Anda di halaman 1dari 22

Bagaimana Hidup dan Berjuang di Indonesia

Posted by dnux on March 31, 2010

download file : Bagaimana Hidup dan Berjuang di Indonesia.docx

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang
mengubah apa apa yang pada diri mereka ” (QS 13:11)

Abstrak : Ada dua kubu pada umat Islam dalam memahami dan menganalisa keadaan Indonesia
saat ini. Satu pihak memahami bahwa Indonesia adalah Darul Islam kemudian mengambil
sikap berlebihan dalam kepatuhan serta memeliharanya dan penguasanya, sementara satu
pihak lainnya memahami bahwa Indonesia adalah darul kufur yang pemerintahannya tidak
perlu ditaati bahkan harus dimusuhi sebab dia bukan ulil amri. Tulisan ini dimaksudkan untuk
menjelaskan realita hukum, pemerintahan serta sosiologis masyarakat Indonesia secara adil
dan menyajikan bagaimana harusnya hidup dan berjuang di negeri Indonesia melalui analisa
kehidupan Rasulullah SAW di Makkah

Contents

1) Realitas Kehidupan di Negeri Negeri Islam Saat Ini

a. Keinginan masyarakat untuk menerapkan syariat Islam..

b. Kategorisasi Darul Islam dan Darul Kufur.

c. Penerapan Sistem Demokrasi adalah indikasi status Darul Kufur suatu Negara.

d. Bila Indonesia adalah Darul Kufur apakah warganya berstatus kafir semua ?.

e. Apakah terlibat sistem pemerintahan kufur menyebabkan kafir / murtad ?.

f. Thoghut di Indonesia.

g. Apakah pemerintah Indonesia dan negeri muslim lainnya bisa disebut Ulil Amri ?.

h. Peluang dan Bahaya di dalam Parlemen/DPR.

2) Tugas mulia untuk mewujudkan kembali Daulah Khilafah.

a. Agama adalah saudara kembar kekuasaan.

b. Bencana karena tiadanya daulah khilafah.

c. Kafirkah mengingkari kewajiban menegakkan Khilafah ?.


d. Tidakkah kita bersyukur dengan keadaan Negara saat ini ?.

3) Metodologi/Manhaj yang Benar dalam mewujudkan Khilafah.

a. Periode Makkah vs Kesempurnaan Hukum Islam..

b. Pentingnya menyadari dan memahami manhaj pada periode mekkah.

c. Sekilas tentang manhaj nabi dalam merubah masyarakat.

d. Beda antara Metode dengan Karakteristik Dakwah.

e. Merebut kekuasaan dengan pedang ?.

f. Memperbaiki umat lewat jalur Pendidikan.

4) Jihad Fii Sabilillah, Jalan Membentuk Daulah Islam ?.

a. Merebut Darul Islam yang baru dikuasai Tentara Darul Kufur.

b. Berjihad pada negeri Islam yang dikuasai Tentara Kufur.

c. Darul Islam yang berubah menjadi Darul Kufur karena perubahan pemikiran.

d. Memerangi Kaum Munafiq.

e. Mana duluan ? aqidah atau jihad atau menyerukan Khilafah dulu ?.

1) Realitas Kehidupan di Negeri Negeri Islam Saat Ini


a. Keinginan masyarakat untuk menerapkan syariat Islam

Survey yang dilakukan oleh beberapa penyelenggara kepada berbagai kalangan di Indonesia baik
itu kalangan mahasiswa, rumah tangga, professional, pejabat ataupun anggota legislative,
menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia mendukung dan ingin penerapan syariat
Islam[i], meski masih banyak juga yang tidak setuju. Ketidaksetujuan tersebut lebih banyak
disebabkan oleh mispresepsi terhadap syariat Islam dan kekuatiran akan bahaya yang mungkin
terjadi bila syariat Islam diterapkan di Indonesia yang majemuk plus dan minimnya sosialisasi
penggambaran indahnya hidup dibawah syariat Islam.

Keinginan menerapkan syariat Islam tersebut Nampak dengan makin banyaknya perda syariah
yang mengatur busana, melarang minuman keras, perjudian, pelacuran serta peraturan peraturan
lainnya seperti kewajiban baca tulis Al-Quran. Nangrie Aceh Darussalam menggunakan istilah
Qonun untuk menyebut perda syaria dan disana telah dibentuk polisi syariah yang bertugas
keliling mengawasi kegiatan di tempat tempat umum. Beberapa kantor pemerintahan di daerah
Riau, Tasikmalaya dll telah menggunakan tulisan Arab Pegon disandingkan dengan huruf latin
untuk menamai kantornya. Setidaknya itu adalah ghirah untuk kembali hidup pada tradisi
keIslaman

Dalam bidang ekonomi pun semakin semarak bank bank dan asuransi asuransi syariah. Lembaga
lembaga ekonomi konvensional (ribawi) seperti BCA, Niaga, Standard Chartered, Prudential
telah ikut terjun ke ekonomi syariah dengan membuka unit syariah dan mengeluarkan produk
produknya yang belum dijamin 100% syar’i. Pegadaian pun tak ketinggalan membuka unit
pegadaian syariah. Fakta fakta ini membuktikan bahwa ada keriundan masyarakat Indonesia
kepada penerapan syariah Islam sebagai solusi kehidupan.

Namun seiring dengan maraknya semangat bersyariah tersebut, semakin marak pula kemaksiatan
hadir di tengah umat. Kaum kapitalis sekuleris hedonis semakin agresif dalam merusak
kehidupan sosial dengan memborbadir masyarakat dengan hiburan cabul narkoba dan sex bebas.
Kaum gay/lesbi pun semakin berani menampakkan aktivitasnya di tempat umum. Demikian pula
kaum liberal semakin bebas merusak pondasa kehidupan beragama di Indonesia dan selalu
mencegah agar syariah diterapkan secara formal di indonesia.

Demikian juga dalam waktu bersamaan semangat bersyariah tersebut malah berkorelasi terbalik
dengan menurunnya suara “parpol islam” dalam berbagai pilkada atau bahkan pilnas.
Masyarakat semakin apatis melihat parpol islam yang ternyata tidak berbeda dengan parpol non
islam lainnya.

b. Kategorisasi Darul Islam dan Darul Kufur

“Indonesia bukan negara sekuler bukan juga negara agama, tapi indonesia adalah negara
beragama”. Demikian argumentasi yang sering dikemukakan pihak pihak yang tidak ingin
formalisasi syariat Islam di Indonesia baik dari golongan Islam ataupun non muslim.

Padahal para fuqoha qodim hanya mengenal dua istilah untuk memberi status sebuah negara
(Dar) yaitu (1) Darul Islam atau (2) Darul Kufur. Kalau tidak Darul Islam ya berarti Darul
Kufur – dan sebaliknya. Tidak ada istilah lagi selain dua istilah itu. Namun di Indonesia muncul
produk “ijtihad” terkait status Negara yaitu Darus Salam[ii] (Negeri Damai) untuk menyebut
Indonesia sebab mereka (atau malu) bila negeri mereka disebut Darul Kufur. Istilah ini benar
benar istilah baru yang tidak pernah dijumpai di kitab-kitab karya fuqiha qodim. Andaikan-pun
ada, maka istilah Darus Salam itu biasanya untuk menyebut salah satu nama surga, bukan istilah
bagi status sebuah negara.

Untuk menghindari kerancuan dan ketersinggungan, maka umat Islam harus menyadari bahwa
ada dua istilah terkait status sebuah wilayah dimana mereka tinggal. Dua istilah itu adalah :

1. Bilad (Negeri, Country) untuk penyebutan wilayah geografi berdasarkan karakteristik


demografinya (agama, sosial budaya dll)
2. Dar (Negara, State) untuk penyebutan wilayah geografi berdasarkan karakteristik
hukum dan sistem pemerintahannya.
Dari segi komposisi penduduk dan adat istiadatnya, maka Indonesia adalah bilad/negri Islam
(Islamic country), demikian juga pakistan, bangladesh Arab Saudi dll. Namun mereka semua
bukanlah Negara Islam (Darul Islam / Islamic State). Negeri negeri di Eropa dari sisi komposisi
serta adat istiadatnya kesemuanya adalah bilad/ negri Kristen namun mereka semua tidak bisa
disebut sebagai Negara Kristen (Christian State). Hal ini berbeda dengan riwayat sejarah berabad
sebelumnya dimana negeri2 Islam sekarang adalah bagian dari Daulah Islam (Darul Islam) dan
negeri negeri Eropa adalah Kerajaan Kristen (Christian Kingdom)

Sebagai ilustrasi, Yastrib awalnya adalah negeri jahiliyah sekaligus darul kufur yang kemudian
berubah menjadi Darul Islam atau Darul Muhajirin. Istilah Darul Muhajirin adalah istilah yang
disematkan Baginda Nabi atas wilayah yang dia pimpin. Dalam berbagai sariyah (expedisi
perang), beliau memerintahkan para sahabat sbb : “Serulah mereka pada Islam. Jika mereka
menyambutnya, terimalah mereka, dan hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah
mereka berpindah dari negerinya (darul kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam, yang
berpusat di Madinah), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan
semua itu maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum
muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin” (HR
Muslim).

Adapun definisi yang disampaikan ulama tentang darul Islam adalah sebagai berikut [iii] :

• Di dalam hâsyiyah (catatan pinggir) Ibnu ‘Abidin atas kitab Ad-Durr al-Mukhtâr Syarh
Tanwîr al-Abshâr disebutkan: Darul Islam tidak akan berubah menjadi dâr al-harb….
(karena) misalnya, orang kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir
murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur;
atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari
Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak
menjadikan Darul Islam berubah menjadi dar al-harb jika telah memenuhi tiga syarat.
Adapun Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat, cukup dengan satu syarat saja, yakni
tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas
• Di dalam kamus fikihnya, Syaikh Sa’di Abu Habib menjelaskan tentang Darul Islam dan
dâr al-harb sebagai berikut: Menurut pengikut mazhab Syafii, dâr al-harb adalah negeri-
negeri kaum kafir (bilâd al-kuffâr) yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum
Muslim. Adapun Darul Islam menurut pengikut mazhab Syafii adalah setiap negeri yang
dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad dan Bashrah; atau penduduknya masuk
Islam, seperti Madinah atau Yaman; atau negeri yang ditaklukkan dengan perang,
semacam Khaibar, Mesir dan wilayah kota Irak; atau ditaklukkan secara damai; atau
wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang hidup di dalamnya membayar jizyah.
• Di dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf
dituturkan, “Darul-Islam adalah negeri yang diberlakukan di dalamnya hukum-hukum
Islam dan keamanan negeri itu dibawah keamanan kaum Muslim, sama saja, apakah
penduduknya Muslim atau dzimmi. Adapun dâr al-harb adalah negeri yang tidak
diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu tidak dijamin
oleh kaum Muslim.

Kesimpulannya, sebuah Negara disebut Negara Islam (Darul Islam) apabila memenuhi 2 syarat :
(1) Hukum yang diterapkan adalah Hukum Islam

(2) Keamanan negara tersebut berada di tangan umat Islam.

Sebaliknya, sebuah Negara disebut sebagai Darul Kafir bila salah satu atau kedua syarat tersebut
tidak ada. [iv]

Keengganan mengakui bahwa Indonesia adalah Darul Kufur antara lain karena beberapa
argumentasi, Argumentasi Pertama, hukum Islam masih di Indonesia masih dijadikan sebagai
salah satu sumber hukum sebagai bagian dari hukum adat. Argumentasi ini justru menunjukkan
bahwa Indonesia bukan Darul Islam, disebabkan hukum yang berlaku merupakan hukum
kompromi antara hukum Islam dengan hukum kufur. Terlebih sudah jelas Indonesia merdeka
dengan mewarisi 100% KUHP Belanda walupun kemudian secara perlahan konten kebelandaan
itu dikurangi/direvisi sehingga tidak persis 100% lagi seperti KUHP Belanda [v].

Argumentasi Kedua, Undang Undang yang dibuat DPR/Presiden adalah berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 yang digali atau sudah sesuai dengan aqidah dan syariat Islam. Pengakuan seperti
ini jelas merupakan bentuk ketidakcermatan dalam menelaah realitas hukum di Indonesia.
Pertama, Pancasila dari awal pembentukannya disepakati sebagai sebuah filsafat bernegara
bukan ideology kenegaraan yang tentu saja sebagai filsafat maka dia hanya berupa unsur nilai
yang bisa saja dicocok-cocokkan dengan agama apapun baik itu Islam, Kristen, Hindu, Budha
ataupun Kong Hu Cu walaupun yang terakhir itu tampak sekali dipaksakan. Kedua, UUD1945
bisa saja ada beberapa ayat/pasal ada yang mirip dengan ketentuan syariat sebab diantara
penyusun UUD 1945 ada juga tokoh Islam. Namun dalam perkembangannya, UUD1945 saat ini
telah di ammend 4 kali telah bertambah dari 37 pasal dan 47 ayat menjadi 73 pasal, 171 ayat[vi]
yang didominasi oleh pemikiran kapitalis demokrasi dan liberal yang bersumber pada aqidah
sekulerisme dan semakin sangat jauh dari kesesuaiannya dengan syariat Islam

c. Penerapan Sistem Demokrasi adalah indikasi status Darul Kufur suatu


Negara

Demokrasi berasal dari kata demos artinya rakyat dan kratein yang berarti pemerintah. Awalnya
terdapat dalam praktek negara kota (polis) di kota Yunani Athena pada tahun 450 SM.
Demokrasi dapat diartikan pemerintahan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sebuah sistem pemerintahan dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang dijalankan oleh
wakil-wakil rakyat yang dipilih dalam pemilu. Pericles mengemukakan kriteria demokrasi yang
terdiri dari : 1) pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat penuh dan langsung 2)
kesamaan warga negara di depan hukum 3) adanya pluralisme, penghargaan atas perbedaan 4).
penghargaan terhadap pribadi untuk mengekspresikan ke-pribadian individu[vii]

Penggunaan kata demokrasi belum muncul di UUD 1945 (asli) sampai akhirnya istilah tersebut
muncul pada amendment pertama UUD45 (th 1999) yaitu pada pasal 18, 28i, 28j dan pasal 33.
Meski demikian, secara tidak langsung sistem demokrasi secara explisit tergambar di UUD 1945
(asli) misalnya pada bab I tentang kekuasan dan kedaulatan khususnya dimana pasal 1
menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara republik dengan kedaulatan adalah di tangan rakyat.
Keberadaan DPR pun sebagai penyeimbang dalam Trias Politika makin kuat kedudukannya
setelah ditetapkan pada pasal 19 – 22 di UUD 1945 ammandement pertama (th 1999) meski
sebelum kurun waktu itu DPR hampir dikatakan selalu tunduk pada kebijakan Presiden.

Dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945 Soekarno antara lain mengatakan: “Ibaratnya badan
perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya,
agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam,
pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan
rakyat itu, hukum Islam pula”[viii]. Dia juga mengatakan “Di dalam perwakilan rakyat
saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau
misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara
Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari pada
utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, – fair
play!.” [ix]

Musyawarah tidak ada korelasi satu satu dengan demokrasi. Demokrasi adalah sistem
pemerintahan sedangkan metode pengambilan keputusan. Secara fakta, musyawarah itu terjadi
dan dilakukan dimana saja, baik itu di system demokrasi, di dalam system Islam, ataupun di
dalam komunisme sekalipun. Bahkan di system kerajaan feudal, theokrasi ataupun di himpunan
masyarakat terasing pun terjadi musyawarah.

Karena itu tidak boleh mengatakan bahwa musyawarah adalah ciri khas demokrasi sebab
musyawarah itu terjadi di system mana saja, lalu kemudian menyimpukan bahwa Islam itu
sesuai dengan demokrasi, mengikuti dengan logika/mantiq berikut:

• Premis A : musyawarah adalah ciri khas demokrasi


• Premis B : islam itu mengutamakan musyawarah
• Konklusi : Islam itu sama dengan demokrasi

Penarikan kesimpulan berdasarkan logika mantiq ini sangat salah luar biasa. Kesimpulan yang
dibangun dari premis premis yang salah jelas melahirkan kesimpulan yang salah. Kesalahan
premis A sudah dijelaskan diatas. Kesalahan premis B yaitu “islam itu mengutamakan
musyawarah” juga sangat jelas bertentangan dengan realitas bahwa musyarawah itu dalam Islam
hanya pada hal hal terbatas saja, yaitu pada aktivitas mubah bukan musyarwarah dalam
menentukan hukum. Innal hukum illa lillah. Hukum hanyalah milik Allah

Umat Islam diperbolehkan bermusyawarah untuk menentukan bentuk masjid, hiasannya, tempat
wudhu dll namun umat Islam tidak boleh bermusyawarah untuk menentukan arah kiblat. Arah
kiblat adalah menghadap makkah (nash syara). Akurasinya diserahkan kepada ahli/engineer yang
mengerti bagaimana cara menentukan sudut kiblat, bukan hasil musyawarah berapa derajad yang
paling baik untuk kiblat.

Demikian pula dalam hukum pribadi ataupun hukum publik. Tidak ada musyawarah apabila
menyangkut masalah penetapan hukum. Penentuan hukum harus diserahkan kepada ahlinya
yaitu para mujthahid. Umat diperbolehkan mengkuti pendapat mujtahid madzhab tertentu,
demikian pula khalifah diwajibkan mengikuti pendapat mujtahid madzab tertentu atau dia
menentukan hukum sendiri bila levelnya adalah seroang mujthahid. Lalu dia pilih hukum hukum
yang perlu diadopsi oleh Negara untuk diterapkan pada publik.

Sementara itu, di dalam demokrasi rakyat berhak dan berdaulat untuk membuat hukum bagi
mereka sendiri baik warga yang muslim ataupun non muslim, yang sholeh ataupun yang jahat,
yang berfikiran bersih ataupun yang berfikiran kotor berhak menyampaikan pendapat dalam
pembuatan undang undang sesuai dengan slogan demokrasi : dari rakyat untuk rakyat oleh
rakyat.

Beda nyata antara prinsip Islam dengan demokrasi:

B Islam Demokrasi
Kedaulatan Kedaulatan di Tangan Syara Kedaulatan di tangan rakyat
Kekuasaan Kekuasaan di Tangan Umat Islam Kekuasan di tangan rakyat
(Islam/Kafir)
Baik Buruk Baik buruk ditentukan Allah SWT Baik buruk tergantung kemauan rakyat

d. Bila Indonesia adalah Darul Kufur apakah warganya berstatus kafir semua
?

Ada kekuatiran di masyarakat bahwa bila Indonesia berstatus darul kufur, maka anggota
masyarakat di dalamnya juga berstatus kafir. Ini juga menjadi sebab penolakkan untuk menyebut
Indonesia sebagai darul kafir. Kesimpulan ini adalah kesimpulan yang salah akibat penggunaan
analogi induksi, bukan berdasarkan penggalian hukum Islam yang benar.

Pendapat Imam Abidin sebagaimana dikutipkan sebelumnya : “Darul Islam tidak akan berubah
menjadi dâr al-harb….(karena) misalnya, orang kafir berhasil menguasai negeri kita, atau
penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan atas mereka hukum-hukum
kufur”

Kekufuran negara tidak secara langsung merubah status muslim di dalamnya menjadi kafir
sebagaimana tidak berubahnya status seseorang non muslim menjadi Islam ketika negerinay
berubah menjadi Darul Islam. Kekufuran individu terkait dengan masalah aqidah yang dianutnya
sedangkan status Darul Kufur suatu negara semata terkait dengan jenis hukum yang diterapkan
di negeri tersebut + keamanan yang menguasai negeri tersebut. Rasulullah SAW sendiri 13 tahun
dakwahnya adalah menjadi warga Darul Kuffur Makkah.

e. Apakah terlibat sistem pemerintahan kufur menyebabkan kafir / murtad ?

Para ulama membagi perbuatan murtad menjadi 3 bentuk : (1) murtad I’tiqod (2) murtad qouly
(3) murtad fi’ly[x] demikian lupa diantaranya ada yang menambahkan kekufuran itu karena
sebab syak/ragu seperti Imam Taqyuddin Huasini[xi]Murtad I’tiqod berkaitan dengan keyakinan
seseorang seperti dia tidak yakin bahwa AlQuran itu kalamullah atau tidak yakin bahwa sholat
itu hukumnya wajib. Murtad qouly contohnya seperti perkataan bahwa Allah itu punya anak,
Rasulullah SAW itu bukan utusan Allah. Murtad fi’ly contohnya seperti menyembah berhala
atau ikut melakukan ibadah orang kristen di dalam gereja. Semua contoh diatas adalah bentuk
kesesatan nyata yang harus dijatuhi hukuman murtad oleh negara

Ada pula perbuatan perbuatan yang menyimpat takwil seperti seorang masuk ke Gereja dan
membaca Injil dan berdiksusi dengan pastor. Perbuatan tersebut juga harus diverivikasi untuk
mengetahui apa sebenarnya terjadi. Bila karena sebab keinginan berpindah agama maka akan
dikenakan sanksi. Meski demikian, sebelum memberikan sanksi, negara wajib memberi batas
waktu 3 hari kepada pelaku agar bertobat dan ruju’ ilal haq (kembali kepada kebenaran) dan
wajib mengirim dai utusan untuk menyadarkan si pelaku agar meninggalkan pendapat/perbuatan
sesatnya itu.

Dalam Af-Fiqh ‘ala Madzahib Arba’ah dinyatakan : ”Para Imam (empat madzhab) berpendapat
bahwa status murtad itu harus dibuktikan dengan dua saksi laki laki yang adil, dan sama sama
dalam satu tempat (ruang pengadilan) dengan pihak tertuduh. Jika keduanya bersaksi bahwa
orang tersebut kafir maka hakim harus menanyai keduanya : Apa yang menyebabkan dia kafir ?
Lalu saksi itu menyatakan : Dia berkata begini atau melakukan begini ..”[xii] Negara tidak boleh
langsung menghukum sebelum meminta verifikasi tertuduh

Dalam menafsirkan QS 5:44, Ibnu Abbas mengatakan, “Siapa saja yang mengingkari apa saja
yang Allah turunkan sungguh dia telah kafir. Siapa saja yang mengakuinya namun tidak
berhukum dengannya, maka dia adalah zalim-fasik.”[xiii] Karenanya, terlibat dalam
pemerintahan kufur tidak serta merta menyebabkan kafir, tapi harus dianalisa dulu sebab sebab
seseorang melakukan hal demikian.

f. Thoghut di Indonesia

Banyak ayat di AlQuran yang menyadingkan ketaatan kepada Allah dengan ketaatan kepada
Thoghut seperti “ .. sembahlah Allah dan jauhilah thaghut” (QS 16:36) dan banyak pula yang
menyandingkan hukum Allah SWT dengan hukum thoghut seperti pada QS 4:60. Yang
dimaksud dengan thoghut antara lain (1) : kullu ma ubida min dunnillah (semua yang di-ibadahi
selain Allah SWT)[xiv] seperti adalah syaithon, ashnam (berhala), kahin (dukun/peramal dll)
ataupun manusia yang berbuat thugyan (melampaui batas) dan ishyan (kedurhakaan). (2) kullu
man hakama bi ghoyri syar’illah (setiap orang yang berhukum dengan selain syariat Allah)[xv]
atau termasuk dalam kategori ini adalah man da’a ilaa adh-dholal (siapa saja yang menyeru pada
kesesatan)[xvi]. Karena itu, disamping dinisbatkan pada sesembahan /ideologi, maka thoghut
juga dinisbatkan kepada manusia yang menyeru pada thoghut ide kufur itu sendiri.

Apakah pemerintahan SBY terkategori thoghut ? Penisbatan thogut kepada individu bisa saja
apabila memang individu tersebut menyeru pada hukum/sistem thoghut yang jelas jelas
bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. penisbatan harus satu persatu, tidak boleh
disamaratakan. Ismail Yusanto dalam wawancara dengan Sabili mengatakan : “istilah thoghut
yang mengarah pada pemerintah SBY dan aparat polisi terlalu disimplifikasi. Thoghut ada
kategorinya. Ada kafir, fasik dan zalim. Jadi tidak bisa dipukul rata. Kita harus bedakan mana
zalim, kafir dan fasik. Yang kita pahami, selama seorang beriman tapi tidak menjalankan syariat
Islam maka jatuhnya fasiq, tidak lantas mentakfirkan mereka”[xvii]
g. Apakah pemerintah Indonesia dan negeri muslim lainnya bisa disebut Ulil
Amri ?

Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk memiliki ungkapan khas dan membedakan
diri dari ungkapan umum sehingga tidak multi tafsir[xviii] . Sholat yang dalam makna
bahasanya berdoa diambil alih oleh Islam menjadi sebuah rukun peribadatan dari takbir hingga
salam, demikian pula zakat, shiyam, jihad dsb yang telah dicabut makna bahasanya menjadi
makna syariah berupa aktivitas tertentu yang rukun rukunnnya ditetapkan syara.

Makna ulil amri secara bahasa adalah pemilik urusan. Karenanya siapaun yang memiliki urusan
maka dia layak disebut ulil amri. Namun bukan makna itu yang dikehendaki syara. Syara telah
mengadopsi istilah ulil amri untuk disematkan pada khalifah yang memerintah umat Islam,
bukan sembarang pemilik urusan. Dalam Ahkam Sulthoniyah, Imam AlMawardi mengatakan :
“ulil amri yang dimaksud (QS 4:59) adalah para imam (khalifah) yang memerintah kita”. Imam
Jalaludin Mahaly menjelaskan yang dimaksud ulil amri adalah para wali/gubernur pemerintahan
Islam. [xix]

Bahwa yang dimaksud ulil amri adalah khalifah, maka sebenarnya hal itu secara explicit tertuang
di ayat QS 4:59 itu sendiri yang menyeru orang orang beriman mentaati ulil amri minkum (dari
kalian :gol beriman) yaitu pemimpin yang diangkat oleh umat Islam untu mengurusi mereka
berdasarkan kitabullah dan sunah rasulNya, bukan pemimpin yang diangkat oleh umat Islam +
umat non Islam untuk mengurusi mereka berdasarkan selain hukum Allah SWT.

h. Peluang dan Bahaya di dalam Parlemen/DPR

Umat Islam yang terjebak pada pendapat bahwa bahwa demokrasi sejalan Islam biasanya
membawa pendapatnya pada dorongan untuk “menguasai dan mewarnai parlemen”. Mereka
menafsirkan penolakan nabi kepada ajakan Quraisy untuk menjadikan beliau sebagai penguasa
di Makkah adalah karena beliau SAW disyaraatkan untuk meninggalkan dakwah Islam. Mereka
berpendapat bahwa penolakan nabi itu adalah karena adanya pensyaratan meninggalkan dakwah.
Artinya, bila tidak disyaratkan meninggalkan dakwah maka tidak mengapa bergabung dengan
kekuasaan termasuk menjadi anggota parlemen.

Dari analisa realitas, memang benar bahwa tidak tertulis secara syarat explicit di UU parlemen
aturan meninggalkan dakwah. Namun demokrasi sebagai suatu system yang dibangun dari
ideology sekuler tentu memiliki kemampuan untuk melindungi sistemnya. Dalam demokrasi,
setiap usulan yang disampaikan tidak boleh explicit mencantukan dalil dalil agama. Setiap usul
yang disampaikan haruslah usul yang “masuk akal” walaupun sebenarnya usul yang “tidak
masuk akal” itu adalah usul yang benar menurut syara. Sebaliknya mereka akan menerima usul
yang “masuk akal” walau sebenarnya bertentangan dengan syara

Parahnya lagi, anggota DPR harus ikut menyetujui (baca: menghalalkan) UU hasil sidang
(kecuali bila walk out) yang bisa jadi UU itu bertentangan dengan aturan syariat dan dalam hati
mereka menolak undang undang yang itu. Karenanya terlibat dalam menetapkan hukum yang
bertentangan dengan syariat sangat berbahaya bagi pelakunya maupun bagi masyarakat umum.
Bagi pelakunya dia akan jatuh pada kafir fasiq atau dzolim – tergantung pada tingkatan
“pertentangan”-nya kepada syariat.

Sedangkan bagi masyarakat umum, mereka akan (1) menganggap hukum itu sudah sesuai
dengan Islam sehingga semakin jauh dari syariat (2) terkena bencana di dunia sebab setiap
hukum yang bertentangan dengan syariat pasti membawa kecelakaan baik di dunia dan di
akhirat. Lihatlah bagaimana UU Minerba, Migas, Kelistrikan, Kehutanan, Sumber Daya Air,
Pendidikan, Perpajakan, Kesehatan, Miras, Pornografi plus kebijakan Hutang luar negerisemua
begitu langsung menyentuh ke kehidupan masyarakat dan menimbulkan kerusakan luar biasa
pada diri rakyat yang harusnya mereka lindungi.

2) Tugas mulia untuk mewujudkan kembali Daulah


Khilafah
a. Agama adalah saudara kembar kekuasaan

{ ‫الدين أس والسلطان حارس وما ل أس له فمهدوم وما ل حارس له‬


‫} فضائع‬

”ad-dinu ussun wal-shultanu harisun, wa ma la ussa lahu fa mahdumun wa ma la harisa lahu fa


dha’i” agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga, apa saja yang tidak ada pondasinya
akan roboh, dan apa saja yang tidak ada penjaganya akan hilang.”[xx]

Islam adalah sebuah ideology yang memiliki

(1) Fikrah (concept) berupa aqidah dan solusi kehidupan,

(2) Thoriqoh (methods) untuk (a) mengimplementasikan fikrahnya, (b) memelihara dan (c)
menyebarkannya

Islam bukan hanya konsep saja, tetapi memiliki seperangkat petunjuk mengenai tata cara
menjalankan konsep itu. Islam juga memiliki petunjuk tentang bagaimana menjaga supaya tetap
terpelihara kemurnian ajarannya sekaligus petunjuk bagaimana cara menyebarkan agama dengan
dakwah dan futuhat. Semua konsep itu tidak akan sukses dan berjalan sempurna kecuali dengan
dilakukan oleh Negara. Karena itu keberadaan Negara yang mengemban Islam adalah suatu
keharusan

b. Bencana karena tiadanya daulah khilafah

Tidak adanya daulah khilafah berarti masyarakat tidak menjalankan Islam secara kaffah
danmenjalankan sedikit/banyak hukum hukum kufur yang dijalankan oleh umat Islam. Padahal
Allah berfirman “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit” QS Thaha:126
Telah tampat kerusakan di dunia ini tanpa adanya khilafah, merujuk pada maqoshid syariahnya
Imam Syatibi menyatakan bahwa mashlahat bila syariat diterapkan itu ada lima yaitu Hifz al Aql
(akal), Hifz al-Din (agama), Hifz al-Mal (harta), Hifz al Nafs (nyawa) dan Hifz al Nasb
(keturunan), maka berikut beberapa perinciannya akibat tiadanya Daulah :

• Tidak terlindunginya akal manusia. Manusia terseret pada filsafat filsafat dalam
mencari kebenaran, semakin mereka mempelajari filsafat dan meninggalkan petunjuk
Allah, semakin terjebaklah mereka pada kesalahan dalam berfikir bersikap dan bertindak.
Otak yang harusnya digunakan untuk kegiatan amaliyah menjadi tersia sia memikirkan
hal hal fantasi dan ilusi logika.
• Tidak terlindunginya agama Islam. Orang liberal dan orang kafir bebas menghina
Islam, nabi digambarkan sebagai teroris pemerkosa, AlQuran dibuang ke WC atau
didesakralisasikan, syariat Islam diisukan sebagai peneybab kemunduran, nabi palsu
bermunculan demikian pula bidah dan syirik syirik semakin merajalela di tubuh umat
• Tidak terlindunginya harta. Perampokan, korupsi, bencana alam yang merugikan dan
lain lain akibat tidak diterapkannya ekonomi Islam sehingga membawa bencana financial
dan moneter. Orang miskin dipajak dan diperas sementara yang punya uang bisa menaruh
di bank dan mendapatkan tambahan harta hara. Sumber daya alam yang harusnya milik
public dikuasai oleh kapitalis dan bahkan dipaksa membeli oleh Negara.
• Tidak terlindunginya nyawa. Umat islam dibantai dimana mana. Rasulullah bersabda :
“Al Imamu Junnah” Imam itu pelindung yang melindungi manusia dan manusia
berperang dibelakangnya. Umat Islam saling cuek pada pembantaian di negeri negeri
muslim dengan alasan itu adalah urusan dalam negeri yang tidak boleh dicampuri orang
asing.
• Tidak terlindunginya keturunan manusia. Sex bebas dimana mana plus aborsi yang
menyebabkan banyaknya anak lahir tanpa tahu orang tuanya, atau kehilangan kasih
saying karena tidak ketahuan siapa ayahnya, bahkan manusia pun dijadikan obyek
pembuatan obat.

Dari paparan diatas, semakin jelaslah bahwa keberadaan pemerintahan Islam untuk menjaga
agama adalah kewajiban. Umat Islam wajib mewujudkan suatu kekuasaan yang dengannya dapat
memelihara agamanya dan itu tidak mungkin wujud pada Negara berasas sekulerisme dan
demokrasi karena “se-demokrasi” apapun suatu Negara pasti dia tetap memberikan ruang bagi
siapapun baik itu untuk berbuat baik ataupun buruk, sholeh ataupun maksiat, semuanya
ditampung dan dilindungi oleh Negara demokrasi, sementara Islam mewajibkan untuk nahi
mungkar kepada kemaksiatan, apabila tidak maka Allah SWT akan menghukum manusia dan
menurunkan bencana di muka bumi.

c. Kafirkah mengingkari kewajiban menegakkan Khilafah ?

Sebagaimana diutarakan sebelumnya, termasuk murtad I’tiqod adalah “nafaa wujuba mujma’
‘alaih”, menafikan/ meniadakan kewajiban yang telah disepakati secara ijma’ (akan kewajiban
itu)[xxi]. Namun sungguh akibat tiadanya daulah sehingga edukasi hukum syara khususnya bab
khilafah, menyebabkan kewajiban mengangkat khalifah itu menjadi sepi di hati umat. Berikut
pendapat beberapa ulama tentang khilafah ataupun tentang khalifah :
Imam Mawardi “Imamah merupakan term bagi wakil kenabian dalam menjaga agama dan
mengatur dunia. Menegakkannya bagi manusia di tengah-tengah umat adalah wajib menurut
ijma’, kecuali menurut Al ‘Asham yang menyempal dari mereka. Cuma, mereka berbeda dalam
kewajiban ini, apakah wajib menurut akal atau syariat?”[xxii]

Imam AlGhazali memuat satu bab tersendiri dalam kitabnya Al-Iqtishod fil I’tiqod – yaitu kitab
yang menjelaskan prinsip prinsip aqidah ahlul sunnah wal jama’ah (asy’ariyah) – di bab tiga
dengan judul fil imamah. Beliau mengatakan “sulthon (kekuasaan) itu penting bagi kehidupan
dunia sementara aturan agama itu penting untuk kemenangan dan kebahagiaan akhirat, dan hal
itu adalah tujuan dari para nabi secara pasti. Karenanya kewajiban mengangkat imam
(khalifah) adalah urusan dhorury (vital) bagi syariat, tidak ada jalan (alasan) untuk
meninggalkannya” [xxiii]

Dari perkataan dua ulama syafi’iyah tersebut maka sungguh mengherankan bila mereka yang
mengaku kiai/ulama/ ustadz syafi’iyah tidak mengakui bahkan membantah kewajiban untuk
menegakkan khilafah

Sebagian ulama seperti Ibn Abidin, berdasarkan kitab Syarh al-Maniyyah, menyebut orang yang
mengingkari kefarduan adanya Khilafah tersebut sebagai Mubtadi’ Yukaffaru biha (ahli bid’ah
yang bid’ahnya menyebabkan dirinya kafir), dengan catatan jika tidak ada syubhat.[xxiv]
Namun, sebagian yang lain, karena bersikap ikhtiyâth (lebih hati-hati), tidak mau
mengkafirkannya, sekalipun hukum tersebut dibangun berdasarkan Ijmak Sahabat. Alasannya,
karena masih ada isykâlât (berbagai kemungkinan).[xxv]

Namun, substansinya tetap, bahwa pengingkaran terhadap hukum adanya Khilafah dan
kewajiban menegakkannya merupakan bid’ah, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama Ahlus
Sunnah maupun yang lain, kecuali sekte ahli bid’ah, seperti Khawarij (an-Najadat) dan
Muktazilah (al-Asham dan al-Fuwathi).[xxvi]

d. Tidakkah kita bersyukur dengan keadaan Negara saat ini ?

Ungkapan di atas sering menjadi argumentasi dari mereka yang enggan merubah Negara ini
menjadi Daulah Khilafah. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah bahwa tentu saja kita harus
bersyukur dalam setiap keadaan yang diberikan Allah SWT baik dan buruknya. Kita bahkan
harus tetap bersyukur dalam keadaan musibah sekalipun. Namun Allah SWT juga memberi tugas
untuk berjuang keluar dari musibah tersebut menuju keadaan yang lebih baik sebagaimana
firman-Nya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu
sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS 13:11

Ma’na syukur adalah tashoruf ni’mah ‘alaa thoah – menyalurkan nikmat untuk digunakan pada
kebajikan. Segala nikmat yang ada pada diri kita harus digunakan untuk kebaikan. Seorang tidak
disebut bersyukur kecuali apabila dia menyalurkan ni’mat yang dia dapatkan untuk tujuan yang
dikehendaki oleh tuannya bahkan seorang disebut kufur nikmat apabila menyalurkan ni’mat
yang dia dapatkan untuk hal hal yang dibenci oleh tuannya[xxvii].
Terdapat banyak kebaikan yang bisa dilakukan oleh seorang muslim sebagai rasa syukur atas
nikmat kesehatan, keluangan harta dan keluangan waktu untuk melaksanakan kewajiban pribadi
(fardhu ‘ain) atau kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Muslim yang cerdas pasti akan
mendahulukan amalan wajib ‘ain/kifayah dari pada amalan sunnah walaupun itu sunnah
muakkad. Dia akan memilih amalan yang memberikan balasan paling besar dibandingkan
amalan yang berpahala kecil. Justru dia akan berdosa dan mendapat kemurkaan dari Allah SWT
apabila meninggalkan suatu kewajiban walaupun dia berusaha mengkompensasi meninggalkan
kewajiban itu dengan amalan sunnah sebanyak banyaknya.

Yang dituntut dari fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah adalah terselesainya kewajiban itu.
Seseorang akan berdosa tidak melaksakan fardhu ‘ain. Masyarakat secara kolektif akan berdosa
apabila fardhu kifayah terbengkalai dan tidak segera terwujud yang diwajibkan itu. Daulah
Islamiyah adalah kewajiban atas seluruh kaum muslimin. Hukum asal dari mendirikan Khilafah
adalah fardhu kifayah. Kewajiban ini tidak akan gugur/hilang atas seorang muslim manapun,
hingga Daulah Islamiyah berdiri. Kewajiban itu tetap dibebankan kepada setiap muslim dan
mereka tetap berdosa sampai Daulah Islamiyah berdiri. Dan dosa itu tidak akan gugur, hingga
seorang muslim terlibat langsung dalam usaha untuk mendirikan Daulah Islamiyah secara terus
menerus, sampai berdirinya daulah.[xxviii]

Karenanya maka situasi yang luang seperti saat ini dimana para ulama bebas untuk
menyampaikan dakwah secara terbuka adalah kondisi disyukuri dan dimanfaatkan sebaiknya
yaitu melantangkan ajakan/ seruan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam wujud
Daulah Khilafah, jangan justru menyia nyiakan atau malah menghalang-halangi pihak pihak
yang berjuang untuk tegaknya syariat Islam.

3) Metodologi/Manhaj yang Benar dalam mewujudkan


Khilafah
a. Periode Makkah vs Kesempurnaan Hukum Islam

Yang dimaksud dengan periode makkah adalah periode dimana nabi Muhammad SAW tinggal di
Makkah, hidup dibawah system kufur yang dikendalikan oleh pemimpin Quraisy yang
bertuhankan latta uzza manat dll. Beliau dan para sahabat tidak bisa menjalankan hukum Islam
secara terang terangan kecuali harus sholat secara sembunyi sembunyi. Dalam tarikh tasyri Islam
memang hukum (fiqh) Islam belum turun di Makkah kecuali sedikit saja. Beliau kemudian
berjuang hingga mendapatkan pertolongan berupa kesediaan masyarakat Yastrib untuk
menerima beliau dan menjadikan Yatsrib sebagai tempat hijrah dan menjadikan Rasulullah SAW
sebagai pemimpin sekaligus sebagai hakim dan panglima perangnya.

Sesungguhnya saat ini umat Islam sedunia berada di periode Mekkah karena tidak ada Daulah
Islam didunia ini sehingga seluruhnya hidup dibawah system kufur dan kaffah dalam melaksakan
perintah Allah SWT. Masalahny adalah Satu sisi syariat telah turun dengan sempurna mengatur
(a) tata cara beribadah (b) tata cara ekonomi seperti jual beli, bagi hasil, simpan pinjam ataupun
cara mengelola sumber daya alam (3) aturan berpakaian, makan, minuman (d) tata cara
berinteraksi seperti nikah cerai warisan dll, namun di satu sisi lainnya mereka tidak punya
kebebasan untuk menjalankan hal hal tersebut karena harus mengikuti aturan aturan lain tersebut
yang bisa jadi bertentangan dengan hukum Allah SWT.

Lebih celaka lagi, banyak yang mengatasnamakan ulama atau cendekiawan muslim menteror
mereka untuk meninggalkan sikap tunduk patuhnya pada hukum Allah tersebut dengan alasan
demi kemaslahatan bangsa. Padahal justru sebenarnya kemaslahatan bangsa itu hanya akan
tercapai bila seluruh hukum Islam dilaksanakan secara menyeluruh dan terintegritas sebagaimana
firman Allah SWT : “dan tidak kami utus engkau (Muhammad), kecuali menjadi Rahmat bagi
sekalian alam”

Karenanya, maka umat Islam harus mengambil thoriqoh/metode/manhaj perjuangan Rasulullah


SAW di Makkah dalam upaya beliau mendapatkan kekuasaan independen untuk menerapkan
syariat Allah SWT secara kaffah dan untuk menjaga aqidah serta mendakwahkan Islam ke
seluruh dunia dengan tersistematis.

b. Pentingnya menyadari dan memahami manhaj pada periode mekkah

Paling utama adalah menyadari realitas bahwa umat Islam saat ini berada pada periode Mekkah
meski keadaan sekarang memang tidak sama persis dengan periode mekkah masa nabi dimana
saat itu hukum Islam belum turun lengkap sedangkan pada masa sekarang hukum Islam telah
diterima secara menyeluruh. Namun sesungguhnya hakekatnya tetap sama, hukum yang telah
dibebankan kepada umat Islam masa itu (masa nabi SAW) tidak bisa dilaksanakan secara kaffah
sebagaimana beban hukum pada kita pada masa kini tidak bisa dijalankan secara kaffah.

Beberapa gerakan dakwah Islam yang tidak menganggap bahwa periode sekarang adalah periode
makkah maka dakwah mereka tidak menyentuh substansi problematika yang dihadapi
masyarakat. Mereka yang menganggap periode ini adalah periode Madinah maka mereka
terjebak pada metodologi yang keliru dalam membina umat. Demikian juga gerakan yang
menyadari bahwa masa ini adalah periode mekkah namun kemudian mereka gagal dalam
memerinci metode perjuangan nabi, akhirnya salah dalam menetapkan khittah dakwahnya.
Secara umum golongan golongan tersebut antara lain adalah:

1. Dakwah kepada perbaikan akhlaq


2. Dakwah kepada ekonomi pendidikan sosial budaya
3. Dakwah melalui penguasaan parlemen
4. Dakwah dengan jihad kepada pemerintah

Sebenarnya ke-empat hal tersebut juga merupakan perintah agama. Tinggal bagaimana
menempatkan proritas dan waktu bagi pelaksanaan perintah tersebut. Dakwah memperbaiki
akhlaq sementara satu sisi media terus memborbardir otak masyrakat dengan tontongan merusak
plus tiada proteksi dari Negara tentu merupakan hal yang kontradiktif. Demikian juga terjun di
bidang perbaikan ekonomi Islam namun satu sisi justru Negara adalah agen ekonomi liberal
tentu tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan Negara.
Karenanya gerakan dakwah harus serius berjuang mempelajari thoriqoh nabi dalam
perjuangannya di Mekkah, sambil tetep membina dan melindungi umat dari kecelakaan yang
ditimbulkan oleh pengikut sekulerisme liberalism dan isme isme sesat lainnya.

c. Sekilas tentang manhaj nabi dalam merubah masyarakat

Ciri khas dakwah nabi pada periode mekkah adalah : perjuangan pemikiran tanpa kekerasan
(senjata). Yang dimaksud perjuangan pemikiran disini adalah beliau tidak melakukan perbaikan
akhlaq ekonomi sosial pendidikan walaupun beliau bisa dan mampu melakukan hal tersebut.
Beliau menjalankan langkah membangun aqidah dan kepribadian pengikutnya serta dalam waktu
yang sama melakukan kritik terhadap aqidah dan kehidupan masyarakat Quraisy. Tahap tahap
yang dilalui selama perjuangan beliau di Mekkah :

Marhalah Tasqif wat Taqwin (Pembinaan dan Pengkaderan)

Melakukan aktivitas pembinaan dan pengkaderan dalam rangka membangun tubuh jamaah atau
partai (kutlah) dengan mengajarkan kepada kader-kader partainya pemikiran-pemikiran Islam,
dengan pembinaan yang intensif mereka dididik agar siap dan layak untuk terjun ke masyarakat,
bergerak di tengah-tengah mereka mendakwahkan Islam.

Aktivitas yang dilakukan pada marhalah tasqif ini:

1. Pemantapan Aqidah Islamiyyah


2. Pembentukan kepribadian Islamiyyah pengikutnya
3. Pembentukan Kutlah (kelompok/harakah) dakwah

Marhalah Tafa’ul wal Kiffah (Tahap interaksi dan perjuangan).

“Maka sampaikanlah olehmu apa yang telah diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari
orang-orang musyrik” (TQS. Al Hijr: 94). Tahap perubahan dari tahap sebelumnya yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi (daur al-istikhfa) memasuki tahap dakwah secara terang-
terangan (daur al-I’lan), dari tahap interaksi dengan orang-orang yang simpati dan siap
menerima dakwah, menuju tahap menyeru kepada seluruh masyarakat secara umum. Aktivitas
yang dilakukan:

Pertama Shiraul Fikri (Pertarungan pemikiran) Membantah hujjah orang-orang, menentang


semua akidah, semua pemikiran dan semua pemahaman yang menyelisihi Islam.

1. Menentang aqidah orang-orang musyrik dan membodohkan akal mereka, lalu


menjelaskan kebatilah aqidah-aqidahnya.
2. Menentang aktivitas mereka dimana akal sehat tidak akan menerimanya.

Kedua Kifah Siyasi (Perjuangan Politik), Menentang pembesar dan pememimpin mereka,
menyingkap konspirasi-konspirasi yang direncanakan untuk menghantam kaum muslimin dan
membelokkan dan memutarbalikkan ide-ide Islam.
Ketiga Thalabun Nushrah (mencari pertolongan) mencari pertolongan dan kekuatan dari pusat-
pusat kekuatan dalam umat untuk menghilangkan berbagai penghalang fisik yang menghalang-
halangi jalan menegakkan negara. Beliau mengunjugi bani thaif, bani amr shashaah, bani kalb dll
serta memerintahkan beberapa sahabat ke tempat tempat lainnya diantaranya Mush’ab bin Umair
ke Yatsrib.: Ucapan Rasulullah ketika melakukan aktivitas thalabun nushrah : “Wahai bani
fulan! Sesungguhnya aku adalah Rasulullah kepada kalian. Dia menyuruh kalian agar kalian
menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu dan agar kalian menghilangkan
berhala-berhala yang kalian sembah dari selain Allah, agar kalian beriman kepadaku,
membenarkanku dan membantuku dengan kekuatan sehingga aku bisa menjelaskan dari Allah
agama dimana Dia telah mengutusku dengannya”

Marhalah Istilamul Hukmi (Serah Terima Kekuasaan).

Ini adalah tahap akhir dari dakwah nabi di Makkah yaitu menerima kekuasaan dari suku Aus
dan Kazraj di Yatsrib melalui proses bai’at Aqobah satu dan baiat aqobah dua dimana atas
kesuksesan dakwah kadernya maka seluruh penduduk Yatsrib telah siap dan menerima dakwah
Islam serta sekaligus siap untuk dipimpin oleh baginda nabi. Termasuk tantangan dari tahap ini
adalah melakukan hijrah yang penuh tantangan dan gangguan serta rekayasa penggagalan.

d. Beda antara Metode dengan Karakteristik Dakwah

Beberapa kelompok atau individu tidak bisa membedakan antara metode dengan karakteristik
sehingga sering mengatakan bahwa metode nabi dalam dakwah adalah (diantaranya) : sabar,
lembut, tanpa kompromi, istiqamah dll. Padahal yang disebutkan diatas sebenarnya bukan
metode, melainkan karakteristik yang bisa terjadi pada hal apapun baik itu pada periode dakwah
di mekkah ataupun periode penerapan Islam di madinah. Hal itu bisa juga terkait dengan masalah
dakwah atau masalah syiar, jihad, ta’lim dll.

Secara definisi, yang dimaksud dengan metode adalah cara/proses yang baku/tetap yang
digunakan untuk mencapai/ mewujudkan hasil. Jadi metode terkait dengan cara/proses, bukan
sikap perbuatan. Karenanya seorang pejuang Islam harus melihat kepada tahapan tahapan atau
langkah langkah nabi dalam mencapai hasil (berdakwah, mendapatkan kekuasaan), selain dari
melihat sikap beliau dalam berdakwah

Sebagai contoh : Thoriqoh untuk menuju lantai atas adalah dengan naik tangga. Satu persatu
tingkatan tangga itu yang disebut marhalah. Selama naik tangga maka diwajibkan untuk
berpegangan lengan tangga dan berhati hati serta tidak menengok belakang. Itu yang disebut
karakteristik. Dan karakteristik itu ada yang khas berlaku pada kegiatan itu saja, dan bisa saja
ada pada waktu melakukan ativitas tertentu semisal naik sepeda tidak boleh jalan kebelakang.
Karenanya memahami thoriqoh dan marhalah adalah kewajiban agar dakwah bisa benar sesuai
dengan tuntunan dari nabi SAW.

e. Merebut kekuasaan dengan pedang ?

Selama periode Mekkah, rasulullah SAW tidak pernah sedikitpun terlibat kekerasan dengan
warga Mekkah walaupun beliau sering dihina dan diteror, walaupun beliau melihat sahabat
sahabat di siksa termasuk ketika seluruh umat Islam dan bani Hasyim di boikot hingga
mengalami kelaparan sangat selama 3 tahun, namun beliau tetap bertahan melakukan dakwah
pemikiran tanpa kekerasan, bukan karena tidak bisa atau karena takut, melainkan karena hal itu
belum diperintahkan Allah SWT sebagaimana sabdanya “lam nu’mar bi dzalik” (kita belum
diperintahkan melakukan hal itu) ketika diajak penduduk Yatsrub yang membaiat beliau di
Aqobah untuk menyerang penduduk Mina. Beliau baru boleh memerangi penguasa Mekkah
ketika telah memiliki kekuasaan dan wilayah independen berupa Daulah Islam.

Memang ada kelompok yang membolehkan “memerangi”/”memusuhi” pemerintah yang tidak


berhukum pada hukum Allah SWT berdasarkan penfsirannya pada hadits : “Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka
mendoakan kalian, kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin adalah kalian
benci mereka dan mereka pun membeci kalian, kalian laknat mereka dan mereka pun melaknat
kalian. Ditanyakan kepada beliau, “Apakah tidak kami perangi saja mereka dengan pedang?”
Rasulullah saw menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah
kalian.” (HR Muslim).

Namun harus diingat, bahwa hadits ini disampaikan oleh nabi kepada umat Islam untuk beramar
ma’ruf nahi mungkar dan mengontrol kekuasaan kepada Ulil Amri umat Islam yaitu khalifah,
pemimpin Daulah Islam, bukan dalam rangka mekanisme pengontrolan “ulil amri”-nya Darul
Kufr. Karenanya hadits tadi tidak tepat bila digunakan dalam konteks sekarang ini

f. Memperbaiki umat lewat jalur Pendidikan

Pendidikan sering menjadi “kambing hitam” atas kemunduran umat Islam sehingga untuk
memajukan umat Islam harus mulai dari pendidikan. Kesimpulan itu tidak salah, namun harus
dianalisa dengan baik dahulu pendidikan macam apa yang membuat umat Islam maju/mundur.

Tanda tanda kemunduran peradaban umat Islam sebenarnya mulai nampak di abad 2H dimana
umat Islam mulai melirik sesuatu di luar Islam, yaitu mereka mulai melirik filsafat Yunani dan
Persia meskipun tujuan awal dari ketertarikan itu adalah untuk mempelajari kelemahan itu
sendiri. Namun ibarat terkena biusnya, umat Islam malah termakan filsafat itu sendiri sehingga
muncul pendapat pendapat aqidah yang muncul dari pembahasan ilmu kalam dan melahirkan
kelompok mu’tazilah jabariyah murji’ah dsb. Umat jatuh pada permusuhan satu sama lain
membahas perkara perkara yang dikira aqidah padahal sebenarnya dalah adalah pembahasan
ilmu kalam terkait dengan sifat Allah, qodho qodar dll dan saling fitnah memfitnah.

Demikian pula pada masa selanjutnya logika aristoteles diserap sedimikian sempurna oleh para
fuqoha dan mereka tak mampu untuk mengusir logika itu dari pembahasan di bidang syariat.
Kaidah kaidah ushul fiqh telah disisihkan dengan nalar logika Aristotelian dan umat berpegang
pada nalar maslahat dari pada syara.Pada masa selanjutnya umat Islam tergila gila pada filsafat
aufklarung yang melahirkan semangat memisahkan agama dari dunia. Kekalahan umat Islam
dari berbagai perang dengan pasukan Eropa semakin menambah kepercayaan bahwa umat Islam
harus memisahkan diri dari agama agar bisa semaju Eropa.
Semua pemikiran itu sekarang menyatuh dengan tubuh umat Islam dan harus dibersihkan
sebersih bersihnya dengan meninggalkan filsafat filsafat yang tidak disadari telah menancap di
otak dan hati mereka. Karena itu perbaikan pendidikan yang benar adalah pendidikan yang
menanamkan aqidah serta mengusir virus virus filsafat dan ilmu kalam dari otak dan hati umat
Islam.

Namun apa yang terjadi ? kadang pendidikan yang katanya “islami” itu malah menanamkan
virus filsafat demokrasi yang menjauhkan umat Islam dari hukum syara, menanamkan
nasionalisme yang menjauhkan umat Islam dari persatuan internasionalisme ukhuwah islamiyah,
menanamkan ekonomi liberalisme dengan bumbu bumbu istilah arab padahal hakekatnya
bagaikan membius kesadaran umat yang rindu syariat ? Bukankah justru pendidikan semacam itu
yang malah semakin mengaburkan syariat dan mengekalkan filsafat filsafat kufur tersebut ?
wallahu a’lam wa innalillahi …

4) Jihad Fii Sabilillah, Jalan Membentuk Daulah Islam ?


a. Merebut Darul Islam yang baru dikuasai Tentara Darul Kufur

Contoh : jatuhnya AlQuds oleh tentara eropa pada perang salib, jatuhnya Baghdad oleh tentara
Tartar, jatuhnya Malaka oleh Portugis dan lain sebagainya. Pada kondisi ini maka sebenarnya
hukum perang masih berlaku bagi kaum muslimin untuk terus mengusir pasukan kafir tersebut.
Tentara Islam yang baru saja dikalahkan wajib untuk segera mengorganisasi diri merebut
kembali negrinya bersama kaum muslimin di wilayah tersebut. Kaum muslimin yang tinggal di
dekat wilayah tersebut terkena fardhu kifayah yang akhirnya berubah menjadi fardhu ‘ain untuk
bersama ikut mengusir pasukan kafir tersebut.

b. Berjihad pada negeri Islam yang dikuasai Tentara Kufur

Jihad mady ila yaumil qiyamah. Jihad itu berlangsung terus hingga hari kiamat. Tanpa khilafah
jihad hanya diperlakukan person atau kelompok bersenjata yang tidak bisa atau bakal makan
waktu lama untuk mengusir Israel dari Palestina ataupun Amerika dari Iraq, Afganistan dan bumi
bumi Islam lainnya.

Namun harus diingat, cara ini adalah cara mengusir tentara kufur, bukan cara mendirikan
daulah yang telah lama dikuasai pemikiran kuffur. Walau pasukan asing terusir, namun bila
pemikiran nasionalisme dan sekulerisme tetap menetap bercokol negar itu tetap akan bertahan
sebagai darul kufur.

c. Darul Islam yang berubah menjadi Darul Kufur karena perubahan


pemikiran

Menyebarnya nasionalisme di negeri negeri Islam membuat umat Islam di berbagai wilayah
muncul keinginan untuk berpisah dari Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Istambul Turki.
Mereka menganggap masalah di wilayahnya mereka semakin bertambah selama masih terikat
dengan kepemimpinan Turki. Ashobiya nasionalisme dipupuk sehingga orang Arab merasa lebih
hebat dari Turki demikian sebaliknya orang Turki menganggap orang Arab sebagai pembawa
masalah. Demikian juga yang terjadi pada Mesir, Persia dan lain sebagainya. Nan pada akhirnya
Khilafah Utsmani di tikam dari dalam negerinya sendiri akibat rasa nasionalisme Turki yang
dipimpin oleh Mustafa Kemal.

Bencana dihapuskannya khilafah Utsmani dari peta dunia disikapi oleh semua umat Islam di
dunia dari Mesir, Arab, India, Pakistan hingga Indonesia. Berbagai konferensi nasional ataupun
internasional seperti konferensi pertama khilafah pertama tahun 1925 di Mesir dan konferensi
khilafah kedua tahun 1926 yang seharusnya di Arab Saudi namun digagalkan oleh Inggris,
semuanya dihadiri oleh ulama ulama perwakilan dunia Islam termasuk dari Indonesia untuk
mengembalikan keberadaan khilafah. Namun apa daya, karena racun nasionalisme dari masing
masing Negara yang ingin negerinya dijadikan Khilafah serta karena cengkeraman kuat penjajah
Inggris membuat semua konferensi itu gagal mewujudkan khilafah dan membaiat khalifah bagi
seluruh umat Islam.

Jauh sebelum runtuhnya khilafah, pemikiran batil nasionalisme, ekonomi kapitalis dan undang
undang kufur telah ditanamkan secara memukai sehingga masyrakat Islam apatis menjadikan
Islam sebagai solusi dalam menyelesaikan perkara perkara baru dalam masalah ekonomi sosial
politik dan budaya serta melirik solusi solusi dari Eropa. Nan jauh sebelumnya, di benak
sebagian pemikir Islam telah tertanam kegilaan pada filsafat aufklarung dari Eropa seperti
filsafat demokrasi dan filsafat sekulerisme.Sebelumnya lagi, maka filsafat Helenistik Yunani,
Mesir dan Persia telah masuk dan meracuni aqidah umat Islam membentuk pemikiran ilmu
kalam dan filsafat filsafat beragama yang menyimpang dari ajaran islam yang benar.

Kejatuhan darul islam menjadi darul kufur seperti ini tidak bisa selesai dengan jihad (perang)
fisabilillah karena pada hakekatnya yang harus diusir adalah pemikiran pemikiran kufur
meyangkut aqidah ataupun menyangkut solusi kemasyarakatan. Kekuatan negara harus dilawan
dengan kekuatan negara sementara kekuatan pemikiran harus dilawan dengan kekuatan
pemikiran. Melihat dari alur peristiwa tersebut, maka tidak salah bila kita menyimak apa yang
disampaikan Imam Malik RA : “Tidak akan baik umat ini kecuali dengan apa apa yang dulu
memperbaiki (generasi) awalnya”[xxix]

d. Memerangi Kaum Munafiq

Kata munâfiq merupakan ism al-fâ’il dari kata an-nifâq. Dijelaskan Ibnu Katsir, an-nifâq berarti
menampakkan kebaikan dan menyembunyikan keburukan[xxx]. Secara i’tiqâdî, sebutan munafik
disematkan kepada orang kafir yang menyembunyikan kekufurannya dan menampakkan diri
sebagai orang Mukmin (Lihat: QS al-Munafiqun [63]: 1; al-Baqarah [2]: 8-10; dan an-Nur [24]:
47-50).[xxxi]

Di antara sifat khas kaum munafik adalah penolakan mereka yang amat keras terhadap seruan
pada syariah. Kendati mengaku mengimani seluruh kitab yang diturunkan, mereka lebih senang
dan ridha berhukum kepada thghut dan tak malu malu untuk bersumpah atas nama Allah demi
membela thoghut. Bahkan mereka juga membuat pusat pusat kebaikan (masjid dll) untuk
memalingkan umat kepada mereka.
Hukuman bagi orang munafiq sangat berat. Bagi munafiq I’tiqod yaitu orang kafir beneran yang
pura pura Islam, mereka akan berada di kerak neraka. Namun bagi keduanya yaitu munafiq
I’tiqod atau yang ghoiru I’tiqod tetap harus dijatuhi hukuman dengan tegas di dunia sebab
kemunafikan dan penentangannya kepada hukum Allah. Allah SWT berfirman : “Hai Nabi,
berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah
terhadap mereka” (QS 9: 73). Hasan RA berkata : Perangilah orang kafir dengan pedang dan
orang munafiq dengan menegakkan hudud. Tagakkan hudud Allah atas mereka. Demikian juga
yang dikatakan oleh Qotadah RA[xxxii]

e. Mana duluan ? aqidah atau jihad atau menyerukan Khilafah dulu ?

Pertanyaan di atas jelas menunjukkan ketidakpahaman terhadap esensi tauhid dan khilafah itu
sendiri. Sebagaimana perkataan imam Al-Ghazali bahwa agama dan kekuasaan itu adalah saling
menopang satu sama lainnya. Karenanya dakwah kepada aqidah tidak boleh dipisahkan dari
dakwah kepada khilafah, demikian pula seruan perwujudan khilafah juga tidak boleh dipisahkan
dari seruan kepada aqidah. Disamping itu, menyeru kepada perwujudan kembai khilafah adalah
keseriusan dalam beraqidah itu sendiri sebagaimana disitir oleh Imam AlGhazali bahwa diantara
prinsip aqidah ahlul sunnah wal jama’ah adalah nasbul khalifah (mengangkat khalifah)

Rasulullah SAW tidak pernah menunggu masyarakat Makkah beriman 100% semuanya. Beliau
mencari tempat lain untuk menyebarkan Islam dan meminta kekuasaan kebapa kabilah kabilah di
Arab hingga akhirnya hijrah ke Madinah. Setelah daulah islam terbentuk, maka 8 tahun
berikutnya beliau datang menaklukkan Makkah dan membuat ribuan orang Makkah masuk ke
Islam dan meninggalkan berhala berhala mereka serta kemudian hidup dengan indah dibawah
aqidah dan syariah Islam.

Ibn Taimiyah berkata : ‘’Fal Wajibu itakhadzul imarati dinan wa qurbatan yataqarabu biha
ilallahi : Fainat taqaruba ilaihi fiiha bi tho’atihi wa tho’ati rasulihi min afdholil qurubati’’.
‘Upaya menjadikan kepemimpinan (Khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk ber-
Taqarub kepada Allah adalah sebuah kewajiban. Taqarrub kepadanya dalam kepemimpinan itu,
yaitu dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, termasuk kedalam taqarrub yang paling
utama’’[xxxiii].

Dengan adanya Negara khilafah yang mengerahkan pasukannya, maka insyaAllah Israel akan
segera terusir dari Palestina demikian pula Amerika dan sekutu sekutunya akan enyah dari
negeri negeri Islam, kemudian khilafah akan mengekspansi kesemua negeri dan membuka mata
dunia betapa indahnya hidup dibawah naungan syariat Islam.

Demikianlah tulisan ini yang ditujukan untuk memverifikasi sikap serta meluruskan pandangan
tentang bagaimana seharusnya hidup dan berjuang dengan benar tanpa gentar di Indonesia.
InsyaAllah sebentar lagi Khilafah Islamiyah akan segera berdiri menyinari dunia dengan Iman
dan Islam.

Akhirul kalam, alhamdulillahi robbil ‘alamiin. Wallohu muwaffiq Ilaa aqwami Thoriq, Wallahu
A’lam. Wallahu Musta’an. (April 15, 2010)
[i] SEM Institute : 72 persen masyarakat setuju dengan penerapan syariat Islam, 18 persen tidak
setuju dan 10 persen terserah. PPIM UIN Syarif Hidayatullah 2003, sekitar 75 masyarakat
Indonesia setuju bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam adalah yang terbaik bagi
Indonesia. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) mengatakan 52 persen
rakyat Indonesia menuntut Penerapan Syariah Islam. http://hizbut-
tahrir.or.id/2008/09/17/mayoritas-masyarakat-indonesia-setuju-penerapan-syariah/

[ii] Said Agil Siraj : “Di dalam sejumlah kitab kuning ada beberapa konsep tentang negara, di
antaranya, Darul Islam (Negara Islam), Darul Kufur (Negara Orang-orang Kafir), dan
sebagainya. Nah, Kiai Hasyim Asy’ari menambahkan satu, yaitu Darussalam itu,” ungkapnya.
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=9332

[iii] Fathy Samsudin Nawawy http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/01/negara-islam-vs-negara-kafir/

[iv] Syekh Taqyuddin An-Nabhani, Syakhsiyah Islamiyah Jilid II

[v] “Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama
dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada
hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).”
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia

[vi] Hamdan Zoelva http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/03/11/paradigma-baru-politik-


pasca-perubahan-uud-1945/.

[vii] http://anaktebidah.blogspot.com/2009/04/kamus-istilah-politik.html

[viii] As’ad Said Ali – Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa – Cetakan2009 hal 160

[ix]
http://wibisr.multiply.com/journal/item/1/Share_Transkrip_Pidato_BK_di_Sidang_Dokuritsu_Zy
unbi_Tyoosakai_1_Juni_1945

[x] Sulamut Tauiq – Ibn Hajjar Al-Asqolani

[xi] Kifayatul Akyar Bab Riddah

[xii] Abdurrahman Al Jaziri dikutib dari Majalah AlWaie April 2010 – Tanya Jawab Seputar
Vonis Sesat

[xiii] Tafsir Ath-Thobary QS 5:44

[xiv] ‫كل ما عبد من دون الله تعال ٰى فهو طاغوت‬


– Ma’alim Tanzil – AlBaghawy

[xv] As-Sadi, Taysir al-Karim ar-rahman – dalam AlWaie Juni 2008, rubrik tafsir
[xvi] Tafsir Qurtuby QS 16:36

[xvii] Majalah Sabili no 19 th XVII April 2010

[xviii] Wahai orang orang beriman jangan kalian mengatakan rainaa tapi katakana undzurnaa.
( QS 2:158) Hal ini karena rainaa adalah perkataan yang bisa diselewengkan orang2 munfik
dengan ruunah (kami bodoh), karenanya Allah menurunkan perintah agar nabi dan orang
beriman menggunakan istilah yang tidak multi interpretasi.

[xix] Tafsir Jalalayn

[xx] Imam AlGhazali – Al-Iqtishod fil I’tiqod

[xxi] Kitab Sulamut Taufiq

[xxii] (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 3. Mawqi’ Al Islam)

[xxiii] Imam AlGhazali – Al-Iqtishod fil I’tiqod

[xxiv] Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar, II/301 – Majalah AlWaie No 79, Maret 2007

[xxv] Imam AlGhazali – Al-Iqtishod fil I’tiqod Majalah AlWaie No 79, Maret 2007

[xxvi] Majalah AlWaie No 79, Maret 2007

[xxvii] Imam AlGhazali – Ihya Ulumuddin bab Syukur

[xxviii] Muhammad Muhammad Ismail – Fikrul Islam

[xxix] Dari berbagai sumber

[xxx] Tafsir Ibn Katsir

[xxxi] Majalah alWaie Mei 2009 Rubrik – Menghadapi Orang Munafiq

[xxxii] Tafsir AlQurtuby QS 9 :73

[xxxiii] Siyasah Syar’iyah(fii ishlahi ro’I wa roiyah), hal139, Darul Ifaq alJadidah – Beirut .

Anda mungkin juga menyukai