BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1 Prof. Dr. R Soepomo, SH, Bab-bab tentang Hukum Adat ,PT Pradnya Paramita Jakarta (Cetakan 17)
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 2
Peristiwa seperti itulah yang saat ini muncul sebagai permasalahan, tidak saja
permasalahan hukum tetapi juga konflik vertikal. Tanah yang semula berstatus tanah
adat, ketika para penjajah meninggalkan negara tercinta ini, tanah-tanah tersebut
praktis tidak diketahui siapa pemiliknya. Dan pemerintah yang sah mengklaim sebagai
tanah negara. Penguasaan tanah-tanah tersebut, saat-saat ini menjadi kerikil tajam bagi
penyelenggaraan pemerintahan.
Masyarakat-masyarakat adat dalam kehidupan yang terpuruk saat ini, seperti
orang yang baru bangun terhenyak mengambil alih tanah-tanah mereka yang tanpa
disadari bahwa semula sejak penjajah pergi dari bumi pertiwi, telah dikuasai oleh
pemerintah. Bahkan ada kalanya penguasaan oleh pemerintah ini telah jatuh ke tangan
swasta berdasar perjanjian-perjanjian yang dibuat tanpa mengikutsertakan masyarakat
itu sendiri.
Cilakanya masyarakat hukum adat tersebut tidak memiliki bukti-bukti
kepemilikan yang menurut peraturan perundang-undangan modern diwajibkan pemilik
harus dapat membuktikan dasar kepemilikannya yang diperolehnya melalui
pendaftaran tanah (Pasal 20 ayat (1) UU No 5 Tahun 1960 jo Pasal 6 UU No 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Bahkan belakangan ini setelah 62 tahun merdeka, di beberapa tempat terjadi
perebutan tanah-tanah yang diakui oleh masyarakat sekitarnya sebagai tanah ulayat,
sebagai harta bersama dari masyarakat hukum adatnya. Kalau dihitung-hitung sampai
saat ini, memang tepat timing-nya, kalau ditafsirkan bahwa tanah-tanah tersebut sudah
jatuh tempo dan sekarang jatuh ke tangan “penguasa” dikarenakan selesainya hak
erfpacht penyewa Belanda yang ditinggal pergi. Sehingga belakangan dikelola oleh
pemerintah cq Angkatan TNI – RI atau bahkan disewakan lagi (mungkin) dengan hak
bagi hasil dengan pihak-pihak swasta, sudah semestinya mengikutsertakan masyarakat
adat setempat sebagai pemilik asli atas tanah ulayat.
Biasanya pihak-pihak yang menguasai tanah-tanah tersebut dalam melakukan
pengelolaan dibantu dengan pihak-pihak keamanan/aparat kepolisian. Sehingga ketika
masyarakat yang mengakui memiliki hak atas tanah tersebut, ingin merebut kembali
tanahnya maka terjadilah bentrokan-bentrokan fisik yang tak berkesudahan. Tindakan
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 3
“potong kompas tersebut”, pada umumnya karena terpaksa yaitu setelah dengan cara
musyawarah tidak pernah digubris. Akhirnya banyak korban berjatuhan yang tidak
saja dari pihak masyarakat sipil saja, tetapi juga ada kalanya dari kedua belah pihak.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaiman perjanjian bagi hasil menurut hukum adat?
2. Bagaimana system bagi hasil menurut hukum positif di Indonesia?
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 4
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah bagi hasil, di dalam sistem hukum Adat kita walaupun disebut dengan
nama dan sebutan yang berbeda tetapi dikenal dan dilaksanakan hampir di seluruh
pelosok tanah air. Istilah tersebut di Sumatera Selatan khususnya di Kabupaten Lahat
disebut Paroan.
Bagi hasil, merupakan suatu lembaga hukum Adat yang pada awalnya bersifat
sosial ekonomis yang bertujuan menolong sesama warga dan tidak selalu dapat
dianggap sebagai usaha bisnis seperti di negara-negara lain (Parlindungan, 1991)2.
Unsur positif bagi hasil adalah perimbangannya didasarkan atas dasar keadilan dan
terjaminnya kedudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-
hak dan kewajiban, baik dari penggarap maupun pemilik (Wantjik Saleh, 1982).
Menurut ter Haar, maka transaksi ini merupakan suatu perikatan, dimana obyek
transaksi bukanlah tanah, akan tetapi pengolahan tanah dan tanaman di atas tanah tersebut.
Proses tersebut mungkin terjadi, oleh karena pemilik tanah tidak mempunyai kesempatan
untuk mengerjakan tanahnya sendiri, akan tetapi berkeinginan untuk menikmati hasil
tanah tersebut. Maka, dia dapat mengadakan perjanjiandengan fihak-fihak tertentu yang
mampu mengerjakan tanah tersebut, sengan mendapatkan sebagain dari hasilnya sebagai
upah atas jerih payahnya. Transaksi semacam ini dapat dijumpai hamper di seluruh
Indonesi, dengan pelbagai variasi, baik dari sudut penanamannya, pembagian hasilnya,
dan seterusnya3.
Di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), transaksi ini dikenal dengan nama
“mampaduoi” atau “babuek sawah urang”. Perjanjian bagi hasil tersebut didalam
kenyataannya dilakukan secara lisan (dihadapan kepala adat), dan tergantung dari factor
kesuburan tanah, penyediaan bibit, jenis tanaman dan seterusnya. Apabila tanah yang akan
dikerjakan akan dijadikan sawah,
2 Parlindungan, A.P. (1993). Komentar atas undang-undang pokok agraria. Bandung: Mandar Maju, hlm 97
3 Parlindungan, A.P. (1991). Undang-undang bagi hasil di Indonesia. Suatu Studi Komparatif. Bandung: Mandar Maju, hlm 48
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 5
sedangkan benih padi disediakan oleh pemilik tanah, maka hasilnya dibagi dua
antara pemilik tanah dengan penggarap, tanpa memperhitungkan nilai benih serta
pupuknya. Perjanjian semacam ini disebut “mempaduoi”. Lain halnya, apabila tanah
keras, ldang atau sawah yang akan dikerjakan, ditanami dengan palawija, dimana pemilik
tanah menyediakan bibit serta pupuk. Hasilnya tetap dibagi dua, akan tetapi dengan
memperhitungkan harga bibit dan pupuk; perjanjian semacam ini disebut “saduo bijo”.
Perjanjian tersebut dapat diteruskan (atau dihentikan) oleh ahli waris, apabila pemilik
tanah penggaranya meninggal.
Di Jawa Tengah, maka perjanjian tersebut tergantung pada kualitas tanah, macam
tanaman yang akan dikerjakan, serta penawaran buruh tani. Kalau kualitas tanah baik,
misalnya, maka pemilik tanah akan memperoleh bagian yang lebih besar. Dengan
demikian, maka ketentuan-ketentuannya adalah, sebagai berikut :
a. Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama (“maro”)
b. Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian (“mertebu”)
c. Pemilik tanah mendapat 1/5 bagian untuk tanaman kacang.
Khususnya di Bali Selatan, perjanjian bagi hasil penerapannya disebut “sakap
menyakap” (Koentjaraningrat 1967:60). Ketentuan-ketentuannya adalah, sebagai berikut :
a. Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama, yaitu
masing-masing ½ (”nandu”).
b. Pemilik tanah mendapat 3/5 bagian dan penggarap 2/5 bagian (“nelon”)
c. Pemilik tanah mendapat 2/3 bagian dan penggarap 1/3 bagian (“ngapit”).
d. Pemilik tanah mendapat ¾ bagian, sedangkan penggarap ¼ bagian
(“merapat”)
Mengenai perjanjian bagi hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya telah diatur
didalam Undang_Undang Nomor 2 tahun 1960, yang intinya adalah :
a. Penentuan bagian yang didasarkan pada kepentingan penggarap dan kualitas
tanah, dengan ketentuan penggarap memperoleh ½ bagian atau 2/3 bagian.
b. Atas dasar kualitas dan tipe tanah, perjanjian bagi hasil berjangka waktu antara
3 sampai 5 tahun.
c. Kepala Desa mengawasi perjanjian-perjanjian bagi hasil.
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 6
pemilik tanah, walaupun syarat tersebut sangatlah berat dan tidak adil. Misalnya
penggarap dengan sangat terpaksa menerima upah yang rendah4.
Dampak negatif dari perkembangan ini adalah terjadinya proses akumulasi
dan pemusatan pemilikan tanah ke tangan segolongan orang yang berdomisili di
perkotaan. Penguasaan ini sangat erat hubungannya dengan penguasaan yang bias
dikenal dengan pemilikan tanah absentee/guntai. Proses akumulasi dan pemusatan
penguasaan tanah ini di samping dapat semakin memperbesar frekuensi pelanggaran
pemilikan tanah absentee juga semakin memperlebar kesenjangan sosial antara
pemilik dan penggarap tanah. Kondisi ini diperburuk dengan semakin mudahnya
pemilik tanah untuk menambah tanah dengan cara absentee.
Dalam perkembangannya penggarap yang tidak mempunyai lahan hanya bias
berangan-angan sebab tanah yang dikuasai oleh pemilik (absentee) nilai jualnya akan
semakin sulit dijangkau oleh penggarap. Masalah yang memerlukan perhatian khusus
adalah sampai saat ini larangan pemilikan tanah absentee tetap berlaku seperti diatur
pasal 10 UUPA, akan tetapi praktek pemilikan tanah absentee justru semakin
meningkat. Berbagai cara dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan penduduk
setempat atau menggunakan aturan pengecualian pemilikan tanah absentee oleh
pegawai negeri, sehingga pemilik modal secara mudah memiliki tanah dengan harga
yang murah.
Dengan demikian sebagai lembaga hukum Adat yang sudah membudaya di
lingkungan masyarakat, bagi hasil ini sulit untuk dihapuskan. Oleh karena itu agar
memberikan perlindungan kepada para petani, khususnya petani gurem dan tunakisma
serta untuk menghindari adanya kesan pemerasan diri manusia atas manusia, maka
perlu dikendalikan melalui suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil. Peraturan
perundang-undangan inilah yang dapat dijadikan sarana untuk mengatur hak-hak dan
kewajiban pemilik maupun penggarapnya. Pengendalian lembaga bagi hasil ini akan
membantu kesulitan-kesulitan yang mungkin akan terjadi terutama bila terjadi
pelanggaran hak kepada penggarapnya. Maka dalam memori penjelasan undang-
undang perjanjian Bagi hasil dijelaskan bahwa :
4 Wignjodipoero. (1985). Pengantar dan asas-asas hukum adat. Jakarta: Gunung Agung,hlm 197
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 8
(1) Biarpun tidak disebut dengan nama yang sama, tetapi perjanjian penguasahaan
tanah dengan bagi hasil umum dijumpai di Indonesia. Dalam perjanjian itu, yang
hukumnya berlaku sebagai ketentuan-ketentuan hukum adat yang tidak tertulis,
seseorang yang berhak atas suatu tanah, yang karena sesuatu sebab tidak dapat
mengerjakannya sendiri, tetapi ingin tetap mendapat hasilnya, memperkenankan
orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian atas tanah tersebut, yang
hasilnya dibagi antara mereka berdua menurut imbangan yang ditentukan
sebelumnya. Orang yang berhak mengadakan perjanjian tersebut menurut
hukumnya yang berlaku sekarang ini tidak saja terbatas pada pemilik tanah itu
sendiri, tetapi juga orang-orang lain yang mempunyai hubungan hukum tertentu
dengan tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang gadai, penyewa, bahkan
seorang penggarappun - yaitu fihak kedua yang mengadakan perjanjian bagi hasil -
dalam batas-batas tertentu berhak pula berbuat demikian.
(2) Mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing fihak tidak ada
keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia,
banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan
kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah dan lain-lainnya.
Berhubung dengan kenyataan, bahwa umumnya tanah yang tersedia tidak banyak,
sedang jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya sangat besar, maka
seringkali terpaksalah penggarap menerima syarat-syarat perjanjian yang memberi
hak kepadanya atas bagian yang sangat tidak sesuai dengan tenaga dan biaya yang
telah dipergunakannya untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan. Lain dari
pada itu perjanjian tersebut menuntut hukumnya umumnya hanya berlaku selama
jangka waktu satu tahun yang kemudian atas persetujuan kedua belah fihak dapat
dilanjutkan lagi atau diperbaharui. Tetapi berlangsungnya perjanjian itu umumnya
hanyalah tergantung semata-mata pada kesediaan yang berhak atas tanah, hingga
bagi penggarap tidak ada jaminan akan memperoleh tanah garapan selama waktu
yang layak. Hal inipun, kecuali berpengaruh pada pemeliharaan kesuburan
tanahnya, menjadi sebab pula mengapa penggarap seringkali bersedia menerima
syarat-syarat yang berat dan tidak adil. Akhirnya oleh karena jarang sekali
perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara tertulis dan menurut hukumnya juga
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 9
tidak ada keharusan untuk dibuatnya dimuka pejabat-pejabat adat setempat, maka
seringkali terdapat keragu-raguan, yang menimbulkan perselisihan-perselisihan
antara pemilik dan penggarap.
(3) Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya, lemah terhadap
praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat
sebagaimana halnya dengan hubungan perjanjian bagi hasil yang diuraikan diatas,
maka dalam bidang agraria diadakanlah Undang-undang ini, yang bertujuan
mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud : a.agar pembagian hasil
tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil dan
b.dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan
penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap,
yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak
kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedang jumlah
orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar. c. dengan
terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b diatas, maka akan bertambahlah
kegembiraan bekerja pada para petani - penggarap, hal mana akan berpengaruh
baik pada caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan tanahnya. Hal itu
tentu akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang
berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi
"sandang-pangan" rakyat. Dengan diadakannya peraturan ini maka lembaga bagi
hasil yang didalam susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini pada
kenyataannya masih hidup dan mempunyai segi-segi sosial maupun ekonomis
yang tidak dapat dengan sekaligus diganti dan dilenyapkan - akan dapat
dipergunakan dan dilangsungkan sesuai dengan fungsinya dalam masyarakat
karena akan dapat diakhiri dan dicegah penyalah-gunaan dalam
penyelenggaraannya.
(4) Dalam pada itu perlu diinsyafi, bahwa selama imbangan antara luasnya tanah
pertanian dan jumlah kaum tani yang memerlukan tanah disementara daerah -
Jawa, Madura, Bali dan lain- lainnya - belum dapat ditingkatkan pada tingkatan
yang layak, dengan hanya memberi ketentuan-ketentuan mengenai *2567
perjanjian bagi hasil itu saja, tujuan tersebut diatas belumlah akan tercapai. Lebih-
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 10
lebih karena lembaga bagi hasil itu baru merupakah salah satu saja dari bentuk-
bentuk perjanjian pengusahaan tanah dimana golongan petani yang lemah terpaksa
berhadapan dengan yang kuat. Berhubung dengan itu maka dalam rangka dan
sejalan dengan usaha untuk menyelenggarakan perlindungan sebagai yang
dimaksudkan itu sedang dan akan melanjutkan tindakan-tindakan untuk
memperbaiki keadaan para petani yang lemah itu. Misalnya usaha-usaha
perkreditan yang disalurkan melalui Bank Tani dan Nelayan, memberikan tanah
kepada para petani yang belum mempunyai tanah sendiri atau yang tanah usahanya
tidak mencukupi, misalnya dengan pembukaan tanah secara besar-besaran diluar
Jawa, yang diikuti dengan transmigrasi, baik secara teratur yang diselenggarakan
oleh Jawatan Transmigrasi maupun yang spontan. Usaha-usaha dalam bidang
industrialisasi akan membawa perbaikan pula pada imbangan antara tanah dan
orang yang kami maksudkan diatas. Penetapan batas maksimum luas tanah yang
kini sedang difikirkan, dibeberapa tempat/daerah akan berarti pula bertambahnya
tanah yang tersedia bagi para petani yang dimaksudkan itu. Lain dari pada itu
sering dengan keluarnya peraturan mengenai perjanjian bagi hasil ini dikalangan
rakyat sendiri diperlukan pula adanya Undang-undang tentang persewaan tanah,
yang akan memberi perlindungan pula pada para petani kecil penyewa tanah
terhadap praktek-praktek yang tidak baik dari sementara golongan pemilik tanah.
Hal tersebut dipandang perlu oleh karena sewa-menyewa itu merupakan pula
bentuk perjanjian tanah, dimana ada kemungkinan dijalankannya praktek-praktek
yang sangat merugikan golongan petani yang lemah.
(5) Akhirnya perlu ditegaskan, bahwa didalam menyusun peraturan mengenai bagi
hasil ini diusahakan didapatnya imbangan yang sebaik-baiknya antara kepentingan
pemilik dan penggarap, karena yang menjadi tujuan bukanlah mendahulukan
kepentingan golongan yang satu dari pada yang lain, tetapi akan memberi dasar
untuk mengadakan pembagian hasil tanah yang adil dan menjamin kedudukan
hukum yang layak bagi para penggarap. Adalah bukan maksudnya akan memberi
perlindungan itu sedemikian rupa hingga keadaannya menjadi terbalik, yaitu
kedudukan penggarap menjadi sangat kuat, tetapi sebaliknya bagi yang berhak atas
tanah lalu tidak ada jaminan sama sekali. Kiranya telah dimaklumi pula, bahwa
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 11
tidaklah selalu penggarap itu ada pada fihak yang lemah. Tidak jarang justeru
pemiliknya yang merupakan tani-tani kecil yang memerlukan perlindungan sedang
penggarapnya termasuk golongan yang kuat ekonominya.
(6) Undang-undang ini akan berlaku serentak untuk seluruh Indonesia. Biarpun tidak
disemua daerah ada ketegangan didalam hubungan pemilik dan penggarap, tetapi
dengan mendiskriminasikan berlakunya Undang-undang ini untuk daerah satu
dengan daerah lain, artinya diperlakukan disesuatu daerah dan didaerah lain tidak
atau menangguhkan berlakunya dikhawatirkan timbulnya kesukaran-kesukaran
yang terus-menerus meluas dari satu daerah kelain daerah karena berbeda-bedanya
peraturan. Dalam pada itu perumusan pasal yang terpenting dari Undang-undang
ini, yaitu pasal 7 memberikan flexibilitet yang cukup luas untuk menyesuaikan
pelaksanaannya dengan keadaan-keadaan yang khusus didaerah yang
bersangkutan.
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bagi hasil, merupakan suatu lembaga hukum Adat yang pada awalnya bersifat
sosial ekonomis yang bertujuan menolong sesama warga dan tidak selalu dapat
dianggap sebagai usaha bisnis seperti di negara-negara lain. Unsur positif bagi hasil
adalah perimbangannya didasarkan atas dasar keadilan dan terjaminnya kedudukan
hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban, baik
dari penggarap maupun pemilik. Oleh karena itu agar memberikan perlindungan
kepada para petani, khususnya petani gurem dan tunakisma serta untuk menghindari
adanya kesan pemerasan diri manusia atas manusia, maka perlu dikendalikan melalui
suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960
Tentang Perjanjian Bagi Hasil. Peraturan perundang-undangan inilah yang dapat
dijadikan sarana untuk mengatur hak-hak dan kewajiban pemilik maupun
penggarapnya. Pengendalian lembaga bagi hasil ini akan membantu kesulitan-
kesulitan yang mungkin akan terjadi terutama bila terjadi pelanggaran hak kepada
penggarapnya
B. Saran
Batas maksimum pemilikan tanah sebagaimana diatur dalam UU No.
56/Prp/1960 jo Pasal 3a - e PP No. 41 Tahun 1964 tidak sesuai lagi dengan pesatnya
perkembangan penduduk. Lahan pertanian seharusnya dimiliki oleh petani, oleh
karena itu dibutuhkan aturan yang memfasilitasi pemilikan tanah pertanian oleh
petani dan memproteksi pemilikan oleh bukan petani.
Eksistensi Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Adat dan Hukum Positif 13
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. R Soepomo, SH, Bab-bab tentang Hukum Adat ,PT Pradnya Paramita
Jakarta (Cetakan 17)
Parlindungan, A.P. (1991). Undang-undang bagi hasil di Indonesia. Suatu
Studi Komparatif. Bandung: Mandar Maju.
Parlindungan, A.P. (1993). Komentar atas undang-undang pokok agraria.
Bandung: Mandar Maju
Wignjodipoero. (1985). Pengantar dan asas-asas hukum adat. Jakarta: Gunung
Agung.
Undang Undang Dasar 1945
Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil