Anda di halaman 1dari 2

Batas Yang Tipis

Publikasi 17/04/2003 09:03 WIB

eramuslim - Mengisi buku harian ternyata tidak hanya untuk menyalurkan perasaan
hati, entah itu sedih, gembira, malu atau marah. Juga tidak hanya sekedar bernostalgia
dengan membaca kembali kejadian-kejadian penting dan berkesan dimasa lalu.
Bagiku tulisan pada buku harian juga ikut mengingatkan diri untuk tidak melakukan
kesalahan dan kebodohan dimasa lalu.

Malam ini, aku hendak kembali menggoreskan tinta di lembaran baru buku harianku.
Ya, siang tadi salah seorang ibu memintaku melalui telepon untuk mengisi acara
pengajian taklim mereka, menggantikan pengisi yang tiba-tiba berhalangan hadir.
“...ditunggu besok pagi, Bunda Nisa. Tapi maaf tidak ada yang bisa menjemput
karena bla..bla..bla...” kata suara diujung sana. Aku sebenarnya ingin menolak.
Seperti ban serep, kalau tiba-tiba bocor barulah dipakai, pikirku. Tapi untuk menolak
rasanya tidak enak, jadi terpaksa aku iyakan. Dan saat ini, aku baru akan menuliskan
kekesalanku itu di buku harianku. Sebelum menulis, tanpa sengaja buku itu terbuka
pada halaman yang sempat kutulis pada musim dingin tahun lalu. Aku sempatkan
membacanya.

Winter, 12 Desember 11.47 CET “... Astaghfirullah, aku hampir saja terpedaya tipuan
syetan jika sepanjang jalan Ayah tidak mengingatkan bahwa pengorbananku ini akan
sia-sia di mata Allah jika ada sedikit saja terbetik rasa berat ataupun riya di dada ini.

Memang sejak awal mendapat tugas memberikan pelatihan jurnalistik bagi muslimah
disini, syetan telah menggoda hatiku. Ada rasa enggan karena lokasinya yang cukup
jauh dan saat ini musim dingin. Meskipun Ayah berkenan mengantar, tetapi rasanya
kok berat karena Annisa masih belum seumur jagung usianya dan kami harus
menempuh perjalanan dengan kendaraan umum selama beberapa jam. Tapi dorongan
semangat Ayah, akhirnya membuatku membulatkan tekad untuk pergi juga. Ternyata
syetan tak henti-hentinya menggodaku. Sepanjang perjalanan, hatiku kembali
dipenuhi perasaan-perasaan berat dan tanpa sengaja aku beberapa kali mengeluh pada
Ayah, “Dingin ya, Yah.” atau “Kenapa sih keretanya lama sekali”. Ayah hanya
tersenyum melihat tingkahku, “Sabar ya, Bunda...”. Aku pun sesaat menyadari
kekhilafan itu. Akan tetapi rupanya syetan tidak rela, dan mulai lagi menggodaku,
“Wah, kamu itu hebat. Mana ada orang yang sekuat dan seikhlas kamu. Sudahlah
membawa bayi kecil di tengah musim dingin, dan harus menempuh perjalanan dengan
kendaraan umum pula. Pasti disana, saudara-saudaramu akan memberikan pujian
yang tak putus-putusnya akan pengorbananmu yang besar. Tentu saja, wajarlah jika
kamu berbangga hati karenanya...." Suara-suara itu terus menerus mengiang
ditelingaku. Alhamdulillah, Ayah mengerti kondisiku. Dia kemudian menuntunku
untuk berzikir, katanya “Bunda harus meluruskan niat, karena batas antara ikhlas dan
tidak ikhlas sangat tipis. Jangan sampai kita sudah capek, habis waktu dan ongkos,
ternyata tidak ada sedikitpun pahala yang kita dapat dari Allah“ kata Ayah sambil
membimbingku supaya tidak terpeleset diatas air yang membeku...

Aku merenung sesaat, dan kembali beristighfar serta mengurungkan niatku


mencurahkan segala uneg-uneg hati ini di buku harianku. Ya, aku harus kembali
meluruskan niat dan membulatkan tekad dalam mencari ridho Allah, karena batas
ikhlas dan tidak ikhlas itu sangat tipis. (Melati Salsabila)

Anda mungkin juga menyukai