Case Anestesi SC
Case Anestesi SC
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul Anestesi Regional pada Pasien Sectio Caesarea G2P2A0 dengan riwayat Bayi
Besar. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan bimbingan,
untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Dublianus, Sp.An selaku kepala SMF dan sebagai pembimbing yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon.
2. dr. Evita, SpAn dan dr. Tati, SpAn selaku pemimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon.
3. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum Daerah
Cilegon, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu selama
kami menjalankan kepaniteraan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak kekurangan,
oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap laporan
khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi seluruh
pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
2
1
BAB I PENDAHULUAN
2.2 ANAMNESIS
2.6 PENATALAKSANAAN
2.7 KESIMPULAN
11
13
13
5.2 PREMEDIKASI
25
5.2.1 ONDANSETRONE
25
26
5.3.1 BUPIVACAINE
26
5.4 EFEDRINE
26
5.5 INDUXIN
27
5.6 POSPARGIN
29
5. 7 TRAMADOL
30
31
BAB VI KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
33
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu Anestesi dan Reanimasi adalah cabang Ilmu Kedokteran yang mempelajari
tatalaksana untuk me matikan rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak nyaman yang lain
sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk mempelajari
tatalaksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami
kematian akibat obat anesthesia.1
Tindakan anestesi yang memadai, meliputi tiga komponen yaitu hipnotik (mati
ingatan), analgesia (mati rasa) dan relaksasi otot rangka (mati gerak). Untuk mencapai ke tiga
target tersebut, dapat digunakan hanya dengan satu jenis obat atau dengan memberikan
beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas. Ke tiga target
anesthesia tersebut popular disebut trias anesthesia.1
Sectio caesarea adalah proses lahirnya janin, plasenta dan selaput ketuban melalui
irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim. Pilihan anestesi yang digunakan biasanya
adalah anestesi regional (spinal atau epidural) atau anesthesia umum melalui pipa endotrakea
dan nafas kendali apabila ada permintaan khusus dari pasien. Anestesi spinal lebih disukai
untuk bedah sesar dikarenakan onset cepat, teknik sederhana, relatif mudah dilakukan dan
menimbulkan relaksasi otot yang sempurna dibandingkan dengan anestesi epidural, dan profil
keselamatan ibu dan bayi lebih besar dibandingkan dengan anestesi umum.2
BAB II
LAPORAN KASUS
: Ny. Emah
: 32 tahun
: Perempuan
: Kampung Jambu, Desa Bulukan, Kecamatan Enangka
: Ibu Rumah Tangga
: Islam
: Kawin
: 21 Januari 2015
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 21 Januari 2015,
pukul 07.15WIB di bangsal Edelweis RSUD Cilegon.
Pasien merupakan pasien obsgyn dengan diagnosis G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu,
dengan riwayat Bayi Besar. Riwayat penyakit asma, penyakit jantung, penyakit hati,
penyakit ginjal, penyakit paru, hipertensi, dan diabetes mellitus disangkal. Alergi terhadap
obat-obatan maupun makanan juga disangkal. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok
dan minum minuman beralkohol. Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu
maupun jamu-jamuan. Pasien mengaku tidak menggunakan gigi palsu dan tidak ada gigi
pasien yang sedang goyang. Pasien tidak demam dan batuk. Pasien juga mengaku tidak
pernah menjalani operasi sebelumnya.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 21 Januari 2015 pukul 07.30 WIB.
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran
: compos mentis
BB
: 83 kg
TB
: 165 cm
Tekanan darah
: 120/80
Nadi
: 80x/menit
Suhu
: 36,60 C
Pernapasan
: 20x/menit
Status generalis :
a Kulit
: warna sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor cukup, CRT <
b
-
tonsil.
Mandibula
Leher
Jantung
cordis teraba kuat pada ICS V garis midklavikula sinistra. Batas atas kiri: ICS II garis
parasternal sinistra. Batas atas kanan: ICS II garis sernalis dekstra. Batas bawah kiri:
ICS V garis midklavikula sinistra. Batas bawah kanan: ICS IV garis sternal dekstra.
-
Suara napas vesikuler, tidak terdengar ronkhi maupun wheezing di kedua lapang paru.
Abdomen
: perut cembung, simetris, tidak terdapat jejas, ditemukan striae,
g
-
Nilai Pasien
95
12,5
415.000
2 menit
11 menit
Negatif
Non reaktif
B Rh (+)
Nilai normal
70-125 mg/dL
12-14 g/dL
150.000-450.000/L
1-6 menit
5-15 menit
Negatif
Non reaktif
c
d
2.7 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka diagnosis preoperative: G2P2A0
usia kehamilan 38 minggu dengan riwayat Bayi Besar . Status operatif ASA I. Jenis
operasi section caesaria. Jenis anestesi regional anestesi (spinal anestesi).
BAB III
LAPORAN ANESTESI
3.1 Preoperatif
Informed consent (+)
Puasa sekitar 6-8 jam
Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu
IV Line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran compos mentis
Tanda vital:
TD
: 120/80
RR
: 20X/menit
Nadi
: 80x/menit
Suhu
: 36,60C
3.2 Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansentron 4 mg secara bolus IV.
3.3 Tindakan Anestesi
Pasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian menentukan lokasi
penyuntikkan di L3-L4, yaitu di atas titik hasil perpotongan antara garis yang
menghubungkan crista iliaca dekstra dan sinistra dengan garis vertical tulang vertebra
yang berpotongan di vertebral lumbal IV. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan
antisepsis dengan kassa steril dan povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di titik
L3-L4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan jarum spinal
no. 27 G, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa kanulnya, lalu dipastikan
bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir melalui kanul (ruang subarachnoid),
kemudian obat anestesi, yaitu Bupivakain 20 mg disuntikkan dengan terlebih dahulu
melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang subarachnoid.
Setelah Bupivakain disuntikkan setengah volumenya kembali dilakukan tindakan aspirasi
6
LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser, lalu Bupivakain disuntikkan semua. Setelah
itu luka bekas suntian ditutup dengan kassa steril dan micropore. Kemudian pasien
dibaringkan di meja operasi.
3.4 Pemantauan Selama Tindakan Anestesi
Dilakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi yang telah dilakukan.
-
Yang dipantau adalah fungsi kardiovaskular dan fungsi respirasi, serta cairan.
Kardiovaskular : pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi setiap 5 menit
Respirasi
: inspeksi pernapasan spontan kepada pasen dan saturasi oksigen
Cairan
: monitoring input cairan infus
Lampiran Monitoring Tindakan Operasi
Pukul
13.00
Tindakan
TD
Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan 136/88
Nadi
83
Saturasi
99
84
81
83
91
88
99
97
98
98
99
86
81
79
82
85
84
86
99
98
98
99
100
99
99
127/81
113/74
Diberikan ephedrine HCl 10 mg bolus
84/61
121/82
Diberikan induxin 10 IU drip dalam cairan 135/85
RL
Diberikan pospargin 0,2 mg bolus
13.30
13.35
13.40
13.45
13.50
13.55
14.00
124/81
111/83
104/86
106/83
106/78
105/76
101/73
Laporan Anestesi
1 Diagnosis Pra Bedah
G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu dengan Bayi Besar
2 Diagnosis Pasca Bedah
G2P2A0 Post Sectio Caesaria
3 Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc
4 Penatalaksaan Anestesi
a Jenis pembedahan : section caesaria
7
b
c
d
e
f
g
h
Jenis anestesi
: regional anestesi
Teknik anestesi : sub arachnoid block, L3-L4, LCS +, jarum spinal no. 27 G
Mulai anestesi
: 13.00 WIB
Mulai operasi
: 13.05 WIB
Premedikasi
: Ondansentron 4 mg IV
Medikasi
: Bupivakain 20 mg
Medikasi tambahan: Induxin 10 IU drip dalam 500 cc RL, pospargin 0,2 mg IV,
rawat inap.
Observasi tanda vital:
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran
: compos mentis
TD
: 105/75
Nadi
: 75x/menit
Saturasi oksigen : 98%
Penilaian pemulihan kesadaran
Skor Aldrete
Variabel
Aktivitas
Respirasi
Sirkulasi
Kesadara
n
Warna
kulit
Skor total
Sko
Skor
r
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
pasien
1
2
2
2
2
9
BAB IV
ANALISIS KASUS
Berdasarkan anamnesis dan riwayat pasien, maka pasien dapat diklasifikasikan
dengan ASA 1, yaitu pasien tanpa kelainan maupun penyakit sistemik. Persiapan yang
dilakukan sebelum operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan sehat, memasang infus,
dan dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi. Menjelang operasi pasien dalam
keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan
dilakukan adalah regional anestesi dengan teknik spinal anestesi subarachnoid block sit
position. Dari anamnesis didapatkan pasien G2P2A0 usia kehamilan 38 minggu dengan
riwayat Bayi Besar, tidak ada riwayat SC sebelumnya. Pasien direncanakan untuk operasi
sectio caesaria.
Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu dengan memastikan
infus berjalan lancar agar obat-obatan yang diberikan melalui jalur intravena dapat bekerja
secara efektif, lalu memasang alat-alat yang berhubungan dengan tanda vital yaitu tensimeter
dan saturasi O2 agar dapat dimonitor selama operasi berlangsung, karena obat anestesi dapat
memengaruhi tekanan darah dan suplai oksigen pasien. Setelah itu dipastikan bahwa pasien
dalam keadaan tenang dan kooperatif.
Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV, agar dapat
mengurangi rangsang muntah pada pasien akibat obat-obat anestesi lainnya yang akan
diberikan.Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif. Serotonin 5hydroxytriptamine merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran
cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus menyampaikan
rangsangan ke CTZ (chemoreceptor trigger zone) dan pusat muntah, sehingga terjadi mual &
muntah.
Kemudian dilakukan anestesi terhadap pasien menggunakan obat Bupivacaine
5mg/ml, yaitu anestesi local yang bekerja memblok konduksi impuls saraf dengan
meningkatkan ambang eksitasi listrik pada saraf, dengan memperlambat penyebaran impuls,
juga mengurangi laju kenaikan potensial aksi. Bupivacaine mengikat bagian saluran
intraseluler natrium dan memblok masuknya natrium ke dalam sel saraf sehingga mencegah
depolarisasi, dengan sifat reversible. Bupivacaine memiliki onset cepat dan masa kerja
panjang.
Efedrin 10 mg secara bolus intravena diberikan kepada pasien karena pasien
mengalami hipotensi, yang dapat terjadi akibat obat anestesi bersifat vasodilator sehingga
menurunkan tekanan darah. Keadaan tersebut dapat membahayakan ibu maupun janin
sehingga harus segera diatasi. Ephedrine memiliki efek vasokonstriksi pembuluh darah.
Setelah bayi lahir, pasien diberikan Oxytocin 10 IU secara drip dalam ringer laktat
dan Metergin 0,2 mg lewat intravena agar membantu kontraksi uterus sehingga dapat
mencegah perdarahan pasca persalinan.
Setelah operasi selesai, pasien diberikan tramadol 100 mg dalam ringer laktat untuk
mengurangi rasa sakit pasca operasi. Pasien dipindahkan ke recovery room untuk dilakukan
pemantauan sebelum dibawa kembali ke ruangan.
10
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
5.1
Regional Anestesia
Dalam praktek anestesi, ada tiga jenis anestesia yang diberikan pada pasien yang akan
menjalani pembedahan, yaitu anestesia umum, anestesia lokal, dan anestesia regional.
Anestesia regional sendiri merupakan tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikan obat anestika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi region terntentu,
yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Adapun jenisjenis anestesia regional yaitu:
Blok saraf
Blok fleksus brakhialis
Blok spinal sub arakhnoid
Blok spinal epidural
Blok regional intravena
Anastesia Spinal
Anastesia spinal merupakan bagian dari anastesia regional yang terdiri dari blok
spinal sub arakhnoid dan blok spinal epidural. Blok spinal menghasilkan blokade sistem saraf
simpatis, analgesia atau anastesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis,
konsentrasi atau volum anastetika lokal setelah pemberian melalui jarum plana ke
neuroaksial. Anastesia spinal dan epidural terkenal mampu menumpulkan tanggapan terhadap
stress terhadap pembedahan, menurunkan kehilangan darah intraoperatif, menurunkan
11
kejadian tromboemboli pascabedah dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasienpasien yang beresiko tinggi.
Kekurangan tekhnik ini terutama di periode awal penggunannya adalah risioko toksisitas
kepada sel saraf dan sistemik. Seiring dengan perkembangan zaman ditemukan tekniktekhnik dan generasi anastetika lokal baru dengan profil keamanan lebih baik disertai dengan
prosedur-prosedur untuk mencegah kejadian yang membahayakan ini. Pengetahuan mengenai
barisitas larutan anastetika lokal dan penerapannya dengan penambahan glukosa sehingga
ketinggian blok bisa diperkirakan. Pengembangan pada teknik meliputi ukuran jarum spinal
dan penggunaan kateter baik intra tekhal maupun intra epidural.3
Blok spinal subarachnoid
Analgesi spinal sub arakhnoid adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.
Persiapan anestesia spinal subaracknoid
Sebelum dilakukan anestesi perlu dipersiapkan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
12
introducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukan jarum
spinal ke lubang jarum tersebut.
5. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor,
pasang semprit berisi obat anastetik lokal dan obat dimasukan pelan-pelan (0,5
ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
6. Tutup luka tusukan dengan kasa steril
7. Atur posisi pasien sedemikian rupa agar posisi kepala sedemikian rupa agar posisi
kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan
8. Nilai ketinggian blok dengan skor bromage
9.
Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi.2
Indikasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intrakranial meninggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesia.2
Tekanan cairan
serebrospinalis normalnya pada daerah lumbal pada daerah horizontal adalah 60 sampai 80
mmH2O. Berat jenis cairan serebrospinalis ini (densitas dalam gram/mL per densitas air)
adalah 1,0006 0,0003 pada suhu 37oC.
Suatu larutan obat anastetik lokal disebut hiperbarik bila barisitasnya (perbandingan jenis
larutan anastetika lokal dibandingkan berat jenis CSF) lebih besar dari 1,0; dan isobarik bila
berat jenisnya hampir sama dengan 1,0; dan hipobarik bila kurang 1,0. Pada penggunaan
klinis, larutan hiperbarik dibuat dengan menambahkan larutan dekstrosa 7,5 atau 10% dan
larutan hipobarik dibuat dengan menambahkan H2O destilasi steril. Larutan hiperbarik
digunakan khusus untuk injeksi intratekal atau blok subarakhnoid. Contoh larutan hiperbarik
adalah Bupivacain 0,5% yang telah dikemas khusus untuk blok subarakhnoid oleh
pembuatnya.
Posisi pasien
Ada tiga posisi yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan obat anastetika lokal pada
anastesia spinal yaitu lateral dekubitus, duduk dan tengkurap. Pemilihan posisi pasien ini
tergantung dari situasi dan kebutuhan dari pasien.1
14
Menguji
keberhasilan
blokade
Lima
menit setelah
dilakukan
anastesia
spinal,
sebaiknya dilakukan pengujian. Pada saat ini blok sensorik dan motorik sudah tercapai. Tes
blokade motorik dapat diuji dengan cara menyuruh pasien mengangkat kakinya dalam
keadaan lurus. Ketidakmampuan mengangkat kaki dalam keadaan lurus merupakan tanda
keberhasilan blokade motorik pada dermatom lumbalis. Sensorik lapangan operasi sebaiknya
diuji dengan jarum tumpul. Jika setelah lima menit tidak ada tanda-tanda yang secara objektif
menunjukan keberhasilan blokade, maka kita harus mengulangi melakukan anastesi spinal,
atau tekhnik anestesia diganti menjadi anestesia umum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anastesi lokal dalam cairan
serebrospinal:
Umur : Pada usia tua,penyebaran obat anastesi lokal lebih ke sefalad akibat dari ruang
subarachnoid dan epidural menjadi lebih kecil dan terjadi penurunan progresif jumlah
cairan serebrospinal
15
Tinggi badan: Makin tinggi pasien, makin panjang medula spinalisnya dan volum
cairan serebrospinal dibawah L2 makin banyak sehingga pasien memerlukan dosis
anastesi lokal bila ditingkatkan jumlahnya akan meningkatkan durasi blok spinal. Apabila
dosis obat dibuat konstan, blok yang lebih tinggi akan beregresi lebih cepat dibandingkan
blok yang lebih rendah. Larutan anastetik lokal isobarik akan menghasilkan blok lebih
panjang daripada larutan hiperbarik dengan dosis yang sama. Penyebaran sefalad yang lebih
jauh akan menyebabkan konsentrasi obat yang lebih rendah dalam CSS dan spinal nerve root.
Hal ini menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi anastesi lokal untuk turun
dibawah konsentrasi efektef minimal menjadi lebih singkat.
Efek Fisiologis Anastesia Regional
Penghentian transmisi otonom eferen pada serat sarap spinal menghasilkan blockade simpatis
dan beberapa serat parasimpatis. Sistem saraf simpatis keluar dari batang otak setinggi daerah
thorakolumbalis, sedangkan parasimpatis keluar setinggi kraniosakral. Serat saraf
preganglion simpatis keluar melalui saraf spinal dari level T1 sampai L2. Sebaliknya serat
preganglion simpatis keluar dari saraf kranialis dan sakralis. Anastesia neuroaksial tidak
dapat memblok saraf vagus (parasimpatis), tetapi hanya memblok simpatis dan menimbulkan
respon fisiologis yang bervariasi. Penurunan aktivitas simpatis akan menyebabkan
dominannya aktivitas parasimpatis.
Biasanya akan terjadi penurunan tekanan darah akibat penurunan frekuensi laju jantung dan
kontraktilitas miokard. Ini adalah efek yang normal terjadi akibat blok simpatis yang keluar
dari T5-L1 untuk kemudian mempersarafi otot polos arteri dan vena. Blokade berkas saraf ini
menyebabkan vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah vena, penurunan pengisian darah dan
penurunan venous return ke jantung. Di perifer juga akan terjadi penurunan resistensi
vascular sistemik (SVR) akibat vasodilatasi arterial.
Blok neuroaksial mempengaruhi fungsi respirasi secara minimal. Meskipun pada level blok
yang tinggi volume tidal tidak berubah. Penurunan kapasitas vital hanya akan terjadi sedikit
akibat lumpuhnya otot-otot abdomen kekuatan eksipirasi berkurang.
Sistem saraf simpatis yang keluar dari T5-L1 mengakibatkan penurunan peristaltik, mengatur
tonus sfinkter dan menyeimbangkan aktivitas vagal.
Aliran darah ginjal dipertahankan lewat mekanisme autoregulasi. Fungsi renal dipengaruhi
minimal akibat blok neuroaksial. Anastesia regional pada level lumbal atau sakral akan
memblok saraf simpatis dan parasimpatis yang mengatur fungsi ginjal. Kehilangan kontrol
otonom dari kandung kemih akan menyebabkan retensi urin sampai blokadea hilang.
kanal dalam keadaan terbuka (aktif atau inaktif) dan kurang bila kanal dalam keadaan
tertutup (deaktif atau istirahat). Semakin besar frekuensi stimulus semakin banyak kanal
natrium dalam keadaan terbuka, sehingga semakin banyak obat anastetika lokal yang dapat
diikat. Keadaan ini menenunjukan bahwa akses anastetika lokal terhadap tempat terikatnya
berbeda-beda, bergantung pada frekuensi stimuli saraf yang disebut sebagai state dependent
block. Sampai saat ini belum ditemukan cara untuk memanfaatkan hal ini untuk
mempengaruhi kualitas anastetik blok lokal.
Selain keadaan kanal natrium, obat-obatan anastetika lokal sendiri memiliki perbedaan sifat
dalam berikatan dengan kanal natrium. Bupivakain berdisosiasi lebih lambat dibandingkan
dengan lidokain. Perbedaan ini tidak begitu bermakna mempengaruhi kondisi saraf akan
tetapi sangat berperan dalam hal toksisitas kardiak.
Konduksi impuls kardiak dimediasi oleh kanal natrium voltage gated. Bupivakain
berdisosiasi lebih lambat sehingga blok yang bergantung pada frekuensi akan lebih nyata.
Dapat terjadi perlambatan konduksi kardiak dan aritmia yang mematikan akibat bupivakain. 1
Komplikasi
Hipotensi
Hipotensi terjadi pada 8,2-33 % pasien akibat anastesia spinal, namun sebesar 81 %
mengalami episode hipotensi ketika hambatan sensorik melebihi T5. Anastesia spinal
menyebabkan hambatan simpatis yang menyebabkan dilatasi arterial dan bendungan vena
(penurunan tahanan vascular sistemik) dan hipotensi. Bendungan di vena menyebabkan
penurunan aliran balik ke jantung, penurunan curah jantung menyebabkan hipotensi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat penurunan tekanan darah adalah usia dan
keadaan fungsi jantung pasien, volum intravascular, dan ketinggian hambatan simpatis.
Hipotensi ini dapat diatasi dengan memberikan bolus cairan intravena sampai 500 mL
larutan kristaloid seiring dengan dilakukannya blok spinal atau dengan koloid sebelum
dilakukan spinal. Jika tekanan darah tetap menurun dapat diberikan obat-obat vasopresor
seperti efedrin 5-10 mg intravena. Keuntungannya selain membuat vasokonstriksi juga
meningkatkan curah jantung. Usaha lainnya untuk mencegah terjadinya hipotensi adalah
dengan mengelevasi kaki tapi hati-hati dengan penyebaran hiperbarik kearah cefalad yang
menyebabkan level blokade yang lebih tinggi. Alternatifnya ialah dengan mengubah
posisi operasi menjadi agak fleksi.
19
Bradikardia
Kejadian bradikardia akibat anastesi spinal berkisar 8,9-13% namun bisa melebihi 75%
jika ketinggian hambatan lebih dari T5. Jika serabut simpatis kardioakselator yang berasal
dari T1-T5 dihambat maka tonus vagal parasimpatis menjadi dominan menyebabkan
bradikardia ringan sampai sedang. Bradikardia dapat muncul akibat penurunan aliran
balik vena atau stimulus seperti tarikan peritoneum namun pada beberapa kasus tidak
dapat dijelaskan penyebabnya.
Faktor resiko terjadinya bradikardia adalah (laju nadi<50x/menit) adalah laju nadi basal
(<60x/menit), penggunaan beta bloker dan status fisiologis ASA 1. Henti jantung akibat
hipotensi berat dan bradikardia jarang terjadi.
Total Spinal atau blok spinal tinggi
Istilah yang mendeskripsikan tindakan anastesia spinal ketika obat menyebar terlalu jauh
ke sefalad sampai ke region servikal. Blokade setinggi ini biasanya tidak disengaja, akibat
tidak diantisipasinya gerakan-gerakan pasien sesaat setelah obat dimasukkan, salah
pengaturan posisi pasien atau ketidaksesuaian dosis obat yang diberikan. Karena kecilnya
dosis anastetika lokal yang digunakan pada anastesia spinal, komplikasi ini lebih tinggi
resikonya pada epidural dengan pungsi dura tidak sengaja.Pada anastesia spinal, kejadian
serupa dinamakan blok spinal tinggi dengan klinis yang biasanya sedikit lebih baik.
Gejala utama biasanya terjadi hilangnya kesadaran, bradikardia, hipotensi dan henti napas.
Meskipun obat menyebar sampai sefalad, namun konsentrasi obat yang lebih jauh
menyebar ke posisi sefalad tersebut sudah mengalami dilusi, sehingga paralisis motorik
hanya terbatas dan durasi berlangsung sebentar. Penanganan bersifat suportif misanya
dengan bantuan ventilasi dan sirkulasi, baik dengan obat-obatan maupun tanpa obatobatan. Pencegahan berhunungan dengan teknik penyuntikan, obat yang digunakan dan
pengaturan posisi pasien.
Nyeri Punggung
Faktor penting yang mempengaruhi nyeri punggung pasca operasi adalah lamanya
prosedur dan tidak bergantung dari jenis/teknik anastesia (umum, spinal, atau
epidural). Kejadian nyeri punggung setelah anastesi spinal berkisar 0,8% ini
dipengaruhi oleh jenis jarum dan jumlah pungsi/penyuntikan. Nyeri punggung pada
tempat suntikan dapat dihubungkan dengan trauma pada periostealnya. Penyebab
lainnya mungkin karena peregangan ligamentum atau karena meja operasi yang keras.
Mual Muntah Pasca Bedah ( Post Operative Nausea and vomiting / PONV)
20
Mual (nausea) juga merupakan efek samping yang sering muncul pada anastesia
spinal. Faktor resiko diantaranya wanita, ketinggian hambatan sensorik yang lebih
tinggi, dan premedikasi opioid. Hipotensi meningkatkan resiko mual muntah pada
Terapi Cairan
Tubuh manusia terdiri dari zat padat (40%) dan zat cair (60% dari berat badan). Zat
cair terdiri dari cairan intrasel (40%) dan cairan ekstrasel (20% berat badan). Cairan ekstrasel
terdiri dari cairan intravascular (5%) dan cairan interstisial (15% dari berat badan)
Dalam cairan tubuh terlarut elektrolit dalam intrasel dan ekstrasel . dalam intrasel
yang terpenting K+ dan PO4-, sedangkan dalam ekstrasel yang terpenting adalah Na + dan Cl.Juga terlarut cairan non elektrolit yaitu glukosa (BM kecil), dan protein (BM besar).
Terapi cairan dan elektrolit merupakan langkah life saving pada pasien yang
menderita kehilangan cairan yang banyak. Tujuan terapi cairan yaitu untuk mengganti cairan
yang hilang, mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan
per hari, mengatasi syok, dan mengoreksi dehidrasi.
Jenis Cairan dan Indikasinya
Cairan infus dapat digolongkan kedalam empat kelompok, yaitu:
21
1. Cairan pemeliharaan untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru,
dan keringat.
Jumlah cairan yang hilang berbeda-beda sesuai dengan umur yaitu
Dewasa
1,5-2 ml/kg/jam
Anak-anak
2-4 ml/kg/jam
Bayi
4-6 ml/kg/jam
Neonatus
3 ml/kg/jam
Karena cairan yang hilang sedikit sekali mengandung elektrolit maka cairan pengganti
yang digunakan adalah hipotonis-isotonis dengan perhatian khusu untuk natrium yaitu
D5NaCl 0,9, D5NaCl 0,45, D5NaCl 0,225, Dextrouse 5% dalam Ringer Laktat,
Dextrose 5% dalam Ringer, dan Maltose 5% dalam ringer. Selain itu dapat juga
digunakan cairan non elektrolit misalnya Dextrose 5% atau 10% dalam air, Maltose
5% atau 10%.
2. Cairan pengganti yang bertujuan untuk mengganti kehilangakan air tubuh yang
disebabkan sekuestrasi atau proses patologi yang lain missal fistula,efusi pleura,
asites, drainase lambung, dehidrasi dan perdarahan pada pembedahan atau cedera.
Cairan yang digunakan adalah jenis kristaloud misalnya NaCl 0,9% dan Ringer laktat,
koloiid misalnya Dextrans 40 dan 70. Expafusin, Albumin, dan plasma.
3. Cairan untuk tujuan khusus, yang digunakan adalah kristaloid misalnya natrium
bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas untuk koreksi khusu terhadap gangguan
keseimbangan elektrolit.
4. Cairan nutrisi. Digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau makan,
tidak boleh makan, dan tidak bias makan peroral.
Terapi cairan Perioperatif
Terdapat tiga periode yang dialami oleh pasien apabila medapat tindakan
pembedahan, yaitu: pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah.
1. Terapi cairan prabedah
Tujuuannya adalah menggatikan cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah
akibat puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik
atau dehidrasi.
Maintanance :
4ml x 10 BB pertama
2ml x 10BB pertama
1ml x (BB-20)
Puasa :
22
Premedikasi
5.2.1
Ondansentron
Ondansentron merupakan antagonis 5HT3 yang dapat ditemukan pada reseptor yang
digunakan sebagai profilaksis anti mual dan muntah dianjurkan sebelum induksi dan
pascabedah terutama pada pasien dengan riwayat mual dan muntah. Dosis yang
direkomendasikan pada ondansentron adalah 4mg.1,4
5.3
Dikeluarkan dalam tubuh melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh dab sebagian besar
dalam bentuk metabolitnya. Untuk blok spinal digunakan larutan 0,5%-0,75% dengan dosis
1-2mg/kgBB.1,2,6
5.4
EFEDRIN
Kontra indikasi
wanita hamil dengan tekanan darah >130/80, penggunaan bersamaan dengan agen
simpatomimetik lainnya.
Cara kerja:
Mekanisme aksi
stimulasi alfa & beta adrenergic yang meningkatkan curah jantung & tekanan darah,
menurunkan perfusi renal & PVR yang bervariasi.
Farmakokinetika
Durasi
Ekskresi
: Urin (60-77%)
Dosis
Hipotensi terkait dengan anestesi spinal: 25-50 mg IM/SC 1-2x, atau 5-25 mg IV selama
5-10 min jika diperlukan, tidak melebihi 150 mg/hari.
Efek samping
Hipertensi, takikardia, disritmia, cemas, anorexia, mual, muntah, tremor, dan palpitasi5.
24
5.5
INDUXIN
Cara kerja
Mekanisme kerja : Oxytocin bekerja selektif pada reseptornya di otot polos uterus
yang selanjutnya terbentuk siklik adenosine-5-monofosfat (cAMP). Menyebabkan
depolarisasi membrane sel myometrium sehingga terjadi kontraksi ritmis pada uterus,
meningkatkan frekuensi kontraksi yang telah ada, dan meningkatkan tonus otot-otot
uterus. Oxytocin terutama bekerja pada akhir kehamilan, selama kehamilan dan
segera setelah proses persalinan. Kepekaan uterus terhadap oksitosin dipengaruhi oleh
hormone estrogen, progesterone dan reseptor oksitosin. Dengan semakin bertambah
usia kehamilan, kepekaan uterus terhadap oksitosin semakin meningkat akibat
reseptor oksitosin yang semakin banyak dan dominasi pengaruh estrogen yang
meningkat. Oxytocin juga bekerja pada reseptor-reseptor sel mioepitel payudara dan
25
menstimulasi kontraksi sel-sel ini, yang menyebabkan mengalirnya air susu ke duktus
yang lebih besar, serta memudahkan keluarnya air susu (reflex ejeksi ASI). Oksitosin
bekerja pada reseptor hormone antidiuretic dan menyebabkan peningkatan atau
penurunan tekanan darah diastolic yang mendadak akibat vasodilatasi serta
menyebabkan retensi air.
-
Farmakokinetika
Onset
: Segera (IV)
Durasi
: 20 menit (IV)
26
Mual, muntah, konstriksi pembuluh darah tali pusat, stimulasi yang berlebihan pada
uterus dan reaksi hipersensitif.
5.6
POSPARGIN
Pospargin merupakan golongan Metilergometrin maleat, uterotonik
Indikasi
- Mencegah dan mengobati pendarahan pasca persalinan dan pasca abortus, termasuk
pendarahan uterus karena sectio caesaria.
- Penanganan aktif kala III pada partus.
- Pendarahan uterus setelah placenta lepas, atoni uterus, subinvolusi (mengecilnya
kembali
rahim
sesudah
persalinan
hampir
seperti
bentuk
asal),
lokiometra
Farmakokinetika
Onset
Durasi
27
Dosis :
- Sectio caesarea : setelah bayi dikeluarkan secara ekstraksi, i.m.1 mL atau i.v. 0,5-1 mL
(0,2 mg).
- Penanganan aktif kala III : i.m. 0,5-1 mL (0,1 - 0,2 mg) setelah kepala atau bahu interior
keluar atau selambat - lambatnya segera setelah bayi dilahirkan.
- Kala III pada partus dengan anestesi umum : i.v. 1 mL (0,2 mg).
- Atoni uterus : i.m. 1 mL atau i.v. 0,5-1 mL.
- Subinvolusi, lokhiometra : 1 atau 2 tablet 3x/hari, atau i.m. 0,5 - 1 mL / hari
Efek samping
Pada pemberian dosis yang besar, dapat terjadi mual, muntah dan sakit perut. Pada
penyuntikan IV yang cepat, dapat terjadi hipotensi.
5.7
Tramadol
Salah satu derivate sintetik opioid adalah tramadol. Opioid menghasilkan efek melalui
interaksinya dengan reseptor opoid di susunan saraf dan saluran gastrointestinal. Opioid
menghasilkan hiperpolarisasi sel saraf,inhibisi pelepasan saraf dan inhibisi prasinap dan
pelepasan neurotransmitter. Opioid mempunyai beberapa efek klinis yaitu:
Analgesia
Pada manusia pemberian opioid akan menghasilkan efek analgesia, rasa mengantuk,
perubahan mood dan mental. Opioid menghilangkan nyeri dengan meningkatkan ambang
nyeri pada tingkat medulla spinalis dan yang paling penting dengan mengubah persepsi nyeri
di otak. Efek analgesia yang ditimbulkan tidak berhubungan dengan hilangnya kesadaran.
Proses menghilangkan nyeri oleh opioid adalah selektif, tidak mempengaruhi kekuatan
sensoriknya. Pasien masih merasakn nyeri namun perasaan yang ditimbulkan lebih nyaman.
Nyeri nosiseptif lebih berespon terhadap efek analgesia dari opioid dibandingkan nyeri
neuropati.
Respirasi
Opioid menyebabkan depresi pernafasan dengan cara menurunkan sensitivitas neuron pusat
pernafasan terhadap CO2. Depresi nafas terjadi setelah mencapai kadar tertentu dan akan
meningkat dengan peningkatan dosis.
Emesis
28
Opioid menstimulasi secara langsung chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema
yang menyebabkan muntah.
Kardiovaskular
Opioid tidak terlalu mempengaruhi tekanan darah kecuali pada dosis yang sangat tinggi.
Dalam hal ini dapat terjadi hipotensi dan bradikardia. Tekanann serebrospinal dapat
meningkat karena vasodilatasi pembuluh serebral akibat depresi pernafasan dan retensi CO2.
Dosis yang diberikan untuk tatalaksana nyeri sedang sampai berat pasca operasi dengan cara
drip infus100 mg dilanjutkan 50 mg setiap 10-20 menit,bila perlu sampai 250 mg pada satu
jam pertama. Dosis maintenance 50 100 mg setiap 4-6 jam. Dosis maksimal adalah 600 mg
per hari.7
5.8
Ketoprofen (Pronalges)
Ketoprofen merupakan analgetik yang termasuk dalam golongan NSID. Ketoprofen
29
BAB VI
KESIMPULAN
Pasien merupakan pasien obstetri dan ginekologi dengan diagnosis G2P2A0 usia
kehamilan 38 minggu dengan riwayat Bayi Besar. Dari anamnesis pasien tidak terdapat
keluhan mual, muntah dan tidak terdapat penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes
mellitus, maupun alergi. Pasien juga tidak menggunakan gigi palsu maupun gigi goyang.
Pasien tidak sedang demam maupun batuk. Dari pemeriksaan fisik maupun penunjang tidak
terdapat kelainan pada pasien. Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi
menurut American Society of Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA 1.
Pasien diberikan premedikasi berupa ondansetron dan dilakukan regional anestesi
dengan teknik subarachnoid block pada L3-L4 dengan menggunakan spinal needle dengan
ukuran diameter 27. Lalu dimasukkan obat bupivacaine. Obat-obat yang diberikan pada
pasien ini adalah efedrin, oxytocin, metergin, dan tramadol.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku, Gde, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT
Indeks.
2. Listiarini, Dian Ayu, Mohamad Sofyan Harahap, and Uripno Budiono. "Penentuan
Dosis Efektif Bupivacaine Hiperbarik 0, 5% Berdasarkan Tinggi Badan Untuk Bedah
Sesar Dengan Blok Subarakhnoid." Jurnal Anestesiologi Indonesia 6.1 (2014).
3. Said A. Latief, Kartini A Suryadi, M. Ruswan Dachlan. Petunjuk
PraktisAnestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anstesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001.
4. Ondansetron: Medscape reference. Ondansetron. [Online]. Updated January 2014.
Available at http://reference.medscape.com/drug/zofran-zuplenz-ondansetron-342052.
Accessed 19 June, 2014.
5. Efedrin: Medscape Reference. Ephedrin. [Online]. Updated January 2014. Available
at http://reference.medscape.com/drug/ephedrine-342436. Accessed 19 June, 2014
6. Bupivacaine: Medscape Reference. Bupivacaine. [Online]. Updated January 2014.
Available at http://reference.medscape.com/drug/marcaine-sensorcaine-bupivacaine343360. Accessed 19 June, 2014.
7. Gronds
S,
Sablotzki
A.Clinical
Pharmacology
of
Tramadol.
Clin
Pharmacokinet.2004;43(13):876-923
8. Medscape.
Ketoprofen.
[cited
August
10,
http://reference.medscape.com/drug/ketoprofen-343291
31
2014].
Available
at: