Anda di halaman 1dari 14

HARAMNYA MONOPOLI

HADITS EKONOMI
Dosen Pembimbing : Muhammad Jayus, MHI

Disusun Oleh :
Kelompok

Lusi Sagita

(1421050397)

Maulian Andita

(1421050406)

Oktarina Wulandari

(1421050438)

PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1436 H / 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalanasralah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Bandar Lampung, 15 Oktober 2015

Penyusun

Daftar Isi
Kata Pengantar......................................................................................................i
Daftar Isi...............................................................................................................ii
BAB I
Pendahuluan........................................................................................................1
A. Latar belakang...................................................................................................1
B. Rumusan masalah..............................................................................................1
C. Tujuan................................................................................................................1
BAB II
Pembahasan..........................................................................................................2
A. Pengertian Monopoli (Ikhtikar).............................................................
B. Dasar Hukum Monopoli (Ikhtikar)........................................................
C. Hadits Yang Berhubungan Dengan Monopoli (Ikhtikar)......................
BAB III
PENUTUP..................................................................................
Kesimpulan...................................................................................................
Daftar Pustaka............................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan memiliki beberapa aturan yang harus ditaati , apabila ingin hidup
bahagia kita harus mentaati peraturan tersebut. Aturan-aturan tersebut tertertulis dan
tercantum dalam kitab Al- Quran (Firman ALLAH SWT) dan Sunnatullah (Hadits
Nabi), inilah pegangan hidup manusia untuk menjalani kehidupan di dunia ini.
Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik
berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan hukum yang langsung diberikan oleh
nabi atas suatu permasalahan syara'.
Agama Islam sebagaimana diketahui adalah agama yang tidak hanya berbicara
tentang ibadah murni ( mahdloh) yang hanya berhubungan dengan segala sesuatu
amal yang memiliki tendensi ubudiyyah saja, yakni hubungan antara seorang hamba
dengan tuhannya, akan tetapi Islam juga merupakan sebuah konsep social yang
didalamnya juga mengatur dan memberikan norma-norma dalam yang berkaitan
dengan muamalah.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas penulis akan mencoba membahas tentang
salah satu praktek perdagangan yang sering kali terjadi di masyarakat, yakni apa yang
disebut sebagai Ihtikar . Dalam hal ini penulis akan mencoba memaparkan tentang
hadits-hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan masalah tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Monopoli (ikhtikar)?
2. Apakah Dasar Hukum Haramnya Monopoli (Ikhtikar)?
3. Apa Sajakah Hadits Yang Berhubungan Dengan Monopoli (ikhtikar)
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Dari Monopoli (ikhtikar)
2. Mengetahui Dasar Hukum Haramnya Monopoli (Ikhtikar)
3. Mengetahui Hadits Yang Berhubungan Dengan Monopoli (ikhtikar)

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian monopoli
Monopoli dalam bahasa arab dikenal dengan sebutan ikhtikar (penimbunan).
Ikhtikar berasal dari kata hakara yang berarti az-zulm (aniaya) dan isa'ah almu'asyarah (merusak pergaulan). Dengan timbangan ihtakara yahtakiru, ikhtikar kata
ini berarti upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.1
Para ulama mengemukakan definisi ikhtikar diantaranya:
1. Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani (ahli fiqh Mazhab Zaidiyah) ikhtikar
adalah penimbunan/penahanan barang dagangan dari peredarannya.
2. Imam Al-Ghazali (Mazhab Syafi'i) mendefinisikan dengan penyimpanan
barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga
dan penjualannya ketika harga melonjak.
3. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan dengan penyimpanan barang oleh
produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar.
Ketiga definisi diatas dapat dikatakan mempunyai pengertian yang sama, yaitu ada
upaya dari seseorang untuk menimbun barang pada saat barang itu langka atau
diperkirakan harga akan naik. Seperti kenaikan bahan bakar minyak, kenaikan harga
beras dll.2

B. Dasar Hukum Haramnya Monopoli (Ikhtikar)


1

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 157.

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 151

1. Qs. Al-Baqarah : 279

Artinya: "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya aka memerangimu. Dan Jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maks bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya."3
2. Qs. Al-Maidah : 2
Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syiar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
karunia dan keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya."4

C. Hadits Yang Berhubungan Dengan Monopoli (ikhtikar)


1. HR. Muslim

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 154-155.
4

Ibid. Hlm. 154








-







.

Terjemahan hadits :
"Dari Ma'mar bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seseorang
menimbun (makanan pokok), malainkan ia berdosa."
)HR. Muslim)
Penjelasan hadits:
Menimbun

artinya

membeli

barang

dalam

jumlah

banyak

kemudian

menyimpannya dengan maksud untuk menjualnya dengan harga tinggi kepada


penduduk ketika mereka sangat membutuhkannya. Biasanya barang-barang yang
ditimbun adalah barang sedang berlimpah dan harganya murah. Ketika barang sudah
jarang dan harganya tinggi, si penimbun mengeluarkan barangnya dengan harga
tinggi sehingga ia memperoleh keuntungan yang berlipat. Walaupun harganya tinggi,
karena pembeli sangat nembutuhkan biasanya barang kebutuhan pokok maka dengan
sangat terpaksa pembeli pun membelinya.
Dalam hadits diatas tidak dijelaskan jenis barang yang dilarang untuk ditimbun,
sehingga kalangan ulama berbeda pendapat. Diantara mereka ada yang berpendapat
bahwa diharamkan menimbun baranga apa saja yang akan memadaratkan orang lain.
Salah satunya adalah Abu Yusuf yang menyatakan bahwa barang apa saja dilarang
untuk ditimbun jika akan nenyebabkan kemadaratan kepada manusia walaupun
barang tersebut emas dan perak. Pendapat disepakati oleh sebagian ulama terakhir
dari Hanabilah, Ibn Abidin Syaukani, dan sebagian ulama malikiyah. Adapun
menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah, barang yang dilarang untuk difimbun
adalah barang kebutuhan primer, sedangkan barang kebutuhan sekunder tidaklah
diharamkan. Ulama lainnya berpendapat bahwa penimbunan yang dilarang adalah

barang-barang yang biasa diperdagangkan karena akan menimbulkan ketidakstabilan


harga.
Sedangkan mengenai hukum dari penimbunan barang tersebut dikalangan ulama
tetjadi perbedaan pendapat. Akan tetapi, secara umum pendapat mereka dapat
digolongkan menjadi dua kelompok, sebagai berikut:
1. Menurut mazhab jumhur dari kalangan Syafi'iyyah, Malikiyah, Hanabilah,
Zahiriyah, Zaidiyah, Ibadiyah, Al-Imamiyah, dan Al-Kasani dari golongan
Hanafiyah,

bahwa

penimbunan

barang

hukumnya

haram.

Dengan

pertimbangan bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan kemadaratan bagi


manusia.
2. Menurut pendapat fuqaha dari kalangan mazhab Hanafiyah, bahwa
penimbunan barang dagangan hukumnya adalah makruh tahrim. Dengan
pertimbangan

bahwa

penimbunan

tersebut

diperbolehkan

jika

demi

kemaslahatan manusia.
Pendapat ulama Hanafiyah tidak menimbulkan sanksi hukum karena hanya
makruh tahrim saja. Padahal penimbunan barang demi keuntungan pribadi sangatlah
tercela karena ia berusaha mengeruk keuntungan ketika orang lain sangat kesusahan
atau menari diatas penderitaan orang lain. Tindakan itu tentu saja tidak bermoral dan
tidak mengindahkan prinsip-prinsip kemanusiaan. Oleh karena itu, sangatlah tepat
jika perbuatan itu diharamkan oleh syara'.
Dengan demikian, pendapat jumhur lebih tepat karena akan menimbulkan
dampak hukum (sanksi hukum), misalnya dengan ta'jir ataupun merampas barang
yang ditimbunnya.5
Setiap orang yang melakukan ikhtikar (penimbunan barang dagangan) dengan
sengaja untuk menunda penjualan barang (dagang) itu ke pasar, dengan maksud untuk
mendapatkan kenaikan harga barang, dengan cara memanfaatkan kelangkaan barang
5

Rahmat Syafe'i, Al-Hadits (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000,
Hlm. 173-176.

(dagangan) dan kebutuhan konsumen (pembeli), maka orang tersebut dianggap


bersalah (berdosa karena tindakannya).
2. HR. Thabrani



Terjemahan hadits:
"Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan
menempatkannya didalam neraka pada hari kiamat."
(HR. Thabrani)
Penjelasan hadits:
Berdasarkan hadist tersebut diatas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
ikhtikar tergolong kedalam perbuatan yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat
menyataksn bahwa melakukan ikhtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi
perbedaan pendapat tentang cara menetapkan hukum itu, sesuai dengan sistim
pemahaman hukum yang dimiliki mazhab masing-masing. Perbedaan pendapat itu
adalah sebagai berikut:
1. Menurut ulama Syafi'iyah, Hanabilah, Makikiyah, Zaidiyah dan Zahiriyah,
melakukan ikhtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah
hadits yang telah disebutkan diatas sudah jelas bahwa melakukan ikhtikar
hukumnya adalah haram dan harus dapat dicegah oleh pemerintah dengan
segala cara, karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap
kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Oleh sebab
itu, pihak penguasa harus segera turun tangan untuk mengatasinya.
2. Ulama Syafi'iyah mengatakan bahwa hadits yang mengatakan bahwa ikhtikar
merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengandung pengertian yang dalam.
Orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja berarti telah berbuat suatu
pengingkaran terhadap ajaran syara'. Mengingkari ajaran syara' merupakan

perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian, perbuatan ikhtikar termasuk


kedalam salah satu perbuatan yang diharamkan, apalagi dalam hadist itu
pelakunya diancam dengan neraka.
3. Ulama Hanabilah juga mengatakan bahwa ikhtikar merupakan perbuatan yang
diharamkan syara', karena membawa nudharat yang besar terhadap
masyarakat dan negara.
4. Imam Al-Kasani, pakar fiqh Hanafi berpendapat bahwa ikhtikar itu hukumnya
haram. Ia menyatakan bahwa dalam masalah ihktikar terkandung dua
kemaslahatan yang bertentangan, yaitu kemaslahatan pribadi pedagang dan
kemaslahatan konsumen. Dilihat dari tujuan syara' dalam menetapkan hukum,
apabila terjadi pertentangan antara kepentingan orang banyak dengan
kepentingan pribadi, maks kepentingan orang banyak harus didahulukan. Oleh
sebab itu, dalam kasus ikhtikar demi memelihara kemaslahatan orang banyak,
kepentingan pribadi harus dikorbankan, karena mendahulukan kepentingan
pribadi dapat meresahkan masyarakat banyak.
5. Ulama Hanafi'yah berpendapat bahwa melakukan ikhtikar hukumnya adalah
makruh tahrim.6

3. HR. Musnad Ahmad

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 161-163.














Terjemahan hadits:
Telah menceritakan kepada kami Yazid telah mengabarkan kepada kami Ashbagh bin
Zaid telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr dari Abu Az Zahiriyyah dari Katsir
bin Murrah Al Hadlrami dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Barangsiapa menimbun

makanan hingga empat puluh malam, berarti ia telah

berlepas diri dari Allah ta'ala dan Allah ta'ala juga berlepas diri dari-Nya. Dan siapa
saja memiliki harta melimpah sedang di tengah-tengah mereka ada seorang yang
kelaparan, maka sungguh perlindungan Allah Ta'ala telah terlepas dari mereka."
(Musnad Ahmad)7
Penjelasan hadits:
Sekalipun Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjual,
membeli dan yang menjadi keinginan hatinya, tetapi Islam menentang dengan keras
sifat ananiyah (egois) yang mendorong sementara orang dan ketamakan pribadi untuk
menumpuk kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya pribadi, kendati dari
bahan baku yang menjadi kebutuhan rakyat.
Untuk itu Rasulullah saw melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat
keras. Ini semua bisa terjadi, karena seorang pedagang bisa mengambil keuntungan
dengan dua macam jalan, yaitu:
1. Dengan jalan menimbun barang untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi,
di saat orang-orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya, kemudian
datanglah orang yang sangat membutuhkan dan dia sanggup membayar
berapa saja yang diminta, kendati sangat tinggi dan melewati batas.
2. Dengan jalan memperdagangkan sesuatu barang, kemudian dijualnya dengan
keuntungan yang sedikit. Kemudian ia membawa dagangan lain dalam waktu
7

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 156.

dekat dan dia memperoleh keuntungan pula. Kemudian dia berdagang lainnya
pula dan memperoleh untung lagi. Begitulah seterusnya.
Mencari keuntungan dengan jalan kedua ini lebih dapat membawa kemaslahatan
dan lebih banyak mendapatkan berkah serta si pemiliknya sendiri, Insya Allah akan
memperoleh rezeki.
Maka, dengan hadits tersebut Allah telah menekankan bahwa perbuatan
menimbun adalah perbuatan yang tidak baik dan haram hukumnya. Bahkan Allah
telah menekankan bahwa seorang pedagang yang berbuat ikhtikar (menimbun) maka
akan terlepas hubungan dengan Allah. Dan Allah akan melepaskan hubungannya
dengan mereka. Nauzubillahiminzalik.

BAB III PENUTUP


Kesimpulan
Monopoli dalam bahasa arab dikenal dengan sebutan ikhtikar (penimbunan). Ikhtikar
berasal dari kata hakara yang berarti az-zulm (aniaya) dan isa'ah al-mu'asyarah
(merusak pergaulan). Dengan timbangan ihtakara yahtakiru, ikhtikar kata ini berarti
upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.
Dasar hukum haramnya monopoli tercantum didalam Al-Qur'an diantaranya seperti
dalam Qs. Al-Baqarah : 279 dan Qs. Al-Maidah : 2
Hadits-hadits yang berhubungan dengan monopoli (ikhtikar) diantaranya seperti:

HR. Muslim yang artinya: Dari Ma'mar bin Abdullah, Rasulullah SAW
bersabda, "Tidaklah seseorang menimbun (makanan pokok), malainkan ia
berdosa."

HR. Thabrani yang artinya: "Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu
melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya didalam neraka pada hari
kiamat."

Musnad Ahmad yang artinya: Telah menceritakan kepada kami Yazid telah
mengabarkan kepada kami Ashbagh bin Zaid telah menceritakan kepada kami
Abu Bisyr dari Abu Az Zahiriyyah dari Katsir bin Murrah Al Hadlrami dari
Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa menimbun
makanan hingga empat puluh malam, berarti ia telah berlepas diri dari Allah
ta'ala dan Allah ta'ala juga berlepas diri dari-Nya. Dan siapa saja memiliki
harta melimpah sedang di tengah-tengah mereka ada seorang yang kelaparan,
maka sungguh perlindungan Allah Ta'ala telah terlepas dari mereka."
Daftar Pustaka

Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.


Ali Hasan, Muhammad. 2003. Berbagai Transaksi Dalam Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Syafe'i, Rahmat. 2000. Al-Hadits (Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum). Bandung: CV.
Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai