Anda di halaman 1dari 24

KERATITIS

A. Anatomi dan Fisiologi Kornea

Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata
yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Bagian
anterior kornea berbentuk elips dengan diameter horizontal 11.5 mm dan diameter vertical
12mm. Keterbalan rata-rata kornea pada bagian tengah sekitar 540um dan menebal pada bagian
perifer. Dari anterior ke posterior kornea mempunya lima lapisan yang berbeda, yang terdiri atas
:
1. Epitel
Tebalnya 50 um, terdiri atas 5 lapisan sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih ; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng.
Padas sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan
menjadi lapis sel sayap dan semaki maju kedepan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel polygonal didepannya
melalui desmosom dan macula okluden ; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa dan merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya, apabila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren
2. Membran Bowman

Terletak dibawah membrane basal sel epitel kornea yang merupakan kolagen yang

tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak memiliki daya degenerasi.
3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagens sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan bagian perifer serat
kolagen ini bercabang; terbentuknya serat kolagen membutuhkan waktu yang
cukup lama kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
- Merupakan membrane aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
-

dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.


Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal

40um
5. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 um.
Endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V. Saraf siliar longus berjalan melalui suprakoroid, masuk kedalam
stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapisan

epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepat tanpa ada akhir saraf. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit merusak
endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel
dan terjadi edema kornea. Endotel tidak memiliki daya regenerasi. Kornea merupakan bagian
mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat
dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk dilakukan oleh
kornea.
Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan untuk
memproteksi lensa intraocular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini dengan cara
mempertahankan sifat transfaransi kornea dan pergantian dari jaringannya. Transfaransi kornea
dimungkinkan dari sifatnya yang avaskular, memiliki struktur yang uniform yang sifat
deturgescence-nya. Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special dari komponenkomponen fibril.Walupun indeks refraksi dari masing-masing fibril kolagen berbeda dari
substansi infibral, dari diameter kecil (300 A) dari fibril dan jarak yang kecil diantara mereka
(300 A) mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang menyebabkan sedikit pembiasan cahaya
dibandingkan dengan inhomogenitas optikalnya. Sifat deturgescence dijaga dengan pompa
bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barier dari epitel dan endotel. Kornea dijaga agar berada
dalam keadaan basah dengan kadar air sebanyak 78%. Peranan kornea dalam refraksi cahaya
pada penglihatan seseorang sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea
dimana 43.25 dioptri dari total 58.6 dioptri kekuatan dioptri normal manusia. Atau sekitar 74%
dari kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada kornea dapat
memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus seseorang.
Kornea menerima bagian sensoris dari nervus oftalmikus cabang dari nervus trigeminus.
Sensasi terkecilpun dapat menyebabkan reflex menutup mata. Setiap kerusakan pada kornea
(erosi, penetrasi benda asing, atau keratokonjungtivitis) mengexpose ujung saraf sensorik dan
menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan lakrimasi dan penutupan bola mata yang
involunter. Trias yang terdiri dari penurupan mata yang involunter (blepharospasme), reflex
lakrimasi (ephipora), dan nyeri selalu mengarah pada kelainan cedera kornea. Seperti hal nya
lensa, sclera, dan badan vitreus, kornea merupakan struktur jaringan yang braditrofik,
metabolismenya lambat dimana ini berarti penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea

(asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber yaitu difusi dari kapiler disekitarnya, difusi
dari humor aquous, dan difusi dari film air mata. Tanpa film air mata, permukaan epitel kornea
akan kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada
film air mata juga melindungi mata dari infeksi.
B. Definisi Keratitis
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan cedera kornea, infiltrasi
sel radang dan kongesti siliar.
C. Epidemiologi
Frekuensi keratitis di Amerika serikat sebesar 5% diantara seluruh kasus kelainan mata.
Di negara-negara berkembang insiden keratitis berkisar antara 5.9-20.7 per 100.000 orang tiap
tahun. Predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak,
dan perawatan lensa kontak yang buruk, pengguna lensa kontak yang berlebihan, herpes genital,
gangguan pada sistem kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain serta higienisitas dan
nutrisi yang tidak baik. Berdasarkan Global initiative for the elimination of avoidable blindness
pada tahun 2006-2011 kekeruhan kornea menyumbangkan 5% sebagai penyebab kebutaan
terbanyak di dunia. Di Indonesia sendiri penyakit pada kornea merupakan penyebab kebutaan
terbanyak kelima setelah katarak, glaucoma, gangguan refraksi dan kelainan pada retina.
E. Patofisologi
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya inflamasi
pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eye), penggunaan lensa
kontak, lagoftalmus, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.
Kornea mendapatkan paparan konstan dari pengaruh lingkungan dan mikroba, oleh sebab itu
kornea memiliki beberapa sistem pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk reflex
mengedip, fungsi antimikroba film air mata (lisozim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier
terhadap difusi serta kemampuan epitel yang cepat untuk beregenerasi.
Lapisan epitel pada kornea merupakan barier yang efisien untuk mencegah infeksi
mikrooragnisme pada kornea. Namun apabila kornea mengalami cedera atau traumatic, stroma
yang avaskular dan lapisan bowman menjadi lebih mudah terinfeksi oleh berbagai

meikroorganisme seperti bakteri, amoeba, virus dan jamur. Streptococcus Pneumoni merupakan
pathogen kornea bacterial, pathogen patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang besar atau
dapat terjadi pada host yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan infeski pada
kornea. Ketika pathogen telah menginvasi kornea melalui lesi kornea beberapa rantai kejadian
tipikal akan terjadi :
-

Lesi pada kornea


Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi kornea
Antibodi akan menginviltrasi lokasi invasi pathogen
Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen

akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea


Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan

berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)


Patogen akan menginvasi seluruh kornea
Hasilnya stroma akan megalami atrofi dan melekat pada membrane descement
yang relative kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana hanya membrane

descement yang intak.


Ketika penyakit semakin progresif , perforasi dari membrane descement terjadi dan
aquos humor akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforate dan merupakan
indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukan gejala
penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.

F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya sensasi
benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan kabur, dan fotopobia serta sulit untuk
membuka mata (Blephraospasme). Kornea memiliki banyak serabut saraf sehingga apabila
terdapat lesi atau cedera pada kornea baik lesi yang mengenai permukaan superficial ataupun
profunda akan menimbulkan rasa sakit dan sensasi fotopobia. Nyeri biasanya semakin berat
apabila terjadinya pergerakan atau adanya pergesekan kornea dengan palpebra dan biasanya
nyerinya bertahan cukup lama walaupun lesi pada kornea telah sembuh.
Kornea berfungsi sebagai media refraksi mata maka, apabila terjadi lesi pada kornea
umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama lesi terletak pada bagian sentral kornea.
Fotopobia yang terjadi terutama disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi dari
pembuluh darah pada iris merupakan fenomena reflex yang disebabkan teriritasinya ujung

serabut saraf kornea. Pasien dengan keratitis pada umumnya mengeluhkan mata yang berair terus
menerus namun tidak disertai dengan pembentukan kotoran kecuali pada ulkus bacterial purulen.
G. Diagnosis

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Diagnosis ditegakan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil pemeriksaan

mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan adanya riwayat trauma, adanya riwayat penyakit
kornea misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi herpes simplex yang sering kambuh.
Anamnesis mengenai pemakaian obat local oleh pasien (misalnya : pemakaian obat local yang
mengandung

kortikostroid)

mikroorganisme

penyebab

yang

merupakan

keratitis,

predisposisi

penggunaan

bagi

obat-obatan

invasi

dari

berbagai

imunosupresif

lainnya.

Pemeriksaan fisik pada kornea dilakukan dengan menggunakan cukup penerangan, biasanya
dapat disertakan dengan penggunaan anesthetic local. Pemeriksaan fluoresein dapat
memperlihatkan adanya lesi epitel superficial, pemeriksaan lain dapat menggunakan slitlamp
yang merupakan alat yang tepat untuk memeriksa kelainan pada kornea, apabila alat-alat ini
tidak ada kaca pembesar dan penerangan yang adekuat dapat digunakan untuk menemukan
kelainan pada kornea.

Laboratorium
Untuk memilih terapi yang tepat dan efektif pada keratitis, terutama pada ulkus kornea

diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium. Keratitis yang disebabkan oleh bakteri dan
jamur merupakan penyebab infeksi kornea yang berbeda dalam tatalaksana, kesalahan dalam
pemberian terapi akan menyebabkan perburukan kondisi penderita terutama dengan semakin
menurunnya visus, dalam hal ini pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan. Pemeriksaan
kerokan kornea yang diwarnai dengan pewarnaan gram dan giemsa dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi mikrooragisme penyebab, pemeriksaan KOH, Polimerase Chain Reaction
(PCR) merupakan pemeriksaan yang cepat untuk menentukan infeksi yang disebabkan terutama
oleh herpes virus, acanthamoeba dan jamur

Diagnosis Morfologi Lesi Kornea


1. Epiteal Keratitis

Epitel kornea hampir selalu terlibat dalam infeksi pada kornea maupun
konjungtiva, pada kasus yang jarang epitel kornea merupakan satu-satunya jaringan yang
terkena saat terjadi infeksi kornea (Keratitis pungtata superficial). Epitel dapat berubah
dari simple edema,vakuolisasi sampai erosi, membentuk formasi filament, keratisasi
parsial dan lainnya,. Lesinya bervariasi diberbagai lokasi kornea. Gambaran perubahan
pada epitel penting dalam tegaknya diagnosis oleh sebab itu pemeriksaan dengan
menggunakan slitlamp dengan atau tanpa pewarnaan fluoresein harus menjadi bagian
dalam pemeriksaan mata.
2. Subepitelial Keratitis
Ada beberapa tipe yang penting pada lesi diskret subepitelial yang biasanya
merupakan keratitis epithelial sakunder. (contohnya infiltrate subepitelial pada
keratokonjungtivitas epidemic yang disebabkan oleh adenovirus 8 dan 19.
3. Stromal Keratitis
Respon yang terjadi ketika terjadi gangguan pada stroma kornea dapat berupa
infiltrate, akumulasi sel radang, edema dengan manifestasi adanya penebalan pada
kornea, opasifikasi, sikatrik, melting atau nekrosis yang dapat menyebabkan penipisan
lapisan kornea bahkan sampai menyebabkan perforasi kornea dan vaskularisasi.
Gambaran penyakit pada stroma kornea tidak begitu khas dibandingkan gambaran
penyakit yang mengenai epitel oleh sebab itu informasi klinis dan pemeriksaan
laboratorium masih perlu dipertimbangkan untuk menegakan penyebab penyakit.
4. Endotelial keratitis
Disfungsi dari endotel kornea akan menyebabkan terjadinya edema pada kornea,
lesi awalnya akan mengenai bagian stroma dan selanjutnya bagian epitel. Selama kornea
tidak terlalu edema, pemeriksaan abnormalitas pada endotel masih dapat tervisualisasi
dengan menggunakan slitlamp. Sel inflamasi yang berada pada lapisan sel endotel tidak
selalu menunjukan telah terjadinya proses suatu penyakit endotel karena hal tersebut
dapat ditemukan pda uveitis anterior yang mungkin disertai atau tidak disertai infeksi
stroma.

Morpologi epitelial

H. Klasifikasi Keratitis
1. Klasifikasi berdasarkan etiologi
a. Keratitis Bakteri
Keratits yang disebabkan oleh bakteri biasanya diakibatkan adanya
gangguan pertahanan terhadap mikrooragisme pada kornea. Beberapa faktor
yang dapat menurunkan pertahanan kornea adalah pemekaian lensa kontak
yang terlalu lama, higienitas dari lensa kontak, trauma pada kornea dan
lainnya.
Pasien akan mengeluhkan rasa nyeri, silau (fotopobia), pandangan kabur
dana adanya secret yang mukopurulen atau purulen. Tanda obyektif yang
mungkin ditemukan berupa defek pada epitel dengan infiltrate yang luas dan
adanya injeksi sirkumkorneal, edema pada stroma, kemosis dan pembengkakan
pada kelopak mata pada kasus moderat-serius, ulserasi yang megarah pada
terbentuknya descemetocele dan perforasi, dapat berkembang menjadi skleritis,
Paenurunan sensasi pada kornea dapat dicurigai adanya keratopati neurotrofik.

Tatalaksana :
1) Topikal terapi
Diberikan secara perlahan dalam interval per jam pada siang dan malam
hari selama 24-48 jam kemudian diturunkan sesuai perkembangan klinis
pasien.

Antibiotik subkonjungtiva diberikan apabila respon kesembuhan penderita


buruk dengan penggunaan antibiotic topical tetes mata, obat-obatan midriatil
diberikan untuk mencegah terjadinya sinekia posterior dan menurunkan rasa
nyeri (cyclopentolate1%, homotropine 2% atau atropine 1%). Pemberian steroid
dan menurunkan reaksi inflamasi penderita, meminimalisir tetjadinya sikatrik
namun penggunaannya harus diperhatikan untuk mencegah replikasi dari
mikroorganisme lain, selain itu penggunaan steroid dapat mencegah epitelisasi
kornea sehingga harus dihindarkan apabila terdapat penipisan kornea. Sediaan
steroid yang biasa digunakan dexamethasone 0.1% setiap 2 jam, prednisolon
0.5-1 % empat kali sehari.
2) Antibiotik Sistemik

Pemberian antibiotic sistemik biasanya jarang diberikan. Namun dapat


diberikan apabila penyebab infeksi kornea berpotensi untuk menyebabkan
kelainan infeksi sistemik (N.Meningitidis, H.Influenza, N.gonorrhoeae),
penipisan lapisan kornea yang serius, dan ikut terinfeksinya sclera.

b. Keratutis Jamur
Biasanya dimulai dengan suatu rudapaksa pada kornea oleh ranting pohon,
daun dan bagian tumbuhan. Jamur yang dapat mengakibatkan keratitis adalah
fusarium, Cephaloceparium, dan curcularia. Pada saat ini peneyebab infeksi
jamur kebanyakan oleh karena pemakaian antibiotic dan kortikosteroid yang tidak
cepat.
Keluhan baru timbul setelah 5 hari atau 3 minggu kemudian. Pasien
biasanya mengeluhkan mata terasa sakit, berair dan silau. Pada mata ditemukan
infiltrate yang berhifa dan satelit bila terletak didalam stroma. Biasanya disertai
dengan cincin endotel dengan plaque tampak bercabang-cabang, dengan
endothelium plaq, gambaran satelit pada kornea dan lipatan descement.
Sebaiknya diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan mikroskop dengan
KOH 10% tehadap kerokan kornea yang menunjukan adanya hifa. Sebaiknya
pasien dengan infeksi jamur dirawat dan diberikan pengobatan natamisin 5%
setiap 1-2 jam. Dapat diberikan antijamur lain seperti miconazole, amfoterisin,
nistatin dan lainnya.
c. Keratitis Virus
`

- Keratitis herpes simplex


Keratitis herpes simpek terajadi dalam dua bentuk : primer dan sakunder.
Kasus ini merupakan penyebab ulserasi dan kebutaan tersering di Amerika serikat
Keratitis herpes simplex primer biasanya terjadi pada usia muda dimana sumber

penularan berasal dari droplet. Keratitis herpes simplek primer hampir tidak
menunjukan gejala yang spesifik, biasanya dapat juga dikeluhkan peningkatan
suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, malaise dan gejala pada saluran pernafasan.
Ditemukan juga adanya blepharitis atupun konjungtivitis folikular namun bersifat
self limiting diseases.
Keratitis herpes simplex rekuren dapat terjadi diduga adanya faktor pencetus
seperti adanya paparan pada sinar matahari yang berlebih, trauma, infeksi sistemik
dan lainnya. Penderita dapat megeluhkan mata yang teriritasi, fotopobia, mata
berair, gangguan penglihatan. Adanya ulserasi pada kornea dapat menjadi tanda
reinfeksi virus herpes simplek.
Gambaran lesi yang khas pada kornea adalah adanya lesi bentuk dendritik
bentuk ini terjadi pada epitel kornea, memiliki percabangan linier khas dengan
tepian kabur memiliki bulbus terminalis pada ujungnya, Pemulasan Fluoresein
memudahkan melihat dendrite. Bentuk yang lainnya yaitu ulserasi geograpik yaitu
sejenis penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya lebih melebar, tepian
ulkus tidak kabur, sensasi kornea sama halnya dengan penyakit dendritik lain
menurun
Keratitis herpes simplek juga dibedakan menjadi dua yaitu epithelial dan
stromal. Perbedaan ini akibat mekanisme kerusakannya yang berbeda. Pada jenis
epithelial kerusakannya terjadi akibat pembelahan virus didalam sel epitel yang
akan mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk ulkus kornea superficial.
Stromal diakibatkan karena reaksi imunologik tubuh pasien sendiri terhadap virus
yang menyerang. Antigen dan antibodi bereaksi didalam stroma dan menarik sel
radang. Sel ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak antigen yang juga
merusak jaringan stromal.
Terapi :
Cara efektif mengobati keratitis dendritik epithelial adalah debridment
epithelial. Debridment mengurangi beban antigenic virus pada stroma kornea.
Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah terlepas.

Debridment dilakukan dengan aplikator kapas khusus. Pengobatan antiviral oral


diberikan pada kasus keratitis yang parah, acyclovir dapat diberikan 400mg 5x1,
pada kasus imunocompromise 800mg 5x1.
Idoxuridine merupakan obat antiviral yang murah, bersifat tidak stabil, bekerja
dengan menghambat sintesis DNA virus dan manusa, sehingga bersifat toksik
untuk epitel normal dan tidak boleh dipergunakan lebih dari 2 minggu. Terdapat
-

dalam larutan 1% dan diberikan setiap 1 jam. Salep 0.5% setiap 4 jam.
Keratitis herpes zoster
Keratitis vesicular dapat terjadi akibat herpes zoster. Gejala yang terlihat pada
mata adalah rasa sakit pada daerah yang terkena dan badan terasa hangat.
Penglihatan berkurang dan merah. Pada kelopak akan terlihat vesikel dan pada
infiltrate pada kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom saraf trigeminus
yang dapat progresif dengan terbentuknya jaringan paru. Pengobatan biasanya
tidak spesifik dan hanya simptomatik. Penyulit yang dapat terjadi pada herpes
zoster oftalmik adalah uveitis, parese otot penggerak mata, glaucoma dan neuritis
optic.
d. Keratitis Protozoa (Acanthamoeba)
Acanthamoeba adalah jenis prozoa yang hidup di tanah, air payau dan segar
serta hidup di saluran pernafasan. Di negara maju keratitis acanthamoeba
disebabkan oleh penggunaan lensa kontak terutama lensa kontak yang dibilas
dengan menggunakan air keran. Keratitis acanthamoeba sering salah didiagnosis
sebagai keratitis yang disebabkan herpes simplex atau jamur. Gejala yang
dirasakan penderita sama halnya seperti keluhan gejala adanya gangguan pada
kornea. Tanda yang dapat ditemukan diantara lain pada awal infeksi pemukaan
epitel kornea tampak irregular dan keabu-abuan, epithelial pseudodendritik,
infiltrate stroma difus ataupun fokal. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara
debridment,

Amoebicid

topical

(Polyhexamethilene

biguanide

0.02%,

chlorhexidine 0.02%, analgesic NSAID oral dapat diberikan untuk menurunkan


rasa sakit.
f. Keratitis Alergi

1). Keratokonjuntivitis flikten


Keratokonjungtivis flikten merupakan radang kornea dan konjungtiva yang
merupakan reaksi imun yang mungkin disebabkan sel mediated pada jaringan
yang sudah sensitive terhadap antigen. Dahulu diduga sebagai alergi terhadap
tuberkuloprotein. Pada benjolan akan terjadi penimbunan sel limfoid. Terdapat
daerah yang berwarna keputihan yang merupakan degenerasi hialin. Terjadi
pengelupasan lapis sel tanduk kornea.
Mata akan memberikan gejala lakrimasi dan fotopobia disertai rasa sakit.
Bentuk

keratitis

ditemukannya

dengan

infiltrate

gambaran
dan

yang

bermacam-macam,

neovaskularisasi

pada

dengan

kornea.Gambaran

karakteristiknya yaitu dengan terbentuknya papul dan pustule pada kornea atau
kongjungtiva. Pada mata terdapat flikten, pada kornea berupa benjolan berbatas
tegas berwarna putih keabuan, dengan atau tanpa neovaskularisasi yang
menuju kearah benjolan tersebut. Biasanya bilateral yang dimulai dari arah
limbus. Pada keadaan klinis akan terlihat sebagai hyperemia konjungtiva,
kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas disertai gatal
dan tajam penglihatan yang berkurang.
Pada limbus didapatkan benjolan putih kemerahan dikelilingi daerah
konjungtiva yang hiperemi. Bila terjadi penyembuhan akan terjadi jaringan
parut dengan neovaskularisasi pada kornea. Pengobatan steroid dapat diberikan
dengan hati-hati. Pada anak-anak keratitis flikten disertai dengan gizi buruk
dapat berkembang menjadi tukak kornea karena infeksi sakunder.
2) Keratitis Fasikularis
Keratitis dengan pembentukan pita menjalar dari limbus ke kornea.
Biasanya berupa tukak kornea akibat flikten yang menjalar kedaerah sentral
disertai fasikulus pembuluh darah. Keratitis fasikularis adalah suatu
penampilan flikten yang berjalan yang membawa jalur pembuluh darah baru
sepanjang permukaan kornea. Pergerakan dimulai dari limbus.

3) Keratokonjungtivitis Vernal
Merupakan penyakit rekuren berupa peradangan tarsus dan konjungtiva
bilateral. Penyebabnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi didapatkan terutama
pada musim panas dan mengenai anak sebelum usia 14 tahun. Pada kelopak
yang paling sering dikenai terutama kelopak atas, sedangkan konjungtiva pada
daerah limbus berupa hipertrofi papil yang kadang-kadang berbetuk cobble
stone.
2. Klasifikasi Berdasarkan Lapisan
a. Keratitis Pungtata
Adalah keratitis yang terkumpul didaerah membrane bowman dengan
infiltrate berbentuk bercak halus. Keratitis pungtata disebabkan oleh hal yang
kurang spesifik seperti moluscum kontagiosum, ankne rosasea, herpes simplex,
keracunan obat dan lainnya.
Keratitis pungtata superficial memberikan gambaran seperti infltrat halus
bertitik-titik pada permukaan kornea, merupakan cacat halus permukaan kornea
superfisal dan warna hijau apabila diwarnai fluoresein.
Keratitis pungtata subepitel yaitu keratitis yang terkumpul pada membrane
bowman. Biasanya terjadi secara bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya
kelainan konjungtiva ataupun tanda akut yang biasanya terjadi pada ornag dewasa
b. Keratitis Marginal
Keratitis marginal merupakan infiltrate yang tertimbun pada tepi kornea
sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi local konjungtiva dapat menyebabkan
keratitis marginal atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal biasanya terjadi
pada usia setengah umur disertai dengan adanya blefarokonjungtivitis.
Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi konjungtiva,
infiltrate atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal atau
multiple sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus. Penyulit yang dapat

terjadi berupa parut kornea yang akan mengganggu penglihatan atau ulkus meluas
dan menajdi lebih dalam.

c. Keratitis Interstisial
Keratitis yang ditemukan pada lapisan kornea lebih dalam. Pada keratitis
dalam akibat lues congenital didapatkan neovaskularisasi dalam yang terlihat pada
usia 5-20 tahun pada 80% pasien lues. Penderita biasanya mengeluh fotopobia,
lakrimasi dan menurunnya visus. Pada keratitis interstisial maka keluhan bertahan
seumur hidup. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar dilihat. Terdapat injeksi
siliar disertai dengan serbukan pembuluh kedalam sehingga memberikan
gambaran merah kusam atau apa yang disebut degan salmon patch. Seluruh
kornea dapat berwarna merah cerah.
H. Diagnosis Banding
- Konjungtivitis
- Iritis akut (uveitis anterior)
- Glaukoma akut
I. Tatalaksana
Prinsip Pengobatan :
1. Mengontrol infeksi dan inflamasi

Antimikroba : Antimikroba harus segera diberikan secepat mungkin berdasarkan


etiologi ataupun berdasarkan penemuan secara klinis. Terapi antimikroba broad
sprectrum

dapat

diberikan

sebagai

mikroorganisme penyebab pasti ditegakan.

terapi

inisial

sebelum

investigasi

Steroid topical : Pemeberian steroid topical harus dibawah pengawasan yang ketat

sebab ditakutkan bertambahnya proliferasi dari mikroorganisme penyebab


Imunosupresif sistemik : Pemberian imunosupresif dapat berguna pada beberapa
kondisi misalnya sebagian penyakit autoimun.

2. Menginduksi Epitelial Healing


Menurunkan paparan terhadap bahan iritan yang dapat mengiritasi mata
Lubrikasi dengan menggunakan tetes air mata buatan dan salep. Menutup mata

sementara dengan menggunakan plester terutama pada waktu tidur


Salep antibiotic untuk profilaksis
Bandage soft contact lens dilakukan dengan hari-hati untuk menghindari
terjadinya superinfeksi. Durasi pemakaiannya dilakukan seminimal mungkin.
Indikasi terapi bandage soft contact lens yaitu : meningkatkan reepitelisasi dengan

mencegah trauma dari pergesekan langsung kelopak mata dan kornea.


Penutupan kelopak mata dengan pembedahan
Flap Konjungtiva akan melindungi dan cenderung menyembuhkan defek pada
epitel kornea dan sebagian dapat berguna untuk pengobatan penyakit kronik yang

bersifat unilateral dimana prognosis untuk penyembuhan visus buruk.


Amniotic membrane patch grafting untuk defek epitel yang persisten dan tidak

responsive.
Tissue adhesive (Cyano acrylate glue) untuk menutup perforasi yang kecil
Limbal stem cell transplantation dapat digunakan pada kasus terjadinya defisiensi

stem cell pada luka bakar kimiawi dan sikatrik konjungtivitis


Penderita harus menghentikan kebiasaan merokok karena dapat menghambat
terjadinya epitelisasi.

K.

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang mungkin terjadi pada keratitis adalah ulkus kornea, perforasi kornea,

uveitis anterior, endophtalmitis dan panophtalmitis. Bila peradangan hanya dipermukaan saja,
dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut. Bila peradangan
dalam , penyembuhan berakhir dengan meninggalkan jaringan parut yang dapar berupa nebula,
macula, leukoma adheren dan safiloma kornea.
-

Nebula : bentuk kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya dapat dilihat
dengan menggunakan kaca pembesar atau penggunaan slitlamp

Makula : Parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat tanpa

menggunakan kaca pembesar.


Leukoma : Kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat dari

jarak agak jauh sekalipun.


Leukoma Adheren : Keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh ketebalan

kornea, terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea (sinekia anterior)
Stafiloma Kornea : Bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai
perforasi, maka pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut kornea
yang disertai sinekia anterior.

Bila ulkusnya dalam dapat terjadi perforasi. Adanya perforasi dapat membahayakan mata,
oleh karena timbulnya hubungan langsung dari bagian dalam mata dengan dunia luar, sehingga
kuman dapat masuk kedalam mata dan menyebabkan endoftalmitis atau panoftalmitis. Dengan
adanya perforasi, iris dapat menonjol keluar melalui perforasi dan terjadi prolaps iris. Saat terjadi
perforasi tekanan intraocular menurun.

ULKUS KORNEA

A. Definisi
Ulkus/tukak kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea yang ditandai dengan adanya infiltrate supuratif disertai defek kornea
bergaung dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.
Ulkus kornea akan memberikan kekeruhan berwarna putih pada kornea dengan defek
epitel yang bila diberi pewarnaan fluoresein akan berwarna hijau ditengahnya. Iris sukar dilihat
karena keruhnya kornea akibat edema dan infiltrasi sel radang pada kornea.
Ulkus kornea sangat berpotensi menyebabkan kebutaan secara permanen, sehingga
kasus ini termasuk kedalam kegawatdaruratan dalam bidang ophthalmology.
B. Epidemiologi
Predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, pemakaian
lensa kontak, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.Banyak laporan menyebutkan
peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid topical,
penggunaan obat imunosupresif dan lensa kontak.
C. Etiologi
1. Infeksi
-Infeksi Bakteri : P. aeroginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering.
-Infeksi

Jamur

Disebabkan

oleh

Candida,

Fusarium,

Aspergillus,

Cephalosporium dan spesies mikosis fungoides


-Infeksi Virus : Virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrite
dapat dikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan

menimbulkan ulku. Infeksi virus lainnya seperti virus varisella zoster, variola
dan vacinia (jarang)
-Acanthamoeba : merupakan protozoa yang hidup bebas yang terdapat dalam air
yang tercemar dan mengandung bakteri dan materi organic. Infeksi korne
acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada penggunaan lensa
kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi jga
biasanya ditemukan pada penderita yang terpapar air atau tanah tercemar.
2. Non-Infeksi
- Bahan kimia (Asam/Basa)
- Radiasi atau suhu : Dapat terjadi pada pekerja las dan menatap sinar matahari
secara langsung.
- Sindrom Sjogren : salah satunya ditandai oleh keratokonjungtivitis sica yang
merupakan suatu keadaan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsure
film air mata (aquos, musin atau lipid) kelainan permukaan palpebra atu epitel
yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea.
- Obat-obatan : golongan imunosupresif, kortikosteroid dan anetesi local
3. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
- Granulomatosa Wegener
- Rheumatoid Arthritis
D. Klasifikasi
Dikenal dua bentuk ulkus pada kornea yaitu :
1. Sentral
Etiologi ulkus kornea sentral biasanya bakteri (Pseudomonas, penumokok,
moraxela liquefaciens, Streptococcus betahemoliticus), Virus (Herpes simplex dan herpes

zoster), Jamur ( Candida albican, Fusarium solani,aspergilus). Mikroorganisme ini tidak


mudak masuk kedalam kornea dengan epitel yang sehat.
2. Ulkus Kornea Perifer
a. Ulkus Marginal
Ulkus marginal merupakan peradangan kornea perifer berbentuk khas yang
biasanya terdapat daerah jernih antara limbus kornea dengan tempat kelainannya. Sumbu
memanjang daerah peradangan biasanya sejajar dengan limbus kornea. Diduga dasar
kelainannya adalah reaksi hipersensitivitas pada eksotoksin stafilokokkus.
Ulkus marginal merupakan ulkus kornea yang didapatkan pada orang tua yang
sering dihubungkan dengan rheumatic dan debilitas. Biasanya bersifat rekuren, dengan
kemungkinan terdapatnya Streptococcus pneumonia, Haemophilus aegepty, Moraxella
lacunata dan Eschericia. Infiltrat dan tukak yang terlihat diduga merupakn timbunan
kompleks antigen-antibodi, Secara histopatologi terlihat sebagai ulkus atau abses yang
epithelial atau subepitelial.
Penglihatan pasien dengan ulkus marginal akan menurun disertai rasa sakit,
fotopobia dan lakrimasi. Terdapat pada satu mata blefarospasem , injeksi konjungtiva,
infiltrate atau ulkus yang memanjang dan dangkal. Terdapat unilateral daoat tunggal atau
multiple dan daerah jernih antara kelaianan ini dengan limbus kornea. Dapat berbentuk
neovaskularisasi dari daerah limbus.
b. Ulkus Mooren
Ulkus mooren adalah suatu ulkus menahun superficial yang dimulai dari tepi kornea
dengan bagian tepinya bergaung dan berjalan progresif tanpa kecenderungan perforasi.
Lambat laun ulkus ini mengenai seluruh kornea.

Penyebab ulkus mooren sampai

sekarang belum banyak diketahui. Diduga penyebabnya hipersensitivitas terhadap protein


tuberculosis, virus, autoimun dan alergi terhadap toksin snkilostoma.

Tukak ini mengahancurkan membrane bowman dan stroma kornea. Neovaskularisasi


tidak terlihat pada bagian yang sedang aktif, bila kronik akan terlihat jaringan parut
dengan jaringan vaskularisasi. Jarang terjadi perforasi atupun hipopion.\
c. Ring Ulcer
Terlihat injeksi perikorneal disekitar limbus. Di kornea terdapat ulkus yang
melingkar di pinggir kornea., didalam limbus, bisa dangkal atau dalam, kadang-kadang
timbul perforasi. Ulkus marginal yang banyak kadang-kadang dapat menjadi satu
menyerupai ring ulcer.
E. Gejala Klinis
- Gejala subjektif
Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
Sekret mukopurulen
Sensasi adanya benda asing
Pandangan kabur
Mata berair
Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus]
Silau terasa nyeri
- Gejala Objektif :
Injeksi siliar
Hilangnya sebagian jaringan kornea dan adanya infiltrate
Hipopion
F. Diagnosis
Diagnosa dapat ditemukan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
klinis dengan menggunakan slilamp dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis penting
diantaranya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea
sebelumnya, riwayat pemakaian obat topical, penyakit sistemik seperti AIDS, keganasan,
diabetes dan lainnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala onjektif seperti injeksi siliaris, edema
kornea, terdapat infiltrate, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadinya
iritis da hipopion.

Disamping itu perlu juga dilakukanpemeriksaan diagnostic seperti :


- Pemeriksaan Visus
- Ter air mata
- Pemeriksaan slitlamp
- Keratometri
- Refleks pupil
- Pewarnaan kornea dengan fluoresein
- Goresan ulkus/kornea atau kultus ( pulasan gram, giemsa atau KOH)
G. Tatalaksana

Ulkus kornea adalah kgawatdaruratan dalam bidang ophthalmology yang harus


ditangai segera agar tidak terjadi cedera parah pada kornea. Pengobatan tergantung pada
penyebabnya, diberikan obat tetes mata (topical) yang mengandung antibiotic, antivirus,
antifungal, amoebicd, dapat diberikan sikloplegik dan mengurangi reaksi peradangan

dengan menggunakan steroid. Indikasi rawat apabila kecenderungan mengara pada


perforasi, pasien tidak dapat member obat sendiri, tidak ada reaksi obat dan perlunya obat
sistemik. Dapat diberikan obat analgetik sistemik untuk mengurangi rasa sakit.
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika penatalaksanaan diatas tidak berhasil. Indikasi
keratoplasti adalah terjadinya jaringan parut yang mengaggu penglihatan, kekeruhan
kornea yang menyebabkan kemunduran penglihatan.
H. Komplikasi
- Kebutaan parsial atau komplit
- Kornea perforasi dapat berlanjut dalam waktu singkat
- Prolaps iris
- Sikatriks Kornea
- Glaukoma sakunder
I. Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada keparahan dan cepat lambatnya
mendapatkan pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya dan ada tidaknya
komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu penyembuhan yang
lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan
terlambatnya pertolongan serta timbulknya komplikasi maka prognosis akan semakin
buruk. Penyembuhan juga mungkin disebabkan oleh kepatuhan dalam pemakaian obat.

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Sidharta. 2010. Mata Merah Dengan Penglihatan Turun Mendadak. Ilmu Penyakit Mata
Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Hal 147-166
Paul R,E, John P.W. 2007. Cornea. Vaughan & Asburys General Ophtalmology 17th Edition.
United States of America : McGrawHill Lange. Hal
Sherwood L. Eye : Vision Human Pgysiology 6th Edition. United States of America : Thomson
Higher Education.
Bowling, Brad. 2016. Cornea. Kanskys Clinical Opthalmology 18th Edition. China : Elsevier
Weiner, Gabriele. 2011. Confronting Corneal Ulcer
Fernando, H Lopez. 2014. Corneal Ulcer. Diunduh pada 17 juni 2016. Tersedia dari
http://emedicine.medscape.com
Fernando, H Lopez. 2014. Keratitis Bacterial. Diunduh pada 17 juni 2016. Tersedia dari
http://emedicine.medscape.com

Anda mungkin juga menyukai