Anda di halaman 1dari 3

Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular

Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut
kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat
lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain
dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak
hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.

Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan
nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang
senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar
menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar
dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.

“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong.
Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang
mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya,
kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di
dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya
ini.”

“Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka,
kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan.
Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.”

Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi.
Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat
untuk ular itu masuk.

Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan


keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular
yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa
yang dicarinya, pria itu pun pergi.

Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman.
Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”

Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira
sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan
mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu
tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda
mati.”

“Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu
bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan,
terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu?
Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.

“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali
bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah
menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada
Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian
kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya,
perbuatan baiknya berbuah penyesalan.

Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa
pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan
aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa
berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.”

Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh,
andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan
menyelamatkanku.”

Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular:
“Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku
seperti yang kamu inginkan.”

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:


“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam
jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk
ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali.
Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga
Allah sentiasa membantumu.”

Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular
itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang
mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah
yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?”

Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan
berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang
Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.”

Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi
pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”

Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:


“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti
dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang
jahat.”
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan
selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa
sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam
menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.

Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu
nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan.
Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-
mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.

Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu
banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku
kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal
kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup
besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya
seraya menebar ancaman.

Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu
kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk
mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya
saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun
saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan
menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini
dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.

Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid,
Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.

Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan
agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita
dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah,
satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa
bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih
berkicau.

Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur
panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.

Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah
menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya,
Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah
karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.

Anda mungkin juga menyukai