Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul Anestesi Regional pada Pasien Sectio Caesarea G2P2A0 dengan riwayat Bayi
Besar. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan bimbingan,
untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Dublianus, Sp.An selaku kepala SMF dan sebagai pembimbing yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon.
2. dr. Evita, SpAn dan dr. Tati, SpAn selaku pemimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon.
3. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum Daerah
Cilegon, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu selama
kami menjalankan kepaniteraan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak kekurangan,
oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap laporan
khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi seluruh
pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya.

Cilegon, Januari 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

2
1

BAB I PENDAHULUAN

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

2.2 ANAMNESIS

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.5 KESAN ANESTESI

2.6 PENATALAKSANAAN

2.7 KESIMPULAN

BAB III LAPORAN ANESTESI

3.1 PRE OPERATIF

3.2 PREMEDIKASI ANESTESI

3.3 TINDAKAN ANESTESI

3.4 PEMANTAUAN ANESTESI

BAB IV ANALISA KASUS

11

BAB V TINJAUAN PUSTAKA

13

5.1 REGIONAL ANESTESIA

13

5.2 PREMEDIKASI

25

5.2.1 ONDANSETRONE

25

5.3 OBAT ANESTESI SPINAL

26

5.3.1 BUPIVACAINE

26

5.4 EFEDRINE

26

5.5 INDUXIN

27

5.6 POSPARGIN

29

5. 7 TRAMADOL

30

5.8 KETOPROFEN (PRONALGES)

31

BAB VI KESIMPULAN

32

DAFTAR PUSTAKA

33

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu Anestesi dan Reanimasi adalah cabang Ilmu Kedokteran yang mempelajari
tatalaksana untuk me matikan rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak nyaman yang lain
sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk mempelajari
tatalaksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami
kematian akibat obat anesthesia.1
Tindakan anestesi yang memadai, meliputi tiga komponen yaitu hipnotik (mati
ingatan), analgesia (mati rasa) dan relaksasi otot rangka (mati gerak). Untuk mencapai ke tiga
target tersebut, dapat digunakan hanya dengan satu jenis obat atau dengan memberikan
beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas. Ke tiga target
anesthesia tersebut popular disebut trias anesthesia.1
Sectio caesarea adalah proses lahirnya janin, plasenta dan selaput ketuban melalui
irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim. Pilihan anestesi yang digunakan biasanya
adalah anestesi regional (spinal atau epidural) atau anesthesia umum melalui pipa endotrakea
dan nafas kendali apabila ada permintaan khusus dari pasien. Anestesi spinal lebih disukai
untuk bedah sesar dikarenakan onset cepat, teknik sederhana, relatif mudah dilakukan dan
menimbulkan relaksasi otot yang sempurna dibandingkan dengan anestesi epidural, dan profil
keselamatan ibu dan bayi lebih besar dibandingkan dengan anestesi umum.2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Agama
Status
Tanggal masuk

: Ny. Emah
: 32 tahun
: Perempuan
: Kampung Jambu, Desa Bulukan, Kecamatan Enangka
: Ibu Rumah Tangga
: Islam
: Kawin
: 21 Januari 2015

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 21 Januari 2015,
pukul 07.15WIB di bangsal Edelweis RSUD Cilegon.
Pasien merupakan pasien obsgyn dengan diagnosis G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu,
dengan riwayat Bayi Besar. Riwayat penyakit asma, penyakit jantung, penyakit hati,
penyakit ginjal, penyakit paru, hipertensi, dan diabetes mellitus disangkal. Alergi terhadap
obat-obatan maupun makanan juga disangkal. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok
dan minum minuman beralkohol. Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu
maupun jamu-jamuan. Pasien mengaku tidak menggunakan gigi palsu dan tidak ada gigi
pasien yang sedang goyang. Pasien tidak demam dan batuk. Pasien juga mengaku tidak
pernah menjalani operasi sebelumnya.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 21 Januari 2015 pukul 07.30 WIB.
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran
: compos mentis
BB
: 83 kg
TB
: 165 cm
Tekanan darah
: 120/80
Nadi
: 80x/menit
Suhu
: 36,60 C
Pernapasan
: 20x/menit
Status generalis :
a Kulit
: warna sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor cukup, CRT <
b
-

2 detik, teraba hangat.


Kepala
: tidak ditemukan jejas, tidak ada bekas trauma.
Hidung
: tidak ada polip, perdarahan, maupun deviasi septum.
Mata
: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik.
Mulut
: jumlah gigi 32. Tidak ada kripta dan detritus. Tidak ada hipertrofi

tonsil.
Mandibula
Leher

sendi servikal baik.


Toraks
:

: tidak ada sikatrik, fraktur, maupun trismus.


: leher panjang, tidak terdapat jejas, struma, sikatrik, mobilitas sendi-

Jantung

: tampak ictus cordis pada ICS V garis midklavikula sinistra. Ictus

cordis teraba kuat pada ICS V garis midklavikula sinistra. Batas atas kiri: ICS II garis
parasternal sinistra. Batas atas kanan: ICS II garis sernalis dekstra. Batas bawah kiri:
ICS V garis midklavikula sinistra. Batas bawah kanan: ICS IV garis sternal dekstra.
-

Auskultasi: BJ I-II regular, tidak ditemukan gallop dan murmur.


Paru
: dinding dada simetris statis-dinamis, tidak ada retraksi maupun
ketertinggalan gerak. Vokal fremitus kanan kiri sama kuat. Sonor kedua lapang paru.

Suara napas vesikuler, tidak terdengar ronkhi maupun wheezing di kedua lapang paru.
Abdomen
: perut cembung, simetris, tidak terdapat jejas, ditemukan striae,

terdapat pelebaran vena.


Ekstremitas : tidak terdapat jejas, sikatrik, sianosis, maupun edema di kedua

g
-

tungkai. Turgor kulit baik, akral hangat.


Pemeriksaan Kehamilan:
bunyi jantung janin: 146x/menit, teratur.
Tinggi fundus uteri: 40 cm.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Lab darah
:
Jenis Pemeriksaan
Gula Darah Sewaktu
Hemoglobin
Trombosit
Masa Perdarahan
Masa Pembekuan
HbsAg
Anti HIV
Golongan Darah

Nilai Pasien
95
12,5
415.000
2 menit
11 menit
Negatif
Non reaktif
B Rh (+)

Nilai normal
70-125 mg/dL
12-14 g/dL
150.000-450.000/L
1-6 menit
5-15 menit
Negatif
Non reaktif

2.5 KESAN ANESTESI


Pasien perempuan berusia 32 tahun G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu dengan riwayat
Bayi Besar. Klasifikasi ASA I.
2.6 PENATALAKSANAAN
Meliputi:
a Intravena fluid drip RL 500 cc 20 tpm.
b Informed consent tindakan operasi section caesaria.
5

c
d

Konsult ke bagian anestesi.


Informed consent pembiusan: dilakukan operasi pembedahan Sectio Caesaria dengan
regional anestesi klasifikasi ASA I.

2.7 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka diagnosis preoperative: G2P2A0
usia kehamilan 38 minggu dengan riwayat Bayi Besar . Status operatif ASA I. Jenis
operasi section caesaria. Jenis anestesi regional anestesi (spinal anestesi).

BAB III
LAPORAN ANESTESI
3.1 Preoperatif
Informed consent (+)
Puasa sekitar 6-8 jam
Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu
IV Line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran compos mentis
Tanda vital:
TD
: 120/80
RR
: 20X/menit
Nadi
: 80x/menit
Suhu
: 36,60C
3.2 Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansentron 4 mg secara bolus IV.
3.3 Tindakan Anestesi
Pasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian menentukan lokasi
penyuntikkan di L3-L4, yaitu di atas titik hasil perpotongan antara garis yang
menghubungkan crista iliaca dekstra dan sinistra dengan garis vertical tulang vertebra
yang berpotongan di vertebral lumbal IV. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan
antisepsis dengan kassa steril dan povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di titik
L3-L4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan jarum spinal
no. 27 G, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa kanulnya, lalu dipastikan
bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir melalui kanul (ruang subarachnoid),
kemudian obat anestesi, yaitu Bupivakain 20 mg disuntikkan dengan terlebih dahulu
melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang subarachnoid.
Setelah Bupivakain disuntikkan setengah volumenya kembali dilakukan tindakan aspirasi
6

LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser, lalu Bupivakain disuntikkan semua. Setelah
itu luka bekas suntian ditutup dengan kassa steril dan micropore. Kemudian pasien
dibaringkan di meja operasi.
3.4 Pemantauan Selama Tindakan Anestesi
Dilakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi yang telah dilakukan.
-

Yang dipantau adalah fungsi kardiovaskular dan fungsi respirasi, serta cairan.
Kardiovaskular : pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi setiap 5 menit
Respirasi
: inspeksi pernapasan spontan kepada pasen dan saturasi oksigen
Cairan
: monitoring input cairan infus
Lampiran Monitoring Tindakan Operasi
Pukul
13.00

Tindakan
TD
Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan 136/88

Nadi
83

Saturasi
99

84
81
83
91
88

99
97
98
98
99

86
81
79
82
85
84
86

99
98
98
99
100
99
99

di meja operasi kemudian dilakukan


pemasangan manset di lengan kiri atas dan
pulse oxymetri di ibu jari tangan kanan.
13.05
13.10
13.15
13.20
13.25

Setelah itu dilakukan spinal anestesi.


Operasi dimulai

127/81
113/74
Diberikan ephedrine HCl 10 mg bolus
84/61
121/82
Diberikan induxin 10 IU drip dalam cairan 135/85
RL
Diberikan pospargin 0,2 mg bolus

13.30
13.35
13.40
13.45
13.50
13.55
14.00

124/81
111/83
104/86
106/83
106/78
105/76
101/73

Diberikan pronalges sup I


Diberikan Tramadol 100 mg
Operasi selesai

Laporan Anestesi
1 Diagnosis Pra Bedah
G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu dengan Bayi Besar
2 Diagnosis Pasca Bedah
G2P2A0 Post Sectio Caesaria
3 Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc
4 Penatalaksaan Anestesi
a Jenis pembedahan : section caesaria
7

b
c
d
e
f
g
h

Jenis anestesi
: regional anestesi
Teknik anestesi : sub arachnoid block, L3-L4, LCS +, jarum spinal no. 27 G
Mulai anestesi
: 13.00 WIB
Mulai operasi
: 13.05 WIB
Premedikasi
: Ondansentron 4 mg IV
Medikasi
: Bupivakain 20 mg
Medikasi tambahan: Induxin 10 IU drip dalam 500 cc RL, pospargin 0,2 mg IV,

ephedrine 10 mg IV, pronalges supp I


i Maintainance
:j Respirasi
: pernapasan spontan
k Cairan durante op : RL 500 cc
l Selesai operasi
: 14.00 WIB
Post Operatif
a Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan kemudian dibawa kembali ke ruang
b

rawat inap.
Observasi tanda vital:
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran
: compos mentis
TD
: 105/75
Nadi
: 75x/menit
Saturasi oksigen : 98%
Penilaian pemulihan kesadaran

Skor Aldrete
Variabel
Aktivitas
Respirasi
Sirkulasi
Kesadara
n
Warna
kulit

Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah


Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah
Tidak merespon
Dapat bernapas dalam dan batuk
Dispnoe, hipoventilasi
Apneu
Perubahan <20% TD sistol preoperasi
Perubahan 20-50% sistol preoperasi
Perubahan >50% TD sistol preoperasi
Sadar penuh
Dapat dibangunkan
Tidak merespon
Merah
Pucat
Sianotik

Skor total

Sko

Skor

r
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0

pasien
1
2
2
2
2
9

BAB IV
ANALISIS KASUS
Berdasarkan anamnesis dan riwayat pasien, maka pasien dapat diklasifikasikan
dengan ASA 1, yaitu pasien tanpa kelainan maupun penyakit sistemik. Persiapan yang
dilakukan sebelum operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan sehat, memasang infus,
dan dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi. Menjelang operasi pasien dalam
keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan
dilakukan adalah regional anestesi dengan teknik spinal anestesi subarachnoid block sit
position. Dari anamnesis didapatkan pasien G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu dengan
riwayat Bayi Besar, tidak ada riwayat SC sebelumnya. Pasien direncanakan untuk operasi
sectio caesaria.
Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu dengan memastikan
infus berjalan lancar agar obat-obatan yang diberikan melalui jalur intravena dapat bekerja
secara efektif, lalu memasang alat-alat yang berhubungan dengan tanda vital yaitu tensimeter
dan saturasi O2 agar dapat dimonitor selama operasi berlangsung, karena obat anestesi dapat
memengaruhi tekanan darah dan suplai oksigen pasien. Setelah itu dipastikan bahwa pasien
dalam keadaan tenang dan kooperatif.
Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV, agar dapat
mengurangi rangsang muntah pada pasien akibat obat-obat anestesi lainnya yang akan
diberikan.Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif. Serotonin 5hydroxytriptamine merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran
cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus menyampaikan

rangsangan ke CTZ (chemoreceptor trigger zone) dan pusat muntah, sehingga terjadi mual &
muntah.
Kemudian dilakukan anestesi terhadap pasien menggunakan obat Bupivacaine
5mg/ml, yaitu anestesi local yang bekerja memblok konduksi impuls saraf dengan
meningkatkan ambang eksitasi listrik pada saraf, dengan memperlambat penyebaran impuls,
juga mengurangi laju kenaikan potensial aksi. Bupivacaine mengikat bagian saluran
intraseluler natrium dan memblok masuknya natrium ke dalam sel saraf sehingga mencegah
depolarisasi, dengan sifat reversible. Bupivacaine memiliki onset cepat dan masa kerja
panjang.
Efedrin 10 mg secara bolus intravena diberikan kepada pasien karena pasien
mengalami hipotensi, yang dapat terjadi akibat obat anestesi bersifat vasodilator sehingga
menurunkan tekanan darah. Keadaan tersebut dapat membahayakan ibu maupun janin
sehingga harus segera diatasi. Ephedrine memiliki efek vasokonstriksi pembuluh darah.
Setelah bayi lahir, pasien diberikan Oxytocin 10 IU secara drip dalam ringer laktat
dan Metergin 0,2 mg lewat intravena agar membantu kontraksi uterus sehingga dapat
mencegah perdarahan pasca persalinan.
Setelah operasi selesai, pasien diberikan tramadol 100 mg dalam ringer laktat untuk
mengurangi rasa sakit pasca operasi. Pasien dipindahkan ke recovery room untuk dilakukan
pemantauan sebelum dibawa kembali ke ruangan.

10

BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
5.1

Regional Anestesia
Dalam praktek anestesi, ada tiga jenis anestesia yang diberikan pada pasien yang akan

menjalani pembedahan, yaitu anestesia umum, anestesia lokal, dan anestesia regional.
Anestesia regional sendiri merupakan tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikan obat anestika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi region terntentu,
yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Adapun jenisjenis anestesia regional yaitu:

Blok saraf
Blok fleksus brakhialis
Blok spinal sub arakhnoid
Blok spinal epidural
Blok regional intravena

Anastesia Spinal
Anastesia spinal merupakan bagian dari anastesia regional yang terdiri dari blok
spinal sub arakhnoid dan blok spinal epidural. Blok spinal menghasilkan blokade sistem saraf
simpatis, analgesia atau anastesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis,
konsentrasi atau volum anastetika lokal setelah pemberian melalui jarum plana ke
neuroaksial. Anastesia spinal dan epidural terkenal mampu menumpulkan tanggapan terhadap
stress terhadap pembedahan, menurunkan kehilangan darah intraoperatif, menurunkan

11

kejadian tromboemboli pascabedah dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasienpasien yang beresiko tinggi.
Kekurangan tekhnik ini terutama di periode awal penggunannya adalah risioko toksisitas
kepada sel saraf dan sistemik. Seiring dengan perkembangan zaman ditemukan tekniktekhnik dan generasi anastetika lokal baru dengan profil keamanan lebih baik disertai dengan
prosedur-prosedur untuk mencegah kejadian yang membahayakan ini. Pengetahuan mengenai
barisitas larutan anastetika lokal dan penerapannya dengan penambahan glukosa sehingga
ketinggian blok bisa diperkirakan. Pengembangan pada teknik meliputi ukuran jarum spinal
dan penggunaan kateter baik intra tekhal maupun intra epidural.3
Blok spinal subarachnoid
Analgesi spinal sub arakhnoid adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.
Persiapan anestesia spinal subaracknoid
Sebelum dilakukan anestesi perlu dipersiapkan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

peralatan monitor (tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG)


peralatan resusitasi atau anestesia umum
jarum spinal (jarum tajam atau jarum pinsil)
Obat anastetik lokal
Terpasang akses intravena untuk pemberian cairan dan obat-obatan
Sarung tangan dan masker steril
Perlengkapan desinfeksi, duk, dan kasa penutup steril 2,4

Tata laksana anestesi spinal subarakhnoid


1.
2.
3.
4.

Pasang peralatan monitor yang diperlukan


Atur posisi pasien, sesuai dengan indikasi
Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol
Lakukan pungsi lumbal dengan jarum spinal pada celah interspinosum L2-3, L3-4
atau L4-5 sampai keluar cairan cerebrospinal. Sebagai panduan, perpotongan antara
garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau
L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya beresiko trauma terhadap medulla spinalis.
Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G atau 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan utuk jarum kecil 27G atau 29G, dianjurkan
menggunakan penuntun jarum (introducer) , yaitu jarum suntik biasa 10cc. Tusukan

12

introducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukan jarum
spinal ke lubang jarum tersebut.
5. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor,
pasang semprit berisi obat anastetik lokal dan obat dimasukan pelan-pelan (0,5
ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
6. Tutup luka tusukan dengan kasa steril
7. Atur posisi pasien sedemikian rupa agar posisi kepala sedemikian rupa agar posisi
kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan
8. Nilai ketinggian blok dengan skor bromage
9.
Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi.2
Indikasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Bedah ekstremitas bawah


Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum-perineum
Bedah obstetri-ginekologi
Badah urologi
Bedah abdomen bawah

Kontra Indikasi Relatif


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)


Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah yang memakan waktu yang lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis

Kontra Indikasi Absolut


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intrakranial meninggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesia.2

Cairan Serebrospinal (CSS) dan Barisitas


Cairan serebrospinalis (CSS) adalah produk ultrafiltrasi plasma yang dihasilkan oleh pleksus
koroidalis lateral, ventrikel III dan ventrikel IV. Cairan ini diserap oleh vili arakhnoidea
13

dengan kecepatan penyerapan normalnya sama dengan kecepetan produksinya,yaitu 0,35


mL/menit atau kurang lebih 500 mL/hari. Total volum cairan serebrospinalis adalah 120
sampai 150 mL, yang didistribusi merata ke kranial dan spinal.

Tekanan cairan

serebrospinalis normalnya pada daerah lumbal pada daerah horizontal adalah 60 sampai 80
mmH2O. Berat jenis cairan serebrospinalis ini (densitas dalam gram/mL per densitas air)
adalah 1,0006 0,0003 pada suhu 37oC.
Suatu larutan obat anastetik lokal disebut hiperbarik bila barisitasnya (perbandingan jenis
larutan anastetika lokal dibandingkan berat jenis CSF) lebih besar dari 1,0; dan isobarik bila
berat jenisnya hampir sama dengan 1,0; dan hipobarik bila kurang 1,0. Pada penggunaan
klinis, larutan hiperbarik dibuat dengan menambahkan larutan dekstrosa 7,5 atau 10% dan
larutan hipobarik dibuat dengan menambahkan H2O destilasi steril. Larutan hiperbarik
digunakan khusus untuk injeksi intratekal atau blok subarakhnoid. Contoh larutan hiperbarik
adalah Bupivacain 0,5% yang telah dikemas khusus untuk blok subarakhnoid oleh
pembuatnya.
Posisi pasien
Ada tiga posisi yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan obat anastetika lokal pada
anastesia spinal yaitu lateral dekubitus, duduk dan tengkurap. Pemilihan posisi pasien ini
tergantung dari situasi dan kebutuhan dari pasien.1

14

Jarum spinal dan penuntun (Introduver)


Jarum spinal yang baik permukaan ujungnya tertutup dan bentuknya cocok serta mudah
dipindah-pindahkan posisinya. Hal ini agar saat lumbal pungsi dilakukan sel-sel epitel kulit
dan bahan-bahan lain tidak masuk ke dalam ruang subarakhnoid. Dipasaran jarum spinal
tersedia dalam ukuran Gauce 16-30, dan menurut jenis bentuk jarum spinal ini terdapat 5
bentuk, yaitu : standart cutting atau Quinckle needle, directional Tuohy needle; pencil-point
needle, Greene, Whitacre, dan Sprotte 1

Menguji
keberhasilan
blokade
Lima

menit setelah

dilakukan

anastesia

spinal,

sebaiknya dilakukan pengujian. Pada saat ini blok sensorik dan motorik sudah tercapai. Tes
blokade motorik dapat diuji dengan cara menyuruh pasien mengangkat kakinya dalam
keadaan lurus. Ketidakmampuan mengangkat kaki dalam keadaan lurus merupakan tanda
keberhasilan blokade motorik pada dermatom lumbalis. Sensorik lapangan operasi sebaiknya
diuji dengan jarum tumpul. Jika setelah lima menit tidak ada tanda-tanda yang secara objektif
menunjukan keberhasilan blokade, maka kita harus mengulangi melakukan anastesi spinal,
atau tekhnik anestesia diganti menjadi anestesia umum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anastesi lokal dalam cairan
serebrospinal:

Umur : Pada usia tua,penyebaran obat anastesi lokal lebih ke sefalad akibat dari ruang
subarachnoid dan epidural menjadi lebih kecil dan terjadi penurunan progresif jumlah
cairan serebrospinal

15

Tinggi badan: Makin tinggi pasien, makin panjang medula spinalisnya dan volum
cairan serebrospinal dibawah L2 makin banyak sehingga pasien memerlukan dosis

yang lebih besar daripada yang pendek


Berat badan : Pada pasien gemuk terjadi penurunan volume cairan serebrospinal
berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural sehingga

mempengaruhi penyebaran obat anastesi lokal dalam ruang subarachnoid


Jenis kelamin : Jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap penyebaran obat

anastesia lokal dalam cairan serebrospinal


Anatomi kolumna vertebralis : Lekukan kolumna vertebralis mempengaruhi

penyebaran obat anastesi lokal dalam ruang subarachnoid


Tempat penyuntikan : Penyuntikan obat pada ketinggian L2-3 atau L3-4 memudahkan
penyebaran ke arah cranial, sedangkan penyuntikan pada L4-5 karena bentuk vertebra

memudahkan obat berkumpul di daerah sacral


Kecepatan penyuntikan : Makin cepat penyuntikan obat makin tinggi tingkat

analgesia yang tercapai


Berat jenis : Penyebaran obat hipobarik dan hiperbarik dalam cairan serebrospinal
dipengaruhi oleh posisi pasien. Penyebaran obat isobarik selama dan sesudah

penyuntikan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien


Konsentrasi larutan : Pada umumnya intensitas analgesia meningkat dengan

bertambah pekatnya konsentrasi larutan obat anastesi lokal


Manuver valsava : Mengejan akan meningkatkan tekanan cairan serebrospinalis,
sehingga analgesia yang dicapai lebih tinggi,terutama bila dilakukan oleh pasien
segera setelah penyuntikan obat kedalam rongga subarachnoid.1

Awitan dan Durasi


Sebagian pasien merasakan awitan blok spinal dalam beberapa menit setelah injeksi obat.
Bupivacain membutuhkan lebih dari 20 menit untuk mencapai tinggi blok puncak.
Blokade spinal tidak berhenti serta merta setelah periode waktu tertentu. Blokade ini akan
hilang secara bertahap mulai dari dermatom paling sefalad sampai ke paling kaudal. Anastesi
spinal untuk pembedahan bertahan lebih lama di tingkat sacral dibandingkan di tingkat
toraks. Durasi anastesi pada lokasi pembedahan sangat berbeda dengan durasi yang
dibutuhkan blok sampai hilang sepenuhnya. Durasi pertama penting untuk mengukur
anastesia pembedahan sementaran durasi kedua penting untuk mengetahui waktu pemulihan.
Penentuan durasi utama ialah anastesi lokal yang digunakan seperti bupivakain adalah agen
durasi yang panjang. Penentuan selanjutnya ialah dosis obat dan tinggi blokade. Dosis
16

anastesi lokal bila ditingkatkan jumlahnya akan meningkatkan durasi blok spinal. Apabila
dosis obat dibuat konstan, blok yang lebih tinggi akan beregresi lebih cepat dibandingkan
blok yang lebih rendah. Larutan anastetik lokal isobarik akan menghasilkan blok lebih
panjang daripada larutan hiperbarik dengan dosis yang sama. Penyebaran sefalad yang lebih
jauh akan menyebabkan konsentrasi obat yang lebih rendah dalam CSS dan spinal nerve root.
Hal ini menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi anastesi lokal untuk turun
dibawah konsentrasi efektef minimal menjadi lebih singkat.
Efek Fisiologis Anastesia Regional
Penghentian transmisi otonom eferen pada serat sarap spinal menghasilkan blockade simpatis
dan beberapa serat parasimpatis. Sistem saraf simpatis keluar dari batang otak setinggi daerah
thorakolumbalis, sedangkan parasimpatis keluar setinggi kraniosakral. Serat saraf
preganglion simpatis keluar melalui saraf spinal dari level T1 sampai L2. Sebaliknya serat
preganglion simpatis keluar dari saraf kranialis dan sakralis. Anastesia neuroaksial tidak
dapat memblok saraf vagus (parasimpatis), tetapi hanya memblok simpatis dan menimbulkan
respon fisiologis yang bervariasi. Penurunan aktivitas simpatis akan menyebabkan
dominannya aktivitas parasimpatis.

Efek pada Sistem Kardiovaskular

Biasanya akan terjadi penurunan tekanan darah akibat penurunan frekuensi laju jantung dan
kontraktilitas miokard. Ini adalah efek yang normal terjadi akibat blok simpatis yang keluar
dari T5-L1 untuk kemudian mempersarafi otot polos arteri dan vena. Blokade berkas saraf ini
menyebabkan vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah vena, penurunan pengisian darah dan
penurunan venous return ke jantung. Di perifer juga akan terjadi penurunan resistensi
vascular sistemik (SVR) akibat vasodilatasi arterial.

Efek pada Sistem Respirasi

Blok neuroaksial mempengaruhi fungsi respirasi secara minimal. Meskipun pada level blok
yang tinggi volume tidal tidak berubah. Penurunan kapasitas vital hanya akan terjadi sedikit
akibat lumpuhnya otot-otot abdomen kekuatan eksipirasi berkurang.

Efek pada Gastrointestinal


17

Sistem saraf simpatis yang keluar dari T5-L1 mengakibatkan penurunan peristaltik, mengatur
tonus sfinkter dan menyeimbangkan aktivitas vagal.

Efek pada Traktus Urinarius

Aliran darah ginjal dipertahankan lewat mekanisme autoregulasi. Fungsi renal dipengaruhi
minimal akibat blok neuroaksial. Anastesia regional pada level lumbal atau sakral akan
memblok saraf simpatis dan parasimpatis yang mengatur fungsi ginjal. Kehilangan kontrol
otonom dari kandung kemih akan menyebabkan retensi urin sampai blokadea hilang.

Efek pada Metabolik dan Sistem Endokrin

Trauma pembedahan menimbulkan respons neuroendokrin, diantaranya yaitu : peningkatan


hormon adenokortikotropin, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopressin lainnya serta
aktivasi sisten rennin-angiotensin-aldosteron. Manifestasi klinis intraoperatif dan postoperatif
termasuk hipertensi, takikardia, hiperglikemia, katabolisme protein, penekanan respons imun
dan perubahan fungsi renal. Blok neuroaksial mendepresi sebagian (selama pembedahan
mayor) respon stress ini.
Mekanisme kerja anastetika lokal
Obat anastesi lokal secara reversible akan memblok konduksi potensial aksi. Tempat kerja
anastetika lokal adalah di intraseluler. Anastetika lokal harus berdifusi terlebih dahulu melalui
membrane saraf yang lipofilik. Anastetika lokal biasanya berada dalam sediaan yang asam
sehingga menyebabkan sebagian besar obat berada dalam keadaan terionisasi yang bersifat
lipofobik. Oleh karenanya obat harus dikonversikan dahulu menjadi bentuk tidak terionisasi
dalam yang cukup untuk bisa masuk melalui membrane saraf. Hal ini bergantung pada pKa
obat anstetika lokal tersebut dan pH jaringan. Begitu berada dalam sel, pH yang rendah akan
mengkonversikan kembali obat tersebut menjadi bentuk yang terionisasi, yang kemudian
akan memblok kanal natrium. Kanal natrium yang terblok akan menghalani influks natrium
dan karenanya depolarisasi akan melambat. Bila sejumlah kanal natrium telah terblok,
ambang potensial aksi tidak akan tercapai dan potensial aksi tidak akan terjadi, tanpa
mempengaruhi baik potensial membran saraf (yang besarnya tidak bergantung pada kanal
natrium voltage gated) maupun besarnya threshold potensial aksi sendiri.
Obat anastetika lokal memiliki afinitas berbeda dengan tempat terikatnya, bergantung pada
keadaan kanal natrium, sesuai dengan keadaaan siklus potensial aksi. Afinitias terbesar bila
18

kanal dalam keadaan terbuka (aktif atau inaktif) dan kurang bila kanal dalam keadaan
tertutup (deaktif atau istirahat). Semakin besar frekuensi stimulus semakin banyak kanal
natrium dalam keadaan terbuka, sehingga semakin banyak obat anastetika lokal yang dapat
diikat. Keadaan ini menenunjukan bahwa akses anastetika lokal terhadap tempat terikatnya
berbeda-beda, bergantung pada frekuensi stimuli saraf yang disebut sebagai state dependent
block. Sampai saat ini belum ditemukan cara untuk memanfaatkan hal ini untuk
mempengaruhi kualitas anastetik blok lokal.
Selain keadaan kanal natrium, obat-obatan anastetika lokal sendiri memiliki perbedaan sifat
dalam berikatan dengan kanal natrium. Bupivakain berdisosiasi lebih lambat dibandingkan
dengan lidokain. Perbedaan ini tidak begitu bermakna mempengaruhi kondisi saraf akan
tetapi sangat berperan dalam hal toksisitas kardiak.
Konduksi impuls kardiak dimediasi oleh kanal natrium voltage gated. Bupivakain
berdisosiasi lebih lambat sehingga blok yang bergantung pada frekuensi akan lebih nyata.
Dapat terjadi perlambatan konduksi kardiak dan aritmia yang mematikan akibat bupivakain. 1
Komplikasi

Hipotensi

Hipotensi terjadi pada 8,2-33 % pasien akibat anastesia spinal, namun sebesar 81 %
mengalami episode hipotensi ketika hambatan sensorik melebihi T5. Anastesia spinal
menyebabkan hambatan simpatis yang menyebabkan dilatasi arterial dan bendungan vena
(penurunan tahanan vascular sistemik) dan hipotensi. Bendungan di vena menyebabkan
penurunan aliran balik ke jantung, penurunan curah jantung menyebabkan hipotensi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat penurunan tekanan darah adalah usia dan
keadaan fungsi jantung pasien, volum intravascular, dan ketinggian hambatan simpatis.
Hipotensi ini dapat diatasi dengan memberikan bolus cairan intravena sampai 500 mL
larutan kristaloid seiring dengan dilakukannya blok spinal atau dengan koloid sebelum
dilakukan spinal. Jika tekanan darah tetap menurun dapat diberikan obat-obat vasopresor
seperti efedrin 5-10 mg intravena. Keuntungannya selain membuat vasokonstriksi juga
meningkatkan curah jantung. Usaha lainnya untuk mencegah terjadinya hipotensi adalah
dengan mengelevasi kaki tapi hati-hati dengan penyebaran hiperbarik kearah cefalad yang
menyebabkan level blokade yang lebih tinggi. Alternatifnya ialah dengan mengubah
posisi operasi menjadi agak fleksi.
19

Bradikardia

Kejadian bradikardia akibat anastesi spinal berkisar 8,9-13% namun bisa melebihi 75%
jika ketinggian hambatan lebih dari T5. Jika serabut simpatis kardioakselator yang berasal
dari T1-T5 dihambat maka tonus vagal parasimpatis menjadi dominan menyebabkan
bradikardia ringan sampai sedang. Bradikardia dapat muncul akibat penurunan aliran
balik vena atau stimulus seperti tarikan peritoneum namun pada beberapa kasus tidak
dapat dijelaskan penyebabnya.
Faktor resiko terjadinya bradikardia adalah (laju nadi<50x/menit) adalah laju nadi basal
(<60x/menit), penggunaan beta bloker dan status fisiologis ASA 1. Henti jantung akibat
hipotensi berat dan bradikardia jarang terjadi.
Total Spinal atau blok spinal tinggi
Istilah yang mendeskripsikan tindakan anastesia spinal ketika obat menyebar terlalu jauh
ke sefalad sampai ke region servikal. Blokade setinggi ini biasanya tidak disengaja, akibat
tidak diantisipasinya gerakan-gerakan pasien sesaat setelah obat dimasukkan, salah
pengaturan posisi pasien atau ketidaksesuaian dosis obat yang diberikan. Karena kecilnya
dosis anastetika lokal yang digunakan pada anastesia spinal, komplikasi ini lebih tinggi
resikonya pada epidural dengan pungsi dura tidak sengaja.Pada anastesia spinal, kejadian
serupa dinamakan blok spinal tinggi dengan klinis yang biasanya sedikit lebih baik.
Gejala utama biasanya terjadi hilangnya kesadaran, bradikardia, hipotensi dan henti napas.
Meskipun obat menyebar sampai sefalad, namun konsentrasi obat yang lebih jauh
menyebar ke posisi sefalad tersebut sudah mengalami dilusi, sehingga paralisis motorik
hanya terbatas dan durasi berlangsung sebentar. Penanganan bersifat suportif misanya
dengan bantuan ventilasi dan sirkulasi, baik dengan obat-obatan maupun tanpa obatobatan. Pencegahan berhunungan dengan teknik penyuntikan, obat yang digunakan dan
pengaturan posisi pasien.
Nyeri Punggung
Faktor penting yang mempengaruhi nyeri punggung pasca operasi adalah lamanya
prosedur dan tidak bergantung dari jenis/teknik anastesia (umum, spinal, atau
epidural). Kejadian nyeri punggung setelah anastesi spinal berkisar 0,8% ini
dipengaruhi oleh jenis jarum dan jumlah pungsi/penyuntikan. Nyeri punggung pada
tempat suntikan dapat dihubungkan dengan trauma pada periostealnya. Penyebab

lainnya mungkin karena peregangan ligamentum atau karena meja operasi yang keras.
Mual Muntah Pasca Bedah ( Post Operative Nausea and vomiting / PONV)
20

Mual (nausea) juga merupakan efek samping yang sering muncul pada anastesia
spinal. Faktor resiko diantaranya wanita, ketinggian hambatan sensorik yang lebih
tinggi, dan premedikasi opioid. Hipotensi meningkatkan resiko mual muntah pada

pasien dengan anastesia spinal.


Menggigil Pasca-Anastesia Spinal
Menggigil merupakan efek samping yang sangat tidak nyaman untuk pasien,
menyebabkan peningkatan konsumsi O2 ,produksi CO2 dan asidosis laktat. Anastesia
neuroaksial menganggu pusat pengaturan termuregulasi otonom sesuai dengan tinggi
atau penyebaran hambatan saraf yang terjadi. Hipotermia yang terjadi pada anastesia
neuroaksial disebabkan karena tiga mekanisme dalam tubuh yaitu redistribusi panas
tubuh dari pusat ke perifer, kehilangan panas yang melebihi pembentukannya dan
inhibisi pusat regulasi. Anastesia neuroaksial juga menganggu respons perilaku pasien
yang mengakibatkan pasien tidak mengeluh kedinginan karena mereka tidak mampu
merasakan hipotermia tetapi dapat mencetuskan terjadinya menggigil.
Menggigil pasca anastesia dapat diobati dengan menghangatkan permukaan kulit.
Penatalaksanaan dengan farmakologi saat ini dengan mempergunakan berbagai
macam obat intravena yaitu pethidine ( 25mg ), klonidin (75-150 g) dan tramadol
(0,5-2 mg/kg).1

Terapi Cairan
Tubuh manusia terdiri dari zat padat (40%) dan zat cair (60% dari berat badan). Zat
cair terdiri dari cairan intrasel (40%) dan cairan ekstrasel (20% berat badan). Cairan ekstrasel
terdiri dari cairan intravascular (5%) dan cairan interstisial (15% dari berat badan)
Dalam cairan tubuh terlarut elektrolit dalam intrasel dan ekstrasel . dalam intrasel
yang terpenting K+ dan PO4-, sedangkan dalam ekstrasel yang terpenting adalah Na + dan Cl.Juga terlarut cairan non elektrolit yaitu glukosa (BM kecil), dan protein (BM besar).
Terapi cairan dan elektrolit merupakan langkah life saving pada pasien yang
menderita kehilangan cairan yang banyak. Tujuan terapi cairan yaitu untuk mengganti cairan
yang hilang, mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan
per hari, mengatasi syok, dan mengoreksi dehidrasi.
Jenis Cairan dan Indikasinya
Cairan infus dapat digolongkan kedalam empat kelompok, yaitu:
21

1. Cairan pemeliharaan untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru,
dan keringat.
Jumlah cairan yang hilang berbeda-beda sesuai dengan umur yaitu
Dewasa
1,5-2 ml/kg/jam
Anak-anak
2-4 ml/kg/jam
Bayi
4-6 ml/kg/jam
Neonatus
3 ml/kg/jam
Karena cairan yang hilang sedikit sekali mengandung elektrolit maka cairan pengganti
yang digunakan adalah hipotonis-isotonis dengan perhatian khusu untuk natrium yaitu
D5NaCl 0,9, D5NaCl 0,45, D5NaCl 0,225, Dextrouse 5% dalam Ringer Laktat,
Dextrose 5% dalam Ringer, dan Maltose 5% dalam ringer. Selain itu dapat juga
digunakan cairan non elektrolit misalnya Dextrose 5% atau 10% dalam air, Maltose
5% atau 10%.
2. Cairan pengganti yang bertujuan untuk mengganti kehilangakan air tubuh yang
disebabkan sekuestrasi atau proses patologi yang lain missal fistula,efusi pleura,
asites, drainase lambung, dehidrasi dan perdarahan pada pembedahan atau cedera.
Cairan yang digunakan adalah jenis kristaloud misalnya NaCl 0,9% dan Ringer laktat,
koloiid misalnya Dextrans 40 dan 70. Expafusin, Albumin, dan plasma.
3. Cairan untuk tujuan khusus, yang digunakan adalah kristaloid misalnya natrium
bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas untuk koreksi khusu terhadap gangguan
keseimbangan elektrolit.
4. Cairan nutrisi. Digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau makan,
tidak boleh makan, dan tidak bias makan peroral.
Terapi cairan Perioperatif
Terdapat tiga periode yang dialami oleh pasien apabila medapat tindakan
pembedahan, yaitu: pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah.
1. Terapi cairan prabedah
Tujuuannya adalah menggatikan cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah
akibat puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik
atau dehidrasi.
Maintanance :
4ml x 10 BB pertama
2ml x 10BB pertama
1ml x (BB-20)
Puasa :
22

Jumlah jam puasa x maintance


2. Terapi cairan selama operasi
Tujuannya adalah koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti
perdarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ eksresi.
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum ataupun keluar
tubuh. Untuk menggantinya tergantung dari besar kecilnya pembedahan
Jenis Operasi :
6-8 ml/kgbb untuk bedah besar
4-6 ml/kgbb untuk bedah sedang
2-4 ml/kgbb untuk bedah kecil
Jumlah cairan diberikan saat operasi :
Jam pertama : Maintanance + Operasi + Puasa
Jam kedua
: Maintanance + Operasi + Puasa
Jam ketiga
: Maintanance + Operasi + Puasa
3. Terapi cairan pasca bedah
Tujuannya adalah pemberian cairan pemeliharaan, nutrisi parenteral, koreksi terhadap
kelainan akibat terapi yang lain.2,3
5.2

Premedikasi

5.2.1

Ondansentron
Ondansentron merupakan antagonis 5HT3 yang dapat ditemukan pada reseptor yang

memediasi pusat muntah di otak

(area post arema) dan juga lambung. Ondansentron

digunakan sebagai profilaksis anti mual dan muntah dianjurkan sebelum induksi dan
pascabedah terutama pada pasien dengan riwayat mual dan muntah. Dosis yang
direkomendasikan pada ondansentron adalah 4mg.1,4
5.3

Obat anastesi spinal

5.3.1 Bupivacain Spinal


Bupivacain disintesis pada 1957 oleh Ekstam dkk pada tahun 1957 dan digunakan
pertama kali di klinik oleh Telivou pada tahun 1963. Bupivacain memiliki spesifikasi yaitu
ikatan dengan HCl mudah larut dalam air. Sangat stabil dan dapat di autoclave berulang.
Potensinya 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5 kali lidokain. Sifat hambatan
sesnsorisnya lebih dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya. Bupivacaine HCl
merupakan anastesi lokal golongan amida. Bupivacaine HCl mencegah permulaan dan
konduksi saraf dengan menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi electron,
memperlambat perangsangan saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi. Jumlah obat
yang terikat pada saraf lebih banyak dibandingkan dengan yang bebas dalam tubuh.
23

Dikeluarkan dalam tubuh melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh dab sebagian besar
dalam bentuk metabolitnya. Untuk blok spinal digunakan larutan 0,5%-0,75% dengan dosis
1-2mg/kgBB.1,2,6
5.4

EFEDRIN

Efedrin merupakan golongan Agonis alfa/beta adrenergik5


Indikasi

: Hipotensi terkait dengan anestesi spinal

Kontra indikasi

: Hipersensitivitas terhadap ephedrine/amine simpatomimetik,

wanita hamil dengan tekanan darah >130/80, penggunaan bersamaan dengan agen
simpatomimetik lainnya.
Cara kerja:
Mekanisme aksi

: Efek beta-1 sedang dan efek alfa ringan yang menyebabkan

stimulasi alfa & beta adrenergic yang meningkatkan curah jantung & tekanan darah,
menurunkan perfusi renal & PVR yang bervariasi.
Farmakokinetika

Waktu paruh : 2,5 - 3,6 jam


Onset

: Hipotensi, langsung (IV), 10-20 menit (IM)

Durasi

: Hipotensi, 60 menit (IV/SC)

Metabolisme : Secara minimal dimetabolisme dalam hepar


Metabolit

:Asam benzoate, asam hipurat, norefedrin, p-Hydroxyephedrine inaktif

Ekskresi

: Urin (60-77%)

Dosis
Hipotensi terkait dengan anestesi spinal: 25-50 mg IM/SC 1-2x, atau 5-25 mg IV selama
5-10 min jika diperlukan, tidak melebihi 150 mg/hari.
Efek samping
Hipertensi, takikardia, disritmia, cemas, anorexia, mual, muntah, tremor, dan palpitasi5.
24

5.5

INDUXIN

Induxin merupakan golongan Oksitosin sintetik, uterotonik


Indikasi
1. Antepartum, untuk:
- induksi persalinan.cukup bulan dengan hipertensi akibat kehamilan, ketuban pecah dini,
korioamnionitis, diabetes mellitus maternal, retardasi pertumbuhan intrauterine, dan
kematian janin intrauterine.
- stimulasi atau memperkuat kontraksi persalinan, seperti pada inersia uteri.
- terapi tambahan pada abortus inkomplit ataupun abortus yang terjadi pada trimester II.
2. Postpartum, untuk membantu menghasilkan kontraksi uterus pada kala III persalinan
sehingga dapat mengontrol perdarahan postpartum dan untuk merangsang laktasi pada
kasus kegagalan ejeksi ASI
Kontra indikasi
- Disproporsi sefalopelvik
- Kelainan letak yang diperkirakan tidak dapat lahir spontan pervaginam, misalnya letak
lintang
- Pada kasus-kasus gawat, dimana lebih baik melalukan tindakan operasi sectio caesaria[
- Gawat janin
- Pemakaian terus menerus pada inersia uteri atau toksemia yang berat
- Kontraksi hipertonus
- Hipersensitif
- Induksi persalinan dimana persalinan secara spontan pervaginam merupakan
kontraindikasi, seperti ruptur tali pusat, plasenta previa totalis, vasa previa
-

Cara kerja
Mekanisme kerja : Oxytocin bekerja selektif pada reseptornya di otot polos uterus
yang selanjutnya terbentuk siklik adenosine-5-monofosfat (cAMP). Menyebabkan
depolarisasi membrane sel myometrium sehingga terjadi kontraksi ritmis pada uterus,
meningkatkan frekuensi kontraksi yang telah ada, dan meningkatkan tonus otot-otot
uterus. Oxytocin terutama bekerja pada akhir kehamilan, selama kehamilan dan
segera setelah proses persalinan. Kepekaan uterus terhadap oksitosin dipengaruhi oleh
hormone estrogen, progesterone dan reseptor oksitosin. Dengan semakin bertambah
usia kehamilan, kepekaan uterus terhadap oksitosin semakin meningkat akibat
reseptor oksitosin yang semakin banyak dan dominasi pengaruh estrogen yang
meningkat. Oxytocin juga bekerja pada reseptor-reseptor sel mioepitel payudara dan
25

menstimulasi kontraksi sel-sel ini, yang menyebabkan mengalirnya air susu ke duktus
yang lebih besar, serta memudahkan keluarnya air susu (reflex ejeksi ASI). Oksitosin
bekerja pada reseptor hormone antidiuretic dan menyebabkan peningkatan atau
penurunan tekanan darah diastolic yang mendadak akibat vasodilatasi serta
menyebabkan retensi air.
-

Farmakokinetika

Onset

: Segera (IV)

Durasi

: 20 menit (IV)

Waktu paruh : 1-9 menit


Metabolisme : Secara minimal dimetabolisme dalam hepar
Ikatan dengan protein: rendah
Dosis
1. Antepartum :
a. Untuk induksi atau stimulasi persalinan
Diberikan infus intravena per drip dengan dosis 1 mL (10 unit) dalam 1000 mL
cairan steril. Ini merupakan metode yang paling sesuai untuk induksi maupun
stimulasi persalinan. Larutan harus tercampur dengan baik.
b. Terapi pada abortus inkomplit atau kehamilan yang sudah tidak dapat dipertahankan
Infus intravena per drip 10 unit oxytocin dalam 500 mL saline atau D 5%, diberikan
20-40 tetes per menit.
2. Postpartum
Untuk mengontrol perdarahan postpartum. Diberikan 10-40 unit oxytocin dalam 1000
mL larutan steril infus intravena per drip dan diberikan seperlunya sesuai dengan yang
digunakan untuk mengontrol atonia uteri. Dapat pula diberikan secara intramuskular 1
mL (10 unit) segera setelah plasenta lahir.
Efek samping

26

Mual, muntah, konstriksi pembuluh darah tali pusat, stimulasi yang berlebihan pada
uterus dan reaksi hipersensitif.
5.6

POSPARGIN
Pospargin merupakan golongan Metilergometrin maleat, uterotonik
Indikasi
- Mencegah dan mengobati pendarahan pasca persalinan dan pasca abortus, termasuk
pendarahan uterus karena sectio caesaria.
- Penanganan aktif kala III pada partus.
- Pendarahan uterus setelah placenta lepas, atoni uterus, subinvolusi (mengecilnya
kembali

rahim

sesudah

persalinan

hampir

seperti

bentuk

asal),

lokiometra

(pembendungan getah nifas di dalam rongga rahim).


Kontra indikasi
Induksi partus sebelum persalinan., hipertensi, termasuk hipertensi karena kehamilan
(pre-eklampsia, eklampsia), abortus iminens, inersia uterus primer dan sekunder,
kehamilan, hipersensitivitas serta gangguan fungsi hati atau ginjal.
Cara kerja
- Mekanisme aksi : Metilergometrina maleat merupakan amina dengan efek uterotonik
yang menimbulkan kontraksi otot uterus dengan cara meningkatkan frekuensi dan
amplitudo kontraksi pada dosis rendah dan meningkatkan tonus uterus basal pada
dosis tinggi. Mekanisme kerjanya merangsang kontraksi otot uterus dengan cepat dan
poten melalui reseptor adrenergik sehingga menghentikan perdarahan uterus.
Dibandingkan dengan alkaloid golongan ergotamina, maka efek pada pembuluh darah
perifer lemah dan jarang meningkatkan tekanan darah.
-

Farmakokinetika

Onset

: 30-60 detik (IV)

Durasi

: 120 menit (IV)

Ikatan dengan protein plasma : 35%


Metabolisme : Secara minimal dimetabolisme dalam hepar
Eliminasi

: Melalui empedu, dikeluarkan bersama feces

27

Dosis :
- Sectio caesarea : setelah bayi dikeluarkan secara ekstraksi, i.m.1 mL atau i.v. 0,5-1 mL
(0,2 mg).
- Penanganan aktif kala III : i.m. 0,5-1 mL (0,1 - 0,2 mg) setelah kepala atau bahu interior
keluar atau selambat - lambatnya segera setelah bayi dilahirkan.
- Kala III pada partus dengan anestesi umum : i.v. 1 mL (0,2 mg).
- Atoni uterus : i.m. 1 mL atau i.v. 0,5-1 mL.
- Subinvolusi, lokhiometra : 1 atau 2 tablet 3x/hari, atau i.m. 0,5 - 1 mL / hari
Efek samping
Pada pemberian dosis yang besar, dapat terjadi mual, muntah dan sakit perut. Pada
penyuntikan IV yang cepat, dapat terjadi hipotensi.
5.7

Tramadol
Salah satu derivate sintetik opioid adalah tramadol. Opioid menghasilkan efek melalui

interaksinya dengan reseptor opoid di susunan saraf dan saluran gastrointestinal. Opioid
menghasilkan hiperpolarisasi sel saraf,inhibisi pelepasan saraf dan inhibisi prasinap dan
pelepasan neurotransmitter. Opioid mempunyai beberapa efek klinis yaitu:

Analgesia
Pada manusia pemberian opioid akan menghasilkan efek analgesia, rasa mengantuk,

perubahan mood dan mental. Opioid menghilangkan nyeri dengan meningkatkan ambang
nyeri pada tingkat medulla spinalis dan yang paling penting dengan mengubah persepsi nyeri
di otak. Efek analgesia yang ditimbulkan tidak berhubungan dengan hilangnya kesadaran.
Proses menghilangkan nyeri oleh opioid adalah selektif, tidak mempengaruhi kekuatan
sensoriknya. Pasien masih merasakn nyeri namun perasaan yang ditimbulkan lebih nyaman.
Nyeri nosiseptif lebih berespon terhadap efek analgesia dari opioid dibandingkan nyeri
neuropati.

Respirasi

Opioid menyebabkan depresi pernafasan dengan cara menurunkan sensitivitas neuron pusat
pernafasan terhadap CO2. Depresi nafas terjadi setelah mencapai kadar tertentu dan akan
meningkat dengan peningkatan dosis.

Emesis
28

Opioid menstimulasi secara langsung chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema
yang menyebabkan muntah.

Kardiovaskular

Opioid tidak terlalu mempengaruhi tekanan darah kecuali pada dosis yang sangat tinggi.
Dalam hal ini dapat terjadi hipotensi dan bradikardia. Tekanann serebrospinal dapat
meningkat karena vasodilatasi pembuluh serebral akibat depresi pernafasan dan retensi CO2.
Dosis yang diberikan untuk tatalaksana nyeri sedang sampai berat pasca operasi dengan cara
drip infus100 mg dilanjutkan 50 mg setiap 10-20 menit,bila perlu sampai 250 mg pada satu
jam pertama. Dosis maintenance 50 100 mg setiap 4-6 jam. Dosis maksimal adalah 600 mg
per hari.7
5.8

Ketoprofen (Pronalges)
Ketoprofen merupakan analgetik yang termasuk dalam golongan NSID. Ketoprofen

digunakan untuk mengatasi nyeri pasca operasi,

mengobati reumathoid arthritis atau

osteoarthritis dan gout arthritis. Ketoprofen menghambat sintesis prostalglandin dengan


menghambat enzim 2 cyclooxygenase isoenzim, cyclooexygenase-1 (COX-1) dan -2 (COX2).Obat ini mempunyai onset kurang dari 30 menit dengan durasi sampai 6 jam. Untuk
penggunaan ketoprofen dalam bentuk supposutoria dapat diberikan dua kali dalam satu hari.8

29

BAB VI
KESIMPULAN
Pasien merupakan pasien obstetri dan ginekologi dengan diagnosis G2P2A0 usia
kehamilan 38 minggu dengan riwayat Bayi Besar. Dari anamnesis pasien tidak terdapat
keluhan mual, muntah dan tidak terdapat penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes
mellitus, maupun alergi. Pasien juga tidak menggunakan gigi palsu maupun gigi goyang.
Pasien tidak sedang demam maupun batuk. Dari pemeriksaan fisik maupun penunjang tidak
terdapat kelainan pada pasien. Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi
menurut American Society of Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA 1.
Pasien diberikan premedikasi berupa ondansetron dan dilakukan regional anestesi
dengan teknik subarachnoid block pada L3-L4 dengan menggunakan spinal needle dengan
ukuran diameter 27. Lalu dimasukkan obat bupivacaine. Obat-obat yang diberikan pada
pasien ini adalah efedrin, oxytocin, metergin, dan tramadol.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku, Gde, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT
Indeks.
2. Listiarini, Dian Ayu, Mohamad Sofyan Harahap, and Uripno Budiono. "Penentuan
Dosis Efektif Bupivacaine Hiperbarik 0, 5% Berdasarkan Tinggi Badan Untuk Bedah
Sesar Dengan Blok Subarakhnoid." Jurnal Anestesiologi Indonesia 6.1 (2014).
3. Said A. Latief, Kartini A Suryadi, M. Ruswan Dachlan. Petunjuk
PraktisAnestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anstesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001.
4. Ondansetron: Medscape reference. Ondansetron. [Online]. Updated January 2014.

Available at http://reference.medscape.com/drug/zofran-zuplenz-ondansetron-342052.
Accessed 19 June, 2014.
5. Efedrin: Medscape Reference. Ephedrin. [Online]. Updated January 2014. Available
at http://reference.medscape.com/drug/ephedrine-342436. Accessed 19 June, 2014
6. Bupivacaine: Medscape Reference. Bupivacaine. [Online]. Updated January 2014.
Available at http://reference.medscape.com/drug/marcaine-sensorcaine-bupivacaine343360. Accessed 19 June, 2014.
7. Gronds

S,

Sablotzki

A.Clinical

Pharmacology

of

Tramadol.

Clin

Pharmacokinet.2004;43(13):876-923
8. Medscape.

Ketoprofen.

[cited

August

10,

http://reference.medscape.com/drug/ketoprofen-343291

31

2014].

Available

at:

Anda mungkin juga menyukai