Anda di halaman 1dari 6

Nama : Andhik Beni Saputra

NIM : 0801120140
Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Politik
Dosen : DR. Alimin Siregar
Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional

KORUPSI DAN DEMOKRASI

Pendahuluan
Dalam paper ini diangkat suatu tema yang telah menjadi suatu permasalahan
klasik bagi suatu negara yaitu korupsi dan demokrasi. bagi suatu negara korupsi
merupakan suatu parasit yang sangat sulit untuk diberantas, bahkan korupsi merupakan
suatu realita sosial yang telah tumbuh berkembang dalam masyarakat. Agar dicapai
suatu pemahaman yang lebih jelas dan mendalam mengenai korupsi dan demokrasi,
maka dalam paper ini akan dijelaskan tentang konsep korupsi, konsep demokrasi,
korupsi dan demokrasi, serta upaya pemberantasan korupsi.

1. Konsep Korupsi
Berbicara tentang masalah korupsi maka akan selalu dikaitkan dengan suatu
perbuatan yang melanggar tata aturan hukum yang berlaku. Karena pada dasarnya
korupsi merupakan suatu tindak pidana yang menimbulkan kerugian besar terhadap
negara. Secara etimologis korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio dari kata
kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.1
Jadi, secara sederhana korupsi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dapat
mengoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Pada konteks yang lebih luas
korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu perilaku pejabat publik yang secara sengaja
mengelapkan uang negara untuk memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan
jabatan resmi yang dipercayakan kepadanya.
Klimaks dari perbuatan korupsi adalah pemerintahan oleh para pencuri
(kleptokrasi), dimana para pejabat publik pura-pura bertindak jujur dihadapan publik
untuk menutupi perbuatan busuk mereka. Oleh karena itu, korupsi merupakan suatu
bentuk pengkhianatan terhadap negara atas kepercayaan yang diberikan dalam

1
http://id.wikipedia.org/wiki/ Korupsi. diakses pada 12 Januari 2009.
mengemban tugas sebagai pemimpin maupun wakil rakyat untuk menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Konsepsi mengenai korupsi sendiri baru timbul setelah adanya
pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang
pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di Barat
setelah adanya Revolusi Industri di Inggris, Revolusi Amerika Serikat,
dan Revolusi Perancis. Sejak saat itu penyalahgunaan jabatan dan
wewenang demi meraih kepentingan pribadi daripada kepentingan
negara, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak
korupsi.
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi itu
bekerja.2 Dimensi yang pertama adalah dimensi yang terjadi di
tingkat atas, dimana pada dimensi ini korupsi melibatkan penguasa
atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang
cukup besar. Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya
terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan
langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak.

2. Konsep demokrasi
Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa demokrasi
merupakan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Maka dalam negara demokrasi, rakyatlah yang memiliki dan
mengendalikan kekuasaan dan kekuasaan tersebut dijalankan
sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Demokrasi, pada mulanya merupakan suatu gagasan tentang
pola kehidupan yang muncul sebagai reaksi terhadap kenyataan
sosial politik yang tidak manusiawi di tengah-tengah masyarakat. Ide
demokrasi pada awal kemunculannya dimaksudkan sebagai pola
hubungan antar manusia yang manusiawi secara ideal, lalu berproses
dan kemudian lebih populer dalam wujud kehidupan yang lebih luas,
yaitu kehidupan bernegara.
Ada tiga nilai ideal yang mendukung demokrasi sebagai suatu
gagasan kehidupan bernegara yaitu kemerdekaan (freedom),

2
http://thamrin.wordpress.com/2006/07/18/definisi-korupsi/. Diakses pada 12 Januari
2009.
persamaan (equality), dan keadilan (justice).3 Dalam kenyataan
hidup, ide tersebut direalisasikan melalui perwujudan simbol-simbol
dan hakikat dari nilai-nilai dasar demokrasi tersebut. Itu berarti
bahwa simbol demokrasi dan begitu pula hakikat demokrasi sungguh-
sungguh mewakili atau diangkat dari kenyataan hidup yang sepadan
dengan nilai-nilkai itu sendiri.
3. Korupsi dan Demokrasi
Korupsi sesungguhnya merupakan suatu ironi dari demokrasi
itu sendiri. Meskipun demokrasi lazim dianggap sebagai suatu sistem
pemerintahan yang lebih baik dan ideal daripada sistem
pemerintahan diktator. Karena demokrasi lebih lebih
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat daripada sistem
pemerintahan diktator. Akan tetapi, bukan berarti demokrasi
merupakan suatu sistem pemerintahan yang tidak rentan terhadap
korupsi. Bahkan pada kenyataannya, demokrasi belum merupakan
indikator utama untuk menghilangkan korupsi.4
Hal tersebut dapat dilihat secara langsung dalam sebuah hasil
laporan CPI (Corruption Perception Index) pada tahun 1998, yang
memperlihatkan sejumlah negara demokratis di Asia tercatat sebagai
negara yang tingkat korupsinya tinggi, misalnya Filipina (57),
Thailand (64), India (68), dan Indonesia (80). Ssebaliknya negara yang
tergolong berada dalam level demokrasi rendah, justru tingkat
korupsinya rendah, seperti Singapura (7), Malaysia (29), dan China
(32). Hanya ada satu negara yang termasuk indeks demokrasinya
tinggi, yaitu Jepang (25), dengan tingkat korupsi rendah.
Dengan gambaran sekilas diatas, dapat dikatakan bahwa dalam
kenyataannya demokrasi justru lebih banyak menyimpan sejumlah
pertanyaan, daripada sejumlah harapan untuk memerangi dan
memberantas korupsi sampai tuntas. Korupsi telah menjadi suatu
virus yang menginfeksi bentuk sistem pemerintahan apapun, baik itu
demokrasi maupun otoritarian.

4. Upaya Pemberantasan Korupsi

3
Parulian Donald, Mengugat Pemilu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hlm. 1.
4
Indra J Piliang, Jihad Melawan Korupsi, (Jakarta: Kompas, 2005), hlm: 89.
Sebagai sebuah tindakan merugikan negara sudah selayaknya korupsi diberantas
sampai tuntas hingga keakar-akarnya. Berbagai pendekatan dapat digunakan oleh suatu
negara dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut. Salah satu yang paling populer
adalah pendekatan hukum. Pendekatan hukum ini bahwa hukum yang kuat dan disertai
dengan sanksi yang tegas dan nyata akan efektif dalam menekan angka korupsi.
Pendekatan hukum ini berkaitan pula dengan pendekatan politik karena adanya hukum
yang kuat dan tegas dalam pemberantasan korupsi merupakan produk dari adanya
political will dari pemerintah yang berkuasa. Anak dari pendekatan politik adalah
pendekatan ekonomi yang didasari asumsi bahwa penghasilan rendah para pejabat
negara yang telah menyebabkan terjadinya praktek korupsi. Karenanya upaya
penanganan yang efektif adalah dengan meningkatkan gaji para pejabat negara.

Selain itu, pendekatan psikologi juga dapa t digunakan dalam pemberantasan


korupsi, yang tentunya dintegrasikan dalam berbagai pendekatan lain. Pendekatan
psikologi ini menekankan pada perubahan sikap, pereduksian niat dan kesempatan serta
manipulasi norma sosial dan norma subjektif. Upaya melakukan hal-hal tersebut
merupakan upaya integral yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Semuanya saling
terkait satu sama lain secara erat.
Berbagai langkah yang dapat ditempuh dalam pendekatan psikologi tersebut
dapat dilakukan melalui tiga langkah secara berkesinabungan. Langkah pertama adalah
dengan mengubah sikap agar seseorang memiliki sikap negatif terhadap korupsi. Proses
perubahan sikap ini bisa dilakukan diantaranya dengan menginformasikan dampak dari
korupsi secara luas yang berdasarkan data-data akurat. Diharapkan pengetahuan yang
memadai akan dampak korupsi yang sangat buruk bisa menimbulkan disonansi atau
kesenjangan kognitif, dimana pikiran individu tentang enaknya hasil korupsi akan
bertentangan dengan pikiran akan dampak korupsi yang dilakukannya terhadap orang
banyak. Darinya diharapkan terjadi perubahan sikap menjadi lebih negatif terhadap
korupsi.
Langkah kedua adalah dengan mereduksi niat untuk melakukan korupsi. Seperti
yang telah kita lihat diatas, niat untuk berkorupsi bisa dimunculkan karena adanya
tuntutan kebutuhan tertentu. Bila kebutuhan itu terpenuhi diharapkan niat korupsi juga
berkurang. Kebijakan kenaikan gaji yang populer beberapa waktu lalu mendasarkan
pada kerangka berpikir demikian. Sementara itu upaya memanipulasi norma sosial bisa
ditunjukkan dengan kesungguhan pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap
para pelaku korupsi, memberikan keteladanan, dan memperkuat sanksi sosial dimana
individu akan merasa kurang mendapat dukungan sosial atas perilaku korupnya.
Mewajibkan kerja sosial seperti menyapu jalan bagi para pejabat pelaku korupsi
merupakan bentuk hukuman sosial yang efektif. Sedangkan manipulasi norma subjektif
bisa dilakukan melalui pendidikan anti korupsi baik melalui pendekatan keagamaan
maupun melalui pendekatan budaya.
Langkah yang ketiga sekaligus langkah terakhir adalah dengan mengurangi
kesempatan seseorang untuk melakukan korupsi. Upaya mengurangi kesempatan
korupsi ini bisa dilakukan dengan beragam cara seperti pengawasan yang ketat terhadap
lembaga-lembaga publik oleh masyarakat umum dan terutama oleh masyarakat
akademis, transparansi pengelolaan keuangan pemerintah, laporan kekayaan pejabat
secara berkala kepada publik, dan lainnya.
Agaknya dimasa depan diperlukan suatu tes psikologi untuk screening calon
pejabat negara, karena tipe kepribadian, sikap, niat, dan norma subjektif tertentu yang
dimiliki individu menyumbang terhadap kecenderungan melakukan korupsi. Misalnya
kepribadian yang manipulatif lebih berkecenderungan melakukan korupsi. Pada
akhirnya pendekatan psikologi adalah pendekatan yang diaplikasikan pada pendekatan
lain bukan suatu pendekatan yang bisa dilakukan sendiri.

Kesimpulan
Berdasarkan berbagai uraian mengenai masalah demokrasi dan korupsi, maka
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa istilah korupsi mengacu kepada pemakaian dana
pemerintah untuk keuntungan pribadi. Kemudian dapat juga dikatakan bahwa dalam
kenyataannya tidak ada satupun negara yang rentan akan korupsi, baik itu negara maju
atau negara berkembang. Dalam menangani masalah pemberantasan korupsi ada satu
hal yang menjadi dasar dari berbagai upaya yang dapat ditempuh yaitu keinginan dan
keseriusan pemerintah dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat dan rakyat
dalam memberantas korupsi yang telah menjadi suatu budaya.
Referensi

Husai Pontoh, Coen. 2005. Malapetaka Demokrasi Pasar. Yogyakarta: Resist Book.
Donal, Parulian. 1997. Mengugat Pemilu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Piliang, Indra J. 2005. Jihad Melawan Korupsi. Jakarta: Kompas.

Anda mungkin juga menyukai