Anda di halaman 1dari 3

MEM-BUMN PENYELENGGARAAN HAJI

Oleh: H.Supardi

Disadari/ dirasakan atau tidak, penyelenggaraan haji Indonesia dari tahun ke tahun selalu
saja menarik untuk dibicarakan dan didiskusikan walaupun hasilnya tetap saja tidak ada
(baca belum) perbaikan dan pembaharuan yang berarti. Kita yakin sekali dan haqul yakin
bahwa keinginan pemerintah c/q Departemen Agama pasti baik dan ingin memberikan
pelayanan yang paling prima bagi para jamaah haji Indonesia yang terkenal dengan
jumlah haji yang sangat besar’ sangat santun dan cukup dengan bekal ”kesabaran”. Biaya
perjalanan haji berapapun dan ada kenaikan biaya haji yang kelewat mahalpun akan
dibayar. Dua tahun terakhir memang tidak terjadi insiden yang berarti, hanya keluhan
para jamaah Haji memiliki pondokan (baca penginapan) yang sangat jauh dari Masjid
Haram di Makkah.
Di sisi lain jumlah haji dari tahun ke tahun dan dewasa ini sudah tercatat sebagai
waiting time sampai tahun 2011. Bagaimana besarnya animo dan kemampuan bangsa kita
memiliki kebutuhan penyempurnaan rukun Islamnya.
Permasalahn yang dihadapi dalam penyelenggaraan haji tentu multidimensional.
Selama ini ibadah haji umat Islam Indonesia di selenggarakan oleh pemerintah c/q
Departemen Agama RI. Penyelenggaraan haji oleh pemerintah ini tentu memiliki
keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya urusan administrasi, pengurusan paspor, visa
tentu lebih mudah karena adanya hubungan yang lebih antar negara dengan negara.
Penyelenggaraan haji oleh pemerintah dianggap lebih terjamin dan umat tidak lagi perlu
kawatir akan ”sengsara” sejak berangkat, selama perjalanan ibadah dan sampai kembali
ke tanah air. Sementara kekuranganya tentu ”penjualan jasa” perjalanan haji ini karena
bersifat monopoli, maka bisa saja biaya perjalanan haji dianggap sangat mahal dan tidak
ada pilihan lain bagi umat dalam menggunakan jasa perjalanan haji. Kelemahan
berikutnya bahwa dengan ditangani oleh birokrasi, maka juga mengakibatkan biaya haji
menjadi mahal, mengingat harus melibatkan pejabat sejak dari Pusat Kekuasaan sampai
institusi yang paling bawah yaitu birokrasi di tingkat Kabupaten/Kota. Kelemahan yang
paling menonjol adalah bahwa konsumen (dalam hal ini jamaah haji) tidak bisa menuntut
secara hukum kepada pemerintah jikalau terjadi ”wan prestasi” dalam pelayanan selama

1
perjalanan haji. Umat hanya diberikan hak untuk ”bersabar” dan menerima ”nasib”
sebagaimana adanya.
Lima tahun yang lalu belum berangkatpun sudah ada masalah yaitu berkaitan
dengan quota haji. Peristiwa ini sangat memprihatikan dan sekaligus banyak pihak yang
dirugikan yaitu para KBIH, Penyelenggara Haji Plus (Swasta) dan terutama para jamaah
yang harus batal berangkat haji. Hal demikian tidak ada penyelesaian yang sehat
hubungan antara konsumen dan penyelenggara jasa perjalanan haji. Empat tahun yang
lalu pemerintah “berbaik hati” dengan menyediakan makan dan minum sehari 2 kali
selama di Madinah dan di Arafah dan Mina. Semua dapat berjalan lancar, walaupun
masakan yang disajikan kurang bervariasi dengan masakan khas Arab. Tetapi
lumayanlah. Hanya 2 tahun lalu perjalanan haji agak tergangu dengan adanya “hujan dan
banjir bandang”. Semua Alhamdullilah berjalan lancar. Tahun 2006, penyelenggaraan
haji Indonesia memiliki catatan suram juga, yaitu adanya para haji kita merasakan
“kelaparan” selama kurang lebih 30 jam, terutama bagi mereka yang tidak membawa
cadangan makanan (berat atau ringan). Banyak komentar dilontarkan: ada yang
mengatakan adanya persaingan bisnis catering yang tidak sehat, ada yang mengisukan
adanya sabotase, ada juga ini sebuah cobaan kesabaran seorang calon haji, atau ada ujian
calon haji agar lebih tawaduk dan penuh kesabaran.
Apapun namanya, isunya dan sebutannya, yang jelas dari peristiwa-peristiwa
tersebut adalah memberi gambaran kepada kita semua bahwa manajemen haji Indonesia
masih jalan ditempat kalau tidak dikatakan adanya kemunduran di era kemajuan
teknologi informasi dan transportasi. Pemerintah Arab Saudi untuk mengatasi adanya
peristiwa-peristiwa Mina yang terjadi setiap tahun ternyata bisa melakukan perubahan
dan perbaikan untuk waktu satu tahun.
Itu semua sebenarnya hanya persoalan manajemen penyelenggaraan haji. Setiap
tahun dilakukan evaluasi untuk perbaikan penyelenggaraan, juga selalu salah manajemen.
Apakah pemerintah sudah sangat kesulitan (baca: kualahan-Jawa) mengelola
penyelenggaraan haji yang jumlahnya sangat besar. Apakah tidak mungkin peran serta
swasta dapat diberdayakan. Apakah pemerintah berpendapat bahwa peran swasta belum
bisa dipercaya untuk menyelenggarakan haji bagi rakyat dan bangsa ini. Jikalau
asumsinya tidak berebut ”uang” rasanya pemerintah harus membuka diri dengan
2
memberikan kesempatan pihak swasta untuk ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan
haji bagi umat Islam. Tentu dengan rambu-rambu dan regulasi yang jelas dan tegas dari
pemerintah.
Pemerintah manakala masih menghendaki menyelenggarakan haji bagi umat
Islam maka pemerintah bisa membentuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang
mengelola penyelengaraan haji yang perlakuannya sama dengan perusahaan swasta yang
juga menyelengarakan perjalanan haji. Rakyat atau umat Islam akan lebih banyak
diuntungkan dengan sistem ini. Masing-masing penyelenggara haji akan “bersaing dan
bersinergi” untuk memberikan pelayanan haji yang terbaik bagi umat dan biaya yang
dapat ditekan semurah mungkin. Monopoli rasanya sudah tidak tepat, untuk
penyelenggaraan haji diwaktu-waktu yang akan datang. Sudah waktunya swastanisasi
penyelenggaraan haji, pemerintah sudah banyak melakukan swastanisasi (dan sebagian
asingisasi) BUMN, kenapa tidak mengambil sikap swastanisasi penyelenggaraan haji.
Dengan mekanisme hubungan antara badan hukum usaha (BUMN dan Swasta) dalam
penyelenggaraan haji maka umat lebih banyak diuntungkan. Jelas kontrak jasa perjalanan
hajinya, biaya haji akan lebih dapat ditekan, waktu ibadah haji akan lebih singkat
dinading sekarang harus 35 sampai 45 hari, umat memiliki peluang memilih
penyelenggara haji yang pelayanan prima dengan harga yang lebih murah. Yang juga
penting manakala terdapat penyelenggaraan haji yang tidak beres atau tidak sesuai
dengan yang dijanjikan oleh penyelenggara haji (BUMN dan Swasta) umat bisa
melakukan tuntutan secara hukum dengan undang-undang perlindungan konsumen.
Mekanisme dengan penyelenggara hai dalam bentuk badan hukum usaha (BUMN dan
Swasta) pasti akan banyak menguntungkan umat.
Pemerintah sebagai pemegang otoritas penyelenggaraan haji semestinya hanya
melakukan perencanaan dan memberikan ijin bagi penyelenggara haji yang terseleksi
dengan ketat. Pemerintah (c/q Departemen Agama berperan sebagai pengarah, regulator
dan pengendali penyelenggaraan haji Indonesia saja. Semoga
Penulis adalah
Dosen Fakultas Ekonomi UII
Direktur PusBEK Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai