Anda di halaman 1dari 4

Mencermati Program Relokasi Nelayan

Oleh AKHMAD SOLIHIN


USAI Peringatan 46 Tahun Deklarasi Djuanda di Aula Universitas Pasundan, Menteri Kelautan dan
Perikanan Rokhmin Dahuri mengungkapkan bahwa untuk mengatasi gejala tangkap lebih (over fishing)
dan konflik sosial di wilayah pesisir pantai utara (pantura), selama tahun 2003 Kementerian Kelautan dan
Perikanan berupaya merelokasikan 100 kepala keluarga (KK) nelayan dari beberapa daerah di kawasan
pantura, seperti Indramayu, Cirebon, Subang, dan sebagian Banten ke kawasan Timur Indonesia seperti
Maluku, Sulawesi, maupun Papua (Pikiran Rakyat, 31 Desember 2003).
Program relokasi nelayan ini disebut-sebut dilakukan tanpa melalui paksaan dan punya tujuan positif dalam
mengurangi beban sosial yang terjadi di wilayah Pantura Jawa, khususnya permasalahan kemiskinan
nelayan. Meski demikian, program relokasi tersebut harus dicermati secara serius oleh kita semua,
khususnya oleh para pembuat kebijakan. Hal ini disebabkan karakteristik masyarakat nelayan antardaerah
berbeda-beda, apalagi dengan kelompok masyarakat lainnya.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program relokasi nelayan perlu
diperhatikan berbagai aspek dan karakteristik masyarakat nelayan itu sendiri. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam pelaksanaan program relokasi nelayan tersebut di antaranya kondisi sosial, budaya,
ekonomi, sumber daya yang dihadapi, dan teknologi yang biasanya digunakan. Kalau aspek-aspek ini
diabaikan atau pemerintah melaksanakan homogenisasi dalam program relokasi, kegagalan telah menanti
di depan mata. Mengingat selama ini, program-program pembangunan yang ditujukan pada masyarakat
nelayan kerap mengabaikan karakteristik masyarakat nelayan sehingga menuai kegagalan di sana-sini.
Artinya, apabila aspek-aspek dari karakteristik masyarakat nelayan diabaikan, tujuan peningkatan
kesejahteraan, mengurangi eksternalitas negatif di bidang perikanan tangkap, penanggulangan konflik, dan
berbagai permasalahan lainnya tidak akan terselesaikan. Bahkan, nelayan akan kian terkukuhkan sebagai
masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor). Terlebih pada tahun
2004, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menargetkan relokasi nelayan mencapai 1.000 KK yang
konsepnya mirip dengan "bedol desa" atau konsep "hijrah". Dengan demikian, akankah program relokasi
nelayan dapat menyelasaikan kompleksitas permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir?
Karakteristik masyarakat pesisir
Pendekatan untuk memahami fenomena permasalahan kenelayanan tidak bisa diseragamkan sehingga
program relokasi pun jangan sampai disamakan dengan program transmigrasi petani (bedol desa atau
hijrah). Dalam pendekatan sosiologi, masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat pertanian yang
basisnya kegiatan di darat. Hal ini disebabkan sosiologi masyarakat pesisir ini direkonstruksi dari basis
sumber daya (resources), sedangkan sosiologi pedesaaan berbasis pada society sehingga pendekatannya
pun harus berbeda. Dengan demikian, kajian-kajian sosiologi masyarakat pesisir bersumber pada aktivitas
masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan (Satria, 2002).
Dalam buku Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir (2002), Arif Satria menjelaskan bahwa secara
sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris seiring dengan
perbedaan karakteristik sumber daya yang dihadapinya. Di mana masyarakat agraris yang direpresentasikan
kaum petani menghadapi sumber daya yang terkontrol, yaitu pengelolaan lahan untuk produksi suatu
komoditas dengan output yang relatif dapat diprediksi sehingga mobilitas usaha yang terjadi relatif rendah
dan elemen resiko tidak terlalu besar.
Hal ini berbeda jauh dengan karakteristik masyarakat nelayan, di mana mereka menghadapi sumber daya
yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumber daya seperti ini menyebabkan
nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal dan konsekuensi yang harus diterima
dari mekanisme ini adalah elemen risiko yang sangat tinggi karena lebih bersifat spekulatif (gambling)
sehingga menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas, dan terbuka.
Selain itu, karakteristik masyarakat pesisir yang direpresentasikan sebagai komunitas desa pantai dan desa
terisolasi (tribal village) punya berbagai aspek lain, yaitu, pertama, sistem pengetahuan lokal (indigenous
knowledge) yang dimiliki masyarakat nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan merupakan
kekayaan intelektual yang perlu dipertahankan. Misalnya, pengetahuan lokal nelayan Desa Kirdowono
yang menggunakan dugo-dugo (seutas tali dengan batu pemberat) untuk mengetahui arah arus. Mereka
juga mengenal rasi bintang untuk penunjuk arah, yakni Lintang Lumbung, Lintang Waluku, Lintang
Wuluh, Lintang Gubug, dan Lintang Lanjar (Juwono, 1998).
Kedua, struktur sosial masyarakat nelayan yang umumnya dicirikan dengan kentalnya hubungan patron-
klien akibat kegiatan penangkapan ikan yang penuh risiko (high risk) dan ketidakpastian sehingga perlu
pemahaman khusus untuk menuntaskan permasalahan sosial ekonomi mereka dalam perangkap hubungan
patron-klien. Alasannya, seperti ditunjukkan studi Najib (1999) dalam Satria (2002), mekanisme hubungan
patron-klien sering bersifat eksploitatif dan sengaja dipelihara patron, inilah sisi negatif dari pola patron-
klien.
Di samping bersisi negatif, pola patron-klien ini dianggap juga memiliki sisi positif karena mampu
mendorong terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Sisi positif ini muncul karena secara riil hubungan
patron-klien mampu menjadi cambuk bagi nelayan untuk keluar dari perangkap keterbelakangan. Hal ini
disebabkan hubungan patron-klien dalam masyarakat nelayan berfungsi sebagai jaminan sosial ekonomi
dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat nelayan. Artinya, bahwa patron-klien merupakan
hubungan asimetris yang tidak dapat digeneralisasi dalam konteks penyebab kemiskinan nelayan.
Sementara itu, munculnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan belum ada institusi formal
yang mampu berperan sebagaimana patron dalam menjamin kepentingan ekonomi mereka. Institusi-
institusi bentukan yang ada selama ini belum berhasil secara efektif karena ada kesenjangan kultur institusi
yang dibangun secara formal dengan kultur nelayan yang masih menekankan aspek personalitas. Tidak
hanya itu, di sisi lain, nelayan sendiri belum mampu membangun institusi baru secara mandiri, khususnya
kemampuan dalam mengorganisasikan diri untuk kepentingan ekonomi (koperasi) maupun profesi.
Penutup
Menuntaskan kompleksnya permasalahan yang melilit masyarakat nelayan merupakan suatu keharusan
karena selama ini mereka kerap dijadikan tumbal pembangunan. Namun, setiap program atau kebijakan
pembangunan yang ditujukan kepada masyarakat nelayan harus memerhatikan karakteristik masyarakatnya
yang berbeda antardaerah, apalagi dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan homogenisasi
kebijakan-kebijakan pembangunan masyarakat nelayan banyak mengalami kegagalan.
Selain itu, yang harus disiapkan oleh pemerintah dalam program relokasi nelayan adalah pembangunan
infrastruktur hingga suprastruktur di kawasan pesisir, di saat masyarakat nelayan akan ditempatkan. Oleh
karena itu, dengan penuh kehati-hatian dan pemahaman serta pengakuan terhadap karakteristik masyarakat
pesisir maka program relokasi nelayan diharapkan berhasil gemilang.***
Penulis staf Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)
dan Mahasiswa Pascasarjana Hukum Internasional Universitas Padjadjaran.
www.pikiran rakyat.com artikel

Pujo Semedi:
“Masa depan sektor penangkapan ikan di Indonesia buruk”
Bagaimana kondisi masyarakat pantai di Indonesia bila dilihat dari sudut pandang sosiologi-
antropologisnya?
Sejauh saya mengamati, masyarakat pantai di Yogyakarta adalah masyarakat yang menggantungkan ekonominya
dari hasil sumberdaya alam pantai. Masyarakat pantai termasuk masyarakat baru. Sebelumnya mereka tinggal di
tepi pantai, tetapi tidak memanfaatkan sumberdaya pantai. Masyarakat Yogya yang menjadi nelayan di pantai
selatan baru-baru saja. Kira-kira akhir Orde Baru. Demikian juga dengan masyarakat di sepanjang pantai pulau
jawa. Itu merupakan fenomena baru. Kalaupun ada yang lama, misalnya di Pelabuhan Ratu, itu bukan orang Jawa
asli. Mereka dari mana-mana, orang Bugis dan sebagainya. Jadi, bagi wilayah Jawa Selatan ini, masyarakat pantai
merupakan masyarakat baru. Sebelum mereka menjadi nelayan, mereka adalah petani. Nah, baru belakangan ini
mereka berangsur-angsur menjadi nelayan.
Mengapa baru-baru ini saja mereka menjadi nelayan?
Secara teoritis, orang menjadi nelayan itu karena terpaksa. Karena sumber-sumber ekonomi di daratan sudah tidak
mencukupi, mereka melakukan ekspansi ke laut. Mengapa terpaksa, itu karena menjadi nelayan ora kepenak (tidak
enak). Investasinya tinggi. Perahu mahal, jaring mahal dan tingkat kerusakan alat kerjanya tinggi juga harus
investasi biaya perawatan. Lain dengan pertanian. Punya tanah, itu sudah investasi meskipun nanti akan membeli
pupuk dan bibit dsb. Tapi jauh lebih mahal di sekitar sektor tangkapan ikan. Bila jaring tersangkut karang atau
kapal diterjang ombak, maka hilanglah investasi jutaan rupiah. Maka saya katakana, menjadi nelayan perlu
investasi tinggi, biaya perawatan tinggi, resiko kerusakannya tinggi tapi hasil tak bisa diprediksi. Karena pekerjaan
nelayan dalam klasifikasi antropologinya itu masuk dalam kelompok berburu dan meramu. Memanfaatkan
sumberdaya yang disediakan oleh alam. Nah, didalam berburu dan meramu ini ada satu kepastian yaitu hasilnya
tidak pernah pasti.
Kalau kondisi sosial masyarakat nelayan itu bagaimana?
Kondisi sosial berhubungan dengan kondisi ekonomi masyarakat nelayan tidak menentu. Kondisi masyarakatnya
buruk. Dan kemiskinan di kalangan nelayan dijelaskan dalam teori yang namanya teori sumberdaya milik bersama.
Pertama, ikan di laut adalah common property, sumberdaya bersama. Milik umum, bisa milik siapa saja. Sehingga
semua orang berhak memilikinya asal ada alat, ia bisa ikut menangkap. Ada konsekuensi-konsekuensi dari
sumberdaya milik bersama yaitu yang disebut tragedy of the common (tragedi sumber daya milik bersama) bahwa
pemanfaatan SDA milik bersama itu akan selalu berakhir dengan kerusakan sumberdaya dan pada keuntungan
ekonomi yang sangat sedikit diantara pemanfaatannya. Karena dalam sumberdaya milik bersama ini semua orang
berlomba-lomba ingin mendapatkan sumberdaya, tapi tak ada satu orangpun yang terdorong untuk memelihara.
Yang kedua, didalam pemanfaatan dan eksploitasi sumberdaya bersama ini tercipta suatu kondisi yang membuat
orang itu self interested, menjadikan semua orang berkepentingan. Yang namanya eksploitasi atau menangkap,
hasil ekonomi yang diperoleh seseorang besar-kecilnya tergantung pada hasil tangkapan.
Bagaimana perhatian pemerintah terhadap potensi kelautan dan nelayan?
Perhatian pemerintah pada kehidupan nelayan saya kira baik-baik saja. Artinya dulu pada masa Orde Baru ada
upaya-upaya untuk memperbaiki kehidupan nelayan. Motif nilai-nilai kultural pemerintah dalam membangun
masyarakat nelayan adalah ingin membuat nelayan semakin produktif, semakin banyak mendaratkan ikan, semakin
intensif dalam mengeksploitasi sumberdaya di laut. Bukan semakin meningkatkan budidaya di laut. Nah, justifikasi
yang dipakai pemerintah dalam mengubah masyarakat nelayan dan modernitas peralatan adalah suatu gagasan tapi
bayangannya seolah-olah di Indonesia itu kandungan sumberdaya lautnya itu melimpah ruah. Berapa banyaknya?
Menurut taksiran orang-orang Departemen Kelautan, ikan itu 6 juta ton pertahun tingkat petik lestarinya. Artinya
setiap tahun ikan di laut diambil 6 juta ton maka proses penangkapan ikan ini bisa sustainable. Sementara itu angka
produksi riil yang sekarang sudah dilakukan baru sekitar 50 persennya. Jadi oleh pemerintah didorong terus untuk
memperbesar jumlah tangkapannya. Angka itu diperoleh dengan studi-studi sampling. Dan sampling itu tidak
langsung, hanya sekedar prediksi.
Selain potensi perikanan, di wilayah pantai selatan, potensi apalagi yang bisa dicoba?
Yang paling mungkin adalah pariwisata. Tapi perlu diingat, pariwisata ‘kan tidak hanya menjual keindahan alam,
tapi juga jasa pelayanan. Jadi pariwisata itu bukan hanya mengandalkan kindahan alam. Lagipula, itu aktivitas
masyarakat yang mapan, makmur. Kalo orang yang makan saja susah masa’ harus piknik.
Nelayan dikatakan sebagai profesi terakhir yang dipilih seseorang. Terus apa yang dapat kita lakukan
untuk memberdayakan mereka?
Nah, ini susah. Kalau kita kembali ke teori sumberdaya tadi, maka sumberdaya laut jangan dijadikan sumberdaya
milik bersama. Caranya dengan lisensi. Tidak semua orang boleh jadi nelayan. Kalau di Eropa, tidak semua orang
boleh jadi nelayan. Dan setelah ada lisensi, ada kuota. Setiap nelayan hanya boleh menangkap sekian agar
sumberdayanya tidak rusak. Tapi kalau memberlakukan kuota di Indonesia tidak bisa karena pemerintah Indonesia
selalu membayangkan sumberdaya lautnya dikuota, nelayan akan makmur. Jadi agar makmur, upaya penangkapan
itu harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan lokal, dimana nelayan itu bekerja. Jangan mendorong agar
nelayan itu menangkap lebih banyak lagi.
Bagaimana dengan kapal-kapal asing yang memiliki peralatan lengkap yang menangkap ikan di perairan
Indonesia?
Kalau pencurian ikan oleh kapal asing itu memang benar ada. Tapi seberapa besar tangkapan mereka itu tidak jelas.
Jangan-jangan pemerintah memakai alasan itu supaya memiliki kambing hitam. Kadang kita tidak tahu struktur
sosial ekonomi dari nelayan asing itu. Apakah mereka menangkap ikan di perairan Indonesia itu untung atau malah
merugi. Kita tidak mengerti. Terus terang kita tidak punya data yang jelas tentang itu. Kalau untuk menangkap
nelayan asing yang beroperasi di perairan Indonesia, itu tugas TNI AL karena masalah kedaulatan negara. Tapi
apakah benar dengan teknologi yang mereka pakai membuat mereka untung, itu juga perlu ada data jelas.
Bagaimana posisi tawar nelayan di mata pemerintah dan pemilik modal?
Daya tawar politik seseorang, seorang produsen itu dipengaruhi oleh kekuatan materi yang ia produksi. Sementara
ikan termasuk dalam kategori barang yang mudah rusak. Jangankan dengan pemerintah, dengan bakul (pengumpul
ikan, red) saja daya tawarnya rendah. Mereka sulit menentukan harga. Bila ikan dijual hari ini, bakul seenaknya
membeli dengan harga rendah. Dijual pada bakul lainnya, harganya juga seragam. Padahal bila ikan tersebut tidak
dijual hari itu juga, besok tidak ada harganya lagi. Karena sudah busuk. Dan mereka akan lebih rugi karena tidak
mendapat uang sama sekali. Sementara secara sosial, nelayan itu memiliki organisasi yang rapuh. Karena secara
sosial ekonomi bekerja sendiri-sendiri. Bahkan satu sama lain bersaing rebutan ikan, walaupun ada kompromi-
kompromi. Sementara secara semangat kultural nelayan itu memiliki semangat independensi yang tinggi. Mereka
tidak mau diatur orang lain dan tak mau mengatur orang lain. Sehingga nelayan itu sulit diorganisasi dan
membentuk organisasi yang solid untuk meningkatkan harkat mereka.
Memang ada organisasi nelayan, HNSI, tapi pengurusnya bukan nelayan. Yang menjadi pengurusnya itu juragan,
pedagang ikan dan orang yang bukan nelayan lainnya. Secara formal ada organisasi nelayan, tapi tidak berjalan
dengan baik bagi nelayan karena pengurusnya bukan nelayan. Mereka tidak pernah tahu kebutuhan nelayan.
Alternatif peningkatan jumlah pendapatan nelayan?
Nelayan mungkin suatu saat dapat dikatakan mampu menghasilkan tangkapan yang banyak, tapi itu tidak setiap
hari. Secara empiris kita bisa lihat di pantai utara Jawa. Tidak ada nelayan yang makmur. Nelayan melarat. Yang
makmur paling-paling hanya bosnya, juragannya, pedagang ikannya. Jadi kalau boleh saya bilang, masa depan
penangkapan ikan di Indonesia buruk.
Alternatif peningkatan penghasilan mungkin dengan adanya diversifikasi pekerjaan dari nelayan yang biasanya
sehari-hari menangkap ikan, menjadi petani laut yang membudidayakan. Petani laut misalnya di Nusa Tenggara, itu
menanam rumput laut. Ada juga yang membudidayakan kerang mutiara. Dengan budidaya perhitungan dan
investasinya jelas.
Bagaimana dengan adanya Otonomi daerah dalam sektor kelautan di Indonesia?
Saya setuju, cuma di sini tidak bisa laut dikapling-kapling seperti UU Otonomi daerah nomor berapa itu saya lupa.
Biarkan saja nelayan mengatur dirinya sendiri secara ‘alami’. Tapi nelayan-nelayan di luar Jawa itu harus
diperkuat, sehingga mereka tidak hanya menjadi penonton ketika kekayaan lautnya diambil oleh nelayan dari Jawa.
Selain itu potensi pasar lokal untuk ikan juga harus kuat.
© 2001-2002 Yayasan Damar
Created at 8 April 2003 | Buletin Februari

Anda mungkin juga menyukai