Anda di halaman 1dari 7

Apakah Hizbut Tahrir Wahabi?

Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada 2 Agustus 2009

Soal:

Siapa sebenarnya Wahabi? Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi


atau setidaknya mirip Wahabi? Jika tidak, ada apa
sebenarnya di balik tuduhan seperti ini?

Jawab:

Wahabi adalah gerakan Islam yang dinisbatkan kepada


Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1206 H/1701-1793 M).
Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya merupakan
pengikut mazhab Hanbali, kemudian berijtihad dalam
beberapa masalah, sebagaimana yang diakuinya sendiri
dalam kitab, Shiyânah al-Insân, karya Muhammad Basyir
as-Sahsawani.1 Meski demikian, hasil ijtihadnya dinilai
bermasalah oleh ulama Sunni yang lainnya.

Nama Wahabi sendiri telah dikubur oleh para pengikut dan


penganutnya. Boleh jadi karena sejarah kelam pada masa
lalu. Namun, mereka mempunyai alasan lain. Menurut
mereka, ajaran Muhammad bin Abdul Wahbab adalah
ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri.
Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri
mereka sebagai Salafi atau Muwahhidûn, yang berarti
“orang-orang yang mentauhidkan Allah”, bukan Wahhâbi.

Secara historis, gerakan Wahabi telah mengalami beberapa


kali metamorfosis. Mula-mula adalah gerakan keagamaan
murni yang bertujuan untuk memurnikan tauhid dari syirik,
tahayul, bid’ah dan khurafat, yang dimulai dari Uyainah,
kampung halaman pendirinya tahun 1740 M. Di
kampungnya, gerakan ini mendapatkan penentangan.
Muhammad bin Abdul Wahhab pun terusir dari kampung
halamannya dan berpindah ke Dar’iyyah. Di sini, pendiri
Wahabi itu mendapat perlindungan dari Muhammad bin
Saud, yang notabene bermusuhan dengan Amir Uyainah.
Dalam kurun tujun tahun, sejak tinggal di Dar’iyyah,
dakwah Wahabi berkembang pesat.

Tahun 1747 M, Muhammad bin Saud, yang notabene adalah


agen Inggris, menyatakan secara terbuka penerimaannya
terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan
Muhammad bin Abdul Wahhab. Keduanya pun sama-sama
diuntungkan. Dalam kurun 10 tahun, wilayah kekuasaan
Muhammad bin Saud berkembang seluas 30 mil persegi.
Muhammad bin Abdul Wahhab pun diuntungkan, karena
dakwahnya berkembang dan pengaruhnya semakin
menguat atas dukungan politik dari Ibn Saud. Namun,
pengaruhnya berhenti sampai di wilayah Ihsa’ 1757 M.

Ketika Ibn Saud meninggal dunia tahun 1765 M,


kepemimpinannya diteruskan oleh anaknya, Abdul Aziz.
Namun, tidak ada perkembangan yang berarti dari gerakan
ini, kecuali setelah tahun 1787 M. Dengan kata lain, selama
31 tahun (1957-1788 M), gerakan ini stagnan.

Namun, setelah Abdul Aziz, yang juga agen Inggris itu,


mendirikan Dewan Imarah pada tahun 1787 M, sekaligus
menandai lahirnya sistem monarki, Wahabi pun terlibat
dalam ekspansi kekuasaan yang didukungnya, sekaligus
menyebarkan paham yang dianutnya. Tahun 1788 M,
mereka menyerang dan menduduki Kuwait. Melalui metode
baru ini, gerakan ini menimbulkan instabilitas di wilayah
Khilafah Utsmani; di semenanjung Arabia, Irak dan Syam
yang bertujuan melepaskan wilayah tersebut dari Khilafah.
Gerakan mereka akhirnya berhasil dipukul mundur dari
Madinah tahun 1812 M. Benteng terakhir mereka di
Dar’iyyah pun berhasil diratakan dengan tanah oleh
Khilafah tahun 1818 M. Sejak itu, nama Wahabi seolah
terkubur dan lenyap ditelan bumi.2
Namun, pandangan dan pemikiran Wahabi memang tidak
mati. Demikian juga hubungan penganut dan pendukung
Wahabi dengan keluarga Ibn Saud.

Metamorfosis berikutnya terjadi ketika mereka mengubah


nama. Nama Wahabi tidak pernah lagi digunakan, mungkin
karena rentan. Akhirnya, mereka lebih suka menyebut diri
mereka Salafi. Namun, pandangan dan cara mereka
berdakwah tetap sama. Inilah fakta sejarah tentang
Wahabi. Dari fakta ini jelas sekali, bahwa Wahabi (Salafi)
ikut membidani lahirnya Kerajaan Arab Saudi. Karena itu,
tidak aneh jika kemudian Wahabi (Salafi) senantiasa
menjadi pendukung kekuasaan Ibn Saud sekalipun Wahabi
(Salafi) bukan merupakan gerakan politik.

Ini jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir adalah


partai politik yang berideologi Islam. Tujuannya adalah
untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan mendirikan
Khilafah yang menerapkan sistem Islam dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh dunia. Politik adalah aktivitasnya.3
Meski begitu, Hizbut Tahrir tidak pernah terlibat dalam
pendirian rezim manapun yang berkuasa saat ini di dunia.
Hizb juga tidak pernah terlibat dalam dukung-mendukung
kekuasaan/negara manapun. Sebabnya, semua negara
yang ada di seluruh dunia saat ini bukanlah negara yang
dibangun berdasarkan akidah Islam dan memerintah
berdasarkan hukum-hukum Allah. Dalam pandangan Islam,
menurut Hizb, satu-satunya negara bagi umat Islam di
seluruh dunia adalah Khilafah, yang notabene pernah
dirongrong oleh konspirasi Inggris dan agennya, dinasti Ibn
Saud, termasuk di dalamnya menggunakan Wahabi.

Pandangan keagamaan Wahabi sebenarnya bukan hal yang


baru. Dalam masalah akidah, misalnya, Wahabi, banyak
mengambil pandangan Ibn Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-
Qayyim al-Jauziyyah. Tauhid, menurut mereka, ada dua
yaitu: tauhid rububiyyah wa asma’ wa shifat dan tauhid
rububiyyah. Tauhid yang pertama bertujuan untuk
mengenal dan menetapkan Allah sebagai Rabb, dengan
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tauhid yang kedua terkait
dengan tuntutan dan tujuan (at-thalab wa al-qashd).4
Syaikh ‘Abd al-’Aziz bin Baz, kemudian membagi tauhid
tersebut menjadi tiga: tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah
dan tauhid al-asma’ wa as-shifat.5

Ini berbeda dengan Hizb. Dalam tauhid, Hizb tidak


mengenal klasifikasi seperti ini. Dalam pembahasan
tentang sifat, misalnya, Hizb tidak membahas sifat dan
asma dalam konteks itsbât bilâ tahrîf wa la ta’thîl wa la
takyîf wa la tamtsîl (menetapkan sifat dan asma Allah,
tanpa menyelewengkan, mengabaikan, mendes-kripsikan
tatacara-Nya dan menyerupakannya dengan yang lain),
sebagaimana lazimnya Wahabi.6 Hizb membahas sifat
justru untuk meluruskan perdebatan yang tidak
berkesudahan, antara Muktazilah, yang menyatakan bahwa
sifat Allah sama dengan Dzat-Nya, dan Ahlussunnah, yang
menyatakan, bahwa sifat Allah tidak sama dengan Zat-Nya.
Dalam pandangan Hizb, perdebatan seperti ini tidak bisa
dan tidak boleh dilakukan, karena tidak berangkat dari
fakta, melainkan didasarkan pada asumsi mantik.7

Bagi Wahabi, masalah utama umat Islam adalah masalah


akidah; akidah umat ini dianggap sesat, karena dipenuhi
syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Karena itu, aktivitas
dakwah mereka difokuskan pada upaya purifikasi
(pemurnian) akidah dan ibadah umat Islam. Akidah
dimurnikan dari syirik, baik syirik ashghar (syirik kecil),
akbar (syirik besar) maupun syirik khafi (syirik yang samar-
samar); juga tahayul dan khurafat. Ibadah juga harus
dimurnikan dari bid’ah, yang didefinisikan sebagai
membuat metode yang tidak dicontohkan sebelumnya.
Dalam pandangan mereka, bid’ah ada dua: bid’ah dalam
adat dan tradisi; bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama,
menurut mereka, hukumnya mubah/boleh. Bid’ah yang
kedua semuanya haram dan sesat (dhalalah). Bid’ah yang
kedua ini mereka bagi menjadi dua: Bid’ah qawliyyah
i’tiqadiyyah, seperti ucapan dan pandangan Jahmiyah,
Muktazilah, Rafidhah dan sebagainya; bid’ah fi al-’ibâdah.8

Ini berbeda dengan Hizb. Pandangan seperti ini, menurut


Hizb, juga berbahaya karena menganggap seolah-oleh
umat Islam belum berakidah Islam. Ini tampak pada
pandangan mereka terhadap kaum Muslim yang lain, selain
kelompok mereka, yang dianggap sesat. Bahkan mereka
tidak jarang saling sesat-menyesatkan terhadap kelompok
sempalan mereka. Pandangan ini, menurut Hizb,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak
proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat
Islam, tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam.
Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja,
akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang
disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu,
Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb
juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski
penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah
utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah
dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan
Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah,
dengan menegakkan kembali Khilafah.

Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi


landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat
dan negara. Setelah itu, akidah yang hidup di dalam diri
umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari
keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk
memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di
muka bumi.

Dengan pandangan Wahabi seperti itu terhadap akidah


umat Islam, ditambah ketidaktahuan mereka tentang
konstruksi masyarakat—yang terdiri dari manusia,
pemikiran, perasaan dan system—maka wajar jika sejarah
Wahabi berlumuran darah kaum Muslim. Situs-situs penting
dan bersejarah di dalam Islam pun mereka hancurkan.
Semuanya dengan dalih membebaskan umat Islam dari
syirik dan khurafat. Ini jelas berbeda dengan Hizb. Hizb tahu
persis konstruksi masyarakat sehingga dalam dakwahnya
tidak pernah menyerang manusia atau obyek-obyek fisik,
seperti situs-situs penting dan bersejarah; melainkan
menyerang pemikiran, perasaan dan sistem yang diyakini
dan dipraktikkan oleh manusia. Itulah yang menjadi fokus
serangan Hizb. Karena itu, dakwah Hizb dikenal sebagai
dakwah fikriyyah lâ ‘unfiyyah (intelektual dan non-
kekesaran).

Pendek kata, perbedaan Hizb dengan Wahabi begitu jelas


dan nyata. Menyamakan Hizb dengan Wahabi bisa jadi
karena tidak mengerti tentang kedua-duanya, atau sengaja
untuk melakukan monsterisasi terhadap Hizb, agar
disalahpahami, dibenci dimusuhi dan dijauhi oleh umat.
Inilah yang sebenarnya hendak dilakukan. Lalu siapa yang
diuntungkan dengan semuanya ini, tentu bukan Islam dan
kaum Muslim, melainkan kaum kafir penjajah dan para
boneka mereka, yang tetap menginginkan negeri-negeri
Muslim, seperti Indonesia, ini tetap terjajah. Na’ûdzu billâh.
[]

Catatan kaki:

1 Lihat, Muhammad Basyir as-Sahsawani, Shiyânah al-


Insân, hlm. 475.

2 Lihat, ‘Abdul Qadîm Zallûm, Kayfa Hudimat al-Khilâfah,


Dâr al-Ummah, Beirut, 1994.

3 Taqiyuddîn an-Nabhâni, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, Min


Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. ke-6, edisi Muktamadah,
2001, hlm. 84.

4 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-


Majîd: Syarah Kitâb at-Tawhîd, Muassasah Qurthubah, t.t.,
hlm. 25.
5 Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala
ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, Makatabah
al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, cet. II, 1423 H, hlm. 30.

6 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-


Majîd: Syarh Kitâb at-Tawhîd, hlm. 25; Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah
li ‘Ammati al-Ummah, hlm. 20.

7 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-


Islamiyyah al-Juz al-Awwâl, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr,
cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2003, hlm. 116-124.

8 Dr. Fauzan bin ‘Abdullah Fauzan, ‘Aqîdah at-Tawhîd,


Mamlakah al-’Arabiyyah as-Sa’udiyyah, Muassasah al-
Haramain al-Khairiyyah, Riyadh, hlm. 176-177.

Sumber : Majalah Al Waie edisi Juli 2009

Anda mungkin juga menyukai