Anda di halaman 1dari 7

Agenda Reformasi Politik

Luar Negeri Indonesia


Oleh Asep Setiawan

I. PENDAHULUAN

Reformasi ekonomi dan politik telah melahirkan tuntutan


baru. Masyarakat seolah-olah menginginkan kedaulatan yang
seharusnya menjadi menjadi miliknya dikembalikan setelah
dipinjam Presiden Soeharto dan aparatnya selama kurun waktu
32 tahun. Selain tuntutan perubahan politik, masyarakat
Indonesia merasakan bagaimana krisis ekonomi menjadi parah
karena ternyata hampir di seluruh aspek kehidupan terjadi
korupsi, kolusi dan nepotisme.

Gema reformasi memang sangat keras karena setelah


guncangan moneter yang dimulai dari Thailand Juni 1997
membuat Indonesia harus menghadapi tekanan dalam mata
uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Akhirnya
pemerintah tidak sanggup menekan harga dollar sehingga bulan
September 1998 dilepas ke pasar yang akhirnya menyebabkan
ambruknya ekonomi Indonesia. Harga sembilan bahan pokok
sampai sekarang tidak stabil, bahkan cenderung meningkat.
Penderitaan rakyat Indonesia ini melahirkan kekhawatiran akan
terjadinya disintegrasi dan kerusuhan yang akan banyak
memakan korban rakyat tak berdosa.

Reformasi berlangsung setelah terjadi stagnan selama 32


tahun kekuasaan Orde Baru. Politik dalam negeri secara
bertahap diambil dari rakyat menuju kekuatan eksekutif yang
berpuncak di tangan presiden. Pada akhirnya, seluruh kekuasaan
itu berada di tangan Soeharto. Dalam kebijakan luar negeri pun
partisipasi rakyat baik melalui DPR maupun kalangan
masyarakat seperti dunia akademis tidak diberi tempat.
Pengambilan kebijakan luar negeri menjadi tidak demokratis.

Makalah ini akan berusaha mengkaji implikasi reformasi


politik-ekonomi domestik terhadap kebijakan luar negeri
Indonesia. Pertama, makalah akan mengungkap pilar-pilar utama
reformasi yang sedang berjalan. Selanjutnya akan ditinjau

1
agenda apa yang jadi perlu dipertimbangkan dalam reformasi
politik luar negeri.

2
II. REFORMASI DOMESTIK

Gagasan reformasi sangat kuat disuarakan mahasiswa


pada akhir 1997 dan awal 1998. Setelah selesai Sidang Umum
1998 yang melahirkan pasangan Soeharto-BJ Habibie, gagasan
reformasi semakin santer dalam masyarakat akademis.
Mahasiswa akhirnya mempelopori untuk menjadi gagasan slogan
dalam aksi unjuk rasa pro demokrasi-nya. Pada akhirnya,
reformasi diartikan sebagai usaha mendesak Presiden Soeharto
mundur dari jabatannya dan pemerintah penggantinya
menurunkan harga-harga sembako.

Setelah turun dari jabatan presiden 21 Mei lalu, Soeharto


menyerahkan jabatannya kepada Wapres Habibie. Maka lahirlah
kabinet reformasi yang sampai sekarang masih dalam tahap
transisi menjelang pemilu Mei 1999.

Setidaknya ada empat proses yang terjadi sebagai akibat


kakunya Orde Baru dalam menghadapi perubahan jaman. Eep
Sefullah Fatah menyebut faktor pertama adalah sentralisasi.
Dalam tahap reformasi terjadi lah era desentralisasi. Semula
Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan yang
sentralistis sebagai cara untuk mempertahankan stabilitas politik
agar pertumbuhan ekonomi bisa terkejar. Namun pada
prakteknya sentralisasi melahirkan KKN.

Reformasi juga melahirkan corak yang belawanan dengan


aliran pemikiran Orde Baru yang menekankan otonomisasi. Apa
yang otonomisasi ? Menurut Eep, sejak awal kelahirannya Orde
Baru berupaya meminggirkan masyarakat dari proses
pengambilan kebijakan publik dan proses pemerintahan secara
umum. Reformasi melahirkan de-otonomisasi dimana
masyarakat ikut berpartisipasi dalam keputusan publik.

Orde Baru juga melahirkan unsur ketiga yakni


personalisasi. Kekuasaan yang memusat dan otonom kemudian
dipersonalisasikan di tangan Soeharto. Apapun keputusan politik
harus sesuai dengan “petunjuk bapak presiden”. Begitulah istilah
yang sering digunakan menteri dalam menjelaskan kebijakan
pemerintah. Reformasi politik menjungkirbalikkan gagasan itu
dengan mendorong ke arah de-personalisasi dimana kekuasaan
politik itu bukan berasal dan hanya di tangan presiden tapi
terutama di tangan rakyat yang bisa disalurkan melalui partai-
partai politik.

3
Selain tiga aspek di atas, Orde Baru juga harus
menghadapi kritikan rakyat karena kekuasaan kemudian menjadi
sesuatu yang sakral, tak boleh diganggu gugat dan tak
terjangkau rakyat bawah. Dalam konteks ini kekuasaan tak bisa
salah, bebas dari kritik, tak bisa digugat apalagi dijungkirkan.
Namun dengan gelombang reformasi rakyat semakin terbuka
bahwa kekuasaan presiden atau jabatan apapun tak lain adalah
amanah rakyat, bukan titisan dewa atau dari langit.

III.AGENDA REFORMASI

Bagaimana implikasi reformasi politik domestik terhadap


kebijakan luar negeri ? Rakyat Indonesia memiliki kebebasan
untuk mendayagunakan kebijakan luar negeri sehingga
melahirkan kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh lapisan
masyarakat. Secara idiil, tujuan dari politik luar negeri Indonesia
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni untuk
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
abadi dan keadilan sosial.

Dari empat reformasi yang sudah dilakukan rakyat


Indonesia tampaknya bisa ditarik empat agenda dalam reformasi
politik luar negeri.

Pertama, perumusan kebijakan dan pelaksanaan politik


luar negeri tak lagi tersentralisasi di badan eksekutif atau di
tangan presiden. Dengan tema-tema hubungan internasional
seperti hak asasi manusia, demokratisasi, lingkungan hidup dan
terciptanya masyarakat madani, maka rakyat seluruhnya
memiliki akses dalam memberikan pemikiran, menilai dan ikut
memikirkan arah kebijakan luar negeri. Soal hak asasi manusia
dicatat Budiarto Shambazy sebagai salah satu aspek penting
dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Habibie seperti
terlihat dalam kebijakan pemberian otonomi lebih luas ke Timor
Timur.

Begitu politik luar negeri itu tersentralisasi dalam lembaga


eksekutif, maka arahnya tidak bisa dikritik lagi. Misalnya, politik
pinjaman dana untuk pembangunan ternyata di kemudian hari
memberatkan masyarakat sehingga melahirkan utang
pemerintah sekitar 60 milyar dollar AS. Menurut Dr Hasjim Djalal,
masalah korupsi dan kolusi yang banyak dibicarakan kalangan

4
domestik dan luar negeri bisa mempengaruhi kredibilitas
pemerintah sehingga politik luar negeri bisa kurang efektif.

Kedua, agenda reformasi perlu dilakukan agar politik luar


negeri tidak lagi otonom dari perbuahan-perubahan dan tuntutan
masyarakat. Meminggirkan masyarakat dalam hal politik luar
negeri akan melahirkan langkah yang fatal terhadap kemajuan
seluruh bangsa. Penilaian yang meremehkan efek devaluasi
Thailand dan peringatan dunia internasional terhadap kebijakan
ekonomi luar negeri pemerintah dan swasta mengakibatkan
terjadinya prahara moneter yang menyakitkan. Dengan kata lain,
keputusan pemerintah tidak otonom tetapi tergantung dari
masukan masyarakat. Dr Moh Idris Kesuma melukiskan bahwa
politik luar negeri itu tak lain daripada perjuangan seluruh
bangsa Indonesia yang pada awalnya mempertahankan
kemerdekaan dan memperjuangkan pengakuan internasional.

Ketiga, dalam jangka mendatang tidak perlu lagi


keputusan penting dalam menghadapi era globalisasi ini
diserahkan ke tangan seorang presiden atau menteri. Karena
kebijakan luar negeri pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
seluruh lapisan masyarakat dari kota sampai desa, maka
pengambilan keputusan hanya di tangan satu orang dengan
asumsi ia serba tahu tentang politik luar negeri akan berakibat
kehilangan kontrol.

Keempat, meskipun orientasi politik luar negeri negeri


sudah ditentukan bebas dan aktif serta landasan idiilnya
ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, namun dalam
implementasinya jangan sampai terjebak pada sakralisasi
kebijakan. Politik luar negeri seperti halnya politik dalam negeri
bukanlah sesuatu yang sakral, yang suci, yang tak bisa diubah
dan dikemas dengan pendekatan baru. Desakralisasi kebijakan
eksternal bisa dilakukan jika masyarakat ikut berpartisipasi
dalam memikirkan arah bangsa Indonesia dalam memasuki abad
ke-21 ini.

IV. PENUTUP

Abad kemakmuran Asia yang sering didengung-


dengungkan ternyata harus mengalami revisi. Kemakmuran itu
memerlukan tahap panjang lagi karena penguasaan medan

5
global ternyata telah membuat pembangunan yang ditopang
pertumbuhan cepat berakhir dengan kriris moneter.

Oleh karena itu diperlukan cara pandang baru dan kajian


lebih mendalam apa yang jadi trend internasional sehingga
Indonesia sendiri bisa merumuskan kebijakan luar negeri dengan
tepat. Di sinilah mahasiswa dan pakar-pakar hubungan
internasional bisa memberikan sumbangan besar untuk
mereformasi politik luar negeri yang selama ini jarang tersentuh
sehingga mengakibatkan terjadinya sakralisasi. Sudah waktunya
paradigma berpikir kita terhadap politik luar negeri diubah
dengan sudut pandang yang segar dan memberikan harapan
baru.

6
Daftar Pustaka

Anwar, Dewi Fortuna, Indonesia in Asean: Foreign Policy


and Regionalism. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,
1994.

Agung, Ide Anak Agung Gde, Twenty Years Indonesian


Foreign Policy 1945-1965. Paris: Mouton, 1973.

Bandoro, Bantarto (ed), Hubungan Luar Negeri Indonesia


Selama Orde Baru. Jakarta: CSIS, 1994.

Djalal, Dr Hasjim, Respon dan Kebijakan RI Terhadap


Dinamika Politik dan Keamanan Internasional, makalah dalam
Seminar Indonesia dan Dinamika Internasional, Jakarta, 5
November 1996.

Fatah, Eef Saefulloh , Bangsa Saya yang Menyebalkan.


Bandung: Rosda, 1998.

Kesuma, Prof Dr Moh Idris A, Sejarah Diplomasi Indonesia.


Yogyakarta: Fakultas Sosial dan Politik, 1974

Leifer, Michael, Indonesia’s Foreign Policy.London: George


Allen&Unwin.

Shambazy, Budiarto, Politik Luar Negeri Indonesia:


Dominasi Sosok Presiden Indonesia, Kompas, 16 Agustus 1998.

Suryadinata, Leo, Indonesia’s Foreign Policy Under


Suharto: Aspiring to International Leadership Singapore: Times
Academic Press, 1996.

Vatikiotis, Michael R.J., Indonesian Politics Under Suharto:


Order, Development, and Pressure for Change London:
Routledge, 1993.

Weinstein, Franklin B., Indonesian Foreign Policy and the


Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto . Ithaca:
Cornell University Press, 1976.

Anda mungkin juga menyukai