:Oleh
TENGKU MUHAMMAD
ACEH PIDIE
2010
Sejarah Tafsir di Asia Tenggara
Bagi anda yang sedang mendalami atau sekedar ingin tahu tentang sejarah
tafsir al-Qur’an di Asia Tenggara, berikut ini saya cantumkan paper R. Michael
Feener yang mengkaji tentang hal tersebut. Tulisan ini saya terjemahkan sendiri ke
dalam bahasa Indonesia. Berikut ini adalah cuplikannya:
Upaya Perintis
Penyebaran islam dari awal kemunculannya sampai hari ini, diyakini tidak
lepas dari sumber primer ajaran islam, dalam hal ini Al Quran. Bisa dikatakan bahwa
sejarah islam merupakan sejarah Al Quran. Walaupun Al Quran lebih terfokus pada
peninggalan-peninggalan tertulis dari tradisi intelektual. Oleh karena itu, sejarah Al
Quran dalam konteks yang paling sederhana di Indonesia, dapat ditelusuri sejarah
masuknya islam ke Indonesia.
Kajian tentang tradisi Al Quran dan tafsir di Indonesia telah dilakukan oleh
beberapa Indonesianis seperti, R. Israeli dan A.H. Johns (Islam in the Malay world: an
Explotary survey with the some refences to Quranic exegiesis, 1984), A.H. Johns
(Quranic Exegiesis in the Malay world: In search of profile, 1998). P. Riddel (Earlist
Quranic Exegetical activity in the malay speaking states, 1998).
Abdur Rauf Sengkel belajar di Saudi Arabia sejak 1640, dan diperkirakan
kembali pada 1661. Beliau inilah yang mempelopori kajian-kajian tentang Alquran,
ketika menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad VII.
Tafsir tersebut bernama Tarjuman al-Mustafid. Sebagai perintis, tafsir ini mendapat
temapt, bahkan tidak hanya di Indonesia. Tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura,
Penang, Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/
1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), Mekkah (al-Amiriah).
Dalam kajian beberapa ahli, ada dua pendapat besar tentang tafsir ini, pertama:
Snouck Hurgronje menganggap bahwa terjemah tersebut lebih mirip sebagai
terjemahan tafsir al-Baidaiwi. Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain
sebagai terjemahan tafsir al-baidawi karya as-Sinkili itu juga mencakup terjemahan
tafsir Jalalain. Voorhove, murid Horgronje setelah mengikuti pendapat gurunya dan
Rinkes, berpendapat bahwa tafsir tersebut mengambil sumber dari berbagai karya
tafsir berbahasa Arab. Kedua: Riddel dan Harun memastikan bahwa Tarjuman Al-
Mustafid adalah terjemahan tafsir jalalain, hanya pada bagian tertentu saja tafsir
tersebut memanfaatkan tafsir al-baidaiwi dan tafsir al-Khanzin. Singkel cenderung
memilih tafsir Jalalain, diperkirakan karena secara emosional, Singkel memiliki
runtutan sanad itu dapat ditelusuri melalui gurunya, baik al-Qusyasyi atau al-Kurani.
Upaya rintisan Singkel ini kemudian diabadikan oleh seluruh pecinta Alquran
dan tafsir di tanah melayu dengan menjadikan tafsir Jalalain sebagai tafsir standar
atau tafsir pemula, yang dipelajari oleh hampir seluruh pesantren di nusantara. Karya
Singkel ini dinilai sebagai pondasi dasar bahkan jembatan upaya tarjamah tafsiriyah
di tanah Melayu. Karya-karya tafsir dari anak bangsa berikutnya, baru bermunculan
dalam lima puluh tahun terakhir ini, setelah Tarjuman Mustafid ini bertahan selama
tiga abad. Oleh karena itu, mengkaji sejarah Alquran di Indonesia, tanpa melibatkan
Tarjuman Mustafid, karya Abdur Rauf Singkel ini, akan menjadi kajian yang
kehilangan akar sejarahnya. Hal ini sangat terasa dalam upaya Federspiel yang
mengkaji Alquran di Indonesia, yang memulai kajiannya hanya dari Mahmud Yunus
sampai Quraish Shihab, tanpa memberikan penjelasan yang berarti, mengapa ia tidak
menyinggung penulisan tafsir di Indonesia yang telah muncul sebelum Mahmud
Yunus. Walaupun judul asli buku ini adalah Popular Indonesian Literatures on The
Quran. Padahal Tarjuman Mustafid merupakan salah satu petunjuk besar dalam
sejarah keilmuan islam, khususnya tafsir di tanah Melayu. Federspiel juga tidak
menyebut terjemah atau tafsir yang ditulis ulama Indonesia dalam bahasa daerah
seperti al-Ibriz atau Al-Quran Suci Basa Jawi yang juga sudah bermunculan pada
tahuan 60-an.
Tiga karya yang mewakili generasi kedua, dianggap memiliki format yang
sama. teks Arab ditulis di sebelah kanan halaman. Sementara itu, terjemahan di
sebelah kiri, serta catatan yang merupakan tafsir. Kesamaan karakter lainnya terlihat
pada penggunaan istilah yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia,
sehingga ketiganya memberikan penjelasan khusus. Ketiganya juga sama-sama
memberikan penjelasan tentang kandungan setiap Surah dalam Alquran. Di tempat
lain, dua dari tiga karya tersebut sama-sama membicarakan sejarah Alquran.Mahmud
Yunus dan Hamidi, juga sama-sama memberikan indeks sederhana dengan dibubuhi
oleh angka-angka yang merujuk pada kalimah tertentu.
Sementara itu, tiga tafsir yang mewakili generasi ketiga, dianggap telah
menggunakan metodologi penulisan kontemporer. Ketiga karya tersebut diawalai
dengan sebuah pengantar metodologis serta beberapa materi Ulumul Quran. Hasbi
dan Hamkamengelompokkan ayat-ayat secara terpisah antara satu sampai lima ayat
kemudian ditafsirkan secara luas. Hanya karya Hassan yang formatnya masih serupa
dengan karya-karya generasi kedua. Hassan menempatkan ayat dan terjemahannya
secara berurutan dan kemudian diikuti dengan catatan kaki di bawahnya, sebagai
tafsir. Ketiga tafsir ini juga menyajikan bagian ringkasan sebagai pokok-pokok
pikiran dalam suatu surah tertentu. dari ketiga tafsir di atas, hanya Hamka yang
menyajikan tafsirnya dengan uraian-uraian tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa
kontemporer. Bisa dimaklumi, mengingat Hamka menyelesaikan tafsirnya ketika
masih meringkuk di penjara Orde Lama.
Maraknya syiar islam dewasa ini di indonesia, ikut mengundang beberapa ahli
untuk menerjemahkan berbagai karya tafsir besar dalam bahasa Indonesia. Sampai
hari ini, tercatat beberapa tafsir kontemporer berbahasa Arab yang telah diterbitkan
oleh penerbit-penerbit Indonesia. Seperti Tafsir Al-Maragi (Bahrun Abu Bakar),
Tafsir Jalalain (Wahyuddin Syaf dan Bahrun Abu Bakar), Asbab an-Nuzul
(Qomaruddin Saleh), Tafsir Ibnu Katsir, Al-Asas fi Al-Tafsir (GIP), Tafsir Al-
Muntakhab (Majlis A’la) dan sebagainya. karya-karyaterjemahan ini, pada akhirnya
mendukung system pengajaran tafsir di perguruan-perguruan tinggi islam di
Indonesia, yang menurut Quraish Shihab dan Jalaluddin Rahmat memiliki kelemahan-
kelemahan tertentu.
Catatan Umum
Tafsir Jauhari, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Maragi, Tafsir al-
Qasimi, Tafsir al-Razi, Tafsir al-manar, Tafsir al-Tabari, Tafsir al-Baidawi, Fi Zilal
Alquran dan sebagainya.
Kesemua tafsir ini mewakili zaman serta ideologinya masing-masing,
sehingga dengan sendirinya menggambarkan pemahaman yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, pemahaman salah satu sumber tersebut juga mewarnai wacana pemikiran
tafsir di Indonesia. kategorisasi tafsir Indonesia berdasarkan waktu, tidak menemukan
signifikasinya, mengingat perbedaan ideologis dalam sumber-sumber klasik tersebut
juga mewarnai perbedaan ideologis para penulis tafsir tentu saja hal ini didasari
dengan asumsi bahwa perkembangan islam di timur tengah juga memegang kunci
tersendiri.