Ringkasan
Pengantar
Di tengah umat Islam sering terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan
kamariah. Pada gilirannya ini mengakibatkan perbedaan umat dalam
mengawali puasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha. Perbedaan
tersebut dapat terjadi dalam lingkup lokal, nasional, maupun internasional,
dan selisihnya kadang tidak hanya satu hari, tapi bahkan dapat sampai tiga-
empat hari.1
Kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Sebab puasa Ramadhan dan Idul
Fitri/ Idul Adha sesungguhnya bukan sekedar fenomena ibadah ritual,
melainkan juga fenomena syiar persatuan umat. Umat Islam yang
sesungguhnya umat yang satu (ummatan wahidah) --termasuk dalam hal
mengawali puasa dan berhari raya-- akhirnya nampak tercerai berai,
terpecah belah, dan tidak kompak.2
"Rukyat yang sah (mu'tabar) adalah rukyat dengan mata; hisab tidak dapat
dijadikan dasar jika rukyat tidak terbukti dengan mata. Karena hisab tidak
memiliki nilai secara syar'i dalam menetapkan puasa dan berbuka [berhari
raya]. Hal ini dikarenakan sebab syar'i untuk berpuasa dan berhari raya
tiada lain adalah rukyatul hilal bil 'ain (melihat bulan sabit dengan
mata)..."5
Mengapa HTI berpegang pada rukyatul hilal, dan bukan hisab? Karena,
menurut HTI sebab syar'i (as-sabab asy-syar'i) 6 untuk berpuasa dan
berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil 'ain (melihat bulan sabit
dengan mata)7, sesuai hadits-hadits Nabi SAW. Dari Abu Hurairah RA,
Rasulullah SAW bersabda :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena
melihat dia [hilal]." (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi
no 624; An-Nasa`i no 2087).
"Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu
melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang
mendung maka perkirakanlah."8 (HR Bukhari no 1767; Muslim no 1799;
An-Nasa`i no 2094; Ahmad no 7526).
Dan rukyatul hilal yang dimaksud, dalam pandangan HTI, bukanlah rukyat
lokal yang berlaku untuk satu mathla' (mazhab Syafi'i), melainkan rukyat
yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri
muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh
dunia. (mazhab jumhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali).10
"Seruan Pembuat Hukum dalam hadits-hadits ini [seperti dua hadits di atas]
diarahkan kepada seluruh kaum muslimin, tidak ada bedanya antara orang
Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak.
Sebab lafaz-lafazh hadits tersebut datang dalam bentuk umum, karena kata
ganti untuk orang banyak (dhamir jama', yakni wawu) pada hadits
"shuumuu… wa afthiruu" menunjukkan umumnya kaum muslimin.
Demikian pula lafazh "ru`yatihi" adalah isim jenis yang diidhafatkan
kepada dhamir (kata ganti), menunjukkan rukyatul hilal dari manusia siapa
pun juga dia..."11
Pandangan HTI ini sejalan dengan pentarjihan Imam Syaukani dalam
persoalan ikhtilaful mathali' (perbedaan mathla'), di mana Imam Syaukani
menguatkan pendapat jumhur dengan berkata :
، ل يختص بأهل ناحية على جهة النفراد،والمر الوارد في حديث ابن عمر
فالستدلل به على لزوم رؤية،بل هو خطاب لكل من يصلح له من المسلمين
أظهر من الستدلل به على عدم اللزوم؛ لنه،أهل بلد لغيرهم من أهل البلد
فيلزم غيرهم ما لزمهم، فقد رآه المسلمون،إذا رآه أهل بلد.
"Pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) adalah lebih kuat (rajih) menurut
saya, karena akan dapat menyatukan ibadah di antara kaum muslimin, dan
akan dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak dapat diterima lagi
pada jaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan kewajiban shaum terkait
dengan rukyat, tanpa membeda-bedakan lagi negeri-negeri yang ada." 13
Dengan demikian, HTI tidak dapat menerima rukyat lokal (mazhab Syafii)
yang berpegang pada mathla', yaitu daerah geografis keberlakuan rukyat.15
Menurut mazhab Syafii, jika terbukti ada rukyat di suatu negeri, rukyat ini
hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu
mathla`, dengan kriteria satu mathla` adalah jarak 24 farsakh atau daerah
sejauh 133 km. Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak
terikat dengan rukyat yang terbukti di negeri tersebut.16
HTI kurang dapat menerima paham tersebut. Sebab perkataan Ibnu Abbas
tersebut ('Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita"),
bukanlah hadits marfu' (dari Nabi SAW), melainkan ijtihad pribadi dari
Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu. 17 Sedangkan ijtihad sahabat Nabi dalam
pandangan HTI bukanlah dalil syar'i yang mu'tabar (sumber hukum yang
kuat), karena dalil syar'i yang mu'tabar dalam pandangan HTI hanyalah Al-
Qur`an, As-Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas.18 Jadi, kesimpulannya,
HTI dalam penentuan awal bulan kamariah, berpegang dengan rukyatul
hilal global, bukan hisab, dan bukan rukyatul hilal lokal.19
Namun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan
ibadah haji dan Idul Adha, HTI memandang bahwa rukyatul hilal yang
menjadi patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah saja, bukan
rukyatul hilal dari negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa
Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain
dapat dijadikan patokan.
Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali, dia berkata :
ْ أن- صلى ال عليه وسلم- ل ال ُ سو َ :ب ُثمّ قال
ُ عِهَد إَلْينا َر َ ط َخ
َ ن أِميَر َمّكَة
ّأ
شَهاَدِتِهَما
َ سْكَنا ِب
َ ل َن
ٍ عْد
َ شاِهَدا
َ شِهَد
َ ن لم َنَرُه َو ْ فإ،ك ِللّرؤَْيِة
َ َُنْنس
"Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak
berhari raya karena hakikat bulan (syahr) itu sendiri,
melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat
hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak
berpuasa hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah
mulai berdasarkan hisab."25
Kesimpulan