Dalam berdakwah standar pijakan kita adalah dakwah Rasulullah saw, yang
telah mencontohkan suatu metode (thariqah) yang khas dan tetap. Dan
sebagai pengemban dakwah maka harus mempunyai persiapan sebagaimana
Rasulullah saw, yaitu:
Apabila kita kembali kepada Al-Quran dan sunnah terutama sejarah kehidupan Rasulullah
saw, maka jelaslah bahwa untuk mengemban dakwah Islamiyah dibutuhkan adanya
keterusterangan (tidak menyembunyikan atau menutup-nutupi kebenaran), keberanian, daya
usaha, dan kekuatan pemikiran. Keterusterangan itu tampak dari sikap Rasulullah saw. Dalam
setiap kata yang diucapkan dan kejelasan setiap pemikirannya, ketika beliau mengajak
kepada manusia serta menyerukan agar berkumpul dihadapkannya. Hal itu nampak dalam
ucapan beliau di hadapan kaumnya dan penduduk Makkah:
Pernah suatu ketika Abu Jahal datang melarang beliau shalat di dekat Ka’bah,
tetapi beliau tidak memperdulikannya, bahkan kembali mengulang shalatnya.
Saat itu Abu Jahal mengancam hendak menginjak leher beliau, ketika beliau
sedang sujud. Namun tidak ada seorang pun diantara mereka, baik Abu Jahal
maupun pemimpin-pemimpin Makkah lainnya, yang dapat menghentikan
perbuatan Rasulullah saw. Untuk shalat di Ka’bah, walaupun mereka semua
mengancam dengan maksud untuk mencegah beliau shalat dan ini mereka
lakukan kapan saja mereka kehendaki. Namun, Rasulullah saw tetap
melakukan shalat di Ka’bah.
“Apakah kalian mau mendengarkan apa yang akan kusampaikan, wahai kaum
Quraisy? Demi nyawaku yang berada di tangan Alllah, aku ingatkan kalian
bahwa suatu ketika nanti aku akan membunuh kalian.”
Adapun kekuatan Rasulullah saw tampak pada kekuatan dari kebenaran yang
beliau serukan melalui untaian kalimat yang jelas dan tegas, penuh percaya
diri. Begitu pula tampak pada keteguhan hati beliau dalam berdakwah tidak
pernah berkurang semangatnya, walaupun menghadapi berbagai kesulitan
yang menghadapi perjalanan dakwahnya atau rintangan dan kesulitan yang
dihadapi ketika melaksanakan dakwah.
Selain itu muncul ‘tekanan’ yang dilakukan oleh pamannya sendiri (Abu
Thalib) yang selama ini menjadi pelindung dan penolongnya. Menyuruh beliau
meninggalkan da’wah agar tidak menyulitkan posisi pamannya dihadapan
para pemimpin Quraisy. Tetapi dalam kenyataannya, beliau memperlihatkan
kesiapannya untuk berjuang dan menanggung resiko, walaupun berwujud
kematian dalam menegakkan dakwah yang telah Allah SWT turunkan
kepadanya. Beliau tidak bergeming dari pendiriannya itu dan tidak pula
mundur walau setapak pun dari tipu daya dan makar kaum Quraisy yang
dilancarkan terhadap beliau dan para pengikutnya. Bahkan beliau sempat
menyampaikan pernyataan yang masyhur di hadapkan pamannya, yaitu:
Lebih dari itu, selama Rasulullah saw dan para shahabatnya mengemban
dakwah ini di Makkah, mereka tidak pernah berdamai apabila bekerja sama
dengan seorang pemimpin atau pembesar manapun dan tidak pula peduli
terhadap perlakuan kasar dan keras dari pembesar tersebut. Semua ini
dilakukan dan dipertahankan dalam rangka menegakkan kebenaran. Bahkan
mereka tentang masyarakat, sekalipun kesulitan dan bahaya serta segala
rintangan harus dihadapi. Tidak terpekik dalam diri mereka, ketika
mengemban dakwah ini, keinginan untuk mendapatkan kedudukan,
kebesaran, atau kemaslahatan diri mereka serta keinginan-keinginan pribadi
lainnya. Tidak ada perasaan takut ditentang dalam keadaan hidup dan mati.
Tidak merasa khawatir dengan kedudukan duniawi. Tidak peduli dengan
rezeki dan masa depan mereka karena Allah SWT yang telah menentukan
semua itu. Tidak pula goyah sedikit pun pendirian mereka dalam menghadapi
penghinaan, penderitaan, siksaan dan kemiskinan. Dari semua sikap yang
demikian itu, nampak sekali bagi kita betapa kuatnya pribadi-pribadi mereka
itu.
Rasulullah saw datang ke dunia ini dengan membawa risalah Islam dan
menyampaikan secara terang-terangan dan menantang. Beliau menyakini
kebenaran risalah yang diembannya kepada masyarakat, menantang dunia
secara keseluruhan, mengumumkan perang atas seluruh manusia yang
menolak Islam tanpa memperhatikan warna kulit, memperdulikan adat
istiadat, tradisi, kebiasaan-kebiasaan, agama-agama, kepercayaan-
kepercayaan, sikap penguasa atau rakyat kebanyakkan. Beliau tidak
memperhatikan sesuatu pun selain Risalah Islam.
Lagi pula, Rasulullah saw tidaklah menyeru manusia kepada sesuatu apapun,
melainkan sesudah turunnya Al-Wahyu. Sebab, seperti yang telah dimaklumi
bahwa wahyu telah diturunkan semenjak beliau masih berada di Makkah. Al-
Wahyu turun pula saat beliau senantiasa diperhatikan, dipelihara,
diselamatkan, dididik, dan diarahkan oleh Allah SWT. Juga ditentukan pula
fase dan tahapan langkah dakwah untuk beliau, sebagaimana Allah SWT juga
telah menentukan sasaran yang harus beliau capai pada setiap usaha dan
kegiatan dakwah. Firman Allah SWT:
“(Dan) bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabbmu (berupa pertolongan
Allah). Sesungguhnya kamu berada dalam pengawasan (perlindungan) Kami” .
(QS Ath-Thuur: 48)
Oleh karena itu Rasulullah saw sangat menginginkan untuk mengajari para
shahabatnya mengenai ayat-ayat Al-Quran dan keseluruhan wahyu yang
diterimanya sebagai penjelasan, penafsiran atau perincian Al-Quran. Beliau
menyuruh mereka untuk memahami dan menghafalkannya dan membantu
beliau untuk menyebarluaskan kepada seluruh manusia, serta mengajarkan
dan meneruskannya kepada yang lain, secara jujur/amanah tanpa mengubah-
ubah, baik dengan cara menambah atau menguranginya. Para shahabat
Rasulullah saw telah menemukan nilai pemikiran dalam kehidupan mereka,
sehingga, misalnya Umar bin Khaththab ra pernah menyuruh kaum muslimin
untuk mempelajari, mendalami, dan memahami hukum-hukum agama Islam,
sebelum mereka memperoleh kekuasaan dan pemerintahan di muka bumi ini.
Dalam hal ini, Umar bin Khaththab ra berkata:
(HR Al Baihaqi)
Itulah fakta sejarah, dan sekaligus harus menjadi uswah serta menunjukan betapa
Rasulullah saw tidak menerima keyakinan seseorang melainkan dengan aqidahnya yang utuh
sempurna, dibarengi dengan tuntutan pelaksanaan yang konsisten dan konsekuen. Dalam
kasus di atas, hanya masalah wasilah (perantara) serta teknik pelaksanaannya yang terlihat
seolah-olah beliau menerima usulan kabilah tersebut dalam bentuk ‘sinkritisme’ (kesatuan
keyakinan) tetapi ternyata tetap saja dalam masalah keyakinan dituntut utuh. Oleh karena itu
dakwah Islamiyah haruslah dalam bentuk usaha mempertahankan aqidahnya maupun fikrah
Islam, serta mempertahankan aqidah maupun fikrah Islam, serta mempertahankan pula
pelaksanaannya dengan sempurna, tanpa kompromi, tanpa adanya proses adaptasi, dan
tidak membiarkan terjadinya kelalaian dalam melaksanakan Islam. Dalam hal ini, seseorang
boleh saja mempergunakan teknik dan sarana apapun, sepanjang hal tersebut ada kaitannya
antara ide dengan hukum Islam.
Untuk tujuan itu, Rasulullah saw telah memulai dakwahnya dari Makkah.
Setelah terjadi pergolakan yang lama serta perjuangan yang penuh dengan
kesengsaraan, beliau lalu menetapkan bahwa masyarakat Makkah tidak dapat
dijadikan titik acuan (sentral) untuk menerapkan sistem Islam. Oleh karena
itu beliau berusaha mempersiapkan masyarakat Madinah sampai beliau
berhasil mendirikan masyarakat Islam, menerapkan sistem Islam,
mengembang risalah-Nya, serta mempersiapkan ummatnya untuk
mengembangkan risalah tersebut sesudahnya, sejalan dengan metode yang
telah digariskan. Selain itu, beliau juga menjelaskan kepada kaum muslimin
bagaimana caranya mengatur jalannya pemerintahan, membentuk
strukturnya, dan usaha menghimpun sumber pendapatan dan belanja, serta
segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem dan mekanisme
pemerintahan. Beliau memerintahkan kaum muslimin sesudahnya untuk tidak
melewatkan satu kurun waktupun tanpa adanya Khalifah (Tartib Musnad
Imam Ahmad XIII: 12); dan tidak membiarkan waktu terluang tanpa adanya
jihad dan futuhat daerah baru (Sunan Abu Daud III: 12; Sunan Ad-Dailami,
Firdaus Al-Akhbar: hal. 228).