Anda di halaman 1dari 6

Nama : Andhik Beni Saputra

NIM : 0801120140
Mata Kuliah : Politik dan Pemerintahan Negara Amerika Latin
Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional
Dosen : Yessi Olivia, S.IP, M. Int. Rel

The Harvest of Neoliberalism in Latin America

Tulisan ini berbentuk Summary dari buku Imperialism, Neoliberalism and Social
Struggles in Latin America (halaman 17-35), yang tulis oleh José Bell Lara and Delia Luisa
López. Buku ini diterbitkan oleh Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands pada tahun 2007.
Sebelum melakukan pembahasan mengenai neoliberalisme di Amerika Latin, kedua
penulis terlebih dahulu memberikan gambaran secara umum mengenai kondisi perekonomian
Amerika Latin. Di mulai dari kegagalan Meksiko pada 1982 dan semua dinamika yang berkaitan
dengan proses renegosiasi utang, di mana utang telah menjadi titik artikulasi yang sangat
penting bagi berkembangnya era ketergantungan kontemporer. Kedua penulis juga
mengemukakan bahwa beban utang yang dialami oleh negara-negara Amerika Latin
merupakan sebuah instrumen utama untuk memaksakan seluruh negara-negara Amerika
menerapkan prinsip-prinsp neoliberalisme. Kemudian berbagai dampak sosial yang timbul
sebagai akibat diterapkannya kebijakan neoliberalisme di Amerika Latin dapat dianggap
sebagai hasil panen neoliberalisme (Harvest of Neoliberalism).
Secara umum dapat dikatakan bahwa ideologi neoliberalisme mengalami penyebaran
secara luas dan komprehensif di seluruh dunia. Menurut Bell Lara and López, paradigma
neoliberal dapat dapat dicirikan dengan sifat-sifat individualistis, utilitarian, dan ahistoris
terhadap visi ekonomi dan masyarakat. Paradigma ini diawali dengan premis bahwa kebebasan
memilih dan perhitungan rasional para pelaku ekonomi baik podusen ataupun konsumen
merupakan prinsip yang mendasari perilaku manusia. Oleh karena itu, kapitalisme dianggap
sebagai suatu rezim terbaik yang mampu menciptakan kestabilan dan efisiensi dalam aktivitas
perekonomian. Sehingga segala bentuk intervensi pemerintah yang dianggap sebagai
penghambat para pelaku ekonomi memperoleh akses menuju pasar bebas harus dihapuskan,
karena hanya akan menimbulkan infesiensi.
Kedua penulis menambahkan bahwa pada kenyataannya neoliberalisme telah
memperlihatkan wujudnya sebagai suatu pemikiran yang fundamentalis, ahistoris dan memiliki
sedikit kapasitas untuk melakukan perhitungan terhadap berbagai bentuk realitas sosial atau ciri
khas yang dimiliki oleh negara-negara berkembang. Terlepas dari pernyataan tersebut, harus
disadari bahwa tujuan utama dari neoliberalisme adalah menciptakan suatu kondisi yang lebih
baik bagi kaum pemilik modal. Sehingga bukan sesuatu hal yang mengherankan jika
penerapkan kebijakan neoliberalisme di negara-negara berkembang justru menimbulkan
ketimpangan sosial di dalam kehidupan masyarakatnya.
Agenda-agenda ekonomi yang dikemas secara rapi dalam ideologi neoliberalisme
sebenarnya tidak terlepas dari Konsensus Wasington. Konsensus Washington ini merupakan
suatu rangkaian kebijakan ekonomi yang muncul dari konsultasi secara berkelanjutan antara
Kongres dan pemerintah Amerika Serikat, IMF dan Bank Dunia dengan para bankir, pembesar
perusahaan transnasional, politisi, dan para menteri keuangan. Tujuan utama dari Konsensus
Wasington adalah terciptanya pasar bebas yang akan mengatur semua aktivitas perekonomian,
menuntun intervensi negara untuk mempertahankan ketertiban fiskal, mencapai perdangan
yang stabil, melakukan liberalisasi, deregulasi, privatisasi perekonomian, dan juga menciptakan
peraturan mengenai ketenagakerjaan yang fleksibel, sebagai satu-satunya jalan untuk
memperoleh akses kredit dan menarik investasi asing.
Menurut kedua penulis melalui Konsensus Washington tersebut, muncul suatu persepsi
yang cenderung untuk menjajarkan kedudukan negara dengan pasar dalam neoliberalisme.
Sehingga muncul pula istilah negara neoliberal yang menempatkan pasar bebas diatas
segalanya. Dalam negara neoliberal tersebut, aparatur pemerintah dimanfaatkan sebagai alat
yang melakukan penyelarasan terhadap berbagai kekuatan kelompok sosial, perusahaan dan
pekerja, kesejahteraan dan prospek masa depan.
Pengalaman sejarah telah menunjukan bahwa hadirnya invisible hand dalam ekonomi
pasar dianggap tidak mampu dalam mempromosikan perkembangan sebuah negara
terbelakang. Karena menurut studi Sontag (1994) menunjukan bahwa arus perputaran barang
dan jasa maupun modal dI dunia hanya menjadi monopoli dan dominasi oleh sekelompok kecil
perusahaan transnasional yang beroperasi dibawah perlindungan pemerintah negara asalnya.
Sebuah analisis tentang perilaku ekonomi dan masyarakat Amerika Latin selama beberapa
dekade terakhir era neoliberal telah menunjukan bahwa kebijakan neoliberal merupakan
subordinasi dari wilayah yang lebih besar untuk monopoli modal transnasional dan
membutuhkan biaya sosial yang lebih besar pula dalam aplikasinya.
Meskipun berbagai kritik dilancarkan oleh mayoritas penduduk yang mengalami
ketidakadilan dan ketimpangan sosial sebagai akibat kebijakan neoliberal, pada kenyataannya
neoliberalisme tetap menjadi suatu paradigma yang dominan sekaligus simbol kemajuan bagi
globalisasi kapitalis. Sebab harus diakui bahwa pada saat ini banyak diantara tokoh-tokoh
pembuat kebijakan publik di negara-negara berkembang yang seharusnya mendahulukan
kepentingan rakyat justru terjerumus ke dalam hegemoni ideologi neoliberal. Bahkan ketika
seorang tokoh yang populis berhasil terpilih menjadi presiden, dan kemudian dianggap
mengancam kepentingan monopoli perusahaan transnasional kaum borjuis, maka IMF dijadikan
sebagai alat untuk melakukan berbagai tekanan dan intervensi terhadap pemerintahan tersebut.
Pada bagian selanjutnya, Bell Lara dan López memulia pembahasannya dengan
memberikan gambaran tentang ketimpangan pendapatan antara pekerja dan investor asing
pada saat Amerika Latin mengalami krisis utang. Dimana pendapatan kaum pekerja mengalami
penurunan sebesar 25% sedangkan para investor asing memperoleh keuntungan 15% lebih
besar dalam periode yang sama. Bahkan menurut laporan Bank Dunia pada tahun 1990
menunjukan bahwa meskipun pendapatan per kapita Amerika Latin lima sampai tujuh kali lebih
besar dibandingkan Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara, namun distribusi pendapatan Amerika
Latin dianggap masih kurang mengguntungkan dibandingkan kedua wilayah tersebut.
Selama tahun 1990-an, ketimpangan sosial yang terjadi bukannya mengarah pada
perbaikan bahkan cenderung semakin memburuk. Bahkan studi ECLAC menunjukan bahwa
sebesar lima persen populasi penduduk paling kaya mengalami peningkatan pendapatan
secara absolut. Dalam hal ini, kedua penulis mencantumkan beberapa data tambahan yang
menunjukan tingginya tingkat ketimpangan sosial di Amerika Latin, yang mereka kutip dari
berbagai sumber. Salah satunya adalah sumber dari IDB pada tahun 2002, yang menunjukan
bahwa total pendapatan yang diterima oleh mayoritas penduduk hanya 5%. Sementara
kelompok terkaya yang berjumlah 10% menerima 40% dari total pendapatan. Diantara negara-
negara Amerika Latin dengan tingkat ketimpangan tertinggi adalah Bolivia, Brazil, dan
Nicaragua di mana selisih antara penduduk terkaya dan penduduk termiskin lebih dari 30 kali.
Berdasarkan data-data yang ada sejak tahun 2000, Bell Lara dan López menegaskan
bahwa Amerika Latin merupakan suatu wilayah dengan konsentrasi pendapatan yang tertinggi.
Jika pada tahun 1990, terdapat 8 negara yang diklasifikasikan sebagai negara dengan tingkat
ketidakmerataan tertinggi, pada tahun 2000 bertambah menjadi 11 negara. Manisfestasi yang
paling ekstrim dari ketidakmerataan ini dapat dilihat pada bidang kesehatan yang menunjukan
distribusi yang tidak adil bagi rakyat untuk mendapatkan akses kesehatan yang berujung pada
rendahnya tingkat harapan hidup penduduk miskin.
Selain ketimpangan sosial kedua penulis juga memaparkan bahwa akhir abad ke-20
merupakan suatu era yang ditandai dengan timbulnya masalah-masalah ketenagakerjaan
seperti meningkatnya jumlah pengganguran dan pengganguran terselubung pada skala global.
Pada tahun 1990-an diperkirakan jumlah tenaga kerja di Amerika Latin mencapai 180 juta
orang. Selama dekade ini pula jumlah tenaga kerja yang tidak berhasil mendapatkan pekerjaan
meningkat menjadi 10,1% per tahun.
Bell Lara dan López mengemukakan bahwa meningkatnya pengganguran di Amerika
Latin tak lepas dari paket kebijakan neoliberal meliputi pembukaan ekonomi daerah untuk
perdagangan luar negeri. Sehingga melalui penerapan kebijakan neoliberal tersebut telah
menyebabkan penutupan sejumlah perusahaan industri lokal karena tidak mampu bersaing
dengan industri negara lain yang lebih maju yang berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Meningkatnya jumlah pengganguran tersebut pada akhirnya menciptakan tekanan-tekanan
psikologis dan frustasi yang berujung pada sikap anti sosial dan kenalan pada remaja,
alkoholisme, pelecehan seksual, dan berbagai tindak kekerasan lainnya.
Pada akhirnya kedua penulis membuat suatu kesimpulan bahwa upaya untuk mencapai
standar hidup yang layak melalui pekerjaan tetap, hanya mungkin dicapai oleh sebagian kecil
penduduk Amerika Latin. Sebab era neoliberalisme telah menciptakan kondisi pekerjaan yang
tak menentu, yang bedampak pada meningkatnya ketidakmerataan, kemiskinan, kerawanan
dan ketidakstabilan sosial.
Salah masalah sosial yang marak di Amerika Latin adalah meningkatnya kemiskinan.
Menurut Bell Lara dan López, kemiskinan memiliki sejumlah definisi teknis yang terkait dengan
tingkat pendapatan atau pemenuhan kebutuhan dasar. Tetapi secara sederhana kemiskinan
dapat diidentikan dengan pendapatan yang rendah, kurang mendapatkan akses air bersih dan
kesehatan, kualitas perumahan yang buruk, dan lain sebagainya. Berdasarkan data yang
dikutip dari ECLAC, kedua penulis mengemukakan bahwa selama tahun 1970-an diperkirakan
penduduk Amerika Latin yang hidup di bawah garis kemiskinan berjumlah 40%, dan selama
tahun 1980-an meningkat menjadi 48,3%. Pada akhir abad ke-20, tingkat kemiskinan menjadi
semakin mengkhawatirkan, 211 juta penduduk Amerika Latin hidup dalam keadaan miskin,
dimana 89 juta diantaranya merupakan kemiskinan absolut.
Dalam hal ini kedua penulis juga memperkenalkan istilah feminisasi kemisikinan, yaitu
suatu rumah tangga yang hidup dalam kondisi kemiskinan di mana kepala rumah tangganya
adalah seorang wanita. Sebuah studi menunjukan bahwa pandapatan rata-rata masyarakat
miskin hanya mencapai 55% dari definisi kemiskinan. Sehingga pendapatan yang dihasilkan
oleh seorang individu miskin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tetapi tidak
untuk anggota keluarga yang lain. Pada perkembangannya, fenomena kemiskinan di Amerika
Latin telah menjangkit ke daerah-daerah perkotaan sebagai akibat adanya perpindahan
penduduk secara sistematis dari desa ke kota. Meskipun terdapat Millenium Goal yang
berusaha mengurangi kemiskinan pada tahun 2015, tetap saja banyak pihak yang
memprediksikan program ini sulit untuk tercapai.
Fenomena pengganguran dan kemiskinan yang sangat memprihatinkan tersebut, tanpa
disadari telah menjadikan sektor informal yang digarap secara efektif oleh masyarakat miskin,
membawa hasil yang cukup menguntungkan. Sektor informal ini mengalami pertumbuhan
secara signifikan, jika awal tahun 1980 tumbuh 8,5% per tahun, kemudian meningkat menjadi
75% dalam rentang waktu 1980-19990. Pertumbuhan sektor informal yang luar biasa ini
dianggap berperan besar dalam menyerap tenaga kerja dan memperbaiki kelangsungan hidup
para pengganguran. Menurut kedua penulis, jika pertumbuhan sektor informal yang luar biasa
ini mencerminkan adanya kecenderungan transformasi ekonomi modern, di Amerika Latin hal
itu mencerminkan bahwa sektor infromal memiliki kapasitas yang lebih besar dari sektor
ekonomi formal dalam penyerapan tenaga kerja yang semakin meningkat.
Bell Lara dan López juga mengemukakan bahwa berbagai kebijakan untuk melakukan
penghematan dan pembatasan yang ditempuh oleh negara-negara Amerika Latin pada awal
munculnya krisis utang, mengakibatkan timbulnya pengganguran spiral dan penurunan gaji
pegawai yang mengarah pada turunnya mobilitas sosial. Penurunan gaji secara drastis ini
dialami oleh para pekerja pertanian, karyawan sektor publik, dan pekerja industri manufaktur.
Sehingga muncul kemiskinan dalam bentuk baru, dimana banyaknya masyarkat kelas
menengah yang jatuh ke dalam garis kemiskinan sebagai akibat dari turunnya pendapatan
mereka. Hal tersebut juga berdampak pada turunnya pendapatan perkapita Amerika Latin yang
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lain.
Selain pengganguran dan kemiskinan, Amerika Latin juga dapat diidentikan dengan
masalah tingginya tingkat kekerasan dan kriminalitas. Ada banyak hal yang menjadi penyebab
tingginya tingkat penggunaan kekerasan dan kriminalitas, seperti ketimpangan sosial,
urbanisasi yang kacau, konsumsi alkohol yang berlebihan, dan lain-lain. Untuk kasus Amerika
Latin, tingginya pengunaan tindak kekerasan bukanlah sesuatu yang asing untuk
diperbincangkan. Sebagai contoh adalah El Salvador dengan kasus pembunuhan sebanyak
152 per setiap 100.000 jiwa, maka tak heran jika negara itu menjadi negara dengan kriminalitas
tertinggi di dunia selama tahun 1990-an. Selain itu, negara-negara Amerika Latin juga dikenal
sebagai surga bagi perdagangan narkotika secara ilegal. Bell Lara dan López mengemukakan
bahwa tingginya tingkat kekerasan di Amerika Latin dapat merusak perkonomian negara-
negara di kawasan tersebut. Seperti yang diaporkan oleh Bank Dunia bahwa Amerika Latin
mengalami kerugian sebesar US$ 200 miliar selama 15 tahun terakhir akibat tingginya angka
kriminalitas dan penggunaan kekerasan.
Menurut Bell Lara and Delia Luisa López, mekanisme mengenai persyaratan dan proses
renegosiasi utang sebenarnya dapat dianggap sebagai intervensi ekonomi-politik negara maju
untuk mempengaruhi kebijakan moneter, pajak, dan subsidi negara berkembang. Sehingga
dalam hal ini demokrasi dikonversi menjadi suatu mekanisme untuk memilih seorang pejabat
yang akan keputusan yang memihak pada kepentingan perusahaan transnasional sebagai
pembuat kebijakan nasional. Sehingga orientasi kebijakan negara bukan lagi untuk kepentingan
rakyat tapi untuk kepentingan pasar dan kaum kapital. Dalam hal ini, kedua penulis
menjelaskan mengenai kuatnya tekanan IMF terhadap Argentina agar melakukan perubahan
undang-undang yang dapat memberikan keuntungan terhadap kepentingan perusahaan
transnasional. Jadi dapat dikemukakan bahwa neoliberalisme yang lazim dianggap sebagai
ideologi kebebasan, bagi negara negera berkembang neoliberalisme justru dianggap sebagai
ideologi yang membatasi hak-hak politik dan merengut kesejahteraan warga Amerika Latin.
Kondisi tersebut telah menyebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat di negara-
negara Amerika Latin terhadap pemerintahannya untuk memberikan prioritas terhadap
kepentingan dan pemenuhan hak-hak rakyat kecil disetiap kebijakan yang diambil oleh
pemerintah. Bahkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah ini juga menghingap pada anak-
anak usia remaja. Kedua penulis mengemukakan bahwa terdapat sebuah sikap pesisme yang
besar dikalangan anak-anak dan remaja yang menganggap bahwa kondisi negara mereka akan
tetap sama bahkan lebih buruk lagi dari keadaan saat ini. Meskipun pada tahun 2004
perekonomian negara-negara dikawasan Amerika Latin tumbuh sebesar 5%, tetapi mayoritas
penduduk tetap merasa bahwa masa depan ekonomi kawasan ini akan lebih buruk dan anak-
anak mereka akan hidup dalam kondisi yang lebih buruk pula dari saat ini.
Sebagai penutup dari tulisan ini, kedua penulis membuat sebuah analisis yang
menunjukan adanya kecenderungan ketidakpuasan sosial masyarakat disebagian besar
kawasan Amerika Latin. Secara perlahan-lahan berbagai pergerakan sosial rakyat dianggap
cukup berhasil dalam menempatkan anggota-anggotanya yang terbebas dari kepentingan
neoliberal di pemerintahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hal ini menandakan kebangkitn
kekuatan rakyat dan pemimpin partai politik mereka sekaligus masa depan peregerakan
mereka.

Anda mungkin juga menyukai