya proses penuaan jaringan serta menstimulasi pembentukan sel-sel
tumor selain itu keadaan ini juga bertanggung jawab memicu penyakit pada
kondisi patologis yang disebabkan oleh radikal bebas (Supari, 1994).
2.5.1 Efek Radikal Bebas dalam Tubuh
2.5.1.1 Efek Positif
Radikal bebas mempunyai peranan fisiologis, diantaranya (Suryohudoyo,
2000; Supari, 1994):
1. Senyawa radikal bebas harus terdapat pada saat sintesis DNA,
aktivitas ribonukleotida reduktase yang mengubah ribosa menjadi
deoksiribosa (gula DNA).

16

2. Radikal bebas dibutuhkan oleh tubuh ketika kuman masuk ke dalam


tubuh. Sel darah putih (leukosit) akan menghancurkan dan memakan
kuman dengan bantuan radikal bebas ini.
3. Radikal bebas harus terdapat pada saat kapasitansi spermatozoa, jadi
berfungsi dalam reaksi fertilitas.
2.5.1.2 Efek Negatif
Radikal dalam jumlah besar dalam tubuh dapat menyebabkan berbagai
macam efek negatif antara lain:
1. Radikal bebas dapat menyebabkan agregasi platelet (Niwa, 1997)
Radikal bebas dapat menyerang membran sel endotel. Membran
sel dibentuk oleh komponen-komponen penting seperti protein,
fosfolipid, glikolipid, dan kolesterol. Fosofolipid dan glikolipid keduanya
merupakan asam lemak tak jenuh yang sangat rentan terhadap serangan
radikal bebas, sehingga keberadaan radikal bebas ini akan mengoksidasi
asam lemak membran sel, kemudian menimbulkan reaski berantai dan
seterusnya akan menghasilkan lipid peroksida,. Selanjutnya lipid
peroksida yang terbentuk akan menimbulkan gangguan keseimbangan
prostaglandin dengan menghambat pembentukan prostasiklin di endotel
dan

merangsang

pembentukan

tromboksan

di

platelet.

Ketidakseimbangan secara prostasiklin yang rendah dan tromboksan


yang tinggi mengakibatkan gangguan fungsi platelet berupa peningkatan
adesivitas dan agregasi platelet.
2. Radikal bebas dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular (Niwa,
1997)

17

Proses oksidasi lipid pada endotelial arteri koronaria dan selsel miokardia merupakan penyebab utama timbulnya penyakit jantung
koroner.
3. Radikal bebas dapat menyebabkan aterosklerosis (Niwa, 1997)
Radikal bebas akan mengoksidasi LDL kolesterol darah
sehingga menimbulkan plak yang akan menyumbat dinding bagian dalam
pembuluh darah dan akan menimbulkan aterosklerosis.

4. Radikal bebas dapat menyebabkan kanker (Marlinda)


Secara pasti belum dibuktikan adanya pengaruh langsung
antara radikal bebas dengan terbentuknya kanker. Radikal bebas merusak
DNA sehingga menyebabkan rantai DNA terputus di berbagai tempat,
kerusakan ini dapat mengganggu pembelahan sel bahkan terjadi
perubahan abnormal yang mengenai gen tertentu dalam tubuh. Jika
menyerang gen khusus yaitu protoonkogen maka akan menimbulkan
mutasi sel dan dapat menimbulkan kanker.
5. Radikal bebas dapat merusak protein (Marlinda)
Terjadinya kerusakan protein akibat serangan radikal bebas ini
termasuk oksidasi protein yang mengakibatkan kerusakan jaringan
tempat protein itu berada. Contohnya, kerusakan protein pada lensa mata
yang mengakibatkan katarak.
6. Radikal bebas dapat menyebabkan diabetes

18

Kerusakan sel beta-pankreas oleh radikal bebas yang


dihasilkan melalui respon autoimun pada akhirnya dapat menyebabkan
penyakit diabetes.
7. Radikal bebas terhadap kulit (Marlinda)
Radiasi sinar ultraviolet mengakibatkan timbulnya radikal
bebas. Pada suatu penelitian dibuktikan bahwa hidrogen peroksida
terbentuk pada kulit tikus setelah terkena paparan sinar matahari.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pasca penyinaran UV akan
menurunkan jumlah peroksida dismutase dan aktivitas enzim katalase.
Produksi hidrogen peroksida menurun jika sebelum penyinaran diberikan
antioksidan.
2.5.2 Radikal bebas DPPH
DPPH atau 1,1-dimetil-2-pikrilhidrazil adalah radikal bebas yang stabil
pada suhu kamar dengan bentuk serbuk violet kehitaman, cepat teroksidasi oleh
temperatur dan udara (disimpan pada suhu di bawah 0OC, mudah larut dalam
metanol, dan berat molekul (BM) sebesar 394,3 gr/mol (Hossettman, 1995).
Metode radikal DPPH ini merupakan metode pengukuran aktivitas
antioksidan yang hanya menggunakan sampel dalam jumlah sedikit dan waktu
yang singkat. Aktivitas antioksidan dari suatu senyawa ditunjukkan oleh hambatan
serapan DPPH pada panjang gelombang 517 nm dengan absorpsi yang kuat dan
berwarna violet gelap. Karena memiliki elektron sunyi menyebabkan DPPH
sangat reaktif untuk menangkap elektron atau radikal hidrogen lainnya untuk
menjadi molekul diamagnetik yang stabil. Pada saat reaksi, terjadi pengurangan
serapan yang disebabkan oleh agen pereduksi dan menyebabkan elektron sunyi

19

menjadi berpasangan, yang secara stoikiometri dapat diamati melalui perubahan


warna larutan dari violet gelap menjadi larutan tidak berwarna (Hossettman,
1995). Reaksi penghambatan antioksidan terhadap radikal DPPH dapat dilihat
pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Reaksi penghambatan antioksidan terhadap radikal DPPH


(Parkash,2001)

2.6.

Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang dapat mencegah atau memperlambat

terjadinya kerusakan oleh radikal bebas. Antioksidan bertindak melalui


mekanisme pemutusan rantai radikal bebas, detoksifikasi, serta mengaktifkan
enzim-enzim antioksidan (Belleville-Nabet, 1994)
2.6.1 Pembagian Antioksidan
Secara umum, antioksidan dapat dibedakan menjadi sebagai berikut,
yaitu (Suryohudoyo, 2000) :
2.6.1.1 Antioksidan Eksogen dan Endogen

20

Antioksidan eksogen umunya bekerja dengan cara menangkap radikal


dan mencegah reaksi berantai, contohnya: vitamin C, vitamin E, dan betakaroten.
Sedangkan antioksidan endogen terdiri dari enzim-enzim dan berbagai senyawa
yang disintesis tubuh yang bekerja dengan mencegah pembentukan radikal bebas,
contohnya: superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx), dan
katalase.
2.6.1.2 Antioksidan Spesifik dan Non Spesifik
Antioksidan spesifik bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal
bebas baru atau mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang kurang
memiliki dampak negatif, contohnya SOD dan GPx. Sedangkan antioksidan non
spesifik bekerja dengan cara menangkap radikal bebas, contohnya: asam askorbat
dan alfa-tokoferol.
2.6.1.3 Antioksidan Alami dan Sintetis
Antioksidan alami umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik
yang dapat berupa golongan asam sinamat, kumarin, tokoferol, contohnya: asam
askorbat dan alfa-tokoferol. Sedangkan antioksidan sintetis yaitu antioksidan yang
diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia, contohnya: Butil Hidroksi Anisol (BHA)
dan Butil Hidroksi Toluen (BHT).
2.6.1.4 Antioksidan Lipofilik dan Hidrofilik
Antioksidan lipofilik adalah antioksidan yang larut dalam lemak,
contohnya: alfa-tokoferol, beta-karoten. Sedangkan antioksidan hidrofilik adalah
antioksidan yang larut dalam air, contohnya asam askorbat.
2.6.1.5 Antioksidan Berdasarkan Cara Kerjanya

21

Berdasarkan cara kerjanya, antioksidan dapat dibagi menjadi antioksidan


primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer bekerja dengan memberikan
atom hidrogen secara cepat ke radikal bebas sebelum radikal bebas sempat
bereaksi, contohnya: SOD. Antioksidan sekunder bekerja dengan cara menangkap
senyawa radikal serta mencegahnya terjadi reaksi berantai, contohnya: asam
askorbat, alfa-tokoferol, dan beta-karoten. Sedangkan antioksidan tersier bekerja
memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas,
contohnya: metionin sulfoksida reduktase, yang bekerja memperbaiki DNA pada
inti sel untuk mencegah terjadinya penyakit kanker.

2.6.2. Cara Kerja Antioksidan


Antioksidan bekerja menangkap radikal bebas dengan cara menjadi
sumber hidrogen labil yang akan berikatan dengan radikal bebas. Antioksidan
mengikat energi yang digunakan untuk pembentukan radikal bebas baru sehingga
oksidasi berhenti. Antioksidan ini akan lebih awal mengalami oksidasi sehingga
akan melindungi sel.

2.6.3 Metode Pengujian Antioksidan


Metode uji aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan cara (Setiati,
2003; Belleville-Nabet, 1994)
2.6.3.1 Menggunakan Materi Biologis
Metode ini berdasarkan kultur sel. Aktivitas antioksidan dapat diketahui
dengan mengukur viabilitas sel. Radikal bebas umumnya dapat menurunkan
viabilitas sel sedangkan antioksidan mengembalikan viabilitas kembali normal.

22

Sistem ini mempunyai keuntungan karena lebih mendekati proses yang terjadi
secara in vivo namun kelemahannya adalah hanya dapat dilakukan pada senyawasenyawa yang dapat masuk ke dalam sel.

2.6.3.2 Menggunakan Reaksi Kimia


Metode ini berdasarkan hasil reaksi antara radikal bebas dengan
antioksidan kemudian diukur dengan cara spektrofotometri dan dilihat dengan
adanya perubahan warna. Senyawa seperti ferri thiosianat dan DPPH dapat
menghasilkan radikal secara terkontrol.
Pengujian aktivitas antioksidan dengan metode penangkapan radikal
DPPH ini menggunakan standar antioksidan alami yaitu vitamin C yang mewakili
antioksidan yang larut air dan viatmin E yang mewakili antioksidan yang larut
dalam lemak.

2.7.

Mikroba
Mikroba atau mikroorgsnisme adalah organisme yang berukuran sangat

kecil, yang dapat diamati menggunakan mikroskop. Mikroba terdiri atas bakteri,
virus, dan jamur (Suhartono, 1989).
2.7.1. Pertumbuhan Mikroba
Pada umumnya mikroba hanya mengenal satu macam pertumbuhan yaitu
secara aseksual atau vegetatif. Pertumbuhan ini berlangsung cepat dengan adanya
faktor-faktor

luar

yang

Dwidjoseputro, 1982) :

menguntungkan,

antara

lain

(Pelezar,

1985;

23

2.7.1.1 Nutrisi
Kebutuhan nutrisi mikroba meliputi bahan makanan secara umum,
seperti air, garam organik, ion logam, karbondioksida, dan asam amino.

2.7.1.2 Suhu
Berdasarkan aktivitas terhadap suhu, mikroba dibedakan atas: mikroba
psikrofilik, yaitu mikroba yang dapat tumbuh pada suhu 0-30 OC dan optimum
pada suhu 15OC; mikroba mesofilik, yaitu mikroba yang dapat tumbuh pada suhu
15-55OC dan optimum pada suhu 37OC; sedangkan mikroba termofilik, yaitu
mikroba yang dapat tumbuh pada suhu 40-75OC dan optimum pada suhu 55OC;
serta mikroba yang dapat tumbuh pada suhu ekstrem stenotermal yaitu pada suhu
80-110OC.
2.7.1.3 pH Medium
Berdasarkan pH yang dibutuhkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya,
maka dibagi atas: mikroba asidofilik, yaitu mikroba yang tumbuh pada pH antara
1,0-5,5; mikroba neutrofilik, yaitu mikroba yang tumbuh pH antara 5,5-8,0; dan
mikroba alkalifilik, yaitu mikroba yang tumbuh pada pH 8,5-11,5.
2.7.1.4 Oksigen
Berdasarkan kebutuhan oksigen, mikroba dibedakan atas mikroba aerob,
yang tumbuh dengan adanya oksigen, dan mikroba anaerob, yang dapat tumbuh
tanpa oksigen. Selain itu, juga ada mikroba anaerob fakultatif, yaitu mikroba yang
dapat tumbuh pada kondisi ada atau tanpa oksigen, sedangkan mikroba anaerob
obligat, yaitu mikroba yang hanya tumbuh tanpa adanya oksigen (jika ada
oksigen, maka mikroba tersebut mati).

24

2.7.1.5 Zat Kimia


Zat kimia yang bersifat dapat menghambat pertumbuhan mikroba tanpa
membunuhnya disebut bakteriostatik, sedangkan zat kimia yang dapat
membunuhnya disebut sebagai bakterisida. Beberapa senyawa kimia yang bersifat
sebagai antimikroba adalah fenol, formaldehida, alkohol, dan senyawa kimia
alam.

2.7.2 Pembiakan Mikroba


Terdapat dua cara yang dapat membiakkan mikroba, yaitu:
2.7.2.1 Secara In vivo
Pada pembiakan ini digunakan hewan percobaan seperti marmut, kelinci,
dan tikus putih. Hewan percobaan ini penting artinya karena mikroba tertentu
dapat menyebabkan penyakit dan memberikan gejala-gejala yang khas pada
hewan percobaan, kemudian mikroba diisolasi dari tubuh hewan tersebut.
2.7.2.2 Secara In vitro
Pada pembiakan ini diperlukan medium, yaitu tempat tumbuh yang
mengandung makanan untuk mikroba sehingga mikroba dapat berkembang biak.
Berdasarkan konsistensinya, bahan medium dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu medium padat, semi padat, dan cair. Pada pembiakan secara in vitro, media
ditanami dengan mikroba lalu diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35-37OC.

2.7.3 Bakteri

25

Bakteri adalah makhluk hidup yang berukuran sangat kecil, terdiri dari
suatu sel, berkembang biak dengan membelah diri atau aseksual, dan hanya dapat
dilihat dengan mikroskop (Hadiutomo, 1990).
Berdasarkan

bentuk

morfologinya,

bakteri

dapat

dibagi

atas

(Dwidjoseputro, 1982; Hadiutomo, 1990) :


1. Basil
Berbentuk batang kecil atau sebuah silinder. Hasil membelah
diri pada suatu bidang maka dapat diamati sebagai sel tunggal,
berpasangan, dalam rantai pendek atau rantai panjang.
2. Kokus
Berbentuk seperti buah seri kecil. Sejumlah kokus hidup secara
khas sendiri-sendiri, sedangkan lainnya ditemukan berpasangan,
kubus, atau rantai panjang, tergantung pada cara membelah diri
kemudian melekat satu sama lain setelah pembelahan.
3. Spiral
Kelompok ini mempunyai bentuk batang yang melengkung dan
menyerupai koma, berbentuk lilitan, atau spiral yang sebenarnya.

Pertumbuhan bakteri dengan mudah dapat dinyatakan secara grafik


dengan logaritma jumlah sel hidup terhadap waktu. Suatu kurva pertumbuhan
khas mempunyai bentuk sigmoid dan dapat dibedakan beberapa tahap
pertumbuhan yang muncul secara teratur, yaitu tahap persiapan (lag fase), tahap
eksponensial (log fase), dan tahap stasioner, dan tahap kematian (Hadiutomo,
1990).

26

2.7.4 Jamur
Jamur adalah organisme yang tidak mengandung pigmen fotosintesis dan
bersifat heterotrof. Jamur tumbuh pada kondisi aerob dan memperoleh energi
dengan mengoksidasi bahan organik. Jamur mempunyai ukuran yang beragam
dengan lebar antara 1-5 mikron dan panjang 5-30 mikron. Kebanyakan jamur
berbentuk bulat telur tetapi beberapa spesies ada yang memanjang atau berbentuk
bulat bola dan biasanya setiap spesies mempunyai bentuk yang khas (Pelezar,
1985; Dwidjoseputro, 1982; Hadiutomo, 1990).
Tubuh jamur mempunyai filamen panjang dan bercabang. Tiap filamen
dinamakan hifa. Hifa dapat memiliki dinding transfersal atau septa. Apabila hifa
terus tumbuh dan berkembang akan membentuk miselium. Miselium terbagi atas
dua bagian yaitu miselium vegetatif dan miselium generatif. Miselium generatif
(reproduktif) yaitu miselium yang menghasilkan spora dan tumbuh meluas ke
udara (Pelezar, 1985; Hadiutomo, 1990).
Jamur dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi. Secara klinis,
jamur terbagi atas beberapa kelompok, yaitu (Pelezar, 1985; Dwidjoseputro, 1982)
:
1. Jamur pada sistemik
Mikosis sistemik biasanya disebabkan oleh jamur tanah. Jamur
ini kelihatannya menyebabkan penyakit pada orang-orang tertentu,
dimana penyakit ini dapat menyebar. Contoh jamur yang termasuk ke
dalam kelompok ini adalah Coccidioides immitis dan Histoplasma
capsolanum.

27

2. Jamur pada permukaan kulit


Jamur golongan ini biasanya hanya menyerang jaringan keratin
tetapi tidak menyerang jaringan yang lebih dalam. Jamur-jamur yang
penting dari golongan ini seperti jamur golongan desmatophyta, yaitu
jamur yang hidup pada jaringan yang mengandung zat tanduk seperti
kuku,

rambut,

dan

Deuteromycetes,

kulit,

seperti

dan

termasuk

Trichophyton

ke

dalam

mentagrophytes

kelas
dan

Microsporum canis.
3. Jamur di bawah kulit
Jamur ini biasanya menyebabkan mikosis subkutan. Tumbuh
dalam tanah atau pada tanaman yang membusuk, seperti Sporothrix
schenckii dan Clasdosporium carrionii.
4. Jamur opportunistik
Jamur golongan ini biasanya tidak menimbulkan penyakit,
tetapi dapat menyebabkan penyakit pada orang yang mekanisme
pertahanan tubuhnya terganggu, seperti Candida albicans dan
Cryptococcus neoformans.

2.7.5 Uji Aktivitas Antimikroba Tumbuhan Tingkat Tinggi


Aktivitas antimikroba suatu tumbuhan tingkat tinggi dapat dideteksi
melalui respon pertumbuhan berbagai jenis mikroba yang berkontak dengan
ekstrak tumbuhan. Berdasarkan hal ini, dapat dilakukan suatu uji aktivitas
antimikroba dari esktrak tumbuhan tersebut (Vlietinck, 1999).

28

Dalam mendeteksi aktivitas antimikroba suatu tumbuhan, ada beberapa


kondisi yang harus dipenuhi, yaitu ekstrak tumbuhan harus berkontak langsung
dengan dinding sel mikroba uji sehingga pengaruh pemberian ekstrak tumbuhan
dapat terlihat nyata sebagai antimikroba. Kedua, kondisi diatur sedemikian rupa
sehingga mikroba dapat tumbuh dengan baik. Ketiga, adanya parameter untuk
menilai pertumbuhan mikroba selama pengujian.
Dalam uji aktivitas antimikroba, mikroba uji yang digunakan tergantung
pada tujuan penelitian, tetapi pada umumnya mikroba uji yang digunakan adalah
mikroba yang bersifat patogen pada manusia serta mewakili strain yang
dianjurkan pada skrining awal dalam pengujian antibiotik baru, meliputi bakteri
aerob Gram positif dan Gram negatif, bakteri anaerob, serta jamur (Dermatofita
atau ragi).
Ada tiga metode yang sering digunakan dalam uji aktivitas antimikroba
terhadap ekstrak tumbuhan tinggi, yaitu:
2.7.5.1 Difusi atau Cara Lempeng
Pada metode ini, pencadang atau reservoir yang mengandung ekstrak
tumbuhan berdifusi ke dalam medium agar yang telah diinokulasikan dengan
mikroba uji. Setelah masa inkubasi, diameter daerah bening yang mengelilingi
pencadang (diameter daerah hambat) diukur. Pencadang yang sering digunakan
adalah kertas cakram, silinder porselen atau logam, yang diletakkan di atas
permukaan agar dan lubang dicetak dalam medium.
2.7.5.2 Dilusi
Pada metode ini, ekstrak tumbuhan bercampur dengan medium cair yang
telah diinokulasikan dengan mikroba uji. Kekeruhan yang disebabkan oleh

29

pertumbuhan mikroba uji dibandingkan secara visual dengan alat turbidimetri


antara kultur uji dengan kontrol.

2.7.5.3 Bioautografi
Bioautografi

adalah

metode

untuk

mengetahui

lokasi

aktivitas

antimikroba pada kromatogram. Metode ini berdasarkan pada metode dilusi,


dengan substan akan berdifusi dari kromatogram ke medium yang telah
diinokulasikan dengan mikroba uji. Daerah hambat terlihat tepat pada bercak
kromatogram. Metode ini sangat membutuhkan perlengkapan mikrobiologi yang
kompleks, masalah perbedaan difusi senyawa dari kromatogram ke medium agar,
konsentrasi bercak pada kromatogram yang tidak teratur, dan mudahnya
kontaminasi oleh mikroba udara, membuat metode ini sangat rumut dalam
pengerjannya.

BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama lebih kurang satu bulan di

Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Andalas.

3.2
Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan untuk pengerjaan ekstraksi-fraksinasi dan
pemeriksaan kandungan kimia adalah mesin penggiling (grinder), peralatan
sokhlet, peralatan rotary evaporator, erlenmeyer berbagai ukuran, gelas ukur
berbagai ukuran,

penangas air, labu ukur, pipet gondok, timbangan analitik,

timbangan, vial, botol 100 ml, aluminium foil, gelas ukur, piket ukur, gelas beker,
pipet tetes, plat tetes, batang pengaduk kaca, pinset, spatula, corong, kertas saring,
tabung reaksi, dan kapas.
Alat-alat yang digunakan untuk pengujian aktivitas antioksidan adalah
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah corong, gelas ukur, labu
ukur (Pyrex), bola hisap, pipet ukur, erlenmeyer (Pyrex ), vortex (Heidolph),
spektrofotometer uv-vis (Shimadzu), kuvet, dan alat gelas lainnya.
Alat-alat yang digunakan untuk pengujian aktivitas antimikroba adalah
pinset, pipet mikro, timbangan analitik, cawan petri, jarum ose, kertas cakram,
kertas perkamen, kapas, kain kasa, lampu spiritus, otoklaf, inkubator, lemari

32

aseptis, Laminar Air Flow, erlenmeyer, tabung reaksi, vorteks, magnetik stirer,
hotplate, jangka sorong, plat titer mikro, cutton buds, spektronik 21, dan shaker.
3.2.2 Bahan
Bahan-bahan

yang

digunakan

untuk

pengerjaan

ekstraksi

dan

pemeriksaan kandungan kimia adalah daun kering tanaman G. cowa Roxb.,


heksana, plat silika 60 GF245 nm, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorff, asam
sulfat 2 N, asam klorida pekat, kloroform, serbuk logam magnesium, larutan
besi(III)klorida, dan asam asetat anhidrat.
Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian aktivitas antioksidan
adalah metanol (Merck), kuersetin (Sigma) , dan DPPH (Merck).
Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian aktivitas antimikroba
adalah metanol, larutan NaCl fisiologis, Nutrient Agar (NA), Sabouraud Dextrose
Agar (SDA, air suling, dan mikroba uji yang terdiri dari Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans.

3.3
Cara Kerja
3.3.1 Pengambilan Sampel
Sampel daun G. cowa Roxb. diambil di Batu Busuk-Limau Manih, Pauh,
Padang, Sumatera Barat.
3.3.2. Identifikasi Tumbuhan
Sampel G. cowa Roxb. diidentifikasi di Herbarium Universitas Andalas
(ANDA) Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
3.3.3. Pemeriksaan Kandungan Kimia

33

Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder dilakukan terhadap ekstrak


kental metanol daun kering G. cowa Roxb. Ekstrak kental metanol diperoleh dari
5 gram daun kering G. cowa Roxb. Pada 5 ml ekstrak kental metanol tersebut
ditambahkan masing-masing 5-10 ml air suling dan kloroform lalu dikocok kuat
dan dibiarkan beberapa saat sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan air digunakan
untuk uji senyawa flavonoid, fenolik, saponin, dan alkaloid. Lapisan kloroform
digunakan untuk uji senyawa terpenoid, streroid, dan alkaloid.
3.3.3.1 Uji Flavonoid
Sekitar 1-2 tetes lapisan air pada plat tetes ditambahkan beberapa tetes
asam sulfat pekat dan sedikit serbuk logam magnesium. Terjadinya warna merah
muda sampai merah menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
3.3.3.2 Uji Fenolik
Sekitar 1-2 tetes lapisan air pada plat tetes ditamahkan 1-2 tetes larutan
besi(III)klorida 1%. Bila terbentuk warna biru, berarti terdapat senyawa fenolik.
3.3.3.3 Uji Saponin
Lapisan air dalam tabung reaksi dikocok. Apabila terbentuk busa yang
bertahan hingga 15 menit, berarti positif adanya saponin.
3.3.3.4 Uji Alkaloid
Lapisan air atau lapisan kloroform (2-3 tetes) ditambah 1 tetes asam
sulfat pekat dan 1-2 tetes pereaksi Mayer atau pereaksi Dragendorff. Positif
adanya alkaloid bila terbentuk endapan putih dengan pereaksi Mayer atau warna
jingga dengan pereaksi Dragendorff.
3.3.3.5 Uji Terpenoid dan Steroid

34

Lapisan klorofom disaring melalui norit. Hasil saringan dipipet 2-3 tetes
dan dibiarkan mengering pada plat tetes. Setelah kering, ditambahkan 2 tetes asam
asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya warna merah berarti
positif adanya terpenoid dan warna biru atau hijau berarti positif adanya steroid.

3.3.4 Pembuatan Simplisia, Ekstraksi, dan Fraksinasi.


Daun segar G. cowa Roxb. sebanyak 4 kg dikumpulkan, dibersihkan, dan
disortasi basah setelah itu dijemur selama beberapa hari hingga kering. Setelah itu,
sampel yang sudah kering disortasi kering dan dirajang hingga berbentuk seperti
serbuk halus dengan menggunakan grinder. Serbuk halus tersebut dimasukkan ke
dalam alat soklet lalu dialiri dengan menggunakan pelarut heksana yang
ditampung dengan labu alas bulat dan proses ekstraksi dimulai dengan
memanaskannya menggunakan penangas air sampai pelarut heksana di dalam alat
soklet tepatnya pada sifon jernih. Ekstraksi dikatakan selesai jika tidak ada lagi
noda pada plat KLT yang dilihat di bawah lampu UV 254 nm pada hasil ekstraksi
terakhir yang diteteskan pada plat KLT atau juga menggunakan reagensia. Setelah
itu, hasil sokletasi berupa ekstrak diuapkan secara in vacuo dengan menggunakan
alat rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak kental fraksi heksana.

3.3.5 Pengujian Aktivitas Antioksidan dengan Metode Pembentukan


Radikal DPPH (Williams and Cuvelier, 1995)

35

3.3.5.1 Pembuatan Larutan DPPH


Larutan DPPH 100 ppm dibuat dengan cara menimbang DPPH sebanyak
1 mg dilarutkan dengan 10 mL etanol p.a. dalam labu ukur. Larutan DPPH
selanjutnya disimpan dan dihindari dari cahaya.
3.3.5.2 Pembuatan Larutan Sampel Uji
Dibuat larutan stok 1000 ppm dengan cara menimbang fraksi heksana
daun G. cowa Roxb. sebanyak 10 mg dan dilarutkan dengan 10 mL etanol p.a.
sambil diaduk dan dihomogenkan.
3.3.5.3 Pengukuran Daya Antioksidan Blanko
Pengujian dilakukan dengan memipet 4 mL DPPH, kemudian divortex
dan diinkubasi pada 37C pada ruangan gelap. Selanjutnya diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 515 nm.
3.3.5.4 Pengukuran Daya Antioksidan Sampel Uji
Uji aktivitas antioksidan sampel uji dilakukan dengan menggunakan
metode penangkapan radikal DPPH (1,1- diphenyl-2-picryl hydrazyl) oleh
microplate reader two fold delution pada panjang gelombang 515 nm. Plate
terdiri dari baris A-H masing-masing berjumlah 12 sumur. Baris A dimasukkan
sampel uji sebanyak 100 L. Kemudian, sebanyak 50 L etanol p.a. dimasukkan
ke dalam sumur pada baris B-F. Baris A dipipet sebanyak 50 L dan dimasukkan
ke baris B. Setelah itu, baris B dipipet 50 L dimasukkan ke baris C dan
seterusnya dilakukan sampai baris F. Selanjutnya, baris F dipipet 50 L d a n
dibuang, sehingga diperoleh konsentrasi 1000; 500; 250; 125; 62,5; dan 31,25
ppm. Sedangkan pada baris G (sebagai blanko) dimasukkan etanol p.a sebanyak
100 L. Lalu sumur A-F ditambahkan etanol p.a 50 L. Selanjutnya, baris A-G

36

ditambahkan DPPH sebanyak 100 L sehingga volume larutan dalam tiap-tiap


sumuran sebesar 200 L. Kemudian dimasukkan ke alat microplate reader dan
diinkubasi selama 30 menit. Aktivitas penangkapan radikal DPPH diukur sebagai
penurunan absorbansi DPPH.
3.3.5.5 Analisis Data
Aktivitas antioksidan sampel ditentukan oleh besarnya hambatan serapan
radikal DPPH melalui perhitungan persentase inhibisi serapan DPPH dengan
menggunakan rumus:

% inhibisi =

X 100%

Selanjutnya ditentukan nilai IC50 yaitu konsentrasi larutan uji yang memberikan
peredaman DPPH sebesar 50% dengan menggunakan persamaan regresi.

3.3.6 Pengujian Aktivitas Antimikroba dengan Metode Difusi Agar


Pengujian aktivitas antimikroba dengan metode difusi agar dengan cara
sebagai berikut (Dwidjoseputro, 1982) :
3.3.6.1 Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat-alat gelas dan kertas cakram disterilkan di dalam otoklaf pada suhu
121OC, bertekanan 15 lbs, selama 15 menit. Pinset dan jarum ose diterilkan
dengan cara flambier pada nyala lampu spiritus selama 20 detik. Lemari aseptis
dibersihkan dari debu lalu disemprot dengan etanol 70%. Laminar Air Flow

37

(LAF) yang telah dibersihkan disterilkan dengan menyalakan lampu UV-nya


selama 5 menit.
3.3.6.2 Pembuatan Media Dasar
1. Nutrient Agar (NA)
Sebanyak 20 gram serbuk NA dilarutkan dengan 1 liter air
suling dalam erlenmeyer dan dipanaskan di atas hot plate menggunakan
magnetik stirer sampai terbentuk larutan jernih. Kemudian disterilisasi di
dalam otoklaf pada suhu 121OC dan tekanan 15 lbs selama 15 menit.
2. Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
Sebanyak 65 gram serbuk SDA dilarutkan dengan 1 liter air
suling dalam erlenmyer dan dipanaskan di atas hot plate menggunakan
magnetik stirer sampai terbentuk larutan jernih. Kemudian disterilisasi di
dalam otoklaf pada suhu 121OC dan tekanan 15 lbs selama 15 menit.
3.3.6.3 Pembuatan Media Peremajaan
Media dasar yang telah berisi NA dan SDA dituangkan ke dalam tabung
reaksi secara terpisah secukupnya kemudian dimiringkan dan dilakukan secara
aseptis.
3.3.6.4 Peremajaan Mikroba Uji
Mikroba uji dari stok kultur murni ditanam pada media peremajaan yaitu
agar miring NA dan SDA lalu diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 OC untuk
bakteri dan 3-5 hari pada suhu kamar (25-27OC) untuk jamur.

3.3.6.5 Pembuatan Suspensi Mikroba Uji

38

Koloni mikroba uji sebanyak 1-2 ose disuspensikan dalam 5-9 mL


larutan NaCl fisiologis dalam tabung reaksi, kemudian dihomogenkan dengan
vorteks. Kekeruhan suspensi diukur dengan membandingkannya dengan standar
0.5 Mc Farland.
3.3.6.6 Pembuatan Larutan Sampel Uji
Fraksi heksana ditimbang sebanyak 10 mg lalu dilarutkan dengan larutan
DMSO dan dicukupkan hingga 1 ml sehingga didapatkan konsentrasi 1%b/v.
Kemudian dibuat beberapa konsentrasi menjadi 2%; 1%; 0,5%; 0,25%; dan
0,125%.
3.3.6.7 Pengujian Aktivitas Antimikroba
Sebanyak 0,1 ml suspensi mikroba uji dimasukkan ke dalam cawan petri
terpisah. Kemudian ke dalam masing-masing cawan petri dituangkan media NA
untuk bakteri dan SDA untuk jamur secukupnya hingga menutupi permukaan
bawah cawah petri, lalu dihomogenkan. Setelah media memadat, diletakkan kertas
cakram steril dan dicelupkan ke dalam tiap-tiap konsentrasi larutan uji. Dibiarkan
beberapa lama untuk pradifusi. Lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37OC
untuk bakteri (dalam inkubator) dan selama 3-5 hari pada suhu kamar (25-27 OC)
untuk jamur. Diamati adanya pertumbuhan mikroba uji dan diukur diameter
daerah hambatan dengan jangka sorong. Kontrol positif yang digunakan ialah
Kloramfenikol 3 mg/mL dan Ketokonazol 1 mg/mL sedangkan kontrol negatif
digunakan larutan DMSO.

39

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, G. (2007). Teknologi Bahan Alam (SF-2) Edisi Revisi. Bandung: Penerbit
ITB.
Badan Litbangkes Depkes RI. (2007). Laporan Riset Kesehatan Dasar. Jakarta;
2008: 275-8.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. (2008). Acuan Sediaan Herbal Volume
4 Edisi 1. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. (2013). Pedoman Teknologi Formulasi
Sediaan Berbasis Ekstrak Volume 2. Jakarta: Badan Pengawasan Obat
dan Makanan.
Belleville-Nabet, F. (1994). Zat Gizi Antioksidan Penangkal Senyawa Radikal
Pangan Senyawa Radikal dalam Sistem Biologis, Prosiding Seminar:
Senyawa Radikal dan Sistem Pangan; Reaksi Biomolekuler, Dampak
terhadap Kesehaatan, dan Penangkalan. Bogor.
Dachriyanus, Dianita, R., dan Jubahar, J. (2003). Uji Aktivitas Senyawa
Antimikroba dan Antioksidan Senyawa Hasil Isolasi dari Kulit Batang
Tumbuhan Garcinia cowa Roxb. Jurnal Natur Indonesia, 11(2), 109-114.
Dachriyanus, Putri A., dan Rustini. (2004). Isolasi senyawa antimikroba dari kulit
batang Garcinia griffithii T. Anders. Jurnal Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, 13(2), 114-118.
Darwati, Bahti, H.H., Dachriyanus, Supriyatna. (2009). Santon Terpenilasi Aktif
Antioksidan dari Kulit Batang Garcinia cowa Roxb. Jurnal Bionatura,
11(2), 129-136.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi
IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dwidjoseputro, D. (1982). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Elsyeida, (2005). Isolasi Senyawa Antikanker dari Kulit Batang Garcinia griffithii
T. Anders dan Uji Aktivitasnya dengan Metode Brine Shrimps Lethality
Assay. Skripsi S1. Universitas Andalas. Padang.
Fessenden dan Fessenden. (1997). Kimia Organik Edisi III Jilid I. Jakarta:
Erlangga.
Hadioutomo, R.S.. (1990). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta: PT.
Gramedia.

40

Harborne, J.B. (2006). Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan (alih bahasa: Kosasih Padmawinata & Iwang Soediro).
Bandung: Penerbit ITB.
Hostettman, K.M., Hostettman, M., dan Marston, A. (1986). Cara Kromatografi
Preparatif. (Alih bahasa: Kosasih P). Bandung: ITB.
Hossettman, K.M. dan Marston, A. (1995). Cara-Cara Kromatografi Preparatif:
Penggunaan pada Isolasi Senyawa Alam. (Alih Bahasa: Kosasi P),
Bandung: ITB.
Izzaddin S.A., Rahmani, M., Sukari, M.A., Lee, H., dan Ee, G.C.L. (2006).
Gamma Mangostin and Rubraxanthone Two Potential Lead Compounds
for Anticancer Activity against CEM-SS Cell Line. Natural Product
Science, 12(3), 138-143.
Jantan I., Pisar M., Idris Md.MS., Taher M., dan Ali RM. (2002). In vitro
Inhibitory Effect of Rubraxanthone Isolated from Garcinia parvifolia on
Platelet-Activating Factor Receptor Binding. Planta Med. 68L, 1133-113.
Joseph, G.S., Jayaprakasha, G.K., Selvi, A.T., Jena B.S., Sakariah, K.K. (2005).
Antiaflatoxigenic and Antioxidant Activities of Garcinia Extracts. Int. J.
Food Microbiol, 101, 153-160.
Karyadi, E. 1997. Antioksidan: Resep Awet Mudat dan Umur Panjang dari Uji
Aktivitas Antiradikal dengan Metode DPPH dan Penetapan Kadar Fenol
Total Ekstrak Daun Keladi Tikus (Thyponium divaricatum (Linn) Decne).
Pharmacon, 6(2), 51-56.
Lee H. & Chan H. (1997). 1,3,6-trihydroxy-7-methoxy-8-(3,7-dimethyl-2,6octadienyl) Xanthone from Garcinia cowa. Phytochemistry, 16, 2003820040.
Likhitwitayawuid, W,. Phadungcharoen T., Mahidol C. (1997). 7-OMethylgarcinone E from Garcinia cowa. Phytochemistry, 45(6), 12991301.
Likhitwitayawuid, W ., Chanmahasathien, N., Ruangrungsi, Krungkrai J. (1998).
Xanthones with Antimalarial Activity from Garcinia cowa. Planta med,
64, 281-282.
Lim, K.L. (2012). Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants Vol.2, Fruit,
Springer Dordrecht Heidelberg London New York.
Mahabusarakam, W., Chairerk, P., Taylor, W.C. (2005). Xanthones from Garcinia
cowa Roxb. latex. Phytochemistry, 66(2005), 1148-1153.
Marlinda, I., Klaim Vitamin E Untuk Kulit, http.//www.Republika.co.id. Diakses
pada 13 Juni 2016.

41

MHA, Erik Tapan. Dr. (2005). Kanker, Antioksidan, dan Terapi Komplementer.
Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo.
Murakami, A., Jiwajiinda, S., Koshimizu, K., dan Ohigashi, H. (1995). Screening
for In vitro Antitumor Promoting Activities of Edible Plants from
Thailand. Cancer Lett, 95, 137-146.
Na Patallung, P., Thongtheeraparp, W., Wiriyachitra, P., dan Taylor, W.C. (1994).
Xanthone of Garcinia cowa. Planta Med, 60(4), 365-368.
Na, Z., Song Q.S., dan Hu H.B. (2013). A New Prenylated Xanthone from Latex
of Garcinia cowa Roxb. Records Nat Prod, 7, 220-224.
Negi, P.S., Jayaprakasha, G.K., dan Jena, B.S. (2008). Antibacterial Activity of
The Extracts from The Fruit Rinds of Garcinia cowa and Garcinia
pedunculata against Food Borne Pathogens and Spoilage Bacteria. LWTFood Sci. Technol, 41, 1857-1861.
Niwa, Y. (1997). Radikal Bebas Mengundang Kematian. Jepang: NTV.
Panthong, K., Pongcharoen, S., Phongpaichit, Taylor, W.C. (2006).
Tetraoxygenated Xanthones from The Fruits of Garcinia cowa.
Phytochemistry, 67, 999-1004.
Parkash, A., Rigelhof, F., dan Miller, E. ( 2001). Activity Antioxidant.
Medallion Laboratories.
Pelezar Jr., M.J., dan R.D. Reid. (1985). Microbiology 2 nd Ed. London: McGrawHill Book Company.
Ritthiwigrom, T., Laphookieo, S., Pyne, G. (2013). Chemical Constituents and
Biological Activities of Garcinia cowa Roxb. Maejo International
Journal of Sciences and Technology, 7(2), 212-231.
Rullah, K., Dewi, R., Sia, S., Fadli, R., Fatria, D., Teruna, H.Y., Novita, G.,
Wahyuni, F.S., dan Dachriyanus. Potensi Kandis (Garcinia cowa Roxb)
Sebagai Herbal Antioksidan Alami.
Santoso, A. (2001). Isolasi Senyawa Bioaktif Berpotensi Antioksidan dari Daun
Benalu Teh Scurnilla atropurpurea (BL.), Danser. Skripsi S1. Jurusan
Kimia FMIPA. IPB.
Setiati, S. (2003). Radikal Bebas, Antioksidan, dan Proses Menua. Medika,
XXIX(6), 366.
Shen, J. dan Yang, J.H. (2006). Two New Xanthones from The Stems of Garcinia
cowa. Chem.Pharm.Bull, 54(1), 126-128.
Shen, J., Tian, Z., Yang, J.H. (2007). The Constituents from The Stems of
Garcinia cowa Roxb. and Their Cytotoxic Activities. Pharmazie, 62,
549-551.

42

Sibuea, P. (2003). Antioksidan Senyawa Ajaib Penangkal Penuaan Dini. Sinar


Harapan. Yogyakarta.
Silverstein R.M., dan Webster F.X. (1998). Spectrometric, Identification of
Organic Compounds Sixth Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Sitompul, B. (2003). Antioksidan dan Penyakit Aterosklerosis. Medika. XXIX(6),
373-377.
Sumarsih, S. (2003). Mikrobiologi Dasar. Yogyakarta: UPN Veteran.
Song, Q., Na, Z., dan Hu, H. (2013). A New Prenylated Xanthone from Latex of
Garcinia cowa Roxb. Academy of Chemistry of Globe Publications. 7(3),
220-224.
Supari, F. (1994). Radikal Bebas dan Patofisiologi Beberapa Penyakit, Prosiding
Seminar: Senyawa Radikal Daun Makanan serta Responnya dalam
Sistem Biologis. Bogor.
Suryohudoyo, P. (2000). Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta: CV.
Infomedika. 31-46.
Tjitrosoeomo, G. (1993). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Trisuwan, K. Dan Ritthiwigrom T. (2012). Benzophenone and Xanthone
Derivatives from The Inflorescent of Garcinia cowa. Arch Pharm Res,
35, 1733-1738.
Wahyuni, F.S., Byrne L.T., Dachriyanus, Dianita R., Jubahar J., dan Lajis N.H.
(2004). A New Ring-Reducted Tetraprenyltoluquinone and A Prenylated
Xanthone from Garcinia cowa. Aust J Chem.
Wahyuni, F.S. (2009). Isolation, Characterization, and Preliminary
Pharmacological Evaluation of Constituents of Garcinia cowa Roxb.
Disertasi. Malaysia: Universiti Putra Malaysia.
Wahyuni, F.S., Shaari, K., Stanslas, J., Lajis, N., dan Dachriyanus. (2015).
Cytotoxic Xanthones from The Stem Bark of Garcinia cowa Roxb.
Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 7(1), 227-230.
Werdhasari, A. (2014). Peran Antioksidan Bagi kesehatan. Pusat Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan Balitbangkes, Kemenkes RI. Jurnal Biotek
Medisiana Indonesia, 3(2), 59-68.
Williams B., dan Cuvelier W. (1995). Use of Free Radical Method to Evaluate
Antioxidant Activity. Food Science and Technology, 28(1), 25-30.

43

Lampiran 1. Skema Kerja


Daun segar asam kandis
(4 kg)
Dikumpulkan, dibersihkan, disortasi
basah, dan dijemur

Simplisia berupa daun


kering (2 kg)
Disortasi kering dan dihaluskan dengan
grinder

Serbuk halus simplisia


(200 g)
Pemeriksaan Kandungan
Kimia

Ekstraksi (sokletasi)
menggunakan heksana

Ekstrak simplisia fraksi


heksana
Penguapan pelarut dengan
rotary evaporator

Ekstrak kental simplisia


fraksi heksana

Uji Alkaloid, Terpenoid,


Steroid, Flavonoid,
Saponon, dan Fenolik

Pengujian Aktivitas

Antioksidan

Antimikroba

Metode Penangkapan
DPPH

Metode
Difusi Agar

Microplate
reader

Cara Tuang

Anda mungkin juga menyukai