Anda di halaman 1dari 14

PENENTUAN AWAL BULAN

KAMARIAH : PERSPEKTIF HIZBUT


TAHRIR INDONESIA

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**

Ringkasan

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memandang bahwa : 1. Penentuan awal


bulan kamariyah tidaklah dilakukan kecuali dengan rukyatul hilal, baik
dengan mata telanjang maupun dengan bantuan alat, bukan dengan hisab;
2. Rukyatul hilal yang dimaksud adalah rukyatul hilal yang berlaku global
(berlaku untuk seluruh kaum muslimin), bukan rukyatul hilal yang berlaku
secara lokal atau regional atas dasar konsep mathla'; 3. Khusus untuk
penentuan awal bulan Dzulhijjah, rukyatul hilal yang menjadi patokan
adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan rukyatul hilal secara mutlak.
Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah
rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan; 4. Persoalan-
persoalan teknis yang terkait dengan rukyatul hilal, misalnya masalah
irtifa', hendaknya dapat diselesaikan dengan musyawarah para pakar
dengan mengambil pendapat yang paling benar (shawab); 5. Tidak benar
pendapat yang mengatakan bahwa jika rukyat bertentangan dengan hisab
maka yang diambil adalah hisab. Yang benar, yang diterima tetap adalah
rukyat, selama kesaksiannya memenuhi syarat-syarat kesaksian (muslim,
dan adil/tidak fasiq); 6. Diperlukan sebuah institusi politik yang dapat
mempersatukan umat Islam, yaitu Khilafah, yang keputusan Khalifahnya
akan dapat menghilangkan perbedaan pendapat, sesuai dengan kaidah fikih
"amrul Imam yarfa'ul khilaf." (perintah Imam/Khalifah menghilangkan
perbedaan pendapat)

Pengantar

Di tengah umat Islam sering terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan
kamariah. Pada gilirannya ini mengakibatkan perbedaan umat dalam
mengawali puasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha. Perbedaan
tersebut dapat terjadi dalam lingkup lokal, nasional, maupun internasional,
dan selisihnya kadang tidak hanya satu hari, tapi bahkan dapat sampai tiga-
empat hari.1

Kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Sebab puasa Ramadhan dan Idul
Fitri/ Idul Adha sesungguhnya bukan sekedar fenomena ibadah ritual,
melainkan juga fenomena syiar persatuan umat. Umat Islam yang
sesungguhnya umat yang satu (ummatan wahidah) --termasuk dalam hal
mengawali puasa dan berhari raya-- akhirnya nampak tercerai berai,
terpecah belah, dan tidak kompak.2

Namun alhamdulillah, kesadaran umat Islam untuk bersatu dalam hal


penentuan awal bulan kamariah ini cukup menggembirakan. Berbagai
upaya telah dilakukan dan berbagai buku telah ditulis, yang penuh dengan
semangat persatuan umat.3 Berbagai diskusi dan seminar diadakan dalam
rangka menumbuhkan sikap saling memahami (tafahum) antar elemen
umat Islam, sebagai modal menuju persatuan umat.

Dalam kerangka tafahum itulah, tulisan ini bertujuan memaparkan


bagaimana penentuan awal bulan kamariyah menurut pandangan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI). Secara lebih rinci, tulisan ini mempunyai 3 (tiga)
tujuan sebagai berikut :

Pertama, menjelaskan metode HTI dalam penentuan awal bulan kamariyah,


yaitu rukyatul hilal global.

Kedua, menjelaskan sikap HTI terhadap hisab (al-hisab al-falaki) yang


digunakan dalam penentuan awal bulan kamariyah.

Ketiga, menjelaskan sikap HTI mengenai keharusan adanya institusi politik


pemersatu umat (al-khilafah) untuk menyatukan umat secara global.

Rukyatul Hilal Global

HTI memandang bahwa penentuan awal bulan kamariyah (kalender


hijriyah) hanya dilakukan dengan rukyatul hilal dari suatu tempat di muka
bumi, baik itu dilakukan dengan mata telanjang (bil 'ain al-bashariyah)
maupun dengan alat pembesar dan pendekat, semisal teropong atau
teleskop. Dengan perkataan lain, HTI memandang bahwa penentuan awal
bulan kamariyah tidak dapat didasarkan pada hisab (al-hisab al-falaki). 4

Dalam sebuah nasyrah (selebaran/leaflet), tertanggal 25 Sya'ban 1419 H


(14 Desember 1998) Hizbut Tahrir menegaskan sikap resminya tersebut
dengan menyatakan :
‫ ول اعتبار للحسابات الفلكية إذا لم تثبت‬،‫والرؤية المعتبرة هي الرؤية البصرية‬
‫ إذ ل قيمة شرعية للحسابات الفلكية في إثبات الصوم‬،‫الرؤية بالعين البصرية‬
‫ن السبب الشرعي للصوم أو الفطار هو رؤية الهلل بالعين‬ ّ ‫ ل‬،‫والفطار‬...

"Rukyat yang sah (mu'tabar) adalah rukyat dengan mata; hisab tidak dapat
dijadikan dasar jika rukyat tidak terbukti dengan mata. Karena hisab tidak
memiliki nilai secara syar'i dalam menetapkan puasa dan berbuka [berhari
raya]. Hal ini dikarenakan sebab syar'i untuk berpuasa dan berhari raya
tiada lain adalah rukyatul hilal bil 'ain (melihat bulan sabit dengan
mata)..."5

Mengapa HTI berpegang pada rukyatul hilal, dan bukan hisab? Karena,
menurut HTI sebab syar'i (as-sabab asy-syar'i) 6 untuk berpuasa dan
berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil 'ain (melihat bulan sabit
dengan mata)7, sesuai hadits-hadits Nabi SAW. Dari Abu Hurairah RA,
Rasulullah SAW bersabda :
‫صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته‬

"Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena
melihat dia [hilal]." (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi
no 624; An-Nasa`i no 2087).

Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda :


‫غّم عليكم فاقدروا له‬
ُ ‫ فإن‬،‫ وإذا رأيتموه فأفطروا‬،‫إذا رأيتموه فصوموا‬

"Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu
melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang
mendung maka perkirakanlah."8 (HR Bukhari no 1767; Muslim no 1799;
An-Nasa`i no 2094; Ahmad no 7526).

Hadits-hadits di atas mempunyai pengertian yang jelas (sharihah ad-


dalalah), bahwa sebab syar'i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain
adalah rukyatul hilal.9

Dan rukyatul hilal yang dimaksud, dalam pandangan HTI, bukanlah rukyat
lokal yang berlaku untuk satu mathla' (mazhab Syafi'i), melainkan rukyat
yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri
muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh
dunia. (mazhab jumhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali).10

Hizbut Tahrir dalam masalah ini menegaskan :


‫وخطاب الشارع في هذه الحاديث موجه إلى جميع المسلمين ل فرق بين شامي‬
‫ لن ضمير‬،‫ فألفاظ الحاديث جاءت عاّمة‬،‫وحجازي ول بين إندونيسي وعراقي‬
:‫ وكذلك لفظ‬،‫ل على عموم المسلمين‬
ّ ‫ وأفطروا( يد‬...‫ )صوموا‬:‫الجماعة في‬
ّ ‫ يد‬،‫)رؤيته( فهو اسم جنس مضاف إلى ضمير‬
‫ل على رؤية الهلل من أي‬
‫إنسان‬...

"Seruan Pembuat Hukum dalam hadits-hadits ini [seperti dua hadits di atas]
diarahkan kepada seluruh kaum muslimin, tidak ada bedanya antara orang
Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak.
Sebab lafaz-lafazh hadits tersebut datang dalam bentuk umum, karena kata
ganti untuk orang banyak (dhamir jama', yakni wawu) pada hadits
"shuumuu… wa afthiruu" menunjukkan umumnya kaum muslimin.
Demikian pula lafazh "ru`yatihi" adalah isim jenis yang diidhafatkan
kepada dhamir (kata ganti), menunjukkan rukyatul hilal dari manusia siapa
pun juga dia..."11
Pandangan HTI ini sejalan dengan pentarjihan Imam Syaukani dalam
persoalan ikhtilaful mathali' (perbedaan mathla'), di mana Imam Syaukani
menguatkan pendapat jumhur dengan berkata :
،‫ ل يختص بأهل ناحية على جهة النفراد‬،‫والمر الوارد في حديث ابن عمر‬
‫ فالستدلل به على لزوم رؤية‬،‫بل هو خطاب لكل من يصلح له من المسلمين‬
‫ أظهر من الستدلل به على عدم اللزوم؛ لنه‬،‫أهل بلد لغيرهم من أهل البلد‬
‫ فيلزم غيرهم ما لزمهم‬،‫ فقد رآه المسلمون‬،‫إذا رآه أهل بلد‬.

"Perintah yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar [idza ra`iytumuuhu…]


tdaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah secara menyendiri,
melainkan merupakan khithab (perintah/seruan) bagi siapa saja yang layak
menerima khithab itu dari kaum muslimin. Maka beristidlal dengan hadits
ini untuk mengharuskan pemberlakuan rukyat kepada penduduk negeri
yang lain, adalah lebih kuat daripada beristidlal dengan hadits ini untuk
tidak mengharuskannya. Sebabnya adalah jika penduduk suatu negeri telah
melihat hilal, berarti kaum muslimin telah melihatnya, maka berlakulah
rukyat bagi kaum muslimin apa yang berlaku bagi penduduk suatu negeri
itu." 12

Setelah mengutip tarjih Imam Syaukani di atas, Wahbah Az-Zuhaili pun


menguatkan pemberlakuan rukyat global (pendapat jumhur) sebagai berikut
:
ً‫ ومنعا‬،‫وهذا الرأي)رأي الجمهور( هو الراجح لدي توحيدًا للعبادة بين المسلمين‬
‫ دون‬،‫ ولن إيجاب الصوم معلق بالرؤية‬،‫من الختلف غير المقبول في عصرنا‬
‫تفرقة بين القطار‬.

"Pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) adalah lebih kuat (rajih) menurut
saya, karena akan dapat menyatukan ibadah di antara kaum muslimin, dan
akan dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak dapat diterima lagi
pada jaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan kewajiban shaum terkait
dengan rukyat, tanpa membeda-bedakan lagi negeri-negeri yang ada." 13

Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, di Mesir tahun 1966 M juga telah


mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
‫ل عبرة باختلف المطالع ولو تباعدت القاليم بشرط أن تكون مشتركة في ليلة‬
‫ وهذا ينطبق على البلد العربية كلها‬،‫واحدة‬

“Pandangan yang menyatakan tentang adanya perbedaan mathla’ itu tidak


bisa digunakan, sekalipun wilayahnya berjauhan, dengan syarat wilayah-
wilayah tersebut malamnya sama. Dan, ini berlaku untuk seluruh negeri
Arab.”

Majelis Fatwa al-A’la di Palestina juga mengeluarkan keputusan yang


menguatkan diadopsinya pandangan tentang kesatuan mathla’ tersebut.14

Dengan demikian, HTI tidak dapat menerima rukyat lokal (mazhab Syafii)
yang berpegang pada mathla', yaitu daerah geografis keberlakuan rukyat.15
Menurut mazhab Syafii, jika terbukti ada rukyat di suatu negeri, rukyat ini
hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu
mathla`, dengan kriteria satu mathla` adalah jarak 24 farsakh atau daerah
sejauh 133 km. Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak
terikat dengan rukyat yang terbukti di negeri tersebut.16

Pendapat mazhab Syafii tersebut didasarkan pada hadits Kuraib, yang


menjelaskan bahwa Ibnu Abbas di Madinah tidak berpegang dengan rukyat
Muawiyah di Syam. Haditsnya sebagai berikut :
،‫ فقضيت حاجتها‬،‫ت الشام‬ ُ ‫ فقدم‬:‫ فقال‬،‫أن أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام‬
‫ت المدينة‬
ُ ‫ ثم قدم‬،‫ فرأيت الهلل ليلة الجمعة‬،‫ل علي رمضان ُ وأنا بالشام‬ ّ ‫واسُته‬
‫ متى رأيتم‬:‫ فقال‬،‫ ثم ذكر الهلل‬،‫ فسألني عبد ال بن عباس‬،‫في آخر الشهر‬
‫ ورآه الناس‬،‫ نعم‬:‫ أنت رأيَته؟ فقلت‬:‫ فقال‬،‫ رأيناه ليلة الجمعة‬:‫الهلل؟ فقلت‬
‫ فل نزال نصوم حتى‬،‫ لكنا رأيناه ليلة السبت‬:‫ فقال‬،‫ وصام معاوية‬،‫وصاموا‬
‫ هكذا‬،‫ ل‬:‫ أل نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال‬:‫ فقلت‬،‫ُنْكِمل ثلثين أو نراه‬
‫أَمَرنا رسول ال صّلى ال عليه وسلم‬

"Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di


Sam. Dia berkata,'Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan
Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal
malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan,
lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia
bertanya,'Kapan kamu melihat hilal?' Saya jawab,'Kami melihatnya malam
Jumat.' Dia bertanya,'Kamu melihatnya sendiri?'. Saya jawab,'Ya. Orang-
orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.'
Ibnu Abbas berkata,'Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap
berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.'
Saya berkata,'Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya
Muawiyah?' Ibnu Abbas menjawab,'Tidak, demikianlah Rasulullah SAW
memerintahkan kita." (HR Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).

Menurut mazhab Syafii, ucapan Ibnu Abbas RA yang mengikuti rukyat


Madinah dan tidak mengikuti rukyat Syam, yaitu dengan perkataannya
"'Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita" menjadi dalil
bahwa setiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri, dan rukyat suatu
negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain, li ikhtilaf mathali (karena ada
perbedaan mathla'). .

HTI kurang dapat menerima paham tersebut. Sebab perkataan Ibnu Abbas
tersebut ('Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita"),
bukanlah hadits marfu' (dari Nabi SAW), melainkan ijtihad pribadi dari
Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu. 17 Sedangkan ijtihad sahabat Nabi dalam
pandangan HTI bukanlah dalil syar'i yang mu'tabar (sumber hukum yang
kuat), karena dalil syar'i yang mu'tabar dalam pandangan HTI hanyalah Al-
Qur`an, As-Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas.18 Jadi, kesimpulannya,
HTI dalam penentuan awal bulan kamariah, berpegang dengan rukyatul
hilal global, bukan hisab, dan bukan rukyatul hilal lokal.19

Namun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan
ibadah haji dan Idul Adha, HTI memandang bahwa rukyatul hilal yang
menjadi patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah saja, bukan
rukyatul hilal dari negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa
Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain
dapat dijadikan patokan.

Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali, dia berkata :
ْ‫ أن‬- ‫ صلى ال عليه وسلم‬- ‫ل ال‬ ُ ‫سو‬ َ :‫ب ُثمّ قال‬
ُ ‫عِهَد إَلْينا َر‬ َ ‫ط‬ َ‫خ‬
َ ‫ن أِميَر َمّكَة‬
ّ‫أ‬
‫شَهاَدِتِهَما‬
َ ‫سْكَنا ِب‬
َ ‫ل َن‬
ٍ ‫عْد‬
َ ‫شاِهَدا‬
َ ‫شِهَد‬
َ ‫ن لم َنَرُه َو‬ ْ ‫ فإ‬،‫ك ِللّرؤَْيِة‬
َ ُ‫َنْنس‬

"Bahwa Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia


berkata,"Rasulullah telah menetapkan kepada kita agar kita menjalankan
manasik berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua
orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan
manasik berdasarkan kesaksian keduanya." (HR Abu Dawud, hadits no
2339. Imam Daruquthni berkata,"Hadits ini isnadnya muttashil dan
shahih." Lihat Sunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani
berkata,"Hadits ini shahih." Lihat Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud,
2/54).20

Lafazh hadits "an-nansuka" lebih tepat diartikan "kita menjalankan


manasik haji", bukan diartikan "an-nashuma" (kita berpuasa) sebagaimana
pendapat sebagian pensyarah hadits. Memang lafazh "nusuk" berarti
ibadah, sehingga mencakup di dalamnya puasa. Ibnul Atsir berkata dalam
kitabnya Jami' Al-Ushul, "Nusuk adalah ibadah, yang dimaksud di sini
artinya adalah puasa." 21 Namun terdapat hadits yang menjelaskan bahwa
lafazh "nusuk" yang terkait rukyat, lebih tepat diartikan sebagai
"menjalankan manasik", bukan "berpuasa". Dalilnya, adalah sabda Nabi
SAW :
ْ‫ن َفِإن‬
َ ‫لِثي‬ َ ‫عَلْيُكْم َفَأْكِمُلوا َث‬
َ ‫غّم‬
ُ ‫ن‬ ْ ‫سُكوا َلَها َفِإ‬
ُ ‫طُروا ِلُرْؤَيِتِه َواْن‬
ِ ‫صوُموا ِلُرْؤَيِتِه َوَأْف‬
ُ
‫طُروا‬ِ ‫صوُموا وََأْف‬ ُ ‫ن َف‬ ِ ‫شاِهَدا‬َ ‫شِهَد‬
َ

"Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena


melihat hilal, dan laksanakan manasik kamu karena melihat hilal. Lalu jika
pandanganmu tertutup mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hari.
Jika ada dua saksi yang bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah kamu."
(HR An-Nasa`i, no 2087).

Dalam hadits di atas terdapat lafazh "wa–nsukuu laa" (hendaklah kamu


melakukan nusuk). Nusuk di sini, jika diartikan shaum, tentu tidak tepat,
karena akan terjadi pengulangan yang tidak bermakna, mengingat di awal
hadits sudah ada perintah berpuasa berdasar rukyat. Jadi, lafazh nusuk (an
nansuka li ar-ru`yah) dalam hadits Husain bin Al-Harits Al-Jadali di atas
maknanya (wallahu a'lam) adalah "menjalankan manasik haji", bukan
"berpuasa."
Hadits ini menjelaskan siapa yang mempunyai otoritas
untuk menetapkan hari-hari pelaksanaan manasik haji,
seperti hari Arafah, hari Nahar (Idul Adha), dan hari-hari
tasyriq, yaitu Wali/Amir Makkah. Jadi Rasulullah SAW tidak
menyerahkan otoritas itu kepada penduduk di luar Makkah,
semisal penduduk Madinah, Nejed, Bahrain, atau lainnya.
Tapi Rasulullah SAW hanya memberikan kewenangan itu
kepada penguasa Makkah. Pada saat tiadanya
pemerintahan Islam (Khilafah) seperti sekarang, maka
kewenangan itu tetap dimiliki oleh penguasa Makkah
sekarang (Saudi Arabia), meski kekuasaannya tidak sesuai
syariah Islam karena berbentuk kerajaan, bukan Khilafah.23

Jelaslah, bahwa menurut HTI, khusus untuk penetapan Idul


Adha, rukyatul hilal yang dipakai patokan umat Islam
seluruh dunia adalah rukyatul hilal penguasa Arab Saudi,
bukan yang lain. Kemudian, sesuai hadits, jika penguasa
Makkah tidak berhasil merukyat, barulah rukyat dari negeri-
negeri yang lain dapat dijadikan patokan, selama terdapat
dua saksi yang adil yang mempersaksikan terbitnya hilal
bulan Dzulhijjah.

Sikap Terhadap Hisab

HTI memandang bahwa hisab tidaklah dapat digunakan


untuk menetapkan awal bulan kamariyah, khususnya dalam
masalah ibadah shaum Raadhan, hari raya Idul Fitri, dan
Idul Adha. Setelah menjelaskan dalil-dalilnya, Syaikh Atha
bin Khalil (Amir Hizbut Tahrir sekarang) menegaskan :
‫نقول بعدم جواز الحسابات الفلكية في الصوم والفطر بل الرؤية فقط لنها‬
‫الواردة في النصوص‬

"Kami berpendapat tidak boleh menggunakan hisab dalam


shaum dan Idul Fitri/Idul Adha, melainkan rukyatul hilal saja
[yang dibolehkan], sebab rukyat itulah yang terdapat dalam
nash-nash." 24

Mengapa HTI hanya menggunakan rukyatul hilal dan tidak


menggunakan hisab? Sebab dari pengkajian nash-nash
yang ada, kita dituntut oleh Allah untuk beribadah seperti
yang dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah dengan
cara yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah, berarti kita
salah, meski kita menduga kita telah berbuat baik.

Dalam hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa


dan berbuka (berhari raya) berdasarkan rukyatul hilal, dan
Allah SWT telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab
syar'i bagi pelaksanaan shaum dan hari raya. Rasulullah
SAW bersabda :
‫صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته‬

"Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan


berbukalah kamu karena melihat dia [hilal]." (HR Bukhari no
1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no
2087).

Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena


tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai
30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud
secara faktual. Syaikh Atha bin Khalil menyatakan bahwa :
‫من هذا يتبين أننا ل نصوم ونفطر لحقيقة الشهر بل لرؤية الهلل فإذا رأيناه‬
‫م حتى وإن كان الشهر قد بدأ فعل ً بالحساب‬ ُ َ ‫ ل ن‬:‫صمنا وإن َلم نره‬.
ْ ‫ص‬

"Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak
berhari raya karena hakikat bulan (syahr) itu sendiri,
melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat
hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak
berpuasa hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah
mulai berdasarkan hisab."25

Pendapat HTI bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan


penentuan awal bulan kamariah ini adalah pendapat
jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah,
Syafiiyah, dan Hanabilah. 26

Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan


hisab sebagai penentu awal bulan kamariyah, seperti
pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir (tabi'in), juga
pendapat Ibnu Suraij (ulama mazhab Syafii), Ibnu Qutaibah,
Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain.27

Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi SAW faqduruu


lahu (perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya
adalah "perkirakanlah dengan ilmu hisab." Sebab menurut
Ibnu Suraij sebagaimana dinukil oleh Ibnul Arabi, khithab
tersebut adalah khusus untuk orang yang menguasai ilmu
ini (hisab). Sedang sabda Nabi "fa-akmilu al-iddah"
(sempurnakanlah bilangan) adalah khithab umum bagi
orang awam.28

Pendapat tersebut kurang dapat diterima HTI. Alasannya,


sabda Nabi "perkirakanlah" (faqduruulah), artinya yang
tepat bukanlah "hitunglah dengan ilmu hisab", melainkan
"sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari". Memang
hadits ini mujmal (bermakna global), sehingga dapat
ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadits lain yang
mubayyan (mufassar), yakni bermakna terang/gamblang
sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal.
Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya diartikan
berdasarkan hadits yang mubayyan. Walhasil, hadits
faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah
(sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu
(hisablah).29

Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal


bulan kamariah, namun HTI berpendapat bahwa hisab
dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya,
seperti penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada
perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum
dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka
shalat dikaitkan dengan "masuknya waktu" sebagai
sebabnya, di mana "masuknya waktu" itu dapat
dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti melihat
bayangan benda atau dengan jalan hisab.30

Perlu ditambahkan pula, bahwa HTI tidak sepakat dengan


paham yang menyatakan bahwa hisab dapat dipakai secara
terbatas, yakni hanya untuk menafikan kesaksian adanya
rukyatul hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada
laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan
perhitungan hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan
laporan rukyat. Sebab, menurut paham ini, hisab adalah
qath'i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni
(dugaan).31

Pendapat ini tidak diterima oleh HTI, dengan beberapa


argumen. Pertama, kesaksian rukyatul hilal memang dapat
ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan
hisab, melainkan karena saksinya tidak memenuhi syarat-
syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi itu
tidak mempunyai sifat 'adalah (alias orang fasik). Jadi,
penetapan (itsbat) kefasikan saksi dilakukan hanya
berdasarkan bukti-bukti syar'i (al-bayyinat asy-syar'iyyah),
bukan berdasarkan perhitungan hisab.32 Kedua, syara'
telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan kamariah
adalah dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh manusia
di muka bumi), bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal
di langit). Pandangan di atas, yakni penggunaan hisab
untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal,
berpangkal pada satu kesalahpahaman, yakni menganggap
wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan
bulan baru (asy-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara
syar'i (bukan secara waqi'i / faktual) hanya ditetapkan
berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan
wiladatul hilal.33

Karena itu, perlu kami tegaskan di sini: Pertama, bahwa


hisab falaki (perhitungan astronomi), menurut kami, tidak
dinyatakan oleh nash syara’, baik Al-Qur’an maupun As-
Sunnah. Selain itu, juga tidak bisa ditarik, baik dengan
Qiyas maupun Ijmak Sahabat. Karena itu, memasukkan
hisab falaki sebagai metode dalam peribadatan (at-thariqah
as-syar’iyyah fi al-’ibadat) telah menyalahi ketentuan
syara’. Kedua, ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi
lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal). Berpijak pada asumsi
ini, maka kaum muslimin di dunia Islam bagian Barat akan
berpuasa sebelum kaum muslimin di bagian Timur. Di
bagian Barat, bisa jadi sudah berpuasa pada hari Selasa,
sementara di bagian Timur akan berpuasa pada hari Rabu.
Ini benar-benar bisa terjadi, ketika anak bulan tersebut lahir
setelah tengah hari pada hari Senin, misalnya. Dengan
hisab, maka disimpulkan bahwa hari Selasa adalah
permulaan bulan bagi kaum muslimin yang tinggal di
bagian Barat, sehingga mereka pun akan berpuasa pada
hari itu, jika hari itu merupakan permulaan bulan
Ramadhan. Tetapi, bagi yang tinggal di Timur, tidaklah
demikian. Karena, anak bulan belum lahir, sehingga
puasanya pun bisa berbeda sehari. Dengan demikian,
penggunaan hisab justru akan menyebabkan perpecahan
kaum muslimin, baik dalam berpuasa maupun berhari raya.
Ini berbeda, jika mereka mengikuti rukyatul hilal dengan
wihdat al-mathali’ (kesatuan mathla').34

Perlu Institusi Pemersatu

HTI berpendapat bahwa perbedaan dalam penentuan awal


bulan kamariyah, seperti dalam mengawali puasa dan
berhari raya, tiada lain hanya salah satu masalah dari
sekian banyak tumpukan masalah yang dihadapi umat
Islam akibat tiadanya negara Khilafah, sebagai institusi
pemersatu umat Islam. Dengan absennya Khilafah, umat
Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara bangsa
(nation-state) yang masing-masing merasa berhak
menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya.35

Jika Khilafah eksis kembali (dalam waktu dekat Insya Allah),


maka Khalifah yang diberi amanat untuk menjalankan
hukum-hukum Allah akan dapat mengatasi perbedaan dan
perpecahan umat dalam menentukan awal bulan kamariah.
Sebab jika Khalifah mengadopsi satu ijtihad dari sekian
ijtihad syar'i yang ada, maka hanya pendapat itulah yang
wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin. Dengan
demikian akan hilanglah perbedaan pendapat dan terwujud
persatuan. Kaidah fikih menyebutkan :
‫أمر المام يرفع الخلف في المسائل الجتهادية‬

"Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan


pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (khilafiyah)."
36

Kesimpulan

Persoalan khilafiyah penentuan awal bulan kamariyah


memang cukup kompleks, sebab di dalamnya terlibat
setidaknya 3 masalah, yaitu : (1) masalah fikih, seperti
penentuan dengan rukyat atau hisab, kalau pakai rukyat
apakah rukyat lokal atau rukyat global, dan seterusnya, (2)
masalah ilmiah (scientific), seperti ilmu astronomi yang
terkait rukyatul hilal, dan (3) masalah politik, yaitu
berkaitan dengan siapa pihak yang patut ditaati oleh umat
dalam hal penentuan awal bulan kamariah.

Namun demikian, sekompleks apa pun persoalan yang ada,


hendaknya usaha-usaha untuk menyatukan umat Islam
dalam penentuan awal bulan kamariah tidak pernah
berhenti dan harus dilakukan secara berkesinambungan.
Berbagai solusi yang ditawarkan demi persatuan umat, baik
solusi jangka pendek maupun jangka panjang, hendaknya
dipertimbangkan dan dikaji dengan penuh kebijaksanaan,
keinsyafan, dan sikap lapang dada. Semoga Allah Azza wa
Jalla memudahkan urusan ini bagi kaum muslimin. Amin.
Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai