Anda di halaman 1dari 11

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI:

HARAPAN UNTUK PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN


oleh
Nyoman Dantes
Jurusan Bimbingan Konseling
Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) saat ini merupakan
suatu harapan untuk tercapainya mutu pendidikan Indonesia yang kini sedang
terpuruk. Sebagai suatu inovasi pendidikan, kurikulum tersebut dikembangkan
sesuai dengan paradigma baru pendidikan yang berorientasi konstruktivisme.
Sejumlah potensi masalah yang mungkin timbul dalam implementasinya perlu
diantisipasi secara lebih dini.
Kata kunci: Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), paradigma baru pendidikan,
implementasi KBK
ABSTRACT
The current implementation of the Competence-Based Curriculum (KBK)
yields a hope for a high quality of education in Indonesia, which is now in vain. As
an educational innovation, the curriculum has been developed based on the new
educational paradigm oriented to the constructivism. An early anticipation to a
number of potential problems in its implementation needs to be considered.
Key words: Competence-Based Curriculum (KBK), new educational paradigm,
implementation of KBK

1. Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, perubahan kurikulum bukanlah suatu hal yang
luar biasa. Bahkan idealnya, kurikulum harus diganti setiap lima tahun sekali. Hal
ini logis mengingat kurikulum merupakan sekumpulan pengalaman belajar yang
bertujuan memberi bekal hidup bagi setiap anak didik. Karena dunia terus

berkembang dengan berbagai perubahannya, maka kurikulum pun harus


disesuaikan dengan tuntutan jamannya.
Di jaman global sekarang ini dimana sains dan teknologi terutama
teknologi informasi berkembang sangat cepat, diperlukan suatu kurikulum yang
bersifat global dan fleksibel. Filsafat konstruktivisme yang merajai cara pandang
dunia saat ini membawa ciri kemandirian, keberagaman, dan kreativitas dimana
setiap orang harus aktif namun tetap fleksibel dalam menghadapi persoalan
kehidupan.
Dunia pendidikan kita perlu melakukan upaya-upaya untuk menjawab
tantangan di atas. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang baru saja
digunakan secara serentak pada semua jenjang sekolah tampak berusaha
menjawab tantangan tersebut. Meskipun perubahan kurikulum merupakan hal
yang biasa, tetapi di lapangan penggunaan KBK telah mengundang berbagai
kepedulian, pertanyaan, bahkan pro-kontra. Sebagai sebuah sumbangan pemikiran,
tulisan ini mengulas mengenai KBK sebagai suatu harapan untuk peningkatan
mutu pendidikan dan sebagai pengejawantahan dari paradigma baru pendidikan.
Suatu analisis antisipatif mengenai potensi masalah yang mungkin timbul juga
dilakukan.
2. KBK: Suatu Harapan
Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad ke-21 dalam laporannya
kepada UNESCO (Delors, dkk. 1996) menyebutkan bahwa pendidikan yang
bermakna harus dilakukan melalui empat pilar pendidikan (the four pillars of
education), yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to
live together. Dalam learning to know siswa diharapkan menguasai ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk memahami lingkungan. Dalam learning to do
siswa dilatih untuk menggunakan ilmu pengetahuannya untuk menjawab tantangan
dunia kerja. Dalam learning to be siswa dididik untuk menjadi individu yang
independen dan dapat berfifikr maupun berpendapat secara kritis. Dan dalam
learning to live together, setiap individu (siswa) memahami pentingnya
pemahaman terhadap orang lain, menerima setiap persamaan dan perbedaan, dan
menyadari adanya saling ketergantungan. Hal ini sangat penting karena dunia
sudah sangat kompleks dan penuh dengan konflik. Keempat pilar ini merupakan

pengalaman kehidupan yang menyeluruh, dimana siswa belajar memahami dan


mengaplikasikan ilmu dan nilai yang difokuskan baik pada individu maupun pada
lingkungan. Jika dilihat secara makro, keempat pilar pendidikan tersebut
sesungguhnya merujuk kepada tingkat mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu
adalah pendidikan yang bermakna, artinya proses pendidikan dapat menghasilkan
manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dapat
digunakan untuk menjawab tantangan era global.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan isu sentral yang banyak
dibicarakan dewasa ini. Hal ini terjadi, selain adanya kepedulian dunia tentang
mutu pendidikan global, juga lebih dikarenakan kenyataan bahwa mutu pendidikan
kita kian hari kian terpuruk. Parameter internasional menunjukkan hal ini. Sebuah
survai pada tahun 1996 mengenai kemampuan membaca anak sekolah dasar di 39
negara menghasilkan Indonesia berada pada peringkat ke-37. Sedangkan hasil
survai oleh The Political and Economics Risk Consultation terhadap mutu
pendidikan pada 12 negara, dan Indonesia berada pada posisi juru kunci. Demikian
pula hasil penelitian terhadap Human Development Index yang menunjukkan
bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-102 dari 106 negara yang disurvai.
Ironis memang, di tahun 60-an banyak mahasiswa dari Malaysia yang
bersekolah di Indonesia, terutama di Yogya, Bandung, dan Jakarta. Sekarang,
banyak anak-anak Indonesia bersekolah di Malaysia. Harian Nusa edisi tanggal 18
Desember 2003 melaporkan bahwa banyak orangtua di Kalimantan yang
menyekolahkan anaknya di Malaysia. Sementara orangtuanya tetap tinggal di
Indonesia, anak-anaknya ditemani pembantu tinggal di rumah kontrakan di
Malaysia.
Faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan kita terletak pada unsur-unsur
pendidikan itu sendiri, salah satunya adalah kurikulum. Kurikulum yang selama ini
terlalu sentralistik diyakini sangat tidak relevan dengan susunan masyarakat
Indonesia yang sangat majemuk dilihat dari sudut ekonomi, geografi, dan budaya.
Demikian pula kurikulum yang subject-matter oriented cenderung memisahmisahkan pengalaman belajar siswa ke dalam bidang-bidang studi, sehingga pada
akhirnya menyebabkan siswa tercerabut dari kenyataan yang mereka jalani, yaitu
kehidupan itu sendiri yang bersifat holistik dengan berbagai persoalan yang hanya
dapat diselesaikan dengan pendekatan yang terpadu dan komprehensif.

Uraian di atas menunjukkan betapa peningkatan mutu pendidikan bisa


diantarkan salah satunya melalui perbaikan kurikulum. Untuk hal itu berbagai
upaya dilakukan oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, salah
satunya adalah merancang penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
pada semua jenjang sekolah. Layaknya suatu inovasi, KBK diharapkan membawa
perbaikan dalam proses pendidikan yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Namun demikian, perlu dipahami suatu inovasi dapat pula menambah
kusutnya benang kusut pendidikan kita selama ini. Oleh karena itu, diperlukan
suatu wawasan yang tepat mengenai KBK, dan sebagai tindakan preventif, perlu
pula disadari dan diantisipasi potensi masalah yang dapat timbul dalam
implementasinya.
3. KBK sebagai Manifestasi Paradigma Baru Pendidikan
Secara konseptual, kurikulum adalah sejumlah pengalaman belajar yang
diberikan kepada siswa. Secara fungsional, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1 butir 19 menyebutkan bahwa kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UUSPN, 2003). Dalam
sejarahnya, pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan
kurikulum. Sejak tahun 2001, mulai dilakukan ujicoba terbatas Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK).
Penyusunan KBK tidak terlepas dari perubahan paradigma pendidikan
masa kini. Aliran konstruktivisme yang diilhami oleh pandangan Jean Piaget dan
Lev Vygotsky tentang proses perkembangan kemampuan intelektual (Confrey,
1995), telah mengubah cara pandang para pendidik mengenai keberadaan anak dan
proses belajarnya. Konstruktivisme menganggap individu dan lingkungannya
bersifat holistik, suatu being yang utuh. Keberadaan individu tidak dapat
dilepaskan dari lingkungan dimana individu tersebut berada. Melalui interaksi
dengan lingkungannya, individu membangun (to construct) pengetahuannya.
Setiap orang adalah individu aktif yang secara terus-menerus berusaha mencapai
keseimbangan (ekuilibrium) diri. Namun, bersamaan dengan itu selalu pula
muncul ketidakseimbangan (disekuilibrium) berupa rasa ingin tahu dan kebutuhan

untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Melalui proses asimilasi dan


akomodasi antara apa yang ada pada dirinya dengan apa yang ada disekitarnya
individu membentuk pengetahuan baru.
Pemahaman terhadap keutuhan manusia sebagai makhluk individu
sekaligus sebagai makhluk sosial merupakan cikal bakal lahirnya paradigma baru
pendidikan. Proses pendidikan tidak lagi dipandang sebagai upaya mentransfer
pengetahuan kepada anak didik. Sebab layaknya suatu proses pemindahan
(transfer), ilmu yang diberikan diharapkan utuh diterima oleh peserta didik. Hal ini
tidak tepat mengingat masing-masing individu utuh sebagai dirinya, yang tidak
pernah sama antara satu dengan yang lain. Setiap individu memiliki pengetahuan
awal, minat, strategi, dan proses kognitif yang berbeda, sehingga suatu informasi
yang sama belum tentu dipersepsi sama oleh semua individu. Setiap individu
meperoleh makna melalui transaksi pribadinya dengan informasi tersebut. Jadi,
pendidikan adalah suatu proses transformasi ilmu. Melalui proses transaksi (yang
meliputi proses asimilasi dan akomodasi) anak didik membentuk pengetahuannya.
Peranan lingkungan sosial budaya mendapat penekanan besar dalam
Sociocultural Theory of Learning yang diajukan oleh Vygotsky. Sarjana hukum
lulusan Universitas Moscow yang menekuni filsafat dan psikologi ini mengatakan
bahwa anak didik akan belajar optimal dalam lingkungan yang cocok dengan
dirinya. Faktor mediasi (mediation) memungkinkan anak mencapai prestasi
optimalnya. Menurut Vygotsky setiap anak didik berada pada suatu rentangan
kemampuan yang disebut dengan Zone of Proximal Development (ZPD), dengan
mediasi yang tepat seperti bantuan guru, peranan teman sebaya, orangtua, serta
ekspose terhadap alam sekitar.
Pengejawantahan perspektif konstruktivis dalam KBK dapat dilihat dari
konsepsi bagaimana pembelajaran dilakukan. Fokus utama pembelajaran adalah
optimalisasi belajar (optimalization of learning). Belajar optimal dapat dicapai
melalui interaksi antara individu dengan karakteristiknya, dengan lingkungan
dengan karakteristiknya pula. Interaksi yang intensif terjadi bilamana karakteristik
individu semakin banyak sesuai dengan karakteristik lingkungannya, demikian
pula sebaliknya.
Konsep ini terwujud dalam ciri KBK yang mengunggulkan kemandirian
dan keberagaman. Kemandirian dan keberagaman terjadi karena setiap anak didik

mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungannya sesuai dengan


minat dan kemampuannya. Berbagai kemungkinan ditawarkan dalam KBK untuk
memfasilitasi kemandirian dan keberagaman tersebut, antara lain melalui asesmen
berbasis kelas dimana penilaian bersifat holistik dan individual, serta kurikulum
yang berdiversifikasi. Dengan berbagai kemungkinan itulah anak didik diharapkan
membentuk pengetahuannya dalam rangka menjawab persoalan hidup yang
dihadapinya.
Pengejawantahan paradigma baru pendidikan yang berorientasi
konstruktivis seperti tersebut di atas dalam KBK dapat dilihat pada gambar
berikut.

4. Potensi Masalah dalam Implementasi KBK


Dalam suatu studi evaluatif tentang kesiapan guru dalam melaksanakan
KBK, Kerta Adhi (2003) menemukan bahwa guru-guru IPS SMU tempat ujicoba
KBK di Denpasar Bali, mempunyai kesiapan yang lebih tinggi untuk
mengimplementasikan KBK dibandingkan dengan guru-guru sejenis yang
sekolahnya tidak dipakai sebagai tempat ujicoba. Secara umum disimpulkan
bahwa guru-guru tersebut cukup siap untuk melaksanakan KBK. Namun, bila

dilihat dari tiga faktor pendukung kesiapan guru, ternyata gurur-guru hanya siap
pada faktor latar, tetapi kurang siap pada faktor input dan proses.
Secara umum temuan ini cukup menggembirakan karena dengan begitu
berarti wacana implementasi KBK secara serentak pada semua SLTP dan SMU
mulai tahun ajaran 2003/2004 ini cukup mendapat dukungan dari sudut kesiapan
guru. Hal ini sangat penting mengingat berhasil tidaknya suatu kurikulum pada
akhirnya sangat tergantung pada unjuk kerja guru. Hal itu dapat disadari karena
kunci utama penerapan KBK adalah kesiapan, kemauan, dan kemampuan guru
untuk melaksanakan secara sungguh-sungguh. Sesempurna apapun inovasi
pendidikan tidak akan berarti apa-apa (sia-sia) apabila tanpa guru yang
berkompeten.
Namun, kesiapan guru menerapkan KBK dalam pembelajarannya bukan
berarti penerapan KBK tanpa kendala. Seperti telah diungkapkan di depan, setiap
inovasi pasti membutuhkan kesiapan semua komponen yang terlibat. Sejumlah
masalah yang mungkin timbul, berikut ini dikaji melalui empat komponen KBK,
yaitu komponen kurikulum dan hasil belajar, asesmen berbasis kelas, kegiatan
belajar-mengajar, dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Komponen kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan
pengembangan kompetensi anak didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak
lahir sampai 18 tahun. Yang dimaksud dengan kompetensi dalam KBK adalah
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Perlu digarisbawahi bahwa kompetensi yang
diharapkan dari anak didik tidaklah sama dengan craftsmanship. Seperti contoh,
belajar membuat kursi dari tukang kursi. Kebiasaan untuk berfikir dan bertindak
yang dimaksud adalah mencakup aspek kemampuan dasar/generik, dan aspek
aplikatif dalam rangka menjawab persoalan yang ada. Dengan demikian, bila
belajar membuat kursi, kompetensi yang diharapkan adalah bisa membuat kursi
sesuai dengan kebutuhan. Begitu pun dengan kompetensi yang dimiliki dapat
dipakai menilai dan melakukan refleksi diri. Pemahaman terhadap konsep
kompetensi ini perlu dijelaskan dan dipahami dengan benar baik oleh para
penyelenggara pendidikan maupun oleh para praktisi, sebagai tindakan antisipatif
agar tidak terjadi kekeliruan penerapannya di lapangan.

Komponen Asesmen Berbasis kelas memuat prinsip, sasaran, dan


pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai
akuntabilitas publik. Teknik-teknik asesmen berbasis kelas yang digunakan adalah
portofolio, hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan
tes uraian. Dilihat dari bentuk-bentuk asesmen tersebut, jelas adanya penekanan
baik asesmen dalam proses maupun terhadap produk belajar.
Dari sekian teknik asesmen yang ditawarkan, asesmen portofolio dapat
menjadi pilihan mengingat didalamnya tercakup asesmen proses maupun produk
belajar. Asesmen portofolio bersifat on-going dan menyeluruh dalam arti melihat
dari berbagai aspek, termasuk kelebihan dan kekurangan anak didik yang
bersangkutan. Di dalam portofolio terdapat kumpulan karya-karya, baik yang
masih berupa draf maupun karya jadi. Dalam asesmen portofolio anak didik juga
dibiasakan untuk menilai karyanya sendiri, dan melakukan refleksi. Dengan
demikian asesmen portofolio mengarah pada pemantauan perkembangan anak
didik dalam upaya mencapai kompetensi tertentu yang diharapkan.
Penerapan asesmen berbasis kelas memerlukan penyesuaian yang cukup
mendasar dari praktik asesmen yang digunakan di masa lampau. Penggunaan tes
objektif, utamanya tes pilihan ganda telah menjadi primadona alat ukur hasil
belajar. Demikian luas dan populernya penggunaan tes pilihan ganda, sampaisampai menjadi suatu orientasi dalam proses pembelajaran, dimana telah terjadi
dampak langsung sistem pengujian yang berorientasi pada tes objektif, terhadap
proses pembelajaran. Lihat saja anak didik yang berusaha menjawab soal-soal
berbentuk objektif yang ada pada akhir setiap pokok bahasan, tanpa mempelajari
materinya terlebih dahulu. Jelas telah terjadi the effect of testing on instruction,
padahal secara linier semestinya pembelajaranlah yang mempengaruhi bagaimana
asesmen dilakukan.
Permasalahan lain yang tak kalah pelik adalah sistem penerimaan
mahasiswa baru di perguruan tinggi, dimana seleksinya masih menggunakan tes
objektif; dan hasil tes tersebut merupakan satu-satunya dasar dalam pertimbangan
penerimaan. Tentu saja sekolah, dalam hal ini SMU tidak mau beresiko lulusannya
tidak lolos SPMB hanya karena tidak terbiasa mengerjakan tes objektif.
Kekhawatiran ini telah sering terungkap dalam pertemuan-pertemuan mengenai
KBK. Kebimbangan menerapkan teknik-teknik asesmen holistik seperti asesmen

portofolio akan tetap ada sepanjang sistem rekrutmen untuk jenjang pendidikan
lanjutan masih menggunakan tes pilihan ganda atau tes objektif lainnya.
Komponen kegiatan belajar mengajar memuat gagasan-gagasan pokok
kegiatan pembelajaran yang lebih bermakna, tidak mekanistik. Jelas ini merupakan
pengejawantahan konsep Developmentally Appropriate Practices yang bercirikan
kebermaknaan dan ketercernaan. Kegiatan-kegiatan belajar yang nyata dan
membumi selama ini lebih banyak hanya sebatas wacana. Pendekatan yang keliru
terhadap pokok-pokok bahasan sebagai satuan materi yang masing-masing berdiri
sendiri telah membiasakan guru mengalokasikan waktu per pokok bahasan,
padahal beberapa pokok bahasan dapat ditangani sekaligus secara terpadu intra
bidang studi (bahkan diharapkan terjadi integrasi antar bidang studi; dan ini
memungkinkan terutama di sekolah dasar).
Parahnya lagi, banyak guru yang menggadaikan pembelajarannya pada
buku, alias book-oriented. Target mereka adalah materi (dalam buku) selesai,
tuntas. Caranya? Dengan membahas isi buku perhalaman dan anak didik
menghafalnya! Diperlukan perubahan yang cukup mendasar baik pada tataran
pemahaman konsep tentang pembelajaran bermakna, maupun pada teknik-teknik
implementasinya di kelas.
Dalam Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah dimungkinkan adanya
diversifikasi kurikulum. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan
dengan keberagaman kondisi dan kemampuan. Dengan kata lain, kurikulum
diharapkan dapat melayani anak didik yang mempunyai kemampuan tinggi,
sedang, maupun rendah dengan baik. Pengargaan terhadap keberagaman anak
didik memang menjadi salah satu ciri KBK. Namun, dedikasi yang dituntut
olehnya tidaklah kecil. Diversifikasi kurikulum hanya tampak indah di atas kertas,
tetapi dalam pelaksanaannya, terutama dalam proses pembelajaran diperlukan
strategi dan daya dukung yang tinggi mengingat bahwa pada umumnya kita
memiliki kelas-kelas besar (rata-rata 40 orang per kelas), dan kebiasaan anak didik
yang tidak mampu belajar mandiri. Pergeseran pola pembelajaran dari teacheroriented ke student-oriented mutlak perlu dilakukan dalam rangka diversifikasi
kurikulum tersebut.
5. Penutup

KBK adalah sebuah upaya, sebuah terobosan yang sekarang


diimplementasikan dalam pendidikan kita. Kehadirannya telah mengubah praktik
penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam proses pembelajaran. Maka banyak
yang harus dilakukan baik oleh para penyelenggara pendidikan di tingkat yang
lebih tinggi, maupun oleh para praktisi di lapangan (guru). Suasana pendidikan
kita menjadi marak, banyak pelatihan, pengadaan sarana dan prasarana, dan lainlain penunjang pelaksanaan KBK. Demikianlah, KBK kini adalah sebuah
kenyataan dalam dunia pendidikan kita.
Tetapi, KBK adalah juga sebuah harapan. Sebuah mimpi ingin diwujudkan
melalui KBK, yaitu tercapainya mutu pendidikan yang tinggi. Bukankah KBK
telah disesuaikan dengan perkembangan jaman, dinamika masyarakat global, dan
teori-teori pendidikan masa kini, serta disusun untuk memenuhi empat pilar
pendidikan seperti yang dituntut oleh laporan komisi pendidikan UNESCO? Maka,
secara internal kurikulum, kita menggantungkan harapan yang besar agar
keterpurukan mutu pendidikan sekarang ini dapat segera diatasi melalui KBK.
Untuk itu diperlukan dukungan yang sungguh-sungguh dari para pengambil
kebijakan, praktisi, dan masyarakat demi terwujudnya harapan meningkatkan mutu
pendidikan, untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak bangsa. Kurangnya
dedikasi dari seluruh komponen terkait bukan hanya akan menyebabkan kegagalan
implementasi KBK, tetapi juga dapat menimbulkan masalah baru dalam khasanah
pendidikan kita. Hendaknya perlu selalu diingat pesan para pemimpin pendidikan
bahwa to approach such an educational innovation with anything less than a total
dedication to developing a quality education is to relegate this potentially
powerful curriculum to the realms of other educational fads. Kita selalu berharap
hal ini tidak pernah terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Confrey, Jere. (1995). A Theory of Intellectual Development. Journal for the
Learning of Mathematics. Vol 15,1 (Februari). 38 47.
Delors, J. Dkk. (1996) Learning the Treasure Within, Education for the 21th
Century Paris: UNESCO.

____________ (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum


Balitbang Depdiknas.
Kerta Adhi, Made. (2003). Studi Evaluatif Kesiapan Guru Ilmu Pengetahuan
Sosial dalam Mengimplementasikan Kurikulm berbasis Kompetensi
Sekolah menengah Umum Negeri Se-Kota Denpasar Tahun Pelajaran
2002 2003. (Tesis Tak Terpublikasikan). Singaraja: Program Pascasarjana
IKIP Negeri Singaraja.
Moya, S.S. & OMalley, J.M. (1994). ;A Portfolio Model for ESL;. The Journal of
Educational Issues of Language Minorities. Vol. 13 (Spring). 13-36.
Prawioko, Anjas. Tahu Lebih Dekat Tentang Negeri Jiran, Malaysia: Dari
Pertanian Menjadi Negara Modern. Dalam Harian Nusa Edisi 18
Desember 2003. Terbit di Denpasar.
Syafaruddin. (2002). Manajemen Mutu Terpadu dalam pendidikan. Jakarta:
Grasindo.
_____________ (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Anda mungkin juga menyukai