Oleh:
Si Nugrohati dan Kasumbogo Untung
Proceedings Seminar Kemanan Pangan dalam Pengolahan dan Penyajian, PAU Panga
dan Gizi, UGM, 1 – 3 September 1986.
Pendahuluan
Telah lama diketahui bahwa berbagai jenis sayuran sangat digemari oleh
beraneka ragam jenis hama tanaman. Tanaman kubis selalu diancam oleh ulat
penggerek daun Plutella xylstella L. Dan Crocidolomia binotalis Sell, tanaman
kentang oleh penggerek umbi Pthorimaea operculela Z. Dan kutu daun Myzus
persicae, tanaman lombok oleh thrips daun dan lalat buah, tanaman bawang putih oleh
ulat grayak, tanaman tomat oleh penggerek daun dan buah Heliothis armigera, dan
lain-lainnya.
Tanpa diadakan usaha pengendalian hama budidaya tanaman sayuran menjadi
tidak produktif, bahkan dapat gagal. Menurut data penelitian di Indonesia kehilangan
hasil sayuran akibat serangan hama dapat mencapai 50 – 100 % apabila tidak diadakan
usaha pengendalian. Kehilangan hasil kentan leh serangan ulat Pthorimaea dapat
mencapai 46 % (Eveleens, 1978), sedangkan tanaman kubis yang dtanam pada musim
kemarau oleh karena serangan ulat Pthorimaea dapat rusak 100 % (Surawohadi, 1981).
Penggunaan pestisida organk sintetik merupakan pilihan utama petani sayuran
untuk mengendalikan hama, sedangkan metode pengenalian yang lain kurang banyak
digunakan. Pestisida dianggap sebagai produk tehnologi yang mudah diterapkan,
hasilnya efektif, tersedia dengan mudah di tingkat petani, dan yang penting secara
ekonomis masih menguntungkan apalagi dengan harga pestisida yang sebagian besar
disubsidi oleh Pemerintah. Oleh petani dianggap sebagai jamnan bagi keselamatan dan
keberhasilan tanamannya, sehingga dapat dikatakan bahwa pestisida tidak dapat
dilepaskan dari petani sayuran.
Dari hasil beberapa survai yang dilakukan dibeberapa daerah pusat pertanaman
sayuran dataran tinggi dan dataran rendah di pulau Jawa, Bali, dan Sumatra diketahui
bahwa penggunaan pestisida dari tahun ke tahun meningkat baik dalam hal dosis mapun
pemakaian, frekuensi penggunaan, maupun jenis yang dipergunakan. Interval
penyemprotan pada pertanaman kentang, tomat,dan kubis dapat mencapai 4 – 5 hari
sekali atau antara 12 – 15 kali penyemprotan selama satu musim tanam (Sudarwohadi,
1975). Menurut petani sayuran di Parangtritis, oyakarta penyemprotan mereka lakukan
rata-rata 4 – 5 hari sekali tergantung pada intensitas serangan hama yang menyerang
tanaman yang diusahakan yaitu lombok, bawang putih, dan bawang merah.
Penyemprotan justru lebih inensf dilakukan mendekati waktu anen. Jenis-jenis pestisida
yang digunakan petani di Parangtritis dilakukan dapat dilihat pada Tabel l. Dalam
aplikasinya ternata petani selalu mecampur beberapa jenis pestisida yang danggap
memberikan pengaruh sinergis terhadap hama sasaran.
Penggunaan pestisida pada tanaman kubis umumna lebih banak daripada jenis
sayuran yang lain. Hal ini disebabkan karena pada beberapa tempat hama kubis
(Plutella) telah memperlihatkan resistensi terhadap banyak jenis pestisida yang
digunakan petani.
Residu yang terdapat dalam tanaman dapat berasal dari pestisida yang langsung
diaplikasikan pada tanaman, atau yang diaplikasikan melalui tanah dan air. Selain
daripada itu residu dapat berasal dari kontaminasi melalui hembusan angin, debu yang
terbawa hujan dari daerah penyemprotan yang lain, dan juga penanaman pada tanah
yang mengandung pestisida persisten.
Tinggi rendahnya residu pestisida pada tanaan ditentukan oleh jenis pestisida,
dosis dan frekuensi aplikasi, serta waktu aplikasi. Pengaruh jenis pestisida terhadap
tingkat residu tergantung pada sifat-sifat fisika dan kimiawinya.
Insektisida organokhlor pada umumnya tidak mudah menguap, praktis tidak larut
dalam air kecuali lindane, serta mudah larut dalam pelarut organik. Dalam ekosistem
kelompok insektisida ini bersifat persisten karena sifatnya yang lipofilik. Insektisida ini
tidak bersifat sistemik, meskipun demikian dapat diserap ke dalam jaringan tanaman
dalam jumlah rendah. Sedangkan distribusi insektisida organokhlor dalam tanaman
sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan struktur jaringan organokhlor dari dalam
tanah, tetapi pada varietas tertentu residu organokhlor terdapat pada lapisan luar umbi,
sedang pada varietas yang lain residu terdapat juga di dalam jaringan-jaringan tanaman
lainnya (Brooks, 1974).
Toksisitas akut suatu senyawa digambarkan oleh harga LD 50-nya. Dalam Tabel l
terlihat bahwa senyawa organofosfat dan karbamat pada umumnya mempunai harga LD
50 lebih tinggi dari seyawa organohlor. Kasus keracunan akut jarang dijumpai di
masyarakat, sedangkan kasus keracunan kronis pada umumnya dijumpai pada
pelaksana pengendalian hama dan mereka yang bekerja pada industri pestisda. Pada
pestisida yang bersifat persisten, seperti insektisida organokhlor, kemungkinan terjadi
kasus keracunan kronis lebih besar dari pada pestisda yang tidak persisten. Hal ini
terjadi karena adanya bioakumulasi, yaitu proses dinamika yang terjadi bila pemasukan
(intake) lebih besar dari pengeluarannya (excretion). Karena sifatnya yang lipofilik
senyawa organokhlor yang mask ke dalam tubuh akan segera terdistribusi ke dalam
jaringan-jaringan dengan kandungan lemak yang tinggi dan tersimpan di dalam
lemaknya. Senyawa organokhlor tersebut dapat diekskresikan bersama dengan lemak
melalui air susu, sehingga terjadi transfer residu insektisida yang telah terakumulasi
dalam tubuh Ibu kepada anak yang disusuinya. Hal ini perlu mendapat perhatian karena
anak jauh lebih peka daripada orang dewasa.
Rendahnya kadar residu pestisida dalam makanan,jelas tidak akan menimbulkan
gejala keracunan kronis mapun aukt,tetapi dapat menimbulan efek subtil (subtle effect)
yaitu efek lanjut jangka pajang yang terjadi pada dosis rendah yang berkali-kali.
Penelitian mengenai efek subtil pada manusia tidak mungkin diakukan, sehingga
pengamatan pada hewan percobaan merupakan indikasi utama pada manusia. Efek
subtil dapat berupa perubahan histolgis dan patologis, efek karsinogenik, tumorigenik,
mutagenik dan teratogenik.
Perubahan sitolgis dapat terjadi pada pemberian 5 – 15 ppm DDT pada ransum
makanan tikus jantan. Perubahan ini bersifat reversibel, hal ini menunjukkan adanya
”induksi” terhadap enzim dalam hati (Ortega, 1962). Insektisida organofosfat dan
karbamat dapat menimbulkan efek neuropatologi karena demielinasi pada jaringan
pelindung syaraf.
Untuk mengetahui efek karsinogenik dan tumorigenik suatu pestisida, diperlukan
penelitan mult generasi. Pembeian pp’ DDT 0,4 – 0,7 mg/kg/hari dalam ramsum
makanan tikus, menngkatkan terjadinya leukimia dan tumor pada generasi kedua dan
ketiga, sedang padagenerasi kelima, terjadinya kanker paru-paru meningkat sampai 25
kali (Kemeny dan Tarjan, 1966,1969). Kepustakaan mengenai efek karsinogenik
insekstisida organofosfat dan karbamat sangat jarang, sehingga belum dapat dipastikan
bahwa senyawa-senyawa tersebut tidak menimbulkan kanker atau tumor.
Beberapa insektisida seperti karbaril,DDt, dieldrin, lindane, fenion dan malation,
menimbulkan efek magenik dan teratogenik pada dosis yang lebih tinggi dari pada dosis
yang terdapat dalam lingkungan pada umumnya (Epstein dan Legators, 1971), meskipun
demikian hal ini perlu diperhatikan juga.
Kesimpulan
1. Untuk menjaga keamanan konsumen tingkat residu pestisida dalam auan harus
diturunkan sampai tingkat yang serenah-rendahnya terutama pada sayuran yang
dikonsumsikan dalam keadaan mentah.
Usaha menurunkan tingkat residu pada sayuran dimulai dari lapangan dengan
Saran-saran
1. Perlu diadakan penyuluhan yang intensif pada petani dan konsmen sayuan
tentang pemilihan dan aplikasi yang tepat dan bijaksana serta cara penanganan
pasca panen sebelum sayuran dikonsumsi.
2. Perlu ditingkatkan usaha-usaha pematauan residu pestisida dalam ayuran dan
bahan-bahan makanan yang lain. Untuk ini penyediaan faslitas pemantauan residu
perlu disediakan dalam jumlah yang cukup termasuk para pelaksananya.
3. Perlu ditingkatkan penelitian terpadu tentang masalah residu pestisida dalam
sayuran, dan pengembangan jenis-jenis pestisida yang lebih spesifik dengan mode of
action yang berbeda dengan kelompok pestisida yang konvensional. Kelompok
pestisida baru ini termasuk insektisida biologis, IGR, feromon, atraktan, dan lain-lain.
Daftar pustaka
1. Brooks, G.T., 1974. Chlorinated Insecticides, vol. II, Biological and Environmental
aspects, CRS Press, Oho, USA.
2. Chan, A.S.Y. and Afghan, B.K. 1977. Analysis of Pesticides in Water, vol. III,
Nitrogen Containing Pesticides, CRC Press Inc. Boca Raton, Fla,
USA.
3. Duggan, R.E. and Lipscomb, G.Q., 1971. Regulatory Control of Pesticides
Residues in Food, J. Dairy Sci. 695 – 701.
4. Effendy, F.S., 1985. Analisis Residu Pestisida Tamaron dalam Kubis, kripsi pada
Fakulta Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam UGM, Yogyakarta.
5. Epstein, S.S. and Legator, M.S., 1971. In The Mutagenecity of Pesticides:
Conceps and Evaluation, MIT Press, Cambridge, Mass. 220.
6. Eto, M., 1984. Organophosphorus Pesticides: Organic and Biological Chemestry,
CRC Press Inc. Boca Raton, Fla. USA.
7. Kemeny, T. and Tarjan, R. 1966. Experientia, 22: 748.
8. Lamb, F.C., Farrow, R.P., Elkins, E.R., Kimball, J.R., and Cook, W.R., 1968.
Remove al of DDT, Parathion and Carbaryl from Spinach by
Commercial and Home Preparative Methods, J. Agric. Food Chem.
16: 957 – 973.
9. Ohsawa, K., Hartadi, S., Noegrohati, S., Sastrohamidjojo, H., Untung, K., Arya, N.,
Sumiartha, K., Kuwatsuka, S. 1985. Residue Analysis Organochlorine
and Organophosphaorus Pesticides in Soils, Waters and Vegetables
from Central Java and Bali Island, in Ecological Impact of Pest
Management in Indonesia, Ed. Yamamoto, I., and Sosrosumarsono,
S., Tokyo University of Agriculture.
10. Ortega, P., 1962. Fed. Proc, 21: 306.
11. Sudarwohadi, S., 1975. Hubungan Antara Waktu Tanam Kubis dengan Dinamika
Populasi Plutella maculipennis Curt. Dan Crocidolomia binotalis Zell.,
Bull. Penel. Hort. 3 (4): 3 – 14.
12. Sukardi, M., dan Sumatera, M., 1982. Masalah Residu Pestisida pada Produk
Hortikultura, Simposium Entomologi, Bandung.
13. Sumarwoto, O., 1980. Akibat Sampingan Pestisida Terhadap Lingkungan. Dalam:
Hasil Lokakarya R.U.U., tentang Perlindungan Tumbuhan. Proyek
Pembinaan Hukum Bidang Pertanian, Departemen Pertanian.