Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tumbuhan merupakan sumber alam yang sangat besar perannya bagi
kehidupan manusia, baik dari nilai lingkungan, pertanian, ekonomi, pangan, dan
nilai penunjang lainnya. Salah satu nilai penunjang dari tumbuhan ialah
kandungan kimia yang terkandung di dalamnya yang dapat digunakan sebagai
bahan obat ataupun bahan baku obat. Kandungan kimia dari tumbuhan sering
memberikan efek fisiologis maupun farmakologis. Oleh karena itu, kandungan
kimia lebih dikenal dengan senyawa kimia aktif. Senyawa kimia aktif ini
merupakan hasil metabolisme sekunder dari tumbuhan itu sendiri dengan
penyebaran dan jumlahnya dalam tiap bagian tumbuhan tidaklah sama (Ibrahim,
S., 1988).
Sejak zaman dahulu sampai zaman modern sekarang, manusia
menggunakan ekstrak tumbuhan untuk mengobati berbagai penyakit. Pengobatan
dengan menggunakan tumbuhan obat dipercaya lebih aman karena mempunyai
kadar toksik dan efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan
menggunakan obat sintesis (Stanley, dkk.,2003). World Health Organization pada
tahun 1985 memprediksi bahwa sekitar 80% penduduk dunia telah memanfaatkan
tumbuhan obat untuk memelihara kesehatan (Dorly, 2005).
Indonesia

merupakan

salah

satu

dari

tujuh

negara

dengan

keanekaragaman hayati (mega biodiversity). Dalam hal ini Indonesia menduduki


peringkat kedua setelah Brazil (Mangunjaya, 2006). Hal tersebut menjadi potensi
yang besar untuk pengembangan obat baru. Lebih dari 1000 spesies tumbuhan
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Tumbuhan tersebut menghasilkan

metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas biologis yang beraneka
ragam sehingga memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi
obat baru (Lisdawati, dkk., 2007).
Garcinia cowa Roxb. (Guttiferae, Cluciaceae), secara umum dikenal
dengan nama kandis di Indonesia atau asam kandih (Sumatera Barat) dan cha
muang (Thailand). Tanaman asam kandis telah banyak digunakan oleh masyarakat
pada hampir seluruh bagiannya, seperti batang, kulit batang, daun, bunga, buah,
akar, dan getah. Di Indonesia, buah kering asam kandis umumnya digunakan
sebagai bumbu masak, sedangkan di Thailand air seduhan dari kulit batang asam
kandis telah digunakan untuk menurunkan panas (antipiretik) (Darwati, dkk.,
2009). Daun dan buah telah digunakan untuk memperlancar peredaran darah dan
pengencer dahak pada batuk pilek (Panthong, dkk., 2006).
Di Sumatera Barat, masyarakat sudah sejak lama memanfaatkan olahan
kulit buah asam kandis sebagai bumbu rempah pada masakan rendang, sate
padang, gulai kepala ikan, kari, maupun gulai asam padeh ikan. Di samping itu,
olahan kulit buah tersebut dipercaya sebagai obat penurun kolesterol maupun
sebagai obat pelangsing tubuh.
Tumbuhan Garcinia ini kaya dengan metabolit sekunder, terutama
triterpenoid, flavonoid, xanton, dan florogusinol. Xanton dan florogusinol
merupakan penanda kemotaksonomi untuk genus ini. (Wahyuni, dkk., 2015).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa tanaman asam kandis
mengadung xanton, xanton terpenilasi, maupun xanton tetraoksigenasi pada
hampir semua bagiannya seperti pada akar, batang, kulit batang, daun, buah, dan

getahnya (Wahyuni, dkk., 2004; Mahabusarakam, dkk., 2005; Shen dan Yang.,
2005; Panthong, dkk., 2006; Darwati, dkk., 2009).
Pada kulit batang terdapat [2E,6E,10E]-(+)4a-hydroxy-3-methyl-5a(3,7,11,15-tetramethyl-2,6,10,14-hexadecatetraenyl-2

cyclohexen-1-one;

2-(3-

methyl-2-butenyl)-1,5,6-trihydroxy-3-methoxy-4-1(1,1-dimethyl-2 propenyl)-9Hxanthen-9one, dan rubraxanthone (Wahyuni, dkk., 2004), kowanin (Darwati,


dkk., 2009), kowanol, kowasanton, dan norkowanin (Na Pattalung, dkk., 1994).
Dari kulit batang asam kandis berhasil diisolasi senyawa xanton tetraoksigenasi
ditetapkan sebagai kowanin yang mempunyai aktivitas antikanker payudara T47D
(Dachriyanus, dkk., 2009), dan telah diisolasi juga senyawa rubraxanthone (Lee,
dkk., 1997; Mahabusarakam, dkk., 1983) yang memiliki aktivitas antimikroba dan
antioksidan (Dachriyanus dkk., 2003) dan juga sebagai antikanker terhadap sel
kanker CEM-SS (Izzaddin, dkk., 2006).
Mahabusarakam, dkk. (2005) telah berhasil mengisolasi senyawa kowa
garsinon A-E, mangostin, dan fuskaxanthone A dari getah G. cowa. Panthong,
dkk. (2006) berhasil mengisolasi 14 senyawa diantaranya -mangostin,
kowaxanton A-E, dan kowanin. Wahyuni, dkk. (2004) juga telah berhasil
mengisolasi senyawa rubraxanton dari kulit batang G. cowa.
Telah dilaporkan ekstrak heksana dan ekstrak kloroform kulit buah asam
kandis memiliki daya hambat potensial terhadap Aspergillus flavus ATCC 46283
(Jena, dkk., 2005). Ekstrak daun dan ranting asam kandis memiliki aktivitas
antikolesterol, sedangkan rantingnya memiliki potensi sebagai antiplatelet (Jantan,
dkk., 2002).

Hingga saat ini, tumbuhan G. cowa masih terus diteliti karena tidak
hanya banyak digunakan secara tradisional tetapi juga menjadi sumber bahan obat
yang potensial. Hampir pada semua bagian tanaman ini sudah diteliti.
Berdasarkan penelusuran data-data hasil penelitian, didapatkan bahwa pada
bagian kulit batang dan kulit buah yang banyak memberikan informasi terkait
kandungan sumber senyawa kimia aktif dan bioaktivitasnya, sehingga masih
sedikit pula informasi yang didapatkan pada bagian tumbuhan lainnya. Untuk itu,
peneliti ingin mengembangkan sumber senyawa kimia aktif pada salah satu
bagian tumbuhan lainnya yaitu daun. Hal ini dikarenakan ketersediaan daun di
alam sangatlah banyak dan jarang digunakan bila dibandingkan bagian tumbuhan
lainnya sehingga perlu dieksplorasi lebih lanjut. Hasil peneltian sebelumnya, telah
dilaporkan beberapa senyawa potensial dari fraksi diklorometana dari daun G.
cowa,

yakni

garcinisidone-A;

methyl
dan

2.4.6-trihydroxy-3-(3-methylbut-2-enyl)benzoate;

3-(1-methyl-2-butenyl)-1,4-benzoquinone.

Senyawa-

senyawa ini memiliki aktivitas sebagai agen sitotoksik terhadap sel kanker
payudara (MCF-7) dan paru-paru (H-460) (Wahyuni, dkk., 2015). Dengan
demikian, peneliti tertarik untuk mengisolasi sumber kandungan senyawa kimia
aktif dari daun G. cowa namun dari fraksi yang berbeda yaitu fraksi heksana. Hal
ini dapat dilakukan karena diklorometana dan heksana memiliki tingkat kepolaran
yang berbeda. Kemudian, peneliti juga ingin menguji bioaktivitas dari hasil isolasi
yang didapatkan.
Metode yang digunakan untuk penelitian ini meliputi ekstraksi dengan
cara sokletasi menggunakan pelarut heksana. Alasan pemilihan ekstraksi dengan
cara sokletasi ialah agar tercapainya ekstraksi senyawa secara sempurna dengan

pelarut yang sesuai sehingga akan didapatkan lebih banyak ekstrak bila
dibandingkan dengan cara ekstraksi lainnya. Ekstrak heksana yang diperoleh
diuapkan secara in vacuo hingga didapatkan ekstrak kental. Pemisahan senyawa
yang dituju dilakukan dengan cara kromatografi kolom yang dimonitor dengan
kromatografi lapis tipis serta dilanjutkan dengan pemurnian senyawa secara
rekristalisasi. Karakterisasi senyawa hasil isolasi meliputi pemeriksaan secara
organoleptis, fisika, kimia, dan elusidasi struktur secara fisikokimia yang meliputi
spektrofotometer ultraviolet (UV), inframerah (IR), dan resonansi magnet inti
(NMR). (Dachriyanus, 2004; Harbourne, J. B.,1987).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian
adalah :
1. Apakah suatu senyawa metabolit sekunder hasil isolasi dari fraksi heksana
daun Garcinia cowa Roxb.?
2. Bagaimana karakteristik suatu senyawa hasil isolasi dari fraksi heksana daun
Garcinia cowa Roxb.?
3. Bagaimana bioaktivitas suatu senyawa hasil isolasi dari fraksi heksana daun
Garcinia cowa Roxb.?

1.3.

Tujuan Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian

adalah:
1. Mengetahui suatu senyawa metabolit sekunder hasil isolasi dari fraksi
heksana daun Garcinia cowa Roxb.
2. Mengetahui karakteristik suatu senyawa hasil isolasi dari dari fraksi heksana
daun Garcinia cowa Roxb.
3. Mengetahui bioaktivitas suatu senyawa hasil isolasi dari fraksi heksana daun
Garcinia cowa Roxb.

1.4.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan informasi ilmiah

tentang metabolit sekunder, karakteristik, dan bioaktivitas dari suatu senyawa


hasil isolasi dari fraksi heksana daun Garcinia cowa Roxb. sebagai sumber bahan
obat baru yang potensial.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tinjauan Botani Garcinia cowa Roxb.
2.1.1 Klasifikasi
Tumbuhan Garcinia cowa Roxb. dikategorikan sebagai berikut
(Tjitrosoemo, 1993) :
Kingdom
Divisi
Sub Divisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus

: Plantae
: Spermatophyta
: Angiospermae
: Dicotyledoneae
: Guttiferales
: Guttiferae
: Garcinia

Spesies
2.1.2

: Garcinia cowa Roxb.

Sinonim dan Nama Daerah


Cuithekera, Kangach, Kujithekera, Kau, Cowa (India), Yun Nan
Shan Zhu Zi, Yun Shu (Cina), Kowa Ganboji (Jepang), Kandis (Malaysia),
Kaphal (Nepal), Pildis, Paninginen, Bilukau (Filipina), Doc, Tai Chua
(Vietnam) (Lim, 2012).

2.1.3

Morfologi Tumbuhan
Garcinia cowa Roxb. merupakan tumbuhan khas Asia yang banyak

tersebar di Asia Tenggara dan Cina Tenggara (Song, dkk., 2013). Tumbuhan ini
termasuk pohon kecil hingga menengah, bercabang, hijau, tinggi batang 8-20 m
dengan diameter 15-30 cm, dan kadang-kadang 90 cm. Kulit batang berwarna
gelap-coklat dengan getah berwarna kuning lemon. Daun sederhana berukuran 615 x 2,5-6,0 cm, hijau mengkilap, tebal, meruncing pada kedua ujung daun,
dengan 12-18 pasang tulang daun. Daun muda lembut, berwarna kemerahan
hingga perunggu (Lim, 2012). Bunga uniseksual, bunga uniseksual adalah bunga
betina berwarna kuning orange ditemukan pada akhir cabang dan bunga jantan
ditemukan di sepanjang cabang-cabang dalam suatu kelompok. Buah bulat
berukuran 2,5-6,0 cm, hijau ketika muda, dan kusam, dan kuning ketika masak
(Ritthiwigrom, dkk., 2013).
2.2.

Kandungan Kimia
Garcinia cowa Roxb. (Guttiferae) di Sumatera Barat dikenal dengan

nama asam kandis. Garcinia kaya dengan metabolit sekunder, terutama


triterpenoid, flavonoid, xanton dan florogusinol. Xanton dan florogusinol
merupakan penanda kemotaksonomi untuk genus ini. Studi aktivitas biologis pada

spesies ini menunjukkan bahwa daun memiliki aktivitas antitumor, sementara


kulit kering memiliki aktivitas antimalaria (Wahyuni, dkk., 2015).
Komposisi kimia dan aktivitas biologis dari berbagai bagian dari G.
cowa telah dilaporkan. Laporan sebelumnya pada daun segar, buah, dan kulit buah
kering dari G. cowa telah dilaporkan dan ditemukan bahwa (-)-hidroxycitric acid
dan konstituen laktonnya merupakan komponen utama (Jena, dkk., 2002).
Pada kulit batang terdapat [2E,6E,10E]-(+)4a-hydroxy-3-methyl-5a(3,7,11,15-tetramethyl-2,6,10,14-hexadecatetraenyl-2

cyclohexen-1-one;

2-(3-

methyl-2-butenyl)-1,5,6-trihydroxy-3-methoxy-4-1 (1,1-dimethyl-2-propenyl)-9Hxanthen-9one; dan rubraxanthone (Wahyuni, dkk., 2004), kowanin (Darwati,


dkk., 2009), kowanol, kowasanton, dan norkowanin (Na Pattalung, dkk., 1994).
Di samping itu juga terdapat 2-(-methyl-2-butenyl)-1,5,6-trihydroxy-3-methoxy-4(1,1-dimethyl-2-propenyl)-9H-xanthen-9-one;

1,3,6-trihidroxy-7-methoxy-4-

(acetoxy-3-methyl-2-butenyl)-8-(3,7-dimethyl-2,6-octadienyl) xanthone (Wahyuni,


2009).
Pada kulit buah terdapat senyawa xanton tetraoksigenasi, yaitu
kowaxanton A-E (Panthong, dkk., 2006). Pada getah berhasil diisolasi lima
senyawa xanthon, yaitu cowagarcinone A-E (Mahabusarakam, dkk., 2005),
senyawa

xanton

terpenilasi,

yaitu

1.6-dihydroxy-3,7-dimethoxy-2-(3,7-

dimethyloct-2,6-dienyl) xanthone (3-O-methylcowaxanthone) (Na, dkk., 2013).


Pada bunga mengandung senyawa cowanone, -mangostin, -mangostin,
cowanin, fuscaxanthone A, 9-hydroxycalabaxanthone, garcinianone A, dan
cowanol (Trisuwan, 2012).
Potensial daun G. cowa dari daerah Sumatera Barat, Indonesia telah
dilaporkan. Tiga senyawa, yaitu methyl 2.4.6-trihydroxy-3-(3-methylbut-2-

enyl)benzoate

(1),

garcinisidone-A

(2),

dan

3-(1-methyl-2-butenyl)-1,4-

benzoquinone (3) telah berhasil diisolasi (Wahyuni, dkk., 2015).


2.3 Khasiat dan Kegunaan
Banyak dari bagian G. cowa telah dimanfaatkan pada obat tradisional.
Pada kulit, getah, dan akar telah digunakan sebagai agen antipiretik
(Mahabusarakam, dkk., 2005; Pathong, dkk., 2009), sedangkan buah dan daundaun digunakan pada gangguan pencernaan, meningkatkan sirkulasi darah, dan
sebagai ekspektoran (Pathong, dkk., 2006). Beberapa senyawa farmakologis
seperti promosi antitumor (Murakami, dkk., 1995), penghambatan peroksidasi
Low Density Lipoprotein (LDL) manusia dan aktivitas antiplatelet telah
dilaporkan dari ekstrak mentah daun (Jantan, dkk., 2011).
Di Indonesia, buah kering asam kandis umumnya digunakan sebagai
bumbu masak. Di Thailand, air seduhan dari kulit batang asam kandis telah
digunakan untuk menurunkan panas. Tanaman asam kandis ini telah digunakan
oleh masyarakat baik berupa kulit batang, batang, buah daun, getah, bunga, dan
akar dalam berbagai bidang. Buahnya dapat dimakan sebagai manisan atau
penyedap masakan atau rempah-rempah. Daun dan buah juga telah digunakan
untuk memperlancar perederan darah dan pengencer dahak pada batuk pilek.
Berdasarkan penelurusan literatur, ekstrak tumbuhan G. cowa Roxb.
memiliki banyak khasiat baik pada kulit batang, batang, buah, akar, daun, bunga,
dan getah. Kulit batang diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologis
seperti antipiretik (Darwati, dkk., 2009), antioksidan (Rullah, dkk.), antimalaria
(Likhitwitayawuid, dkk., 1998), dan antikanker terhadap sel kanker payudara
(T47D dan MCF-7) dan sel kanker paru-paru (H-460) (Darwati, dkk., 2009;
Wahyuni, dkk., 2015). Getah tumbuhan ini memiliki aktivitas sebagai antimalaria

10

(Likhitwitayawuid, dkk., 1998), sitotoksik terhadap sel kanker HL-60, SMMC7721, A-549, MCF-7, dan SW480 (Na, dkk., 2013).
Bunga G. cowa Roxb. aktif menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus (SA) dan Methicillin resistant staphylococcus aureus
(MRSA) (Trisuwan, 2012). Buah segar tumbuhan ini memiliki aktivitas
antibakteri terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dsn MRSA SK1
(Panthong, dkk., 2006). Kulit buah G. cowa Roxb. memiliki efek sitotoksik
terhadap sel kanker payudara T47D, menghambat pertumbuhan bakteri gram
positif, seperti Bacillus cereus, Bacillus coagulans, Bacillus subtilis, dan
Staphylococcus aureus, dan bakteri gram negatif, seperti Escherichia coli (Negi,
dkk., 2008) dan dapat menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus flavus ATCC
46283 (Joseph, dkk., 2005).
2.4 Metode Isolasi Senyawa Organik Bahan Alam
2.4.1 Ekstraksi
Senyawa metabolit sekunder biasanya terdapat dalam organisme
dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu biasanya dalam proses
isolasi dimulai dari sampel yang jumlahnya banyak, minimal 2 kg sampel
kering

yang

sudah

dihaluskan.

Pekerjaan

isolasi

membutuhkan

keterampilan dan pengalaman dalam memadukan berbagai teknik


pemisahan. Untuk mendapatkan senyawa murni biasanya peneliti
menggunakan beberapa teknik ekstraksi dan kromatografi. Teknik
ekstraksi senyawa organik bahan alam yang biasa digunakan antara lain
maserasi,

perkolasi,

infudasi,

dan

sokhletasi.

Sedangkan

teknik

kromatografi yang biasa digunakan antara lain Kromatografi Lapis Tipis


(KLT), Kromatografi Vakum Cair (KVC), Kromatografi Kolom Gravitasi

11

(KKG), dan kromatotron (Centrifugal Chromatography). Pemilihan jenis


metode biasanya dilakukan berdasarkan pengalaman peneliti maupun hasil
penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya (Hoestettman, K., dkk., 1986;
Harborne, J.B., 2006; Sudjadi, 1988; Hardjono Sastrohamidjojo, 2005)
Langkah pertama yang biasanya dilakukan dalam isolasi senyawa
organik bahan alam adalah ekstraksi sampel menggunakan pelarut organik.
Ada beberapa metode ekstraksi sampel bahan alam, antara lain maserasi,
infusdasi, digesti, perkolasi dan soxletasi (Atun, 2014).
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya
dengan menggunakan pelarut. Untuk melakukan ekstraksi bahan tanaman
secara sempurna sebaiknya dipilih pelarut ideal dalam ekstraksi. Pelarut
ideal adalah pelarut yang menunjukkan selektivitas maksimal, dan
kompatibel dengan sifat-sifat bahan yang diekstraksi. Pelarut ekstraksi
yang bersifat toksik memang harus dihindari, namun pelarut yang akan
digunakan dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan suhu didih agar
mudah diuapkan di antaranya etil asetat dapat digunakan dengan
pertimbangan suhu didih 77,14OC, selain itu metode pengeringan ekstrak
yang semakin baik seperti dengan menggunakan vaccum freeze dryers dan
atomizer berpengaruh dalam memperoleh ekstrak yang sesuai untuk
pembuatan sediaan farmasi (Agoes, 2007).
2.4.1.1 Ekstraksi Dingin
2.4.1.1.1 Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar) (Departemen Kesehatan RI, 2000). Keuntungan dari proses
maserasi adalah pengerjaanya mudah dan peralatannya mudah dan sederhana

12

sedangkan kekurangannya adalah waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi


bahan cukup lama, penyarian kurang sempurna, dan pelarut yang digunakan
jumlahnya banyak (BPOM, 2013).
2.4.1.1.2 Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna
(Exhaustiva extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana
silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses terdiri dari tahap
pengembangan bahan, maserasi antara, perkolasi sebenarnya (penetesan/
penampungan ekstrak), dan terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat)
yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000). Perkolasi umunya digunakan
untuk mengekstraksi serbuk kering terutama simplisia yang keras seperti kulit
batang, kulit buah, biji, kayu, dan akar. Penyari yang digunakan umunya adalah
etanol atau campuran etanol-air. Dibandingkan dengan metode maserasi, metode
ini tidak memerlukan tahapan penyarian perkolat, namun kerugiannya adalah
waktu yang dibutuhkan lebih lama dan jumlah penyari yang digunakan lebih
banyak (BPOM, 2013).
2.4.1.2 Ekstraksi Panas
2.4.1.2.1 Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan penggulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna
(Depkes RI, 2000).
2.4.1.2.2 Sokletasi

13

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang


umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Biomassa
ditempatkan dalam dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas saring, melalui
alat ini pelarut akan terus direfluks. Alat soklet akan mengosongkan isinya ke
dalam labu dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Setelah pelarut
segar melawati alat ini melalui pendingin refluks, ekstraksi berlangsung sangat
efisien dan senyawa dari biomasa secara efektif ditarik ke dalam pelarut karena
konsentrasi awalnya rendah dalam pelarut (Depkes RI, 2000).
2.4.1.2.3 Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu)
pada temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-500C (Depkes RI, 2000). Metode ini digunakan untuk
simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasam. Keuntungan dari
metode ini adalah zat aktif yang tersari lebih bnayak dan waktu
ekstraksinya lebih singkat dibandingkan dengan metode maserasi (BPOM,
2013).
2.4.1.2.4

Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,
temperatur terukur 96-98OC selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes
RI, 2000). Metode ini digunakan untuk menyari kandungan aktif dari
simplisia yang larut dalam air panas. Penyarian dengan cara ini
menghasilkan sari yang tidak stabil, mudah tercemar oleh bakteri dan
jamur sehingga sari yang diperoleh harus segera diproses sebelum 24 jam.

14

Biasanya cara ini banyak digunakan oleh perusahaan obat tradisional


(BPOM, 2013).
2.4.1.2.5

Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (suhu lebih dari
30OC) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000). Dekok
adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi sediaan herbal
dengan air pada suhu 90OC selaam 30 menit (BPOM, 2008).

2.4.2

Kromatografi (Atun, 2014; Hardjono Sastrohamidjojo, 2005; Harjono


Sastrohamidjojo, 2007; Pavia, D.L, 2007; Silverstein R.M., 1998)
Langkah berikutnya setelah diperoleh ekstrak dalam isolasi
senyawa organik bahan alam adalah pemisahan komponen-komponen
yang terdapat dalam ekstrak tersebut. Teknik yang banyak digunakan
adalah kromatografi. Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran
berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium
tertentu. Pada kromatografi, komponen-komponennya akan dipisahkan
antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan
menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat
komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase diam
akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak
akan bergerak lebih cepat. Beberapa teknik kromatografi yang banyak
digunakan antara lain Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi
Kolom Vakum (KVC), Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG), dan
kromatotron.

15

2.4.2.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi lapis

tipis

adalah suatu teknik pemisahan

komponen-komponen campuran suatu senyawa yang melibatkan partisi


suatu senyawa di antara padatan penyerap (adsorben, fasa diam) yang
dilapiskan pada plat kaca atau aluminium dengan suatu pelarut (fasa
gerak) yang mengalir melewati adsorben. Pengaliran pelarut dikenal
sebagai proses pengembangan oleh pelarut (elusi). KLT mempunyai
peranan penting dalam pemisahan senyawa organik maupun senyawa
anorganik karena relatif sederhana dan kecepatan analisisnya. Di dalam
analisis dengan KLT, sampel dalam jumlah yang sangat kecil ditotolkan
menggunakan pipa kapiler di atas permukaan plat tipis fasa diam
(adsorben), kemudian plat diletakkan dengan tegak dalam bejana
pengembang yang berisi sedikit pelarut pengembang. Oleh aksi kapiler,
pelarut mengembang naik sepanjang permukaan lapisan plat dan
membawa komponen-komponen yang terdapat dalam sampel.
Pemilihan fasa gerak yang tepat merupakan langkah yang sangat
penting untuk keberhasilan analisis dengan KLT. Umumnya fasa gerak
dalam KLT ditemukan dengan coba-coba dan jarang sekali yang
didasarkan pada pengetahuan yang mendalam. Sifat-sifat pelarut
pengembang juga merupakan faktor dominan dalam penentuan mobilitas
komponen-komponen campuran. Umumnya kemampuan suatu pelarut
pengembang untuk menggerakkan senyawa pada suatu adsorben
berhubungan dengan polaritas pelarut. Kemampuan ini disebut kekuatan
elusi dan urutan kekuatan elusi beberapa pelarut yaitu air > metanol >

16

etanol > aseton > etil asetat > kloroform > dietil eter > metilen diklorida >
benzena > toluena > karbon tetraklorida > heksan > petroleum eter.
Identifikasi senyawa yang telah terpisah pada lapisan tipis dapat dilakukan
dengan

menggunakan

reaksi

penampak

noda

maupun

dideteksi

menggunakan lampu UV (254 atau 356 nm) untuk senyawa-senyawa yang


dapat menyerap warna.
2.4.2.2 Kromatografi Vakum Cair (KVC)
Kromatografi vakum cair digunakan untuk fraksinasi ekstrak total
secara cepat. Teknik ini dapat digunakan dengan menggunakan kolom
kromatografi yang dihubungkan dengan pompa vakum, dengan isian
kolom silika gel untuk KLT (10-40 m). Sebagai eluen digunakan
campuran pelarut dari yang non polar secara bertahap ke yang polar. Hasil
pemisahan dari kromatografi vakum cair adalah fraksi-fraksi yang dapat
dikelompokkan menjadi kelompok senyawa non polar, semi polar, dan
polar.
Kromatografi

vakum

cair

merupakan

modifikasi

dari

kromatografi kolom gravitasi. Metode ini lebih banyak digunakan untuk


fraksinasi sampel dalam jumlah besar (10-50 g). Kolom yang digunakan
biasanya terbuat dari gelas dengan lapisan berpori pada bagian bawah.
Ukuran kolom bervariasi tergantung sampel yang digunakan. Kolom
disambungkan dengan penampung eluen yang dihubungkan dengan
pompa vakum. Pompa vakum akan menghisap eluen dalam kolom,
sehingga proses pemisahan berlangsung lebih cepat. Penggunaan tekanan
dimaksudkan agar laju aliran eluen meningkat sehingga meminimalkan

17

terjadinya proses difusi karena ukuran silika gel yang biasanya digunakan
pada lapisan kromatografi KLT sebagai fasa diam dalam kolom yang halus
yaitu 200-400 mesh.
Kolom yang digunakan berukuran lebih pendek daripada kolom
kromatografi gravitasi dengan diameter yang lebih besar (5 -10 cm).
Kolom KVC dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh
kerapatan kemasan maksimum. Sampel yang akan dipisahkan biasanya
sudah diadsorbsikan ke dalam silika kasar terlebih dahulu (ukuran silika
kasar 30-70 mesh) agar pemisahannya lebih teratur dan menghindari
sampel langsung menerobos ke dinding kaca tanpa melewati adsorben
terlebih dahulu, yang dapat berakibat gagalnya proses pemisahan. Pelarut
yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penyerap yang
sebelumnya sudah dimasukkan sampel. Kolom dihisap perlahan-lahan ke
dalam kemasan dengan memvakumkannya. Kolom dielusi dengan
campuran pelarut yang cocok, mulai dengan pelarut yang kepolarannya
rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan. Kolom dihisap sampai
kering pada setiap pengumpulan fraksi, sehingga kromatografi vakum cair
disebut juga kolom fraksinasi.
2.4.2.3 Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG)
Kromatografi kolom gravitasi dapat digunakan untuk pemisahan
dan

pemurnian

senyawa

yang

telah

difraksinasi

menggunakan

kromatografi vakum cair. Teknik ini dapat dilakukan dengan kolom


diameter ukuran 1-3 cm dan panjang kolom 50 cm. Sebagai adsorben
digunakan silika gel GF 60 (200-400 mesh). Tinggi adsorben yang biasa

18

digunakan berkisar 15-20 cm. Eluen yang digunakan menggunakan


campuran pelarut polar dan non polar dengan perbandingan yang sesuai.
Pemisahan dengan kromatografi kolom gravitasi biasanya akan diperoleh
hasil yang baik apabila digunakan campuran pelarut yang dapat
memisahkan komponen pada Retention Factor (Rf) kurang dari 0,3 pada
uji coba dengan KLT.
2.4.2.4 Kromatotron
Kromatotron atau kromatograsi sentrifugal merupakan kromatografi
menggunakan alat yang disebut kromatotron. Teknik pemisahannya menggunakan
gaya sentrifugal dan gravitasi. Dalam teknik ini digunakan silika gel untuk KLT
yang berfloresensi. Prinsip pemisahan dengan kromatotron sama dengan
kromatografi lainnya, tetapi pemisahan akan berlangsung lebih cepat, oleh karena
ada gaya sentrifugal yang akan mempercepat proses penyerapan pelarut yang
membawa komponen yang dipisahkan.

Penggunaan gabungan sedikitnya tiga macam teknik kromatografi di atas


sudah dapat digunakan untuk memisahkan dan memurnikan senyawa organik
bahan alam. Akan tetapi, diperlukan ketrampilan dalam penggunaan, ketepatan
dalam memilih jenis kromatografi, serta ketepatan pemilihan eluen yang sesuai.
Hasil pemisahan secara kromatografi selanjutnya diperoleh fraksi-fraksi yang
ditampung dalam botol atau tabung dan dianalisis dengan lampu UV pada panjang
gelombang 254 atau 356 nm atau disemprot dengan reagen warna. Salah satu
reagen warna yang banyak digunakan antara lain serium sulfat yang dapat
mendeteksi hampir semua senyawa bahan alam, maupun reagen yang khusus

19

seperti Lieberman Burchard untuk mendeteksi terpenoid dan steroid. Fraksi-fraksi


yang telah dinalisis secara KLT selanjutnya dikelompokkan berdasarkan jumlah
senyawa maupun Rf-nya yang sama digabungkan untuk dianalisis lebih lanjut.
Pemisahan dianggap cukup apabila sudah diperoleh fraksi yang menunjukkan
noda tunggal pada beberapa uji KLT dengan menggunakan berbagai variasi eluen
yang berbeda. Adanya noda tunggal pada beberapa uji KLT tersebut menunjukkan
bahwa sudah diperoleh senyawa dengan tingkat kemurnian tinggi.

2.4.3

Identifikasi Senyawa Organik Bahan Alam (Atun, 2014; Hardjono


Sastrohamidjojo, 2005; Harjono Sastrohamidjojo, 2007; Pavia, D.L, 2007;

Silverstein R.M., 1998)


2.4.3.1 Metode Pereaksi Warna
Pengujian kandungan kimia secara kualitatif terhadap ekstrak atau
senyawa murni dapat dilakukan secara sederhana untuk menentukan
golongan senyawa yang diperoleh. Secara rinci beberapa pengujian
sederhana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Uji sterol dan triterpenoids : Ekstrak metanol dilarutkan dalam kloroform,
disaring, dan filtrat diuji untuk sterol dan triterpenoid.
2. Uji Salkowski : Beberapa tetes asam sulfat pekat ditambahkan ke larutan
kloroform, kemudian diamati untuk warna merah di lapisan bawah untuk
sterol, dan warna kuning keemasan menunjukkan adanya Triterpenoid.
3. Uji Libermann Buchard : Beberapa tetesan hidrida asetat ditambahkan ke
dalam larutan kloroform, kocok dan teteskan 1 ml asam sulfat pekat dengan
hati-hati ditambahkan dari sisi tabung reaksi. Jika berwarna coklat kemerahan

20

menunjukkan adanya sterol dan cincin merah menunjukkan adanya


triterpenoid.
4. Uji alkaloid : 0,5 g ekstrak diencerkan secara terpisah untuk 10 ml dengan
alkohol asam, direbus, dan disaring. 5 ml filtrat ditambahkan 2 ml encer
amonia. 5 ml kloroform ditambahkan dan kocok dengan lembut untuk
mengekstrak alkaloid. Lapisan kloroform diekstraksi dengan 10 ml asam
asetat, dan dibagi dalam 3 bagian, dan diuji sebagai berikut:
a. Uji Dragendroff (kalium nitrat - bismut) : Beberapa tetes larutan Dragendroff
ditambahkan ke dalam larutan kloroform, endapan coklat kemerahan
menunjukkan adanya alkaloid.
b. Uji Mayer (Kalium iodida - merkuri) : Beberapa tetes reagen Mayer
ditambahkan ke dalam larutan kloroform, jika terbentuk endapan putih
menunjukkan adanya alkaloid.
c. Uji Wagner (Yodium - kalium iodida dalam) : Beberapa tetes larutan Wagner
ditambahkan ke dalam larutan kloroform, jika terbentuk endapan coklat
menunjukkan adanya alkaloid.
5. Uji Saponin (Foam Test) : 0.5 g ekstrak ditambahkan 5 ml air suling dalam
tabung reaksi. Larutan dikocok dengan kuat dan diamati terbentuknya buih
yang stabil. Buih itu dicampur dengan 3 tetes minyak zaitun dan dikocok
dengan kuat setelah itu diamati pembentukan emulsi.
6. Uji flavonoid : Sampel dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, sebanyak 2 ml
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan tambahkan beberapa tetes larutan
FeCl3, apabila terbentuk warna ungu menunjukkan positif adanya flavonoid.
2.4.3.2 Metode Spektroskopi
Elusidasi struktur molekul senyawa organik merupakan tahapan
terpenting dari penggunaan analisis spektroskopi modern. Dalam elusidasi
struktur molekul untuk menentukan struktur senyawa hasil sintesis jauh
lebih mudah daripada elusidasi senyawa hasil isolasi. Oleh karena analisis

21

struktur molekul dari hasil sintesis sudah dapat diprediksi struktur


molekulnya berdasarkan reaktan yang digunakan serta mekanisme
reaksinya. Sedangkan dalam elusidasi struktur molekul senyawa hasil
isolasi relatif lebih rumit karena struktur molekul yang sangat banyak
kemungkinannya. Untuk mempermudah analisis struktur senyawa hasil
isolasi,

biasanya

diperlukan

pengetahuan

sebelumnya

mengenai

keragaman struktur senyawa yang telah diperoleh dari tumbuhan yang


memiliki kekerabatan yang dekat, misalnya merupakan tumbuhan dalam
genus atau famili yang sama. Biasanya senyawa yang ditemukan dari
tumbuhan dalam satu genus atau famili memiliki hubungan kekerabatan
senyawa metabolit sekundernya. Selanjutnya, sebagai tambahan informasi
untuk mempermudah dalam analisis struktur senyawa hasil isolasi juga
diperlukan data sifat fisik seperti kelarutan, titik leleh, maupun jenis
pelarut yang digunakan dalam proses pemisahan.
Metode spektroskopi yang biasanya digunakan untuk identifikasi
struktur antara lain spektroskopi ultraviolet (UV), inframerah (IR),
resonansi magnet inti (NMR), dan massa. Spektroskopi UV untuk
identifikasi adanya gugus kromofor (fenolik, ikatan rangkap, dll),
spektroskopi IR untuk identifikasi adanya gugus fungsional (hidroksil,
aromatik, karbonil, dsb), spektroskopi NMR (1H dan 13C). 1H NMR
untuk menentukan jumlah dan lingkungan proton (atom H dalam
senyawa), 13C NMR untuk menentukan jumlah atom karbon dalam
senyawa, sedangkan untuk menentukan massa atom relatif (Mr) digunakan
MS.

22

Namun demikian, dalam elusidasi struktur molekul yang


kompleks baik senyawa hasil sintesis maupun isolasi tidak cukup hanya
menggunakan data spektroskopi UV, IR, 1H NMR, 13C NMR, dan MS,
tetapi masih diperlukan data spektroskopi NMR dua dimensi seperti
HMQC

(Heteronuclear

(Heteronuclear

Multiple

Multiple
Bond

Quantum

Coherence),

Connectivity),

1H-1H

HMBC
COSY

(Homonuclear Correlated Spectroscopy), maupun NOESY (Nuclear


Overhauser Effect Spectroscopy).
Spektroskopi dua dimensi HMQC dapat digunakan untuk
mengetahui proton-karbon dengan jarak satu ikatan, sehingga dapat
diketahui karbon yang mengikat proton dan karbon yang tidak mengikat
proton. Spektroskopi HMBC dapat mengetahui proton-karbon dengan
jarak dua atau tiga ikatan, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui
karbon-karbon tetangga yang memiliki jarak dua sampai tiga ikatan
dengan suatu proton tertentu. Untuk mengetahui proton-proton yang
berdampingan digunakan data spektroskopi 1H-1H COSY, sedangkan
untuk mengetahui konfigurasi cis-trans digunakan data sprektroskopi
NOESY. Dengan menggunakan data spektroskopi dua dimensi, elusidasi
struktur menjadi semakin mudah dan secara tepat dapat menentukan
kerangka struktur molekul senyawa organik serumit apapun.
Dalam elusidasi struktur molekul biasanya dimulai dari data yang
paling sederhana, misalnya spektroskopi UV (kalau ada), selanjutnya IR,
analisis data 1H NMR dan 13C NMR, dengan memperhatikan data massa
molekul dari spektroskopi MS. Dari data-data tersebut biasanya sudah
dapat memprediksi struktur kerangka senyawa yang dianalisis, ada

23

kemungkinan memiliki beberapa alternatif struktur. Selanjutnya, untuk


menentukan struktur yang paling sesuai dibuktikan dengan data
fragmentasi dari spektroskopi MS.

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat Pelaksananaan
Penelitian ini dilaksanakan selama lebih kurang delapan bulan di
Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Andalas.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1

Alat
Alat-alat yang digunakan adalah mesin penggiling (grinder), peralatan

sokhlet, peralatan rotary evaporator, erlenmeyer berbagai ukuran, gelas ukur


berbagai ukuran,

penangas air, labu ukur, pipet gondok, timbangan analitik,

timbangan, vial, botol 100 ml, aluminium foil, gelas ukur, piket ukur, pipa kapiler,
gelas beker, pipet tetes, plat tetes, batang pengaduk kaca, pinset, spatula, corong,
kertas saring, lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 254 nm (Betrachter
Camag), kolom kromatografi dengan berbagai ukuran, bejana kromatografi
(chamber),

spektrofotometer

UV-Vis

(Shimadzu),

Spektrofotometer

IR

(Biorad/Digilab FTS-45), Spektrometer Varian Inova 13C RMI pada 125 MHz,
Spektromer Varian Inova 1H RMI pada 500 MHz, dan Fisher-John Melting Point
Apparatus.
3.2.2

Bahan

28

Bahan-bahan yang digunakan adalah daun kering tanaman G. cowa


Roxb., heksana, diklorometana (DCM), etil asetat, metanol, aqudest, NaClO
(bayclin), silika gel 60 PF 254 gipshaltig (Merck), plat silika 60 GF245 nm,
natrium sulfat anhidrat, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorff, asam sulfat 2 N,
asam klorida pekat, serbuk logam magnesium, larutan besi(III)klorida, asam asetat
anhidrat, dan KBr.

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1

Pengambilan Sampel
Sampel daun G. cowa Roxb. diambil di Batu Busuk-Limau Manih, Pauh,

Padang, Sumatera Barat.


3.3.2. Identifikasi Tumbuhan
Sampel G. cowa Roxb. diidentifikasi di Herbarium Universitas Andalas
(ANDA) Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
3.3.3. Pemeriksaan Kandungan Kimia
Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder dilakukan terhadap ekstrak
kental metanol daun kering G. cowa Roxb. Ekstrak kental metanol diperoleh dari
5 gram daun kering G. cowa Roxb. Pada 5 ml ekstrak kental metanol tersebut
ditambahkan masing-masing 5-10 ml air suling dan kloroform lalu dikocok kuat
dan dibiarkan beberapa saat sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan air digunakan
untuk uji senyawa flavonoid, fenolik, saponin, dan alkaloid. Lapisan kloroform
digunakan untuk uji senyawa terpenoid, streroid, dan alkaloid.
3.3.3.1 Uji Flavonoid

29

Sekitar 1-2 tetes lapisan air pada plat tetes ditambahkan beberapa tetes
asam sulfat pekat dan sedikit serbuk logam magnesium. Terjadinya warna merah
muda sampai merah menunjukkan adanya senyawa flavonoid.

3.3.3.2 Uji Fenolik


Sekitar 1-2 tetes lapisan air pada plat tetes ditamahkan 1-2 tetes larutan
besi(III)klorida 1%. Bila terbentuk warna biru, berarti terdapat senyawa fenolik.
3.3.3.3 Uji Saponin
Lapisan air dalam tabung reaksi dikocok. Apabila terbentuk busa yang
bertahan hingga 15 menit, berarti positif adanya saponin.
3.3.3.4 Uji Alkaloid
Lapisan air atau lapisan kloroform (2-3 tetes) ditambah 1 tetes asam
sulfat pekat dan 1-2 tetes pereaksi Mayer atau pereaksi Dragendorff. Positif
adanya alkaloid bila terbentuk endapan putih dengan pereaksi Mayer atau warna
jingga dengan pereaksi Dragendorff.
3.3.3.5 Uji Terpenoid dan Steroid
Lapisan klorofom disaring melalui norit. Hasil saringan dipipet 2-3 tetes
dan dibiarkan mengering pada plat tetes. Setelah kering, ditambahkan 2 tetes asam
asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya warna merah berarti
positif adanya terpenoid dan warna biru atau hijau berarti positif adanya steroid.
3.3.4

Pembuatan Simplisia dan Ekstraksi


Daun segar G. cowa Roxb. sebanyak 4 kg dikumpulkan, dibersihkan, dan

disortasi basah setelah itu dijemur selama beberapa hari hingga kering. Setelah itu,

30

sampel yang sudah kering disortasi kering dan dirajang hingga berbentuk seperti
serbuk halus dengan menggunakan grinder. Serbuk halus tersebut dimasukkan ke
dalam alat soklet lalu dialiri dengan menggunakan pelarut heksana yang
ditampung dengan labu alas bulat dan proses ekstraksi dimulai dengan
memanaskannya menggunakan penangas air sampai pelarut heksana di dalam alat
soklet tepatnya pada sifon jernih. Ekstraksi dikatakan selesai jika tidak ada lagi
noda pada plat KLT yang dilihat di bawah lampu UV 254 nm pada hasil ekstraksi
terakhir yang diteteskan pada plat KLT atau juga menggunakan reagensia. Setelah
itu, hasil sokletasi berupa ekstrak diuapkan secara in vacuo dengan menggunakan
alat rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak kental heksana.
3.3.5

Isolasi dan Pemurnian Senyawa Hasil Isolasi


Ekstrak kental fraksi heksana dimonitor dengan kromatografi lapis tipis

(KLT) menggunakan plat KLT silika gel 60 GF 254 nm dengan berbagai sistem
fase gerak. Setelah dilihat di bawah lampu UV 254 nm sebagai penampak noda
hingga didapatkan pemisahan yang bagus pada sistem fase geraknya.
Fraksi heksana sebanyak 18 gram dikromatografi kolom menggunakan
fase diam silika gel dan fase gerak yang sesuai. Namun biasanya, untuk proses
kromatografi awal digunakan metode Step Gradient Polarity (SGP) yaitu
mengelusi senyawa dengan meningkatkan kepolaran fase geraknya secara
bertahap, yaitu heksana, DCM, etil asetat, dan metanol. Silika gel disuspensikan
dengan pelarut heksana dan diaduk homogen. Suspensi silika gel dimasukkan ke
dalam kolom kromatografi yang ujungnya telah dilapisi kapas sambil diketuk
terus-menerus hingga silika memadat. Sampel disiapkan secara preabsorpsi
dengan melarutkannya dalam heksana dan ditambahkan silika gel sama banyak,

31

lalu pelarutnya diuapkan dengan rotary evaporator sampai kering sehingga dapat
dikerok dengan spatula. Serbuk hasil preabsorpsi ini ditabur secara merata di atas
suspensi silika dalam kolom kromatografi dan dielusi dengan fase gerak
menggunakan metode SGP. Fraksi yang keluar ditampung dengan menggunakn
vial. Tiap fraksi dimonitor dengan KLT dan penampak noda lampu UV 254 nm.
Fraksi dengan pola noda yang sama digabung sehingga diperoleh beberapa fraksi.
Pemisahan fraksi dilanjutkan dengan fase diam dan fase gerak yang cocok, yang
dapat dilihat dengan memonitoring KLT fraksi yang akan dipisahkan. Bila fraksi
yang didapatkan sangat sedikit dapat digunakan kromatotron maupun pemurnian
langsung dengan rekristalisasi menggunakan sedikit pelarut yang melarutkannya
dan kemudian didesak oleh pelarut yang berbeda kepolarannya tergantung kepada
pola KLT yang terbentuk di bawah lampu UV 254 nm.
3.3.6

Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi


Karakterisasi senyawa hasil isolasi meliputi pemeriksaan organoleptis,

sifat fisika, sifat kimia, kromatografi, dan fisikokimia.


3.3.6.1 Pemeriksaan Organoleptis
Pemeriksaan organoleptis dilakukan dengan mengamati secara visual,
yaitu bentuk, bau, dan warna dari senyawa hasil isolasi.
3.3.6.2 Pemeriksaan Sifat Fisika
Pemeriksaan fisika meliputi kelarutan dan jarak leleh. Penentuan
kelarutan dilakukan dengan cara melarutkan senyawa hasil isolasi dengan
beberapa pelarut organik yang berbeda kepolarannya. Penentuan jarak leleh
dilakukan dengan menggunakan alat Fisher-John Melting Point. Beberapa butir
senyawa hasil isolasi diletakkan di atas lempengan kaca objerk kemudian ditutup

32

dengan lempengan kaca objek yang lain. Lempengan tersebut diletakkan di atas
alat pemanas pada alat. Kenaikan suhu diatur tiap 1 OC per menit, Melalui kaca
pembesar, diamati perubahan fisik senyawa hasil isolasi. Jarak leleh dihitung
mulai saat meleleh hingga semua senyawa meleleh.
3.3.6.3 Pemeriksaan Sifat Kimia
Pemeriksaan sifat kimia berupa reaksi kimia senyawa hasil isolasi dengan
pereaksi kimia berupa larutan besi(III)klorida 1% b/v, larutan amonium hidroksida
2 N, reaksi dengan logam magnesium dalam suasana asam klorida pekat, dan
reaksi dengan asetat anhidrat dalam suasana asam sulfat pekat. Senyawa hasil
isolasi dilarutkan dalam metanol dan direaksikan dengan pereaksi kimia. Diamati
perubahan warna atau bentuk yang terjadi.
3.3.6.4 Pemeriksaan Kromatografi
Pemeriksaan kromatografi senyawa hasil isolasi dilakukan dengan KLT
dengan plat silika gel 60 GF 254 pada eluen yang sesuai. Pola noda dilihat di
bawah lampu uv 254 nm dan dihitung Rf nya.
3.3.6.5 Pemeriksaan Fisikokimia
Pemeriksaan fisikokimia dilakukan menggunakan spektofotometer UVVis dengan menggunakan konsentrasi senyawa hasil isolasi dalam metanol yang
sesuai. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan spektrum inframerah dan
resonansi magnet inti.

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, G., 2007, Teknologi Bahan Alam (SF-2) ed. Revisi, Bandung: Penerbit
ITB
Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI, 2008, Acuan Sediaan Herbal Vol.4
Edisi 1, Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI, 2013, Pedoman Teknologi Formulasi
Sediaan Berbasis Ekstrak Vol.2, Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan
Makanan
Dachriyanus, Dianita, R., dan Jubahar, J, 2003. Uji Aktivitas Senyawa
Antimikroba dan Antioksidan Senyawa Hasil Isolasi dari Kulit Batang
Tumbuhan Garcinia cowa Roxb., Jurnal Natur Indonesia. 11 (2): 109-114
Dachriyanus, Putri A., dan Rustini, Isolasi senyawa antimikroba dari kulit batang
Garcinia griffithii T. Anders, jurnal matematika dan ilmu pengetahuan
alam, 13(2), 2004, 114-118
Darwati, Bahti, H.H., Dachriyanus, Supriyatna, 2009, Santon Terpenilasi Aktif
Antioksidan dari Kulit Batang Garcinia cowa Roxb. Jurnal Bionatura,
Vol.11, No.2, Hal. 129-136
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV,
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000, Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat, Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Harborne, J.B. (2006). Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan (alih bahasa: Kosasih Padmawinata & Iwang Soediro).
Bandung : Penerbit ITB.
Hardjono Sastrohamidjojo. (2005). Kromatografi. Yogyakarta : Liberty
Harjono Sastrohamidjojo. (2007). Spektroskopi. Yogyakarta : Penerbit Liberty.
Pavia, D.L, Lampman G.M, Kriz G.S, 2007,
Introduction to
spectroscopy, Australia : Brook/Cole
Hostettman, K., Hostettman, M., & Marston, A. (1986). Cara Kromatografi
Preparatif. (Alih bahasa: Kosasih P). Bandung: ITB.
Izzaddin S.A., Rahmani, M., Sukari, M.A., Lee, H., & Ee, G.C.L. 2006, gamma
mangostin and rubraxanthone two potential lead compounds for
anticancer activity against CEM-SS Cell Line. Natural Product Science.
12 (3): 138-143

Jantan I., Pisar M., Idris Md.MS., Taher M., Ali RM., 2002, In vitro Inhibitory
Effect of Rubraxanthone Isolated from Garcinia parvifolia on PlateletActivating Factor Receptor Binding, Planta Med. 68L 1133-113
Joseph, G.S., Jayaprakasha, G.K., Selvi, A.T., Jena B.S., Sakariah, K.K., 2005.
Antiaflatoxigenic and Antioxidant Activities of Garcinia Extracts, Int. J.
Food Microbiol., 101, 153-160
Lee H. & Chan H. 1997. 1,3,6-trihydroxy-7-methoxy-8-(3,7-dimethyl-2,6octadienyl) xanthone from Garcinia cowa. Phytochemistry. 16: 2003820040.
Likhitwitayawuid, W,. Phadungcharoen T., Mahidol C., 1997, 7-OMethylgarcinone E from Garcinia cowa, Phytochemistry Vol 45, No.6,
pp. 1299-1301
Likhitwitayawuid, W ., Chanmahasathien, N., Ruangrungsi, Krungkrai J ., 1998,
Xanthones with antimalarial activity from Gracinia cowa, Planta med 64,
281-282
Lim, K.L., 2012, Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants Vol.2, Fruit,
Springer Dordrecht Heidelberg London New York
Mahabusarakam, W., Chairerk, P., Taylor, W.C., 2005, Xanthones from Garcinia
cowa Roxb. latex. Phytochemistry 66 (2005) 1148-1153
Murakami, A., Jiwajiinda, S., Koshimizu, K., & Ohigashi, H. 1995. Screening for
In vitro Antitumor Promoting Activities of Edible Plants from Thailand.
Cancer Lett. 95: 137-146
Na Patallung, P., Thongtheeraparp, W., Wiriyachitra, P., Taylor, W.C., 1994,
Xanthone of Garcinia cowa, Planta Med, 60 (4), 365-368
Na, Z., Song QS, Hu HB., 2013, A new prenylated xanthone from latex of
Garcinia cowa Roxb, Records Nat Prod 7: 220-224
Negi, P.S., Jayaprakasha, G.K., Jena, B.S., 2008, Antibacterial activity of the
extracts from the fruit rinds of Garcinia cowa and Garcinia pedunculata
against food borne pathogens and spoilage bacteria, LWT-Food Sci.
Technol., 41, 1857-1861
Panthong, K., Pongcharoen, S., Phongpaichit, Taylor, W.C., 2006,
Tetraoxygenated xanthones from the fruits of Garcinia cowa,
Phytochemistry 67: 999-1004
Ritthiwigrom, T., Laphookieo, S., Pyne, G., 2013, Chemical Constituents and
biological activities of Garcinia cowa Roxb. Maejo International Journal
of Sciences and Technology. 7 (2) : 212-231

Rullah, K., Dewi, R., Sia, S., Fadli, R., Fatria, D., Teruna, H.Y., Novita, G.,
Wahyuni, F.S., Dachriyanus, Potensi Kandis (Garcinia cowa Roxb)
Sebagai Herbal Antioksidan Alami
Shen, J., Yang, J.H., 2006, Two New Xanthones from the stems of Garcinia cowa,
Chem.Pharm.Bull. 54 (1) 126-128
Shen,J., Tian, Z., Yang, J.H., 2007, The constituents from the stems of Garcinia
cowa Roxb. and their cytotoxic activities, Pharmazie 62: 549-551
Silverstein R.M.; Webster F.X., 1998, Spectrometric, Identification of Organic
Compounds sixth edition,New York: John Wiley & Sons, Inc.
Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Yogyakarta: KANISIUS.
Song, Q., Na, Z., Hu, H., 2013. A new prenylated Xanthone from Latex of
Garcinia cowa Roxb. Academy of Chemistry of Globe Publications Mei
7:3, 220-224
Tjitrosoeomo, G., 1993, Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta), Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Trisuwan, K., Ritthiwigrom T., 2012, Benzophenone and xanthone derivatives
from the inflorescent of Garcinia cowa, Arch Pharm Res 35: 1733-1738
Wahyuni, F.S., Byrne L.T., Dachriyanus, Dianita R., Jubahar J., Lajis N.H., 2004,
A new ring-reducted tetraprenyltoluquinone and a prenylated xanthone
from Garcinia cowa, Aust J Chem doi:10.1002/chin.200431179
Wahyuni, F.S., 2009. Isolation, Characterization, adn Preliminary
Pharmacological Evaluation of Constituents of Garcinia cowa Roxb.
Disertasi. Malaysia: Universiti Putra Malaysia.
Wahyuni, F.S., Shaari, K., Stanslas, J., Lajis, N., Dachriyanus, 2015, Cytotoxic
xanthones from the stem bark of Garcinia cowa Roxb, Journal of
Chemical and Pharmaceutical Research, 7 (1) : 227-23

.
Lampiran 1. Skema Kerja
Daun segar asam kandis
(4 kg)
Dikumpulkan, dibersihkan,
disortasi basah, dan dijemur

Simplisia berupa daun


kering (2 kg)
Ekstrak
Serbuk kental
halus
simplisia
simplisia
simplisia
fraksi
Fraksi-Fraksi
fraksi
heksana
(200
heksana
g) Xmurni
Isolat
Senyawa
senyawa

Disortasi kering dan dihaluskan


dengan grinder

Ekstraksi (sokletasi) menggunakan


heksana

Penguapan pelarut dengan rotary


evaporator

Kromatografi

Rekristalisasi

Karakterisasi dan Uji Bioaktivitas

Anda mungkin juga menyukai