Anda di halaman 1dari 5

Tiang Sekolah Kami Tidak Digerus Rayap

Rengget Geni Latiefah

Pemicunya hanya satu: Tiang sekolah yang digerus rayap. Tapi, semenjak itu, kami
tidak mau bersekolah lagi. Ini sebenarnya kabar baik bagi sebagian dari kami yang
memang kesulitan membayar uang SPP, kabar buruk bagiku dan temanku satunya
karena orang tua kami begitu mendambakan kami bisa masuk ke Sekolah Menengah
Pertama terfavorit di kota. Kata mereka, kami harus mengikuti jejak saudara-saudara
yang lain. Tapi, kami tetap bersikukuh tidak mau bersekolah lagi. Tekad kami sudah
bulat. Kami memutuskan untuk, lebih baik, membantu Pak Amat berjualan tomat di
pasar, seperti yang guru kami pernah ajarkan di mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Bedanya, ketika di kelas, kami hanya melafalkannya, kemudian mencari mana
subyek, mana predikatnya, kemudian diganti-ganti menjadi kalimat aktif, pasif, yang,
bahkan beliau tidak pernah memikirkan bagaimana nasib anak-anak Pak Amat yang
tidak bersekolah karena bapaknya hanya berjualan tomat. Pak Amat yang sebenarnya,
tidak hanya berjualan tomat, tapi juga sayuran-sayuran lain, dan istrinya membuka
warung nasi, sehingga anak-anaknya bersekolah. Tapi kami tidak. Kami tidak mau,
meski dipaksa pun. Kami tahu, tiang sekolah kami tidak benar-benar digerus rayap.
Mereka hanya menyalahkan rayap supaya tiang itu bisa diganti baru. Pak Kepala
Sekolah membicarakannya ketika menemui wali kelas kami beberapa waktu lalu. Jadi
kami memutuskan untuk tidak bersekolah lagi. Menurut kami hal itu tidak benar. Dan
guru ngaji kami pernah mengajarkan bahwa hal-hal yang tidak benar harus dihindari.
Jadi kami tidak bersekolah sejak saat itu.

“Anak-anak, besok kita kedatangan tamu dari Diknas, besok bajunya rapih ya, disisir
rambutnya, kuku tidak boleh panjang, atau Ibu ceplés dengan penggaris nanti,” Wali
kelas memberitahu kami, sehari sebelum kedatangan Bapak-bapak yang menurut
mereka orang penting dari Diknas. Kami tidak tahu apa itu Diknas sebelum wali kelas

“Tiang Sekolah Kami Tidak Digerus Rayap”. Oleh: Rengget Geni Latiefah 1
kami, Bu Rini, menyebutnya singkatan dari Dinas Pendidikan Nasional dan salah
satu dari kami masih tidak mengerti mengapa mereka menyebutnya Diknas, bukan
Dipenas, seperti ABRI dan TVRI yang memakai singkatan dari katanya dibagian
awal. Kata Ali, temanku satunya, sebaiknya kami tidak perlu memikirkannya, toh,
uang Ridho juga masih kurang untuk jajan. Menurutku ia benar, jadi kami berganti
memikirkan bagaimana menambah uang Ridho supaya cukup jajan ote-ote dan es
setrup. Kami patungan sehingga Ridho dapat menikmati ote-ote dan es setrup seperti
aku dan Ali. Kebetulan uang jajan aku dan Ali lebih banyak dua ratus rupiah dari
Ridho.

Saat itu jam istirahat, teman-teman yang lain menghambur ke tukang siomay, tukang
ikan mas, tukang harum-manis, namun sebagian ada yang bermain lompat tali dan
sebagian lainnya terlihat mengamati perempuan-perempuan yang bermain lompat tali.
Mereka yang mengamati perempuan-perempuan menunggu hingga para pemain
tersingkap roknya, kemudian mereka akan tertawa sambil menepuk pundak yang lain
dan memberitahu teman laki-laki bahwa para perempuan tidak punya selang diantara
kakinya seperti mereka, sehingga tidak perlu kuatir kalah jika adu pipis. Kami hanya
membeli ote-ote dan es setrup dan makan di kelas, meski guru kami selalu melarang,
menurutnya makan di kelas menyebabkan kelas kotor, tapi Ridho meyakinkan bahwa
mereka tidak akan buang sampah sembarangan. Sejak saat itulah, hanya kami bertiga
yang diperbolehkan makan di dalam kelas sedangkan yang lainnya di kantin, karena
Ridho selalu menepati janjinya. Aku dan Ali mengikuti lakunya itu dan kami
mendapat kepercayaan. Saat itu, ketika yang lain sedang bermain-main dan jajan di
tukang-tukang jualan, kami bertiga masih mengobrol, tentang Ultra man yang, rasa-
rasanya, semakin singkat saja. Kata Ali, itu karena sponsornya makin lama, aku tidak
berpikir demikian, kataku itu hanya perasaannya saja, mungkin Ultra man memang
sedang kehabisan musuh. Ridho tidak ikut ambil pusing, ia tidak punya televisi dan
hari minggu ia membantu Bapaknya berjualan tomat di pasar. Kami selalu
mengejeknya, tapi kadang-kadang juga merasa kasihan. Tapi Ridho tidak ambil

“Tiang Sekolah Kami Tidak Digerus Rayap”. Oleh: Rengget Geni Latiefah 2
pusing, menurutnya Ultra man itu tidak ada, itu hanya khayalan yang membuat anak-
anak makin bodoh. Ali langsung mengamuk dan menyebutnya bodoh dan
mengatakan bahwa Ridho hanya iri karena tidak punya televisi. Ridho hanya
meneruskan makan ote-otenya dan bilang bahwa lebih baik uangya untuk membayar
tunggakan buku daripada membeli televisi dan menjadi pengkhayal seperti Ali dan
aku. Sebenarnya aku menyetujui pendapat Ridho, Ultra man itu tidak ada, tapi aku
takut dengan Ali, jadi aku diam saja dan memikirkan cara untuk mengalihkan
pembicaraan tapi malah memergoki sesuatu yang mengerikan, “Heh!! Ada kepala
sekolah!!”

Kepala sekolah masuk ke kelas, di belakangnya ada wali kelas kami, Bu Rini. Mereka
membicarakan tentang ruang kepala sekolah yang banyak tamu wali murid, sehingga
lebih baik membicarakan masalah itu disini. Entah masalah apa itu. Kami
bersembunyi di balik meja, takut ketahuan, karena, meski kami mendapat izin dari
Bu Rini untuk makan di dalam kelas, tapi Pak Tanoe sangat galak dan tidak kenal
kompromi. Kami takut di setrap di lapangan dan pingsan, karena saat itu matahari
sedang panas sekali.

“Besok jam sembilan, Bu, saya kira masih ada waktu untuk sabotase seperti yang
saya bilang. Nah, tiang ini kan sudah agak rapuh…gimana kalau dibikin rapuh saja?
Ada beberapa tiang juga di kelas lain yang seperti ini, saya rasa kita bisa
menggergajinya sedikit, tapi jangan sampai kelihatan, supaya bisa dapat ganti baru
dari Diknas,” Pak Tanoe berbicara dengan suara berbisik. Bu Rini terlihat gelisah,
kami tahu dari caranya memainkan ujung blusnya dengan tergesa.

“Tapi, apa tidak ketauan, Pak? Tidak dosa?”

“Bu, tidak ada pilihan lain, kalau tidak begitu, Diknas tidak akan pernah membantu
perbaikan sekolah. Nanti kita bisa bilang, tiang sekolah ini digerus rayap. Saya tahu
banyak kepala sekolah lain yang malah mengantongi bantuan dari Diknas untuk
mereka sendiri, dan menyebar isu tentang sekolah lain supaya sekolah mereka lah

“Tiang Sekolah Kami Tidak Digerus Rayap”. Oleh: Rengget Geni Latiefah 3
yang mendapat prioritas untuk diberi bantuan. Sedangkan sekolah kita? Sudah lama
sekali tidak dapat bantuan. Lima tahun, Bu. Bagaimana kalau tiang ini benar-benar
roboh dan kita belum mendapat bantuan?”

“Tapi apa tidak bisa minta saja, Pak?”

“Ibu ini bagaimana sih? Saya kan sudah bilang, kalau cuma minta tidak dikasih.
Sekolah lain yang lebih parah dari kita yang dikasih, atau sekolah yang kepala
sekolahnya pintar fitnah, dan uangnya ke kantong mereka!”

“Baiklah, Pak. Nanti saya suruh Karto untuk menggergaji ini sedikit..” Bu Rini
menunduk, ia menyeka matanya yang berair dengan sapu tangan. Pak Kepala Sekolah
mengangguk dan pamit kembali ke ruangannya, Bu Rini beranjak memanggil Mas
Karto, pesuruh sekolah. Kami terhenyak. Tidak menyangka tiang sekolah kami akan
digergaji.

Hari berikutnya, kami memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Aku mendapat kabar
dari Gita, tetangga sekaligus teman sekelasku, bahwa Bu Rini juga tidak masuk, jadi
sekolah libur. Dia sangat lega karena belum sempat memotong kukunya, hari itu, ia
memutuskan untuk mengecat kuku seperti kakaknya dan memamerkannya ke semua
orang, termasuk tukang sol sepatu yang cuma melintas mencari pelanggan. Hari
berikutnya, kami tidak masuk lagi. Ibuku mulai menanyai dengan khawatir, apakah
aku sakit atau ada pemalakan di sekolah seperti diberitakan di televisi, aku berkata
tidak apa-apa. Tapi ia sangat khawatir sampai-sampai mengecat ulang kamarku dan
memasang sprei baru supaya, menurut feng shui yang dibacanya di majalah, dapat
mengembalikan semangat hidup. Aku hanya mendadak tidak enak hati karena ia
menggunakan warna perempuan, lagipula aku tidak suka bau cat basah.

Ali dan Ridho mendatangiku. Mereka bilang bahwa sekolah mendapat bantuan.
Mereka diberitahu orang tua Ridho yang mendapat penghapusan tunggakan buku
karena sekolah sedang ketiban duren, kata Ibunya. Ali mengatakan bahwa sekolah

“Tiang Sekolah Kami Tidak Digerus Rayap”. Oleh: Rengget Geni Latiefah 4
telah berbuat curang, seperti Ultra man yang kebanyakan sponsor. Aku mulai paham
karena kakakku yang berkuliah mengomel-ngomel tentang iklan yang banyak dan
semacamnya, katanya merusak generasi bangsa dan menyebabkan konsumerisme,
aku tidak tahu apa itu, mungkin sejenis obat. “Dan, aku menanyai guru ngaji, tentang
curang. Beliau bilang itu dosa! Haram!” Ali berkata lagi, Ridho menerawang
menatapi langit-langit kamar, dan kemudian memberi pernyataan yang, menurut kami
semua, merupakan hal paling brilian yang pernah dipikirkan oleh anak berumur
sepuluh tahun, ”mungkin memang sebaiknya kita tidak usah bersekolah saja. Aku
tidak mau menjadi bagian orang-orang yang curang.” Kemudian ia memberitahu
kami tentang adiknya yang bersekolah dengan beasiswa tapi tidak diperbolehkan
main, tugasnya hanya belajar saja, dan ada seseorang yang mengawasinya secara
khusus, karena sekolah itu mahal dan banyak murid asingnya. Ketika ia hendak
mengajak adiknya ke pasar malam, pengawasnya langsung menyeret adiknya untuk
kembali belajar. Ibu dan Bapaknya tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis, di sisi
lain bersyukur karena anaknya bisa bersekolah di sekolah mahal secara gratis.
“Bahkan mereka memaksanya ke gereja setiap minggu”. Lanjutnya.

Sejak perbincangan sore itu, kami akhirnya memutuskan untuk, lebih baik, membantu
bapaknya Ridho berjualan tomat di pasar. Beliau juga sudah sakit-sakitan. Aku tidak
memberitahu orang tuaku bahwa aku tidak bersekolah lagi, dan Ali juga, dan Ridho
menerima bantuan kami dengan senang hati. Tiap pagi sejak sore itu aku berpura-
pura berangkat ke sekolah, hanya tidak memakai dasi Tut Wuri Handayani warna
merah di kemeja. Jika ibu sadar, ia pasti akan curiga, tapi, akhir-akhir ini ibu sibuk
mengurusi kakakku yang sering berdemo, aku sering melihatnya di televisi. Kami
berjualan di pasar induk, dengan berganti baju terlebih dahulu, dan tidak seorang pun
mengenali kami yang mantan siswa ini. Padahal tutur kata kami santun meski di pasar
yang tidak bisa mendengar suara berbisik. Jika mereka paham itu, pasti mereka sadar,
bahwa kami pernah mengenyam bangku sekolahan. Jakarta, Juli 2010

“Tiang Sekolah Kami Tidak Digerus Rayap”. Oleh: Rengget Geni Latiefah 5

Anda mungkin juga menyukai